Apakah membayar seorang pejabat/pegawai negeri untuk meloloskan
seseorang menjadi seorang pegawai merupakan suatu tindak pidana? Tentu
saja bukan? Setidaknya ada dua tindak pidana yang bisa dikenakan
terhadap kedua pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, yaitu
tindak pidana korupsi, khususnya pasal suap (pasal 5 dan pasal 12 huruf a
atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20
Tahun 2001) atau pasal Kolusi (Pasal 21 jo. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme) [lihat pasal-pasal tersebut dibawah].
Apakah pasal-pasal tersebut mensyaratkan perbuatan yang dikehendaki
oleh penyuap (aktif) harus telah terlaksana, dalam konteks ini, apakah
lolos atau tidaknya penyuap atau pihak ketiga (anak, keluarga, teman
dll) menjadi salah satu penentu terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana
tersebut? Tidak. Mengapa? Oleh karena pasal-pasal tersebut, khususnya
pasal penyuapan merupakan delik formil, delik yang sempurnanya perbuatan
tidak ditentukan dari apakah akibat yang diharapkan terjadi terlaksana
atau tidak, namun sempurnanya delik didasarkan pada selesai atau
tidaknya perbuatan.
Akan tetapi dalam beberapa perkara yang saya temui tak jarang
perbuatan seperti ini tidak didakwa dengan pasal penyuapan namun
penipuan, khususnya ketika ternyata si penerima suap (penyuap pasif)
tidak dapat memenuhi janjinya, seperti dalam kasus Farida Hanum (
Nomor 960 K/Pid/2011)
[1]. Dalam perkara Farida Hanum ini Farida merupakan anggota Polri yang
dihukum 2 tahun atas penipuan terhadap beberapa karena menjanjikan
sanggup meloloskan pihak-pihak yang mau membayar sejumlah uang untuk
lolos dalam proses seleksi SECABA (Sekolah Calon Bintara) Polri. Kasus
ini berawal dari dipertemukannya korban dengan Terdakwa oleh seseorang
dengan tujuan agar anak korban dapat lolos SECABA. Terdakwa menjanjikan
bisa meloloskan anak Korban jika korban sanggup membayar sejumlah uang
(sekitar Rp 100 juta) karena katanya ia memiliki jatah 7 orang untuk
bisa diloloskan menjadi anggota Polri. Namun setelah (para) korban telah
membayar sejumlah uang tersebut ternyata Terdakwa tidak berhasil
memenuhi janjinya. Para korban kemudian melaporkan Terdakwa ke
kepolisian, dan kemudian ia didakwa dengan pasal penipuan, sementara itu
para Korban sendiri tidak didakwa.
Dalam perkara lain, yaitu perkara gugatan perdata antara Ir. Hj. Sarmilis vs Bilkisti & Sugeng Padmono (
No. 3038 K/PDT/2009)
Mahkamah Agung bahkan mengabulkan gugatan ganti kerugian yang dituntut
oleh Penggugat (Ir. Hj. Sarmilis) terhadap para Tergugat (Bilkisti &
Sugeng Padmono) karena para Tergugat tersebut tidak berhasil memenuhi
janjinya untuk meloloskannya menjadi Pegawai Negeri tetap dari Pegawai
Negeri Honorer. [lihat
Kewajiban Mengembalikan Uang Dalam Perjanjian Yang Tidak Halal].
Dikabulkannya gugatan tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung secara
sadar atau tidak sadar telah mengakui bentuk perbuatan seperti ini yang
pada dasarnya adalah penyuapan serta perikatan atas dasar yang tidak
halal menjadi perikatan yang sah. [2]
Perkara seperti ini tentunya tidak sejalan dengan upaya pemberantasan
korupsi (yang mana suap merupakan salah satu bentuk tindak pidana
korupsi). Putusan-putusan seperti ini membuat pesan bahwa membayar
seseorang penyelenggara negara / pegawai negeri secara melawan hukum
untuk meloloskannya atau pihak lain dalam suatu proses seleksi
penerimaan pegawai negeri / TNI/ Polri dll adalah sah sepanjang ia atau
pihak ketiga tersebut tidak lolos seleksi tersebut. Secara logika
perkara seperti ini juga tidak masuk akal, bagaimana mungkin suatu
perikatan dianggap sah jika prestasi yang diharapkan terjadi justru
tidak terjadi, sementara jika prestasi yang diharapkan terjadi baru lah
menjadi perikatan yang tidak sah dan menjadi tindak pidana suap.
Praktik suap seperti ini tentunya cukup banyak, dan mungkin sudah
melembaga di masyarakat, dimana masyarakat menganggap membayar sejumlah
uang untuk menjadi pegawai negeri merupakan sesuatu yang jamak. Praktik
yang mungkin telah melembaga tersebut tentunya harus ditinggalkan, salah
satu caranya tentu dengan memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa
praktik seperti itu merupakan praktik yang ilegal, dan salah satu bentuk
pelajaran tersebut tentunya adalah dengan menghukum juga pihak yang
membayar (menyuap) terlepas dari apakah pihak yang membayar tersebut
ternyata sudah mengalami kerugian juga atau tidak karena ternyata apa
yang dijanjikan pihak penerima suap tersebut terpenuhi atau tidak.
Lampiran Pasal 5 UU 31/1999 jo 20/2011(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 12 huruf a dan b UU 20/2001 jo. 31/1999Dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
Pasal 1 angka 4 UU 28/1999Kolusi adalah
permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara
Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan
orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Pasal 5 angka 4 UU 28/1999Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
Pasal 21 UU 28/1999Setiap Penyelenggara Negara
atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 4 dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Footnotes:
[1.] Dalam perkara ini sendiri perkara dinyatakan Ne bis in idem oleh
karena Terdakwa telah dihukum dalam perkara yang sama namun atas
laporan dari pihak korban yang lainnya. Majelis Hakim Agung dalam
perkara ini yaitu: Komariah Emong Saparadjaja (Ketua Majelis), Salman
Lutha, dan Andi Abu Ayyub Saleh.
[2.] Saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu anggota majelis
perkara ini mengenai putusan dalam perkara ini. Saya menanyakan mengapa
MA memutus demikian padahal jelas-jelas perikatan tersebut merupakan
perikatan yang tidak sah, beliau menyatakan bahwa memang perikatan
tersebut merupakan perikatan yang tidak sah karena atas sebab yang tidak
halal, namun menurut beliau para korban nyatanya telah kehilangan uang
dan para tergugat telah mendapatkan keuntungan sementara tidak diketahui
apakah para tergugat telah dipidana juga atau tidak. Menurut beliau
tentulah tidak adil jika para tergugat mendapatkan keuntungan secara
tidak sah dan bisa lolos begitu saja, untuk itu maka MA (Majelis kasasi)
mengabulkan gugatan penggugat sebagai suatu bentuk hukuman terhadap
para penggugat.