Selasa, 21 Agustus 2012

Kesaksian Polisi yang Tidak Dibenarkan


Putusan Mahkamah Agung dalam kasus narkotika ini sangat menarik karena MA membatalkan putusan Judex Factie yang telah menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 4 tahun. Alasan Mahkamah Agung membatalkan putusan judex factie tersebut oleh karena saksi-saksi yang memberatkan terdakwa ternyata dari pihak kepolisian itu sendiri. Mahkamah Agung memandang bahwa dalam kasus ini sangat mungkin kesaksian dari pihak kepolisian tersebut direkayasa, bahkan dalam pertimbangannya secara berani Mahkamah Agung menyatakan bahwa cara-cara penyelidikan dan penyidikan seperti yang terjadi dalam kasus ini sarat dengan rekayasa dan pemerasan.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Alasan keberatan Terdakwa angka 1 dapat dibenarkanbahwa saksi PRANOTO dan SUGIANTO yang berasal dari pihak kepolisian, keterangannya tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat diragukan dengan alasan-alasan :
  • Bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara a quo mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan, sehingga keterangannya pasti memberatkan atau menyudutkan bahwa bisa merekayasa keterangan. Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar diberikan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal 185 ayat (6 ) KUHAP) ;
  • Bahwa secara formal kehadiran polisi di persidangan pada dasarnya digunakan pada saat memberi keterangan yang sifatnya Verbalisan ;
  • Bahwa keterangan 3 orang saksi lainnya pada pokoknya menerangkan tidak mengetahui siapa barang tersebut ;
  • Bahwa barang yang ditemukan tidak jelas siapa pemiliknya. Untuk mencari kepastian siapa pemilik barang tersebut, Terdakwa dipaksa mengaku oleh polisi dengan cara memukuli ;
  • Bahwa barang yang di temukan jaraknya berjauhan yaitu berada di tempat dimana posisi Terdakwa berdiri. Tidak ada pula saksi yang melihat Terdakwa menyimpan atau melemparkan barang itu di tempat ditemukan barang. Bisa saja terjadi barang tersebut sudah disimpan lebih dahulu oleh polisi, oleh karena lama dipepet, kemudian polisi menyetop Terdakwa persis pada saat berada di dekat barang itu. Dalam banyak kejadian penggeledahan badan/ rumah barang bukti berupa narkoba atau psikotropika adalah milik polisi, sudah dipersiapkan sebelum melakukan penangkapan ;
  • Bahwa tidak jarang pula terjadi, barang bukti tersebut milik polisi, kemudian dengan berbagai trik menyatakan di temukan di kantong Terdakwa atau tempat lainnya untuk selanjutnya dijadikan alat pemerasan atas diri Terdakwa, seperti halnya dalam perkara a quo, Terdakwa dimintai uang oleh polisi sebesar Rp. 100 juta agar perkaranya bisa bebas, tidak dilanjutkan ;
  • Bahwa oleh karena itu, mengapa pembuat UU tidak membenarkan cara-cara penangan seperti dalam perkara a quo, karena pembuat undang-undang sudah memikirkan dan mengantisipasi, bahwa pada suatu ketika akan terjadinya praktek rekayasa alat bukti/ barang bukti untuk menjadikan orang menjadi tersangka. Apabila hal ini dibenarkan maka mudahnya orang jadi tersangka, sehingga polisi dapat memanfaatkannya sebagai alat pemerasan dsb ;
  • Bahwa keterangan Terdakwa sepanjang persidangan telah menyangkali barang tersebut bukan sebagai miliknya ;
  • Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Judex Facti tidak punya cukup alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP, untuk menyatakan perbuatan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan ;
  • Bahwa tidak ada hasil pemeriksaan Lab yang menyatakan urine Terdakwa mengandung atau pernah menggunakan narkotika atau psikotropika ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Achmad Yamanie

Pengenyampingan Hasil Lab yang Tidak Dibenarkan


Putusan MA No. 908 K/Pid/2010
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat, bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
  • Bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum pembuktian serta keliru menafsirkan pasal 263 ayat (2) KUHPidana, sehingga membebaskan Terdakwa dari dakwaan Penuntut Umum ;
  • Bahwa kesalahan dalam pertimbangan putusan a quo yaitu Judex Facti telah mengesampingkan hasil laboratoris Kriminalistik barang bukti dokumen No. Lab. 120/DTF/2008 tanggal 17 Mei 2008 Judex Facti tidak mempunyai cukup alasan objektif dan ilmiah untuk mengesampingkan hasil Lab. Kriminalistik, sebab Judex Facti sama sekali tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan penelitian dan pendalaman soal perbedaan tanda tangan Terdakwa yang hanya berdasar pada tanda tangan pembanding (KT) yang tertera pada surat ketetapan pajak ;
  • Bahwa pengetahuan Judex Facti tidak didasari pada metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga hasilnya lebih cenderung bersifat subjektif dan spekulatif ;
  • Bahwa kesalahan Judex Fact i dalam mengambil kesimpulan dengan menyatakan bahwa hasil pemeriksaan Lab. Krimina listik No. Lab.120/DTF/2008 kalau dilihat secara saksama yaitu tanda tangan yang ada di lembar kuitansi (QT 1) dan surat perjanjian jual beli tanah tertanggal 2 November 1987 (QT 2) dengan tanda tangan di lembar surat ketetapan pajak No. Kohi r . 000469 tahun 1993 sebagai pembanding (KT) ada kesamaan/kemiripan sehingga Majelis Hakim berpendapat tanda tangan yang ada di kuitansi pembayaran dan surat jual beli tersebut adalah juga tanda tangan dari Isodorus ;
  • Bahwa pengambilan kesimpulan dengan metode seperti itu sangat meragukan dan secara i lmiah tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Secara kasat mata memang tanda tangan bisa saja sama atau mirip karena dibuat sama atau mirip oleh orang yang memalsukan, tetapi sesungguhnya dapat berbeda apabila dilihat melalui pendekatan ilmu bantu hukum acara pidana yaitu melalui hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik ;
  • Bahwa oleh karena atas dasar penilaian yang keliru terhadap hasil tanda tangan maka kesimpulan yang diambil oleh Judex Facti sangat meragukan dan kebenarannya tidak dapat diyakini sebagai suatu kebenaran materil ;
  • Bahwa berdasarkan hal tersebut Judex Facti terbukti keliru dalam menerapkan hukum karena mengesampingkan suatu kebenaran objektif yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah, menuju pada kesimpulan pribadi yang nilaI kebenarannya bersifat subjektif dan spekulatif karena hakim tidak memiliki standar pengetahuan yang memadai khusus untuk itu.
Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Achmad Yamanie

Putusan tentang Narkotika


Bahwa alasan Terdakwa dalam memori kasasinya bahwa dia tidak mengetahui kalau rokok lintingan itu terbua t dari daun ganja, keterangan Terdakwa tersebut tidak dapat diterima dengan alasan :
  1. Tidak biasanya satu batang rokok (lintingan daun ganja) dihisap bersama-sama secara bergantian ;
  2. Rokok yang di tawarkan M. Asrori dibuat dalam bentuk, tidak punya merek (pembungkus), kemasan sangat berbeda dengan yang biasanya dij ual di pasaran ;
  3. M. Asrori menawarkan rokok ganja ini kepada teman- temannya yang berada di teras rumah Asep yaitu Eful, Rudini dan Terdakwa ;
  4. Hasil visum Lab. No.  0905-0717  terbukti Mariyuana hasil positif ;
Atas dasar alasan tersebut menunjukkan bahwa Terdakwa telah mengetahui , menduga, atau patut menduga atau menginsafi kalau rokok yang ditawarkan oleh Asrori untuk dihisap bersama-sama secara bergantian adalah terbuat dari lintingan daun ganja ;
Apabi la perbuatan Terdakwa menghisap rokok dari lintingan daun ganja dihubungkan dengan hasil visum menunjukkan bahwa Terdakwa dan kawan-kawan selain menghisap rokok ganja juga pengguna/pemakai Mariyuana. Kesimpulannya terdakwa dan kawan- kawan pemakai narkotika ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Achmad Yamanie

Putusan Korupsi di bawah Pidana Minimum


Putusan MA No. 1660 K/Pid.Sus/2009 (Feri Susanto)
Dalam perkara ini Terdakwa didakwa karena turut serta melakukan tindak pidana korupsi dalam pekerjaan proyek pemeliharaan jalan dengan total kerugian sekitar 50 juta rupiah. Dalam perkara ini terdakwa membantu Muljatno untuk mendirikan perusahaan fiktif dimana terdakwa duduk sebagai Direktur Utamanya semata-mata agar perusahaan tersebut yang sebenarnya dikendalikan oleh Muljatno dapat memenangkan tender pemeliharaan jalan dengan total nilai proyek sebesar +/- 140 juta rupiah.
Dalam kenyataannya mulai dari pendirian perusahaan, pelaksanaan pekerjaan hingga pencairan dana sama sekali tidak dilakukan oleh Terdakwa, namun terdakwa membiarkan Muljatno untuk memalsukan tanda tangannya dengan imbalan uang Rp. 5 juta.
Hingga batas waktu yang ditentukan ternyata proyek pemeliharaan jalan tidak sepenuhnya terlaksana, namun oleh perusahaan yang seakan-akan dipimpin oleh Terdakwa dilaporkan pekerjaan telah selesai. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata terdapat laporan palsu yang dilakukan oleh perusahaan milik terdakwa.
Di tingkat pertama walaupun terdakwa didakwa dengan pasal 2 yang ancaman minimumnya 4 tahun dan denda Rp. 50 juta namun Pengadilan Negeri menghukum terdakwa dengan hukuman 4 bulan, denda Rp. 30 juta subsidair 2 bulan dan pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 5 juta. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung melalui putusan ini. Alasan Mahkamah Agung membenarkan putusan judex factie dapat dilihat dibawah ini.
Pertimbangan Mahkamah Agung:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Judex Facti sudah tepat dalam pertimbangan hukum putusannya. Nilai kerugian yang dikorupsi Terdakwa Relative kecil sebesar Rp.49.522.116.02 ,- sedangkan yang diperoleh Terdakwa secara pribadi Rp.5.000.000,- disamping itu dalam perkara ini tidak memiliki dampak yang signifikan, maupun peran Terdakwa yang tidak signifikan pula.

Majelis Hakim Agung:
  1. Imam Harjadi (Ketua)
  2. Mansur Kartayasa
  3. M. Zaharuddin Utama

Penafsiran ”Penjara dan/atau Denda” (2)


Putusan MA No. 13 K/Pid.Sus/2011 (Isnaini)
Dalam Perkara ini Terdakwa di dakwa melanggar pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal 54 tersebut berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Di tingkat pertama terdakwa Isniani dinyatakan terbukti melanggar pasal yang didakwakan, dan dijatuhi pidana denda Rp. 1,3 juta tanpa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini diperkuat di tingkat banding. Atas kedua putusan ini JPU kemudian mengajukan kasasi dengan alasan karena judex facti dianggap melanggar UU karena hanya menjatuhkan pidana denda tanpa menjatuhkan pidana penjara. Permohonan Kasasi JPU tersebut kemudian di tolak oleh MA dengan alasan yang intinya adalah Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo.
Pertimbangan MA:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, judex facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukum dan putusan judex facti sudah tepat, karena judex facti telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar , yai tu ;
1. Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo ;
2. Bahwa Terdakwa memiliki usaha kecil yang memperkerjakan buruh-buruh kecil sehingga penjatuhan pidana denda kepada Terdakwa dipandang sudah tepat ;
3. Bahwa judex facti telah mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, berat ringannya pidana adalah wewenang judex facti ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Artidjo Alkotsar (Ketua)
  2. Mansur Kartayasa
  3. Sri Murwahyuni

Pengertian ”Penjara dan/atau Denda”


Putusan MA No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara korupsi yang dipimpin oleh Ketua Muda Pidana Umum Artidjo Alkotsar ini cukup menarik, bukan pada perkaranya itu sendiri namun pada penafsirannya mengenai apa yang dimaksud dengan rumusan pemidanaan penjara dan/atau denda. Apakah makna ”penjara dan/atau denda” diartikan bahwa pengadilan dapat memilih salah satu diantara dua jenis pidana pokok tersebut yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, menjatuhkan keduanya, atau pidana penjara bersifat imperatif sementara pidana dendanya bersifat fakultatif Dalam putusan ini MA berpandangan bahwa pidana penjaranya bersifat imperatif, sehingga pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda.
Dalam perkara tindak pidana korupsi ini terdakwa didakwa melanggar pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Di tingkat pertama dakwaan terhadap terdakwa tersebut dinyatakan terbukti. PN kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50 juta, serta pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 12,5 juta. Atas putusan ini Terdakwa kemudian mengajukan banding.
Di tingkat banding Pengadilan Tinggi mengabulkan permohonan banding dari terdakwa. PT kemudian mengubah sanksi pidana dengan menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan oleh PN sehingga hanya pidana denda dan pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan. Alasan PT menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan PN yang terlihat dari Memori Kasasi JPU yaitu bahwa pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidanapenjara dan atau denda artinya baik pidana penjara dan denda keduanya dapat di ja t uhkan bersamaan, tapi dapat pula dijatuhkan salah satu dari padanya yaitu pidana penjara saja atau denda… Namun di tingkat kasasi putusan PT tersebut dibatalkan oleh MA dengan alasan pidana penjara atas pelanggaran pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 bersifat imperatif.
Pertimbangan ini menarik karena dalam perkara lainnya dimana ketentuan sanksi pidananya juga dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” Mahkamah Agung berpandangan lain dan bahkan dapat dikatakan sejalan dengan penafsiran yang digunakan oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara Ni Ketut Ari Susanti ini. Anehnya antara perkara tersebut dengan perkara ini terdiri dari dua hakim agung yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar (Ketua Muda bidang Pidana Umum) dan Mansur Kartayasa. Bahkan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar. Perkara tersebut yaitu perkara Tindak Pidana Cukai dalam putusan MA No. 13 K/Pid.Sus/2011 (Isnaini).
Dalam Perkara Isnaini tersebut terdakwa di dakwa melanggar pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal 54 tersebut berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Di tingkat pertama terdakwa Isniani dinyatakan terbukti melanggar pasal yang didakwakan, dan dijatuhi pidana denda Rp. 1,3 juta tanpa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini diperkuat di tingkat banding. Atas kedua putusan ini JPU kemudian mengajukan kasasi dengan alasan karena judex facti dianggap melanggar UU karena hanya menjatuhkan pidana denda tanpa menjatuhkan pidana penjara. Permohonan Kasasi JPU tersebut kemudian di tolak oleh MA dengan alasan yang intinya adalah Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo.
Adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif.
Berikut pertimbangan MA dalam Putusan No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)
Pertimbangan MA:
Bahwa Judex Facti mempertimbangkan Terdakwa telah terbukti melakukan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 namun Judex Facti menjatuhkan pidana denda tanpa pidana penjara, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan tentang penjatuhan sanksi yang diatur di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tersebut yang mengatur keharusan menjatuhkan pidana penjara yaitu dipidana dalam pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000, – ( lima puluh juta rupiah ) ;
Bahwa sebagai pidana pokok juga disamping penjara yang berarti harus di jatuhkan pidana penjara sebagai pidana pokok yang ditambah/ disertai pidana pokok lain yaitu denda, dengan demikian penjatuhan pidana denda saja tanpa penjara merupakan kesalahan penerapan hukum, oleh karena itu permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa/ Penuntut Umum beralasan hukum untuk dikabulkan ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Artidjo Alkotsar (Ketua)
  2. Mansur Kartayasa
  3. Timur P Manurung

Penipuan atau Penyuapan?


Apakah membayar seorang pejabat/pegawai negeri untuk meloloskan seseorang menjadi seorang pegawai merupakan suatu tindak pidana? Tentu saja bukan? Setidaknya ada dua tindak pidana yang bisa dikenakan terhadap kedua pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, yaitu tindak pidana korupsi, khususnya pasal suap (pasal 5 dan pasal 12 huruf a atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001) atau pasal Kolusi (Pasal 21 jo. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) [lihat pasal-pasal tersebut dibawah].
Apakah pasal-pasal tersebut mensyaratkan perbuatan yang dikehendaki oleh penyuap (aktif) harus telah terlaksana, dalam konteks ini, apakah lolos atau tidaknya penyuap atau pihak ketiga (anak, keluarga, teman dll) menjadi salah satu penentu terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut? Tidak. Mengapa? Oleh karena pasal-pasal tersebut, khususnya pasal penyuapan merupakan delik formil, delik yang sempurnanya perbuatan tidak ditentukan dari apakah akibat yang diharapkan terjadi terlaksana atau tidak, namun sempurnanya delik didasarkan pada selesai atau tidaknya perbuatan.
Akan tetapi dalam beberapa perkara yang saya temui tak jarang perbuatan seperti ini tidak didakwa dengan pasal penyuapan namun penipuan, khususnya ketika ternyata si penerima suap (penyuap pasif) tidak dapat memenuhi janjinya, seperti dalam kasus Farida Hanum (Nomor 960 K/Pid/2011) [1]. Dalam perkara Farida Hanum ini Farida merupakan anggota Polri yang dihukum 2 tahun atas penipuan terhadap beberapa karena menjanjikan sanggup meloloskan pihak-pihak yang mau membayar sejumlah uang untuk lolos dalam proses seleksi SECABA (Sekolah Calon Bintara) Polri. Kasus ini berawal dari dipertemukannya korban dengan Terdakwa oleh seseorang dengan tujuan agar anak korban dapat lolos SECABA. Terdakwa menjanjikan bisa meloloskan anak Korban jika korban sanggup membayar sejumlah uang (sekitar Rp 100 juta) karena katanya ia memiliki jatah 7 orang untuk bisa diloloskan menjadi anggota Polri. Namun setelah (para) korban telah membayar sejumlah uang tersebut ternyata Terdakwa tidak berhasil memenuhi janjinya. Para korban kemudian melaporkan Terdakwa ke kepolisian, dan kemudian ia didakwa dengan pasal penipuan, sementara itu para Korban sendiri tidak didakwa.
Dalam perkara lain, yaitu perkara gugatan perdata antara Ir. Hj. Sarmilis vs Bilkisti & Sugeng Padmono (No. 3038 K/PDT/2009) Mahkamah Agung bahkan mengabulkan gugatan ganti kerugian yang dituntut oleh Penggugat (Ir. Hj. Sarmilis) terhadap para Tergugat (Bilkisti & Sugeng Padmono) karena para Tergugat tersebut tidak berhasil memenuhi janjinya untuk meloloskannya menjadi Pegawai Negeri tetap dari Pegawai Negeri Honorer. [lihat Kewajiban Mengembalikan Uang Dalam Perjanjian Yang Tidak Halal]. Dikabulkannya gugatan tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung secara sadar atau tidak sadar telah mengakui bentuk perbuatan seperti ini yang pada dasarnya adalah penyuapan serta perikatan atas dasar yang tidak halal menjadi perikatan yang sah. [2]
Perkara seperti ini tentunya tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi (yang mana suap merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi). Putusan-putusan seperti ini membuat pesan bahwa membayar seseorang penyelenggara negara / pegawai negeri secara melawan hukum untuk meloloskannya atau pihak lain dalam suatu proses seleksi penerimaan pegawai negeri / TNI/ Polri dll adalah sah sepanjang ia atau pihak ketiga tersebut tidak lolos seleksi tersebut. Secara logika perkara seperti ini juga tidak masuk akal, bagaimana mungkin suatu perikatan dianggap sah jika prestasi yang diharapkan terjadi justru tidak terjadi, sementara jika prestasi yang diharapkan terjadi baru lah menjadi perikatan yang tidak sah dan menjadi tindak pidana suap.
Praktik suap seperti ini tentunya cukup banyak, dan mungkin sudah melembaga di masyarakat, dimana masyarakat menganggap membayar sejumlah uang untuk menjadi pegawai negeri merupakan sesuatu yang jamak. Praktik yang mungkin telah melembaga tersebut tentunya harus ditinggalkan, salah satu caranya tentu dengan memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa praktik seperti itu merupakan praktik yang ilegal, dan salah satu bentuk pelajaran tersebut tentunya adalah dengan menghukum juga pihak yang membayar (menyuap) terlepas dari apakah pihak yang membayar tersebut ternyata sudah mengalami kerugian juga atau tidak karena ternyata apa yang dijanjikan pihak penerima suap tersebut terpenuhi atau tidak.
Lampiran
Pasal 5 UU 31/1999 jo 20/2011
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 huruf a dan b UU 20/2001 jo. 31/1999
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Pasal 1 angka 4 UU 28/1999
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Pasal 5 angka 4 UU 28/1999
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
Pasal 21 UU 28/1999
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Footnotes:
[1.] Dalam perkara ini sendiri perkara dinyatakan Ne bis in idem oleh karena Terdakwa telah dihukum dalam perkara yang sama namun atas laporan dari pihak korban yang lainnya. Majelis Hakim Agung dalam perkara ini yaitu: Komariah Emong Saparadjaja (Ketua Majelis), Salman Lutha, dan Andi Abu Ayyub Saleh.
[2.] Saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu anggota majelis perkara ini mengenai putusan dalam perkara ini. Saya menanyakan mengapa MA memutus demikian padahal jelas-jelas perikatan tersebut merupakan perikatan yang tidak sah, beliau menyatakan bahwa memang perikatan tersebut merupakan perikatan yang tidak sah karena atas sebab yang tidak halal, namun menurut beliau para korban nyatanya telah kehilangan uang dan para tergugat telah mendapatkan keuntungan sementara tidak diketahui apakah para tergugat telah dipidana juga atau tidak. Menurut beliau tentulah tidak adil jika para tergugat mendapatkan keuntungan secara tidak sah dan bisa lolos begitu saja, untuk itu maka MA (Majelis kasasi) mengabulkan gugatan penggugat sebagai suatu bentuk hukuman terhadap para penggugat.

Ancaman Pidana Minimum Tidak Mengikat Bagi Terdakwa Anak


Ancaman pidana minimum sepertinya menjadi isu yang cukup sering dibahas oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam perkara anak. Dalam putusan-putusan terdahulu  akibat terjadinya kekosongan pengaturan mengenai apakah dalam perkara dengan terdakwa anak pengadilan terikat dengan ketentuan pidana minimum atau tidak, Mahkamah Agung cenderung mempertimbangkan bahwa ancaman pidana minimum bagi anak dikurangi menjadi setengah dari ancaman yang diatur dimasing-masing pasal yang didakwakan. Dalam perkara Jefferi Ramadhan ini tampaknya Mahkamah Agung kembali melakukan terobosan hukum. Dalam perkara ini pada pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa ancaman pidana minimum tidak dapat diterapkan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada penafsiran MA atas maksud dan hakikat dari pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dengan demikian maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Anak dimungkinkan untuk menjatuhkan dibawah pidana minimum, batasan pidana minimum yang diberlakukan bagi terpidana anak menurut Mahkamah Agung adalah 1 hari, sebagaimana diatur dalam KUHP.
Kutipan Pertimbangan Mahkamah Agung:
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukum dan putusan Judex Facti sudah tepat dan benar, yaitu :
  1. Bahwa, sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada nakal adalah paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa;
  2. Bahwa, apakah ketentuan tersebut berlaku terhadap ancaman pidana minimum bagi anak nakal?, Dalam praktek selama ini, ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut dapat digunakan terhadap ancaman minimum pidana penjara bagi anak nakal, artinya ketentuan pidana penjara minimum Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dikurangkan dengan ½, ini berarti pidana penjara minimum yang dijatuhkan terhadap anak nakal minimal 2 tahun;
  3. Bahwa, namun apabila ketentuan tersebut ditafsirkan dan dihubungkandengan maksud dan hakikat keberadaan Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak, maka terhadap anak nakal sesungguhnya tidak dapat diterapkan ketentuan batas minimum pemidanaan, artinya terhadap pidana penjara yang akan dijatuhkan terhadap anak nakal mengikuti ancaman minimum pidana penjara 1 hari sebagaimana dalam KUHP;
  4. Bahwa, apapun maksud Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No, 35 Tahun 2009 tersebut, memberikan pedoman bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana melebihi ½ dari ancaman pidana maksimum, tetapi tidak melarang menjatuhkan pidana di bawah minimum;
  5. Bahwa, berdasarkan alasan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat pidana penjara bagi anak sebaiknya sebaiknya mengikuti ancaman minimum pidana penjara 1 (satu) hari, dengan demikian Judex Facti yang menjatuhkan pidana penjara di bawah minimal Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 bukanlah merupakan kesalahan penerapan hukum, melainkan untuk memenuhi dan menegakkan jiwa atau roh atau spirit yang terkandung dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997
  6. Bahwa, Judex Facti telah mempertimbangkan Pasal aturan hukum yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum dari putusan serta pertimbangan mengenai keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, di samping itu berat ringannya pidana adalah wewenang Judex Facti;
Majelis Hakim Agung:
1. Artidjo Alkotsar (Ketua)
2. Surya Jaya
3. Suhadi

Terdakwa yang Tidak Didampingi oleh Penasehat Hukum bisa Dibebaskan dan Dugaan Penyiksaan merupakan Beban Pembuktian dari JPU, bukan Terdakwa


Putusan MA No. 2588 K/Pid.Sus/2010

Resume Putusan:

Terdakwa Frengki dan Terdakwa Yusli dalam perkara ini didakwa dengan dakwaan sengaja membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba jenis Ganja. Atau dakwaan lainnya adalah memberi bantuan untuk membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba jenis Ganja yang didahului dengan permufakatan jahat.
Pengadilan Negeri Sidikalang menyatakan bahwa dakwaan-dakwaan jaksa tersebut tidak terbukti. Dasar putusan ini adalah pencabutan BAP Kepolisian di pengadilan oleh para terdakwa karena BAP tersebut dibuat tanpa pendampingan penasehat hukum dan dibuat dalam keadaan dipaksa.
Dengan putusan tersebut, JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Alasan kasasinya adalah sebagai berikut: 1. Terdakwa sudah mengakui perbuatannya dengan bukti tanda tangan terdakwa di BAP ; 2. Terdakwa telah mendalilkan adanya penyiksaan tetapi terdakwa tidak dapat membuktikan dalilnya tersebut.
Namun, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan JPU. Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Sidikalang tersebut. Dengan putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa bantuan hukum adalah hak setiap terdakwa dalam tingkatan pemeriksaan. MA juga menyatakan bahwa BAP yang ditandatangani terdakwa bukan sebagai barang bukti di pengadilan dan JPU tetap harus membuktikan secara substansial perbuatan pidana terdakwa. Selain itu, yang terpenting, MA juga menyatakan bahwa dugaan torture (peyiksaan) yang diajukan oleh terdakwa merupakan hal yang harus dibuktikan oleh JPU, bukan terdakwa. Dengan demikian, JPU wajib membuktikan torture tersebut tidak terjadi.

Pertimbangan MA
  1. Keberatan memori kasasi JPU tidak dapat dibenarkan karena judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum:
    1. Terdakwa telah mencabut semua keterangannya dalam BAP karena berdasarkan atas tekanan/paksaan dari pihak penyidik Polri dan saksi verbalisan tidak dapat dihadirkan JPU untuk menguji bantahan terdakwa
    2. Selama pemeriksaan dari penyidik, kepada terdakwa tidak ada penasehat hukum yang mendampinginya
    3. Penasehat hukum juga menyatakan tidak pernah mendampingi Terdakwa dalam pemerisaan di penyidik, Penasehat hukum hanya menandatangani BAP setelah siap atas permintaan Penyidik

Majelis Hakim Agung
  1. Imam Harjadi (Ketua)
  2. Salman Luthan
  3. Sri Murwahyuni

Contoh Putusan Pidana Korporasi (1)


Putusan MA No. 862 K/Pid.Sus/2010 (Kim Young Woo / PT. Dongwoo Environmental Indonesia)
Putusan ini merupakan putusan atas perkara pencemaran lingkungan hidup yang melibatkan suatu perusahaan pengelola limbah cair Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Putusan ini menarik karena merupakan salah satu dari sedikit putusan atas suatu tindak pidana yang melibatkan korpoasi atau corporate crime.
Secara ringkas pada intinya dalam perkara ini PT Dongwoo Environmental Indonesia sebagai perusahaan jasa pengelola limbah B3 ternyata antara tahun 2006-2007 membuang sebagian limbah yang diterima dari pihak ketiga yang seharusnya diolah dalam tempat penampungan yang dimilikinya ke tempat lain yaitu tanah lapang di kawasan Bekasi dan Cikarang. Tindakan tersebut kemudian mencemarkan lingkungan dan mengakibatkan sebagian penduduk di kawasan tersebut mengalami sakit-sakit.
Dari tingkat pertama hingga putusan kasasi ini pengadilan menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar UU No. 23 Tahun 1997. Yang menarik terdapat beberapa ketidakjelasan dalam putusan ini. Pertama Dalam bagian Subyek Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang menadi Terdakwa adalah Kim Young Woo yang berstatus sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia, sementara dalam uraian dakwaan yang didakwa adalah PT. DEI itu sendiri. Begitu juga dalam amar putusan, secara jelas menyatakan ”Terdakwa PT Dongwoo Environmental Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo…”.
Berikut kutipan tentang subyek terdakwa dalam putusan ini:
“memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama                : KIM YOUNG WOO ;
Tempat lahir      : Seoul ;
Umur / tanggal lahir : 58 Tahun / 05 Januari 1950 ;
Jenis kelamin    : Laki – laki ;
Kebangsaan : Korea Selatan ;
Tempat tinggal   : xxxx
Agama              : Kathol i k ;
Pekerjaan          : Presiden Direktur PT. DongwooEnvironmental Indonesia ;”
Permasalahan ini juga diangkat oleh Pemohon Kasasi (Terdakwa), dimana permasalahan perumusan subyek tersebut telah terjadi dari tingkat pertama. Pemohon Kasasi berpandangan bahwa jika perumusan subyeknya sebagaimana ditulis dalam putusan tingkat I dan Banding maka sebenarnya yang menjadi terdakwa bukan lah PT. DEI namun diri pribadi dari Kim Young Woo. Sementara itu jika dalam perkara ini yang diadili adalah diri pribadi dari Kim Young Woo maka perkara ini melanggar asas Ne Bis In Idem, mengingat terhadap diri pribadi Kim Young Woo telah diperiksa dan diputus juga dalam berkas perkara yang tersendiri.
Pemohon Kasasi Permasalahan ketidakjelasan perumusan siapa yang menjadi terdakwa dalam perkara ini mungkin terjadi karena permasalahan teknis belaka yang sangat mungkin juga disebabkan minimnya pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Namun sayangnya permasalahan ini tidak dijawab oleh Mahkamah Agung. Seharusnya MA bisa memberikan kejelasan mengenai permasalahan ini serta memberikan petunjuk dalam pertimbangannya bagaimana seharusnya penempatan subyek dalam tindak pidana korporasi kedepan, dengan tetap menyatakan kesalahan yang dilakukan baik oleh JPU maupun Judex Facti dalam dakwaan maupun putusannya masih bisa dimaklumi.
Permasalahan kedua sangat terkait dengan permasalahan pertama, yaitu mengenai subsidair dari hukuman denda apabila Terdakwa tidak membayar denda tersebut. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa Terdakwa dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 650 juta, dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Permasalahannya adalah siapa yang akan menjalani pidana kurungan tersebut apabila PT DEI tidak mau membayarnya? Apakah Kim Young Woo? Dalam kapasitas apa ia akan dikenakan kurungan? Apakah dalam kapasitasnya sebagai Presiden Direktur atau sebagai pribadi? Bagaimana jika ternyata telah terjadi pergantian jabatan Presiden Direktur, apakah yang menjalani kurungan tetap Kim Young Woo atau Presiden Direktur yang pada saat itu menjabat?
Ketidakjelasan mengenai pengganti denda yang dapat memaksa Terdakwa dalam hal Terdakwa merupakan suatu Korporasi dalam UU 23 Tahun 1997 (saat ini telah diganti dengan UU No. 32/2009) tidak diatur. Karena hal tersebut tidak diatur maka berdasarkan pasal 103 KUHP ketentuan yang berlaku tentunya apa yang diatur dalam Buku I KUHP, dalam hal ini apabila denda tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan. Dalam hal pertanggungjawaban korporasi tentu pidana kurungan tidak dapat dijatuhkan, karena korporasi tidak mungkin bisa dikurung. Sehingga sebenarnya terdapat kekosongan hukum mengenai hal ini. Perkara ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh MA untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, misalnya dengan menyatakan bahwa apabila denda tidak dibayarkan maka asetnya akan dirampas oleh negara senilai denda yang dijatuhkan. Sekali lagi, sayangnya MA tidak mengambil kesempatan ini.
Pertimbangan MA:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
- Bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi Judex Facti telah salah menerapkan hukum yaitu Judex Facti telah salah dan keliru dalam penjatuhan sanks i terhadap Terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengancam sanksi terhadap pelanggar ketentuan a quo dengan sanksi denda lebih berat yaitu di tambah sepertiga bila tindak pidana di lakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan , perserikatan, yayasan atau organisasi lain ;
- Bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan dalam kedudukan sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia yang bergerak di bidang Pengelolaan Limbah B3, yang secara melawan hukum telah dengan sengaja melakaukan perbuatan pencemaran lingkungan hidup secara berlan jut dengan cara membuang limbah sisa–sisa pengolahan limbah B3 yang dilakukan PT. Dongwoo sejak bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Juni 2006, ke lokasi tanah kosong di Kampung Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yaitu tanah di wilayah pembuangan limbah telah terkontaminasi bahan pelarut organik yang bersifat racun akut dan kronis yang dapat menyerang pernafasan makluk hidup, sehingga berakibat 12 (dua belas) orang penduduk menderita sakit sesuai Visum Et Repertum Dr. Ridwan Juansyah maupun hasil Lab Krim tanggal 26 Juni 2006 ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Mansur Kartayasa (Ketua)
  2. M. Zaharuddin Utama
  3. Imam Harjadi