Rabu, 31 Oktober 2012

Saksi Yang Memiliki Hubungan Darah Dan Orang
Yang Mempunyai Ikatan Kerja Dengan Terdakwa
Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum
Masalah ini sering ditanyakan oleh mahasiswa yang mengikuti proses on the spot judicial monitoring di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Mahasiswa terkadang menyaksikan dalam persidangan saksi disumpah dan tidak disumpah. Bagaimanakah ketentuan mengenai saksi yang disumpah dan tidak disumpah ini (dalam persidangan pidana), darimana asal muasalnya sehingga ada 2 model saksi seperti ini.
Saksi yang disumpah dan tidak disumpah berkaitan dengan adanya hubungan antara saksi dengan terdakwa. Kalau disimak pertanyaan hakim sebelum meminta keterangan saksi, setelah hakim menanyakan identitas saksi, lalu menanyakan hubungan saksi dengan terdakwa: Apakah saksi kenal dengan terdakwa? Apakah saksi ada hubungan saudara? Apakah saksi ada hubungan pekerjaan dengan terdakwa? Tindakan/pertanyaan hakim selanjutnya tergantung pada jawaban saksi tersebut.
Apabila saksi memiliki hubungan famili dengan terdakwa, maka hakim akan menanyakan lebih lanjut mengenai bagaimana hubungan famili tersebut. Misalkan atas pertanyaan hakim saksi mengatakan bahwa, “Saya anak kandung terdakwa”, maka hakim harus memperhatikan Pasal 168 KUHAP dan Pasal 169 KUHAP.
Pasal 168 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
  1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
  2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
  3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
 Sedangkan Pasal 169 KUHAP menyebutkan:
  1. Dalam hal mereka sebagaimana dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyutujinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah;
  2. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah;
Berarti hakim ketua sidang yang memeriksa anak kandung terdakwa sebagai saksi (dan juga orang-orang lain seperti tersebut dalam Pasal 168 KUHAP):
  1. Pertama kali Hakim ketua sidang harus menanyakan kepada anak kandung yang menjadi saksi tersebut, apakah ia tetap akan menjadi saksi atau akan menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi.
  2. Kalau anak kandung terdakwa tersebut menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka anak kandung terdakwa tersebut tidak didengar sebagai saksi dan dipersilakan meninggalkan kursi tempat memeriksa saksi;
  3. Kalau anak kandung terdakwa tersebut tidak menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka Hakim Ketua sidang selanjutnya wajib menanyakan kepada penuntut umum dan terdakwa, apakah penuntut umum dan terdakwa setuju jika anak kandung terdakwa tersebut menjadi saksi.
  4. Kalau penuntut umum dan terdakwa dengan tegas menyetujui anak kandung terdakwa menjadi saksi, maka anak kandung terdakwa tersebut, sebelum memberikan keterangannya harus disumpah terlebih dahulu (Vide Pasal 169 ayat (1) KUHAP);
  5. Kalau penuntut umum dan atau terdakwa tidak menyetujui anak kandung terdakwa menjadi saksi, maka anak kandung terdakwa tersebut didengar keterangannya di luar sumpah.
Jadi, yang berhak menentukan apakah ia mau bersaksi atau tidak adalah si anak kandung terdakwa sendiri, bukan terdakwa dan penuntut umum. Keberatan terdakwa atau penuntut umum tidak membuat anak kandung terdakwa itu meninggalkan kursi saksi, tapi mengakibatkan anak kandung terdakwa tidak perlu bersumpah.
Bahwa orang yang berhak mengundurkan diri dari menjadi saksi tidak sama dengan orang boleh dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi, karena kalau orang yang boleh mengundurkan diri dari menjadi saksi diatur dalam Pasal 168 KUHAP, maka orang yang boleh dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi diatur dalam Pasal 170 KUHAP yang berbunyi:
  1. Mereka yang karena pekerjaannya, harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban menympan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka;
  2. Hakim menentukan sah tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut;
Dalam praktek kadang dijumpai karena saksi mempunyai ikatan/hubungan kerja dengan terdakwa, langsung saja saksi tersebut didengar keterangannya di luar sumpah. Praktek ini jelas tidak sesuai dengan KUHAP, maksud pertanyaan ini bukanlah karena saksi mempunyai hubungan/ikatan kerja dengan terdakwa lalu saksi tersebut didengar keterangannya di luar sumpah, melainkan maksudnya adalah untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Hakim, apakah saksi itu bisa dipercaya dan Hakim harus bisa memilah dan menilai apakah keterangan saksi tersebut objektif atau tidak. Dan dalam menilai keterangan saksi, Hakim harus berpedoman pada Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
  1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
  2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
  3. Alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
  4. Cara hidup dan kesusilaan serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
Lalu saksi yang bagaimanakah yang bisa memberikan keterangan tanpa disumpah terlebih dahulu?
1. a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin (Pasal 171 huruf a KUHAP);
00.b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 1712 huruf b KUHAP);
2. Saksi yang berhak mengundurkan diri dari menjadi saksi, tetapi tidak mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi, namun Penuntut Umum dan atau terdakwa, tidak setuju (keberatan) orang tersebut menjadi saksi (diatur dalam Pasal 169 ayat (1) dan (2) KUHAP).
3. Saksi yang menolak untuk bersumpah/berjanji tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan tetap dilakukan, hakim dapat mengeluarkan penetapan untuk mengenakan sandera di rumah tahanan negara paling lama 14 hari, tetapi sampai masa sanderanya habis jika masih tetap tidak mau bersumpah, maka dalam keadaan yang demikian, keterangan yang telah diberikan oleh saksi yang menolak bersumpah/berjanji itu merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP).Mereka yang karena pekerjaannya, harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiba
Diatas disebutkan bahwa menurut Pasal 171 huruf a KUHAP anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin memberi keterangan tanpa sumpah. Hakim harus hati-hati terhadap pasal ini, karena dalam praktek bisa terjadi begitu diketahui umur si anak belum cukup 15 tahun, langsung saja saksi tersebut didengar keterangannya dengan tidak disumpah lebih dahulu. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 171 huruf a KUHAP, karena dalam Pasal 171 huruf a KUHAP tegas disebutkan, anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin.
Berdasarkan Pasal 171 huruf a KUHAP tersebut, setelah mendengar keterangan bahwa umur saksi belum cukup 15 tahun, Hakim Ketua sidang harus melanjutkan dengan pertanyaan kepada saksi, apakah dia sudah pernah menikah atau belum.
 
Referensi:
                 -          KUHAP
                 -     Soelaiman M, S.H., Majalah Varia Peradilan Tahun IX No. 103 April 1994

Selasa, 21 Agustus 2012

Kesaksian Polisi yang Tidak Dibenarkan


Putusan Mahkamah Agung dalam kasus narkotika ini sangat menarik karena MA membatalkan putusan Judex Factie yang telah menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 4 tahun. Alasan Mahkamah Agung membatalkan putusan judex factie tersebut oleh karena saksi-saksi yang memberatkan terdakwa ternyata dari pihak kepolisian itu sendiri. Mahkamah Agung memandang bahwa dalam kasus ini sangat mungkin kesaksian dari pihak kepolisian tersebut direkayasa, bahkan dalam pertimbangannya secara berani Mahkamah Agung menyatakan bahwa cara-cara penyelidikan dan penyidikan seperti yang terjadi dalam kasus ini sarat dengan rekayasa dan pemerasan.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Alasan keberatan Terdakwa angka 1 dapat dibenarkanbahwa saksi PRANOTO dan SUGIANTO yang berasal dari pihak kepolisian, keterangannya tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat diragukan dengan alasan-alasan :
  • Bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara a quo mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan, sehingga keterangannya pasti memberatkan atau menyudutkan bahwa bisa merekayasa keterangan. Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar diberikan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal 185 ayat (6 ) KUHAP) ;
  • Bahwa secara formal kehadiran polisi di persidangan pada dasarnya digunakan pada saat memberi keterangan yang sifatnya Verbalisan ;
  • Bahwa keterangan 3 orang saksi lainnya pada pokoknya menerangkan tidak mengetahui siapa barang tersebut ;
  • Bahwa barang yang ditemukan tidak jelas siapa pemiliknya. Untuk mencari kepastian siapa pemilik barang tersebut, Terdakwa dipaksa mengaku oleh polisi dengan cara memukuli ;
  • Bahwa barang yang di temukan jaraknya berjauhan yaitu berada di tempat dimana posisi Terdakwa berdiri. Tidak ada pula saksi yang melihat Terdakwa menyimpan atau melemparkan barang itu di tempat ditemukan barang. Bisa saja terjadi barang tersebut sudah disimpan lebih dahulu oleh polisi, oleh karena lama dipepet, kemudian polisi menyetop Terdakwa persis pada saat berada di dekat barang itu. Dalam banyak kejadian penggeledahan badan/ rumah barang bukti berupa narkoba atau psikotropika adalah milik polisi, sudah dipersiapkan sebelum melakukan penangkapan ;
  • Bahwa tidak jarang pula terjadi, barang bukti tersebut milik polisi, kemudian dengan berbagai trik menyatakan di temukan di kantong Terdakwa atau tempat lainnya untuk selanjutnya dijadikan alat pemerasan atas diri Terdakwa, seperti halnya dalam perkara a quo, Terdakwa dimintai uang oleh polisi sebesar Rp. 100 juta agar perkaranya bisa bebas, tidak dilanjutkan ;
  • Bahwa oleh karena itu, mengapa pembuat UU tidak membenarkan cara-cara penangan seperti dalam perkara a quo, karena pembuat undang-undang sudah memikirkan dan mengantisipasi, bahwa pada suatu ketika akan terjadinya praktek rekayasa alat bukti/ barang bukti untuk menjadikan orang menjadi tersangka. Apabila hal ini dibenarkan maka mudahnya orang jadi tersangka, sehingga polisi dapat memanfaatkannya sebagai alat pemerasan dsb ;
  • Bahwa keterangan Terdakwa sepanjang persidangan telah menyangkali barang tersebut bukan sebagai miliknya ;
  • Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Judex Facti tidak punya cukup alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP, untuk menyatakan perbuatan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan ;
  • Bahwa tidak ada hasil pemeriksaan Lab yang menyatakan urine Terdakwa mengandung atau pernah menggunakan narkotika atau psikotropika ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Achmad Yamanie

Pengenyampingan Hasil Lab yang Tidak Dibenarkan


Putusan MA No. 908 K/Pid/2010
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat, bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
  • Bahwa Judex Facti salah menerapkan hukum pembuktian serta keliru menafsirkan pasal 263 ayat (2) KUHPidana, sehingga membebaskan Terdakwa dari dakwaan Penuntut Umum ;
  • Bahwa kesalahan dalam pertimbangan putusan a quo yaitu Judex Facti telah mengesampingkan hasil laboratoris Kriminalistik barang bukti dokumen No. Lab. 120/DTF/2008 tanggal 17 Mei 2008 Judex Facti tidak mempunyai cukup alasan objektif dan ilmiah untuk mengesampingkan hasil Lab. Kriminalistik, sebab Judex Facti sama sekali tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan penelitian dan pendalaman soal perbedaan tanda tangan Terdakwa yang hanya berdasar pada tanda tangan pembanding (KT) yang tertera pada surat ketetapan pajak ;
  • Bahwa pengetahuan Judex Facti tidak didasari pada metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga hasilnya lebih cenderung bersifat subjektif dan spekulatif ;
  • Bahwa kesalahan Judex Fact i dalam mengambil kesimpulan dengan menyatakan bahwa hasil pemeriksaan Lab. Krimina listik No. Lab.120/DTF/2008 kalau dilihat secara saksama yaitu tanda tangan yang ada di lembar kuitansi (QT 1) dan surat perjanjian jual beli tanah tertanggal 2 November 1987 (QT 2) dengan tanda tangan di lembar surat ketetapan pajak No. Kohi r . 000469 tahun 1993 sebagai pembanding (KT) ada kesamaan/kemiripan sehingga Majelis Hakim berpendapat tanda tangan yang ada di kuitansi pembayaran dan surat jual beli tersebut adalah juga tanda tangan dari Isodorus ;
  • Bahwa pengambilan kesimpulan dengan metode seperti itu sangat meragukan dan secara i lmiah tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Secara kasat mata memang tanda tangan bisa saja sama atau mirip karena dibuat sama atau mirip oleh orang yang memalsukan, tetapi sesungguhnya dapat berbeda apabila dilihat melalui pendekatan ilmu bantu hukum acara pidana yaitu melalui hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik ;
  • Bahwa oleh karena atas dasar penilaian yang keliru terhadap hasil tanda tangan maka kesimpulan yang diambil oleh Judex Facti sangat meragukan dan kebenarannya tidak dapat diyakini sebagai suatu kebenaran materil ;
  • Bahwa berdasarkan hal tersebut Judex Facti terbukti keliru dalam menerapkan hukum karena mengesampingkan suatu kebenaran objektif yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah, menuju pada kesimpulan pribadi yang nilaI kebenarannya bersifat subjektif dan spekulatif karena hakim tidak memiliki standar pengetahuan yang memadai khusus untuk itu.
Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Achmad Yamanie

Putusan tentang Narkotika


Bahwa alasan Terdakwa dalam memori kasasinya bahwa dia tidak mengetahui kalau rokok lintingan itu terbua t dari daun ganja, keterangan Terdakwa tersebut tidak dapat diterima dengan alasan :
  1. Tidak biasanya satu batang rokok (lintingan daun ganja) dihisap bersama-sama secara bergantian ;
  2. Rokok yang di tawarkan M. Asrori dibuat dalam bentuk, tidak punya merek (pembungkus), kemasan sangat berbeda dengan yang biasanya dij ual di pasaran ;
  3. M. Asrori menawarkan rokok ganja ini kepada teman- temannya yang berada di teras rumah Asep yaitu Eful, Rudini dan Terdakwa ;
  4. Hasil visum Lab. No.  0905-0717  terbukti Mariyuana hasil positif ;
Atas dasar alasan tersebut menunjukkan bahwa Terdakwa telah mengetahui , menduga, atau patut menduga atau menginsafi kalau rokok yang ditawarkan oleh Asrori untuk dihisap bersama-sama secara bergantian adalah terbuat dari lintingan daun ganja ;
Apabi la perbuatan Terdakwa menghisap rokok dari lintingan daun ganja dihubungkan dengan hasil visum menunjukkan bahwa Terdakwa dan kawan-kawan selain menghisap rokok ganja juga pengguna/pemakai Mariyuana. Kesimpulannya terdakwa dan kawan- kawan pemakai narkotika ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Achmad Yamanie

Putusan Korupsi di bawah Pidana Minimum


Putusan MA No. 1660 K/Pid.Sus/2009 (Feri Susanto)
Dalam perkara ini Terdakwa didakwa karena turut serta melakukan tindak pidana korupsi dalam pekerjaan proyek pemeliharaan jalan dengan total kerugian sekitar 50 juta rupiah. Dalam perkara ini terdakwa membantu Muljatno untuk mendirikan perusahaan fiktif dimana terdakwa duduk sebagai Direktur Utamanya semata-mata agar perusahaan tersebut yang sebenarnya dikendalikan oleh Muljatno dapat memenangkan tender pemeliharaan jalan dengan total nilai proyek sebesar +/- 140 juta rupiah.
Dalam kenyataannya mulai dari pendirian perusahaan, pelaksanaan pekerjaan hingga pencairan dana sama sekali tidak dilakukan oleh Terdakwa, namun terdakwa membiarkan Muljatno untuk memalsukan tanda tangannya dengan imbalan uang Rp. 5 juta.
Hingga batas waktu yang ditentukan ternyata proyek pemeliharaan jalan tidak sepenuhnya terlaksana, namun oleh perusahaan yang seakan-akan dipimpin oleh Terdakwa dilaporkan pekerjaan telah selesai. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata terdapat laporan palsu yang dilakukan oleh perusahaan milik terdakwa.
Di tingkat pertama walaupun terdakwa didakwa dengan pasal 2 yang ancaman minimumnya 4 tahun dan denda Rp. 50 juta namun Pengadilan Negeri menghukum terdakwa dengan hukuman 4 bulan, denda Rp. 30 juta subsidair 2 bulan dan pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 5 juta. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung melalui putusan ini. Alasan Mahkamah Agung membenarkan putusan judex factie dapat dilihat dibawah ini.
Pertimbangan Mahkamah Agung:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Judex Facti sudah tepat dalam pertimbangan hukum putusannya. Nilai kerugian yang dikorupsi Terdakwa Relative kecil sebesar Rp.49.522.116.02 ,- sedangkan yang diperoleh Terdakwa secara pribadi Rp.5.000.000,- disamping itu dalam perkara ini tidak memiliki dampak yang signifikan, maupun peran Terdakwa yang tidak signifikan pula.

Majelis Hakim Agung:
  1. Imam Harjadi (Ketua)
  2. Mansur Kartayasa
  3. M. Zaharuddin Utama

Penafsiran ”Penjara dan/atau Denda” (2)


Putusan MA No. 13 K/Pid.Sus/2011 (Isnaini)
Dalam Perkara ini Terdakwa di dakwa melanggar pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal 54 tersebut berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Di tingkat pertama terdakwa Isniani dinyatakan terbukti melanggar pasal yang didakwakan, dan dijatuhi pidana denda Rp. 1,3 juta tanpa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini diperkuat di tingkat banding. Atas kedua putusan ini JPU kemudian mengajukan kasasi dengan alasan karena judex facti dianggap melanggar UU karena hanya menjatuhkan pidana denda tanpa menjatuhkan pidana penjara. Permohonan Kasasi JPU tersebut kemudian di tolak oleh MA dengan alasan yang intinya adalah Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo.
Pertimbangan MA:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, judex facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukum dan putusan judex facti sudah tepat, karena judex facti telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar , yai tu ;
1. Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo ;
2. Bahwa Terdakwa memiliki usaha kecil yang memperkerjakan buruh-buruh kecil sehingga penjatuhan pidana denda kepada Terdakwa dipandang sudah tepat ;
3. Bahwa judex facti telah mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, berat ringannya pidana adalah wewenang judex facti ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Artidjo Alkotsar (Ketua)
  2. Mansur Kartayasa
  3. Sri Murwahyuni

Pengertian ”Penjara dan/atau Denda”


Putusan MA No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara korupsi yang dipimpin oleh Ketua Muda Pidana Umum Artidjo Alkotsar ini cukup menarik, bukan pada perkaranya itu sendiri namun pada penafsirannya mengenai apa yang dimaksud dengan rumusan pemidanaan penjara dan/atau denda. Apakah makna ”penjara dan/atau denda” diartikan bahwa pengadilan dapat memilih salah satu diantara dua jenis pidana pokok tersebut yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, menjatuhkan keduanya, atau pidana penjara bersifat imperatif sementara pidana dendanya bersifat fakultatif Dalam putusan ini MA berpandangan bahwa pidana penjaranya bersifat imperatif, sehingga pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda.
Dalam perkara tindak pidana korupsi ini terdakwa didakwa melanggar pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Di tingkat pertama dakwaan terhadap terdakwa tersebut dinyatakan terbukti. PN kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50 juta, serta pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 12,5 juta. Atas putusan ini Terdakwa kemudian mengajukan banding.
Di tingkat banding Pengadilan Tinggi mengabulkan permohonan banding dari terdakwa. PT kemudian mengubah sanksi pidana dengan menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan oleh PN sehingga hanya pidana denda dan pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan. Alasan PT menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan PN yang terlihat dari Memori Kasasi JPU yaitu bahwa pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidanapenjara dan atau denda artinya baik pidana penjara dan denda keduanya dapat di ja t uhkan bersamaan, tapi dapat pula dijatuhkan salah satu dari padanya yaitu pidana penjara saja atau denda… Namun di tingkat kasasi putusan PT tersebut dibatalkan oleh MA dengan alasan pidana penjara atas pelanggaran pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 bersifat imperatif.
Pertimbangan ini menarik karena dalam perkara lainnya dimana ketentuan sanksi pidananya juga dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” Mahkamah Agung berpandangan lain dan bahkan dapat dikatakan sejalan dengan penafsiran yang digunakan oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara Ni Ketut Ari Susanti ini. Anehnya antara perkara tersebut dengan perkara ini terdiri dari dua hakim agung yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar (Ketua Muda bidang Pidana Umum) dan Mansur Kartayasa. Bahkan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar. Perkara tersebut yaitu perkara Tindak Pidana Cukai dalam putusan MA No. 13 K/Pid.Sus/2011 (Isnaini).
Dalam Perkara Isnaini tersebut terdakwa di dakwa melanggar pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal 54 tersebut berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Di tingkat pertama terdakwa Isniani dinyatakan terbukti melanggar pasal yang didakwakan, dan dijatuhi pidana denda Rp. 1,3 juta tanpa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini diperkuat di tingkat banding. Atas kedua putusan ini JPU kemudian mengajukan kasasi dengan alasan karena judex facti dianggap melanggar UU karena hanya menjatuhkan pidana denda tanpa menjatuhkan pidana penjara. Permohonan Kasasi JPU tersebut kemudian di tolak oleh MA dengan alasan yang intinya adalah Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo.
Adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif.
Berikut pertimbangan MA dalam Putusan No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)
Pertimbangan MA:
Bahwa Judex Facti mempertimbangkan Terdakwa telah terbukti melakukan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 namun Judex Facti menjatuhkan pidana denda tanpa pidana penjara, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan tentang penjatuhan sanksi yang diatur di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tersebut yang mengatur keharusan menjatuhkan pidana penjara yaitu dipidana dalam pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000, – ( lima puluh juta rupiah ) ;
Bahwa sebagai pidana pokok juga disamping penjara yang berarti harus di jatuhkan pidana penjara sebagai pidana pokok yang ditambah/ disertai pidana pokok lain yaitu denda, dengan demikian penjatuhan pidana denda saja tanpa penjara merupakan kesalahan penerapan hukum, oleh karena itu permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa/ Penuntut Umum beralasan hukum untuk dikabulkan ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Artidjo Alkotsar (Ketua)
  2. Mansur Kartayasa
  3. Timur P Manurung

Penipuan atau Penyuapan?


Apakah membayar seorang pejabat/pegawai negeri untuk meloloskan seseorang menjadi seorang pegawai merupakan suatu tindak pidana? Tentu saja bukan? Setidaknya ada dua tindak pidana yang bisa dikenakan terhadap kedua pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, yaitu tindak pidana korupsi, khususnya pasal suap (pasal 5 dan pasal 12 huruf a atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001) atau pasal Kolusi (Pasal 21 jo. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) [lihat pasal-pasal tersebut dibawah].
Apakah pasal-pasal tersebut mensyaratkan perbuatan yang dikehendaki oleh penyuap (aktif) harus telah terlaksana, dalam konteks ini, apakah lolos atau tidaknya penyuap atau pihak ketiga (anak, keluarga, teman dll) menjadi salah satu penentu terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut? Tidak. Mengapa? Oleh karena pasal-pasal tersebut, khususnya pasal penyuapan merupakan delik formil, delik yang sempurnanya perbuatan tidak ditentukan dari apakah akibat yang diharapkan terjadi terlaksana atau tidak, namun sempurnanya delik didasarkan pada selesai atau tidaknya perbuatan.
Akan tetapi dalam beberapa perkara yang saya temui tak jarang perbuatan seperti ini tidak didakwa dengan pasal penyuapan namun penipuan, khususnya ketika ternyata si penerima suap (penyuap pasif) tidak dapat memenuhi janjinya, seperti dalam kasus Farida Hanum (Nomor 960 K/Pid/2011) [1]. Dalam perkara Farida Hanum ini Farida merupakan anggota Polri yang dihukum 2 tahun atas penipuan terhadap beberapa karena menjanjikan sanggup meloloskan pihak-pihak yang mau membayar sejumlah uang untuk lolos dalam proses seleksi SECABA (Sekolah Calon Bintara) Polri. Kasus ini berawal dari dipertemukannya korban dengan Terdakwa oleh seseorang dengan tujuan agar anak korban dapat lolos SECABA. Terdakwa menjanjikan bisa meloloskan anak Korban jika korban sanggup membayar sejumlah uang (sekitar Rp 100 juta) karena katanya ia memiliki jatah 7 orang untuk bisa diloloskan menjadi anggota Polri. Namun setelah (para) korban telah membayar sejumlah uang tersebut ternyata Terdakwa tidak berhasil memenuhi janjinya. Para korban kemudian melaporkan Terdakwa ke kepolisian, dan kemudian ia didakwa dengan pasal penipuan, sementara itu para Korban sendiri tidak didakwa.
Dalam perkara lain, yaitu perkara gugatan perdata antara Ir. Hj. Sarmilis vs Bilkisti & Sugeng Padmono (No. 3038 K/PDT/2009) Mahkamah Agung bahkan mengabulkan gugatan ganti kerugian yang dituntut oleh Penggugat (Ir. Hj. Sarmilis) terhadap para Tergugat (Bilkisti & Sugeng Padmono) karena para Tergugat tersebut tidak berhasil memenuhi janjinya untuk meloloskannya menjadi Pegawai Negeri tetap dari Pegawai Negeri Honorer. [lihat Kewajiban Mengembalikan Uang Dalam Perjanjian Yang Tidak Halal]. Dikabulkannya gugatan tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung secara sadar atau tidak sadar telah mengakui bentuk perbuatan seperti ini yang pada dasarnya adalah penyuapan serta perikatan atas dasar yang tidak halal menjadi perikatan yang sah. [2]
Perkara seperti ini tentunya tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi (yang mana suap merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi). Putusan-putusan seperti ini membuat pesan bahwa membayar seseorang penyelenggara negara / pegawai negeri secara melawan hukum untuk meloloskannya atau pihak lain dalam suatu proses seleksi penerimaan pegawai negeri / TNI/ Polri dll adalah sah sepanjang ia atau pihak ketiga tersebut tidak lolos seleksi tersebut. Secara logika perkara seperti ini juga tidak masuk akal, bagaimana mungkin suatu perikatan dianggap sah jika prestasi yang diharapkan terjadi justru tidak terjadi, sementara jika prestasi yang diharapkan terjadi baru lah menjadi perikatan yang tidak sah dan menjadi tindak pidana suap.
Praktik suap seperti ini tentunya cukup banyak, dan mungkin sudah melembaga di masyarakat, dimana masyarakat menganggap membayar sejumlah uang untuk menjadi pegawai negeri merupakan sesuatu yang jamak. Praktik yang mungkin telah melembaga tersebut tentunya harus ditinggalkan, salah satu caranya tentu dengan memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa praktik seperti itu merupakan praktik yang ilegal, dan salah satu bentuk pelajaran tersebut tentunya adalah dengan menghukum juga pihak yang membayar (menyuap) terlepas dari apakah pihak yang membayar tersebut ternyata sudah mengalami kerugian juga atau tidak karena ternyata apa yang dijanjikan pihak penerima suap tersebut terpenuhi atau tidak.
Lampiran
Pasal 5 UU 31/1999 jo 20/2011
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 huruf a dan b UU 20/2001 jo. 31/1999
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Pasal 1 angka 4 UU 28/1999
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Pasal 5 angka 4 UU 28/1999
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
Pasal 21 UU 28/1999
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Footnotes:
[1.] Dalam perkara ini sendiri perkara dinyatakan Ne bis in idem oleh karena Terdakwa telah dihukum dalam perkara yang sama namun atas laporan dari pihak korban yang lainnya. Majelis Hakim Agung dalam perkara ini yaitu: Komariah Emong Saparadjaja (Ketua Majelis), Salman Lutha, dan Andi Abu Ayyub Saleh.
[2.] Saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu anggota majelis perkara ini mengenai putusan dalam perkara ini. Saya menanyakan mengapa MA memutus demikian padahal jelas-jelas perikatan tersebut merupakan perikatan yang tidak sah, beliau menyatakan bahwa memang perikatan tersebut merupakan perikatan yang tidak sah karena atas sebab yang tidak halal, namun menurut beliau para korban nyatanya telah kehilangan uang dan para tergugat telah mendapatkan keuntungan sementara tidak diketahui apakah para tergugat telah dipidana juga atau tidak. Menurut beliau tentulah tidak adil jika para tergugat mendapatkan keuntungan secara tidak sah dan bisa lolos begitu saja, untuk itu maka MA (Majelis kasasi) mengabulkan gugatan penggugat sebagai suatu bentuk hukuman terhadap para penggugat.

Ancaman Pidana Minimum Tidak Mengikat Bagi Terdakwa Anak


Ancaman pidana minimum sepertinya menjadi isu yang cukup sering dibahas oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam perkara anak. Dalam putusan-putusan terdahulu  akibat terjadinya kekosongan pengaturan mengenai apakah dalam perkara dengan terdakwa anak pengadilan terikat dengan ketentuan pidana minimum atau tidak, Mahkamah Agung cenderung mempertimbangkan bahwa ancaman pidana minimum bagi anak dikurangi menjadi setengah dari ancaman yang diatur dimasing-masing pasal yang didakwakan. Dalam perkara Jefferi Ramadhan ini tampaknya Mahkamah Agung kembali melakukan terobosan hukum. Dalam perkara ini pada pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa ancaman pidana minimum tidak dapat diterapkan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada penafsiran MA atas maksud dan hakikat dari pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dengan demikian maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Anak dimungkinkan untuk menjatuhkan dibawah pidana minimum, batasan pidana minimum yang diberlakukan bagi terpidana anak menurut Mahkamah Agung adalah 1 hari, sebagaimana diatur dalam KUHP.
Kutipan Pertimbangan Mahkamah Agung:
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukum dan putusan Judex Facti sudah tepat dan benar, yaitu :
  1. Bahwa, sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada nakal adalah paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa;
  2. Bahwa, apakah ketentuan tersebut berlaku terhadap ancaman pidana minimum bagi anak nakal?, Dalam praktek selama ini, ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut dapat digunakan terhadap ancaman minimum pidana penjara bagi anak nakal, artinya ketentuan pidana penjara minimum Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dikurangkan dengan ½, ini berarti pidana penjara minimum yang dijatuhkan terhadap anak nakal minimal 2 tahun;
  3. Bahwa, namun apabila ketentuan tersebut ditafsirkan dan dihubungkandengan maksud dan hakikat keberadaan Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak, maka terhadap anak nakal sesungguhnya tidak dapat diterapkan ketentuan batas minimum pemidanaan, artinya terhadap pidana penjara yang akan dijatuhkan terhadap anak nakal mengikuti ancaman minimum pidana penjara 1 hari sebagaimana dalam KUHP;
  4. Bahwa, apapun maksud Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No, 35 Tahun 2009 tersebut, memberikan pedoman bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana melebihi ½ dari ancaman pidana maksimum, tetapi tidak melarang menjatuhkan pidana di bawah minimum;
  5. Bahwa, berdasarkan alasan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat pidana penjara bagi anak sebaiknya sebaiknya mengikuti ancaman minimum pidana penjara 1 (satu) hari, dengan demikian Judex Facti yang menjatuhkan pidana penjara di bawah minimal Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 bukanlah merupakan kesalahan penerapan hukum, melainkan untuk memenuhi dan menegakkan jiwa atau roh atau spirit yang terkandung dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997
  6. Bahwa, Judex Facti telah mempertimbangkan Pasal aturan hukum yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum dari putusan serta pertimbangan mengenai keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, di samping itu berat ringannya pidana adalah wewenang Judex Facti;
Majelis Hakim Agung:
1. Artidjo Alkotsar (Ketua)
2. Surya Jaya
3. Suhadi

Terdakwa yang Tidak Didampingi oleh Penasehat Hukum bisa Dibebaskan dan Dugaan Penyiksaan merupakan Beban Pembuktian dari JPU, bukan Terdakwa


Putusan MA No. 2588 K/Pid.Sus/2010

Resume Putusan:

Terdakwa Frengki dan Terdakwa Yusli dalam perkara ini didakwa dengan dakwaan sengaja membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba jenis Ganja. Atau dakwaan lainnya adalah memberi bantuan untuk membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba jenis Ganja yang didahului dengan permufakatan jahat.
Pengadilan Negeri Sidikalang menyatakan bahwa dakwaan-dakwaan jaksa tersebut tidak terbukti. Dasar putusan ini adalah pencabutan BAP Kepolisian di pengadilan oleh para terdakwa karena BAP tersebut dibuat tanpa pendampingan penasehat hukum dan dibuat dalam keadaan dipaksa.
Dengan putusan tersebut, JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Alasan kasasinya adalah sebagai berikut: 1. Terdakwa sudah mengakui perbuatannya dengan bukti tanda tangan terdakwa di BAP ; 2. Terdakwa telah mendalilkan adanya penyiksaan tetapi terdakwa tidak dapat membuktikan dalilnya tersebut.
Namun, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan JPU. Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Sidikalang tersebut. Dengan putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa bantuan hukum adalah hak setiap terdakwa dalam tingkatan pemeriksaan. MA juga menyatakan bahwa BAP yang ditandatangani terdakwa bukan sebagai barang bukti di pengadilan dan JPU tetap harus membuktikan secara substansial perbuatan pidana terdakwa. Selain itu, yang terpenting, MA juga menyatakan bahwa dugaan torture (peyiksaan) yang diajukan oleh terdakwa merupakan hal yang harus dibuktikan oleh JPU, bukan terdakwa. Dengan demikian, JPU wajib membuktikan torture tersebut tidak terjadi.

Pertimbangan MA
  1. Keberatan memori kasasi JPU tidak dapat dibenarkan karena judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum:
    1. Terdakwa telah mencabut semua keterangannya dalam BAP karena berdasarkan atas tekanan/paksaan dari pihak penyidik Polri dan saksi verbalisan tidak dapat dihadirkan JPU untuk menguji bantahan terdakwa
    2. Selama pemeriksaan dari penyidik, kepada terdakwa tidak ada penasehat hukum yang mendampinginya
    3. Penasehat hukum juga menyatakan tidak pernah mendampingi Terdakwa dalam pemerisaan di penyidik, Penasehat hukum hanya menandatangani BAP setelah siap atas permintaan Penyidik

Majelis Hakim Agung
  1. Imam Harjadi (Ketua)
  2. Salman Luthan
  3. Sri Murwahyuni

Contoh Putusan Pidana Korporasi (1)


Putusan MA No. 862 K/Pid.Sus/2010 (Kim Young Woo / PT. Dongwoo Environmental Indonesia)
Putusan ini merupakan putusan atas perkara pencemaran lingkungan hidup yang melibatkan suatu perusahaan pengelola limbah cair Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Putusan ini menarik karena merupakan salah satu dari sedikit putusan atas suatu tindak pidana yang melibatkan korpoasi atau corporate crime.
Secara ringkas pada intinya dalam perkara ini PT Dongwoo Environmental Indonesia sebagai perusahaan jasa pengelola limbah B3 ternyata antara tahun 2006-2007 membuang sebagian limbah yang diterima dari pihak ketiga yang seharusnya diolah dalam tempat penampungan yang dimilikinya ke tempat lain yaitu tanah lapang di kawasan Bekasi dan Cikarang. Tindakan tersebut kemudian mencemarkan lingkungan dan mengakibatkan sebagian penduduk di kawasan tersebut mengalami sakit-sakit.
Dari tingkat pertama hingga putusan kasasi ini pengadilan menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar UU No. 23 Tahun 1997. Yang menarik terdapat beberapa ketidakjelasan dalam putusan ini. Pertama Dalam bagian Subyek Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang menadi Terdakwa adalah Kim Young Woo yang berstatus sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia, sementara dalam uraian dakwaan yang didakwa adalah PT. DEI itu sendiri. Begitu juga dalam amar putusan, secara jelas menyatakan ”Terdakwa PT Dongwoo Environmental Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo…”.
Berikut kutipan tentang subyek terdakwa dalam putusan ini:
“memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama                : KIM YOUNG WOO ;
Tempat lahir      : Seoul ;
Umur / tanggal lahir : 58 Tahun / 05 Januari 1950 ;
Jenis kelamin    : Laki – laki ;
Kebangsaan : Korea Selatan ;
Tempat tinggal   : xxxx
Agama              : Kathol i k ;
Pekerjaan          : Presiden Direktur PT. DongwooEnvironmental Indonesia ;”
Permasalahan ini juga diangkat oleh Pemohon Kasasi (Terdakwa), dimana permasalahan perumusan subyek tersebut telah terjadi dari tingkat pertama. Pemohon Kasasi berpandangan bahwa jika perumusan subyeknya sebagaimana ditulis dalam putusan tingkat I dan Banding maka sebenarnya yang menjadi terdakwa bukan lah PT. DEI namun diri pribadi dari Kim Young Woo. Sementara itu jika dalam perkara ini yang diadili adalah diri pribadi dari Kim Young Woo maka perkara ini melanggar asas Ne Bis In Idem, mengingat terhadap diri pribadi Kim Young Woo telah diperiksa dan diputus juga dalam berkas perkara yang tersendiri.
Pemohon Kasasi Permasalahan ketidakjelasan perumusan siapa yang menjadi terdakwa dalam perkara ini mungkin terjadi karena permasalahan teknis belaka yang sangat mungkin juga disebabkan minimnya pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Namun sayangnya permasalahan ini tidak dijawab oleh Mahkamah Agung. Seharusnya MA bisa memberikan kejelasan mengenai permasalahan ini serta memberikan petunjuk dalam pertimbangannya bagaimana seharusnya penempatan subyek dalam tindak pidana korporasi kedepan, dengan tetap menyatakan kesalahan yang dilakukan baik oleh JPU maupun Judex Facti dalam dakwaan maupun putusannya masih bisa dimaklumi.
Permasalahan kedua sangat terkait dengan permasalahan pertama, yaitu mengenai subsidair dari hukuman denda apabila Terdakwa tidak membayar denda tersebut. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa Terdakwa dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 650 juta, dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Permasalahannya adalah siapa yang akan menjalani pidana kurungan tersebut apabila PT DEI tidak mau membayarnya? Apakah Kim Young Woo? Dalam kapasitas apa ia akan dikenakan kurungan? Apakah dalam kapasitasnya sebagai Presiden Direktur atau sebagai pribadi? Bagaimana jika ternyata telah terjadi pergantian jabatan Presiden Direktur, apakah yang menjalani kurungan tetap Kim Young Woo atau Presiden Direktur yang pada saat itu menjabat?
Ketidakjelasan mengenai pengganti denda yang dapat memaksa Terdakwa dalam hal Terdakwa merupakan suatu Korporasi dalam UU 23 Tahun 1997 (saat ini telah diganti dengan UU No. 32/2009) tidak diatur. Karena hal tersebut tidak diatur maka berdasarkan pasal 103 KUHP ketentuan yang berlaku tentunya apa yang diatur dalam Buku I KUHP, dalam hal ini apabila denda tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan. Dalam hal pertanggungjawaban korporasi tentu pidana kurungan tidak dapat dijatuhkan, karena korporasi tidak mungkin bisa dikurung. Sehingga sebenarnya terdapat kekosongan hukum mengenai hal ini. Perkara ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh MA untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, misalnya dengan menyatakan bahwa apabila denda tidak dibayarkan maka asetnya akan dirampas oleh negara senilai denda yang dijatuhkan. Sekali lagi, sayangnya MA tidak mengambil kesempatan ini.
Pertimbangan MA:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
- Bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi Judex Facti telah salah menerapkan hukum yaitu Judex Facti telah salah dan keliru dalam penjatuhan sanks i terhadap Terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengancam sanksi terhadap pelanggar ketentuan a quo dengan sanksi denda lebih berat yaitu di tambah sepertiga bila tindak pidana di lakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan , perserikatan, yayasan atau organisasi lain ;
- Bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan dalam kedudukan sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia yang bergerak di bidang Pengelolaan Limbah B3, yang secara melawan hukum telah dengan sengaja melakaukan perbuatan pencemaran lingkungan hidup secara berlan jut dengan cara membuang limbah sisa–sisa pengolahan limbah B3 yang dilakukan PT. Dongwoo sejak bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Juni 2006, ke lokasi tanah kosong di Kampung Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yaitu tanah di wilayah pembuangan limbah telah terkontaminasi bahan pelarut organik yang bersifat racun akut dan kronis yang dapat menyerang pernafasan makluk hidup, sehingga berakibat 12 (dua belas) orang penduduk menderita sakit sesuai Visum Et Repertum Dr. Ridwan Juansyah maupun hasil Lab Krim tanggal 26 Juni 2006 ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Mansur Kartayasa (Ketua)
  2. M. Zaharuddin Utama
  3. Imam Harjadi

Jumat, 17 Agustus 2012

Perkara Pohon Mangga – Putusan MA No. 1022 K/Pdt/2006

Begini kasus posisinya. Penggugat pada tahun 1986 membeli rumah di komplek Polda di Jayapura. Pada saat itu di depan halaman rumahnya, tepatnya di pinggir jalan, telah ada 2 buah pohon mangga yang masih kecil. Kedua pohon tersebut sebelumnya ditanam oleh Tergugat yang merupakan tetangganya. Kian lama kedua pohon mangga tersebut semakin besar. Hal tersebut membuat Penggugat merasa khawatir kedua pohon tersebut jika tumbang akan menimpa rumahnya, terlebih dahan pohon tersebut memang telah menyentuh atap rumah Penggugat. Penggugat meminta ijin dari Tergugat selaku pemilik kedua pohon mangga tersebut untuk menebangnya namun tak diijinkan oleh Tergugat. Karena tidak mendapatkan respon yang baik kemudian Penggugat mengirimkan surat ke kantor Walikota untuk menyelesaikan masalah tersebut. Walikota kemudian membentuk tim gabungan untuk meninjau lokasi. Setelah melihat permasalahannya, Tim Gabungan tersebut kemudian merekomendasikan agar Tergugat menebang kedua pohon tersebut, namun tetap tak digubris oleh Tergugat. Akhirnya Penggugat membawa masalah ini ke Pengadilan Negeri Jayapura atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Dalam petitumnya Penggugat memohon agar pengadilan memerintahkan Tergugat untuk menebang kedua pohon tersebut, serta apabila suatu hari sebelum kedua pohon tersebut ditebang ternyata tumbang dan menimpa rumah Penggugat maka Tergugat dihukum untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya.
Atas gugatan tersebut pengadilan negeri Jayapura menggabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Gugatan yang dikabulkan yaitu menyatakan bahwa perbuatan Tergugat yang menolak permintaan untuk menebang kedua pohon mangga tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, serta memerintahkan agar Tergugat menebang kedua pohon dimaksud atas biaya Tergugat. Namun ditingkat banding Pengadilan Tinggi kemudian membatalkan putusan PN tersebut, dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (NO). Pertimbangan PT tidak terlalu terlihat dalam putusan ini, karena putusan ini adalah putusan kasasi. Namun dari pokok permohonan Pemohon tampaknya PT membatalkan putusan PN dikarenakan PT menganggap tergugat kurang pihak, seharusnya Negara turut digugat oleh Penggugat. Selain itu PT menggap gugatan prematur karena belum ada kerugian yang ditanggung Penggugat (karena pohonnya belum tumbang).
Di tingkat Kasasi Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan PT, serta mengambil alih putusan PN. Pertimbangan hukum MA yang menarik adalah MA menyatakan bahwa Pertimbangan PT yang menganggap bahwa kerugian dari Pemohon/Penggugat belum nyata tidak dapat dibenarkan, oleh karena kerugian tidak selalu harus diartikan adanya kerugian materil, tetapi kerugian juga dapat diartikan apabila kerugian itu mengancam hak dan kepentingan Pemohon/Penggugat.

Kamis, 16 Agustus 2012



Dilema Peninjauan Kembali oleh Jaksa – Catatan Atas Putusan MA



Pada tahun 2007 yang lalu Mahkamah Agung memutuskan bahwa Permohonan PK yang diajukan oleh Jaksa dalam kasus pembunuhan aktivis Munir dapat diterima, bahkan dalam putusannya Majelis PK yang dipimpin oleh Ketua MA pada saat itu, Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL membatalkan putusan MA sebelumnya pada tingkat Kasasi dan menyatakan bahwa Pollycarpus terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis PK ini pun tak tanggung-tanggung, 20 tahun penjara, 6 tahun lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi yang menghukum Polly sebesar 14 tahun penjara. Namun khusus mengenai besarnya hukuman ini suara MA ternyata tidak bulat, 2 Anggota Majelis yaitu Parman Suparman dan Harifin Tumpa berpendapat bahwa hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap Polly tidak boleh lebih tinggi dari 14 tahun atau tidak boleh lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi.
Diterimannya permohonan PK yang diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung memang bukan pertama kalinya terjadi. Kasus pertama dimana PK oleh Jaksa diterima oleh MA yaitu dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Pada kasus tersebut kebetulan yang menjadi ketua Majelis PK juga merupakan Ketua MA pada saat itu, yaitu Soerjono. Pada masa itu reaksi masyarakat cukup keras menolak keputusan MA tersebut. Dua argumentasi pokok yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak kewenangan PK oleh Jaksa, pertama karena dalam Pasal 263 KUHAP secara tegas dinyatakan bahwa yang berhak mengajukan PK adalah Terdakwa atau ahli warisnya. Kedua, pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Dalam kasus Muchtar Pakpahan tersebut sebelumnya Mahkamah Agung telah membebaskan Mucthar Pakpahan, sehingga tidak mungkin PK dapat diajukan oleh Jaksa, karena putusannya pun pada akhirnya tidak boleh melebihi putusan bebas.
Sebelum putusan PK dalam kasus Pollycarpus ini diajukan oleh Jaksa, dapat dikatakan mayoritas ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana dan acara pidana memandang bahwa putusan MA dalam kasus Mochtar Pakpahan merupakan suatu ”kesalahan sejarah” yang tidak perlu terjadi lagi, atau dengan kata lain putusan MA yang tidak perlu dijadikan yurisprudensi. Pasca putusan Kasasi yang membebaskan Akbar Tandjung pada tahun 2004 misalnya, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut suka atau tidak suka harus diterima, karena PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan milik kejaksaan. Hal ini dikatakannya dalam menanggapi usulan masyarakat agar Kejaksaan mengajukan PK atas putusan kasasi tersebut.[1]
Namun kondisi seakan berbalik ketika MA dalam putusan Kasasinya menyatakan Polly tidak terbukti melalukan pembunuhan atas Aktivis HAM Munir, dorongan agar Jaksa mengajukan PK justru muncul dari para aktivis HAM. Seakan para aktivis ini yang dulunya dalam kasus Muchtar Pakpahan menolak mentah-mentah dibolehkannya Jaksa mengajukan PK berbalik arah menjadi mendukung kewenangan PK oleh Jaksa. Putusan yang dulu dibencinya kini dijadikan sumber hukum, di dorong untuk menjadi yurisprudensi!
Kasus Munir memang suatu dilema, batu ujian yang (seharusnya) sangat sulit bagi para aktivis khususnya HAM. Jika putusan kasasi diterima mungkin tak akan ada lagi kelanjutan atas misteri kematian Munir, namun jika Jaksa dibolehkan mengajukan PK mungkin hal ini membuka kemungkinan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang lebih luas, seperti yang terjadi dalam kasus Muchtar Pakpahan satu dasawarsa sebelumnya. Sayangnya dilema tersebut seakan tak tercermin, padahal masalah ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat kritis, dua pilihan yang sama-sama buruk. Tak banyak diskusi mengenai apa implikasi-implikasi lanjutan dari masing-masing pilihan tersebut, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk meminimalisir implikasi yang bersifat negatif. Yang terjadi hanyalah perdebatan legalistis semata, karena telah ada ’yurisprudensinya’ maka Jaksa dapat mengajukan PK, karena KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa untuk mengajukan PK maka berarti Jaksa tidak dilarang. Tepat seperti pertimbangan MA dalam putusan Muchtar Pakpahan. Entah apakah argumentasi tersebut dibangun untuk menyindir pertimbangan MA sebelas tahun yang lalu atau memang diyakini sebagai suatu kebenaran.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
Dalam putusannya MA cukup panjang lebar dalam memberikan pertimbangan mengenai kewenangan PK oleh Jaksa. Total halaman khusus pertimbangan tersebut sebanyak 9 halaman, yang dimulai dari halaman 17 hingga halaman 25 dari 51 halaman seluruhnya. Dalam pertimbangannya tersebut cukup banyak MA mengutip pertimbangan MA sebelumnya dalam kasus Muchtar Pakpahan. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya pertimbangan MA dalam kasus Muchtar Pakpahan merupakan inti dari pertimbangan MA dalam kasus Pollycarpus. Salah satu Dalam pertimbangan di Kasus Muchtar Papkahan MA berpendat:
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;
Pertimbangan di atas dirujuk oleh MA dalam Kasus Pollycarpus, kemudian MA menambahkan (hal. 19-20):
Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang” tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, tidak menjelaskan “tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” dan terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud “fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana” selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa;
Dari pertimbangan di atas terlihat bahwa MA menganggap bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai siapa yang dimaksud pihak-pihak yang disebutkan dalam pasal 23 UU No. 4/2004. Jika dibaca secara keseluruhan seluruh pertimbangan MA dalam kedua putusan ini, ketidakjelasan pengertian ”pihak-pihak yang berkepentingan” merupakan pertanyaan pokok dari masalah ini. Ketidakjelasan tersebut menurut MA terjadi juga pada pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970, “…tidak menjelaskan siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali”, begitu pernyataan MA. …Suatu pertanyaan dan pernyataan yang menggelikan, mengingat penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 sebenarnya telah dengan gamblang menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.
Penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata diajukan oleh pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya juga para ahli waris dari pihak-pihak yang berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.
Apakah mungkin dalam dua kasus ini Majelis Hakim yang sama-sama dipimpin oleh Ketua MA tersebut menggunakan UU yang tidak ada Penjelasannya? Barangkali UU nya UU bajakan yang dibeli dari Pasar Senen. Ius Curia Novit, hakim harus dipandang tahu hukum (tapi belum tentu hakim tahu halaman penjelasannya ada di mana khan?).
Dalam bagian lain selanjutnya MA dalam putusan Pollycarpus mencoba membangun argumentasi bahwa dalam pasal 263 sebenarnya tidak mutlak mengatur bahwa hak untuk mengajukan PK tidak hanya berlaku bagi Terpidana atau Ahli Warisnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 263 ayat 1.
2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
Dari pertimbangan point b di atas terlihat bahwa menurut MA PK tidak mutlak hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya. Pasal 263 ayat 3 secara logis hanya mungkin diajukan oleh Jaksa. Akan tetapi jika dibaca secara keseluruhan bukannya hal ini berarti hak PK oleh Jaksa tersebut khusus apabila yang terjadi memang sesuai dengan pasal 263 ayat 3, yaitu jika terdapat putusan dimana dakwaan telah dinyatakan terbukti namun tidak diikuti pemidanaan? Mengingat pasal 263 ayat 2 a dan b secara logis juga hanya mungkin diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya.
Dari seluruh pertimbangan MA mengenai kewenangan jaksa untuk PK ini sangat terlihat bahwa MA hanya ingin membuktikan bahwa Jaksa dapat mengajukan PK, namun dengan melepaskan konteks dalam hal apa kewenangan tersebut dapat diberikan. Hal ini terlihat dari misalnya ketika MA merujuk pada pasal 248 ayat 3 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang terdapad pada hal. 25 putusan a quo.
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”;
Dalam pasal 248 ayat 3 tersebut memang jelas disebutkan bahwa Oditur (Jaksanya militer) ternyata memiliki kewenangan untuk mengajukan PK dalam perkara pidana militer. Jika dibandingkan dengan pasal 263 ayat 3 KUHAP sangat terlihat kesamaannya dengan pasal 248 ayat 3 ini, kecuali satu kata, yaitu disisipkannya kata ’Óditur’ antara frase ’yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap” dan frase ”dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali…”.
Pasal 263 (3) UU No. 8 Tahun 1981
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Disisipkannya kata Oditur tersebut memang seakan menjadi jawaban atas misteri, untuk siapa sebenarnya alasan PK dalam pasal 263 (3) di atas. Namun apakah serta merta dapat dikatakan bahwa Oditur dalam perkara pidana militer memiliki hak yang sama untuk mengajukan PK sebagaimana halnya Terpidana atau ahli warisnya?
Selengkapnya pasal 248 UU 3/1971 berbunyi demikian:
Pasal 248
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Dari pasal 248 ayat 1 s/d 3 tersebut terlihat menjadi lebih jelas, bahwa PK pada prinsipnya merupakan hak dari terpidana atau ahli warisnya, kecuali 1 hal, yaitu yang terdapat dalam ayat 3.
Masalah ini akan lebih jelas lagi jika kita lihat bagaimana sejarah pengaturan mengenai PK ini.
Selain perbandingan dengan UU 31/1997 di atas, untuk memperkuat argumentasinya MA juga merujuk pada Statute of International Criminal Court, khususnya pasal 84 yang memang mengatur mengenai Peninjauan Kembali (Revision of Conviction or Sentence). Dalam halaman 25 MA menyatakan:
2. Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan “1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused”s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that………….”;
Dalam pertimbangan di atas MA sengaja menggarisbawahi kata ”prosecuter”, seakan untuk menunjukkan bahwa dalam ICC pun Jaksa memiliki kewenangan untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun tampaknya MA tidak mencoba mengaitkan kata “prosecutor” tersebut dengan empat kata berikutnya ”…on the person’s behalf”. Dengan rumusan pasal 84 ICC tersebut tentunya harus diartikan bahwa kewenangan PK oleh prosecutor tersebut dimungkinkan namun demi kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau merugikan si tepidana.[2]
Sejarah Peraturan Peninjauan Kembali
Dalam peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai PK pertama kali diatur dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam pasal 15.
Pasal 15
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.
Penjelasan Pasal 15
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.
Setelah diundangkannya UU No. 19/1964 tersebut, tak selang berapa lama keluar UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagai turunan dari UU 19/1964. Dalam UU ini kemudian dipertegas kembali mengenai adanya lembaga Peninjauan Kembali, tak kurang dari 2 pasal yang menyatakan instrumen hukum ini, yaitu pada Pasal 31 dan pasal 52.
Pasal 31
Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.
Pasal 52
Mahkamah Agung mengadili tentang putusan-putusan yang dimohon peninjauan kembali untuk masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.
Dari dua pasal di atas terlihat bahwa pengaturannya masih terlalu minim. Atas kondisi ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 6 Tahun 1967 tentang Permohonan Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara “Request-Civiel. Inti dari SEMA ini adalah menginstruksikan kepada pengadilan-pengadilan untuk tidak menerima permohonan PK, karena hingga saat itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai persyaratan, tata cara dan lain sebagainya. Namun mengingat ternyata cukup banyaknya permohonan yang diajukan ke pengadilan akhirnya dua tahun kemudian MA mencabut SEMA tersebut dan mengatur mengenai persyaratan dan tata cara permohonan PK melalui PERMA No. 1 Tahun 1969 (tanpa judul). PERMA yang terdiri dari 8 pasal ini kemudian yang menjadi kerangka dasar pengaturan mengenai PK selanjutnya, baik PK dalam hukum acara pidana maupun peradilan lainnya.
Khusus mengenai PK dalam perkara pidana diatur dalam pasla 3 dan 4 Perma tersebut. Selengkapnya:
Pasal 3
Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjaunya kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap,atas dasar alasan:
a. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang menyolok;
b. apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan itu dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
c. apabila terdapat keadaan-keadaan baru, sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui pada waktu sidang yang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbuatan yang di tuduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan;
d. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 4
(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung.
(2) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(3) Permohonan harus diajukan secara tertulis,dengan menyebutkan sejelas jelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepanitraan Pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.
(4) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia diperbolehkan menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan tersebut, yang akan memuat catatan tentang permohonan itu.
(5) Ketua Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirim surat permohonan atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung disertai dengan pertimbangannya.
(6) Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.
Dari pasal 3 di atas terlihat bahwa tedapat kesamaan antara pasal tersebut dengan pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981. Berbeda dengan pasal 263 KUHAP dalam Perma ini memang diatur secara tegas bahwa Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan juga untuk mengajukan PK (Pasal 4 ayat 1), namun tanpa menjelaskan dalam hal apa kewenangan tersebut dimungkinkan. Namun Perma ini sendiri ternyata tak berumur lama, karena tiga bulan kemudian MA mengeluarkan SEMA No. 18 Tahun 1969 yang pada intinya menunda pelaksanaan Perma tersebut hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Setahun kemudian UU No. 19/1964 digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali masalah PK dicantumkan dalam UU ini, yaitu dalam pasal 21 (rumusan pasalnya dapat dilihat dibagian sebelumnya). Dalam pasal 21 ini khususnya bagian penjelasan dijelaskan bahwa untuk perkara pidana PK dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya, UU ini juga tidak mengatur secara detil persyaratan dan tata cara permohonan PK tersebut.
Atas terbitnya UU kekuasaan kehakiman yang baru tersebut Mahkamah Agung langsung menerbitkan lagi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971. Perma ini intinya membatalkan berlakunya Perma No. 18/1969. Pembatalan tersebut dikarenakan pada masa itu sedang dibahas rancangan undang-undang yang akan mengatur hukum acara termasuk Peninjauan Kembali, sehingga MA berpandangan bahwa sebaiknya pelaksanaan pemeriksaan PK menunggu terbitnya UU tersebut. Namun hingga tahun 1976 ternyata rancangan undang-undang yang dimaksudkan tak kunjung terbit, hal ini kemudian mendorong MA untuk mencabut Perma No. 1 Tahun 1971 dan memberlakukan kembali Perma No. 18/1969 melalui Perma No. 1 Tahun 1976.
Pada tahun 1980 mengingat ternyata belum terbit juga undang-undang yang akan mengatur hukum acara peninjauan kembali MA berinisiatif untuk mengadakan rapat kerja dengan DPR mengenai masalah ini. Dalam rapat tersebut disepakati untuk sementara pengaturan PK diatur dalam Perma. Untuk itu maka MA menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Dilihat dari pengaturannya Perma ini jauh lebih komperhensif dari Perma sebelumnya, yaitu Perma No. 1/1969. Jika Perma No. 1/1969 hanya mengatur 8 pasal dalam Perma 1/1980 ini terdapat 23 Pasal.
Salah satu perbedaan substansial dari Perma 1/1980 dengan Perma 1/1969 ini adalah dihapuskannya alasan PK karena adanya kekeliruan atau kekhilafan yang menyolok, baik dalam perkara Pidana maupun perkara Perdata.
Pasal 9
(1) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan:
a. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
b. apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
(2) Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 10
(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.
Pasal 16
Apabila terpidana meninggal dunia sebelum diajukan permohonan peninjauan kembali, permohonan tersebut dapat diajukan oleh yang berkepentingan termasuk ahli warisnya atau Jaksa Agung.
Dari cuplikan ketentuan di atas terlihatt bahwa memang Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK, namun tetap tanpa kejelasan untuk alasan yang mana Jaksa Agung dapat mengajukan PK. Jika dilihat dari pasal 9 terkesan bahwa khusus mengenai PK karena adanya novum (ayat 1 b) hak ini hanya dimiliki oleh terpidana dan ‘pihak yang berkepentingan’, namun jika dikaitkan dengan pasal 16 terlihat bahwa Jaksa Agung memiliki hak juga untuk mengajukan PK atas dasar novum namun demi kepentingan terpidana itu sendiri.[3]
Kesan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan justru demi kepentingan terpidana itu sendiri dapat terlihat juga dari ketentuan lainnya yaitu dalam pasal 11 dan 12. Dalam pasal 11 ini disebutkan bahwa dalam hal permohonan PK diajukan oleh Jaksa Agung maka permohonan tersebut (sekedar) diberitahukan juga kepada terpidana. Namun apabila permohonan diajukan oleh terpidana maka Jaksa Agung memberikan kesimpulan / pendapat atas permohonan tersebut (pasal 12). Tentunya jika Jaksa Agung dapat mengajukan PK yang dapat memberatkan terpidana maka terpidana juga diberikan hak untuk mengajukan pendapat atau kesimpulan atas permohonan dari Jaksa Agung tersebut, namun ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam Perma ini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan semata-mata demi kepentingan terpidana itu sendiri, atau karena alasan sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat 2, yang memang hanya mungkin diajukan oleh Jaksa Agung.
Usia Perma ini ternyata tak berapa lama, karena setahun kemudian akhirnya terbit UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP ini beberapa ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam baik Perma No. 1/1969 maupun 1/1980 menjadi hilang, yaitu kewenangan Jaksa Agung untuk mengajukan PK, termasuk kewenangannya dalam mewakili kepentingan terpidana itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 16 Perma 1/1980. Penghapusan kewenangan Jaksa tersebut juga terlihat dalam definisi Upaya Hukum yang diatur dalam pasal 1 KUHAP, dalam huruf 12 dinyatakan :
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
Namun dengan dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut menyisakan satu soal, siapa yang mungkin untuk mengajukan PK dengan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 3.
Setelah berlakunya KUHAP tesebut MA tidak pernah menerbitkan Perma maupun SEMA yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali khususnya yang mengatur mengenai PK dalam perkara pidana, kecuali Perma No. 1 Tahun 1982.[4] Pemahaman bahwa PK merupakan hak ekslusif dari Terpidana dan Ahli Warisnya kemudian menjadi pemahaman yang umum, hingga akhirnya muncul permohonan PK oleh Jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Permohonan tersebut sangat mengejutkan masyarakat khususnya kelompok aktivis serta komunitas hukum. Berbagai polemik muncul di media-media massa pada saat itu, tak kurang beberapa mantan Hakim Agung pun turut bicara mengenai masalah ini, seperti misalnya Subianto dan Bismar Siregar [5], mantan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmaja, Anggota DPR, akademisi, dan lain sebagainya. Berbagai unjuk rasa pun terjadi walaupun dalam skala kecil mengingat situasi politik saat itu yang memang tidak memungkinkan demonstrasi secara besar-besaran.[6]
Setahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Oktober 1997 Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Entah apakah UU ini terpengaruh dari kejadian PK dalam kasus Muchtar Pakpahan atau tidak namun kenyataannya dalam ketentuan mengenai PK dalam perkara Pidana Militer seakan terjadi beberapa perbaikan yang lebih jelas. Hal ini terlihat dari disisipkannya kata “oditur” dalam pasal 248 ayat 3 UU 31/1997 [7], serta dalam pasal 1 huruf 41 a UU ini.
a. dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;
Dengan pengaturan pasal 1 huruf 41 a dan pasal 248 ayat 3 tersebut menjadi jelas, bahwa (setidaknya) dalam peradilan pidana militer, oditur militer memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan PK, namun kewenangan tersebut terbatas apabila “…dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” (pasal 248 ayat 3).
Pengaturan PK dalam UU 31/1997 di atas seakan menjadi jembatan antara rumusan PK dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 263 s/d 268 dengan Perma-Perma sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Namun demikian dalam UU ini pun ternyata pengaturan mengenai tata cara permohonan tersebut, khususnya apabila Oditur yang mengajukan PK serta bagaimana ketentuan selanjutnya ternyata tidak terjawab juga dalam UU ini. Misalnya, apakah putusan PK berdasarkan alasan pasal 248 (2) ini juga harus mengikuti pasal 251 ayat (2)?
Implikasi Hukum dimungkinkannya PK oleh Jaksa
Mungkin sudah tak terlalu bermanfaat juga untuk mempermasalahkan lagi apakah Jaksa dapat melakukan PK atau tidak, mengingat dalam kenyataannya MA sebagai benteng terakhir peradilan telah menerima PK oleh Jaksa, tidak hanya sekali namun empat kali.[8] Kita hanya bisa berharap putusan-putusan tersebut dijatuhkan dengan pertimbangan yang matang, serta sesuai dengan rasa keadilan. Kini yang perlu difikirkan adalah apa implikasi-implikasi hukum dari diberikannya kewenangan PK oleh Jaksa.
Terdapat setidaknya 3 (tiga) pertanyaan hukum yang muncul sebagai akibat dari dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK dalam konstruksi hukum acara pidana yang ada saat ini. Pertama, jika Jaksa diperbolehkan untuk mengajukan permohonan PK apakah PK oleh Jaksa tersebut menghapuskan hak terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Pasal 268 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1981 menyatakan secara tegas bahwa permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja. Selain KUHAP terdapat dua Undang-undang lainnya yang menyatakan hal yang sama, yaitu UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU No. 14/1985 di pasal 66 ayat 1 dinyatakan Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Sementara dalam UU No. 4/2004 pada pasal 23 ayat 2 dinyatakan ”Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
Pertanyaan hukum ini sebelumnya juga pernah muncul, yaitu pada kasus Muchtar Pakpahan. Tak lama setelah MA memutuskan permohonan PK oleh Jaksa tersebut Muchtar Pakpahan juga mengajukan permohonan PK atas PK tersebut ke PN Medan. Pada saat itu sempat Panitera PN Medan menolak mendaftarkan permohonan PK tersebut dengan alasan bahwa PK hanya dapat diajukan 1 kali sesuai dengan pasal 268 ayat 3 KUHAP. Namun setelah mendapatkan kritikan akhirnya PN Medan menerima pendaftaran permohonan PK tersebut, entah bagaimana putusan MA pada saat itu, apakah penolakan tersebut dikarenakan atas pasal 268 ayat 3 KUHAP tersebut atau karena masalah lainnya atau mungkin memang tidak pernah ada putusan PK atas PK tersebut dikarenakan Muchtar Pakpahan mendapatkan abolisi sebelum MA mengeluarkan putusannya. Yang jelas akhirnya Muchtar Pakpahan bebas bukan karena putusan MA namun karena pemberian abolisi yang dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie 4 hari setelah menjabat sebagai Presiden menggantikan HM Soeharto.[9]
Dari pertanyaan pertama ini tentunya hanya ada dua jawaban, PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk juga mengajukan PK, atau PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana. Masing-masing jawaban ini dapat dicari landasan hukumnya baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Masing-masing jawaban tersebut akan menimbulkan permasalahan hukum baru. Jika hak tersebut dianggap hilang maka hal ini membuka peluang bagi Jaksa untuk bertindak secara sewenang-wenang. Bagaimana jika kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut dipergunakan semata untuk menghapuskan hak dari terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Untuk menghapuskan hak terpidana ini tentunya akan sangat mudah dilakukan oleh Jaksa, ajukan saja PK dengan alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim (pasal 263 ayat 2 b), hilanglah hak dari terpidana tersebut bahkan jika dikemudian hari ditemukan novum.
Untuk menghindari hal tersebut tentunya kita akan berfikir bahwa PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk mengajukan kasasi, sangatlah tidak adil jika hal tersebut yang dipilih. Namun jika dipandang bahwa hak tersebut tidak hilang, akan timbul pertanyaan baru, apakah PK yang diajukan oleh terpidana menghapuskan kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK? Jika dikatakan bahwa kewenangan PK Jaksa hilang jika upaya hukum tersebut telah dipergunakan sebelumya oleh Terpidana, dimana dasar hukumnya? Seperti juga tafsir MA atas PK oleh Jaksa “…tak ada aturan yang melarang”. So, how do we deal with this problem?
Kedua. Jika PK dapat diajukan oleh Jaksa, kapan terpidana akan ‘menikmati’ hak nya atas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945? Mengingat dalam KUHAP tidak ada batasan waktu kapan PK dapat diajukan, terlebih lagi dalam pasal 264 ayat 3 dinyatakan “Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu” . Akhirnya tentu kepastian bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengungtungkan terpidana tersebut baru akan benar-benar menunggu dari diajukannya PK oleh Jaksa, yang ternyata tak ada batasannya juga sampai kapan Jaksa akan atau tidak akan mengajukan PK. Artinya tak ada kepastian hukum sama sekali. Hal ini tentunya bukan masalah besar jika kita anggap bahwa kepastian hukum bukanlah hak asasi manusia, atau kalau kita anggap bahwa penjahat bukan manusia.
Di sisi lain tentunya sangat janggal jika masalah ini kita kaitkan dengan daluarsa penuntutan maupun daluarsa pemidanaan yang diatur dalam KUHP. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, KUHAP pada dasarnya menempatkan kedudukan Hak PK dalam kedudukan yang sangat istimewa. Hal ini terlihat dengan diberikannya juga hak atas PK tersebut kepada Ahli Waris Terpidana, yang mana berarti hak tersebut tidak hilang bahkan apabila Terpidana telah meninggal dunia. Hal ini secara kontras berbeda dengan kewenangan untuk menuntut yang dimiliki oleh Negara, dimana kewenangan tersebut gugur apabila Tersangka atau Terdakwa meninggal dunia[10]. Dengan gugurnya hak menuntut tersebut maka berarti secara otomatis apabila pun Negara memiliki kewenangan untuk mengajukan PK kewenangan tersebut dapat gugur walaupun kewenangan tersebut belum dipergunakannya.
Selain itu tentunya menjadi janggal juga jika diperbandingkan dengan PK dalam bidang perdata sebagaimana diatur dalam pasal 67 dan 69 UU No. 14 Tahun 1985.
Tentunya kedepan, jika memang dipandang bahwa Jaksa (tetap) dapat mengajukan PK -selain karena alasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 263 ayat 3- harus diatur mengenai batasan waktu bagi Jaksa untuk dapat mengajukan PK, dan aturan ini harus hanya mengikat bagi Jaksa saja. Mengapa hanya mengikat untuk Jaksa? Ya pikir sendirilah.
Pengaturan tenggat waktu khusus untuk PK yang diajukan oleh Jaksa tentunya dapat dilakukan. Ketentuan tenggat waktu yang ada pada PK dalam bidang perdata dapat dijadikan rujukan, kecuali mengenai satu hal, yaitu PK dengan alasan novum. Jika merujuk pada pasal 69 huruf b UU 14/1985 batasan waktu PK karena adanya novum tenggat waktunya adalah 180 hari setelah ditemukannya novum tersebut. Pembatasan yang demikian tentunya kurang tepat jika diletakan dalam konteks pidana, karena tetap tidak akan memberikan kepastian hukum bagi terpidana. Yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan memberikan tenggat waktu sekian lama setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, termasuk juga dalam hal ditemukannya novum. Jadi andaikan diatur tenggat waktu bagi Jaksa untuk mengajukan PK selambat-lambatnya 180 hari setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, andaikata pun di hari ke 181 ditemukan novum yang dapat menghukum terpidana hak jaksa tersebut tetap dinyatakan gugur. Adilkah? Jawaban ini akan mudah dijawab jika kita mengetahui alasan diaturnya daluarsa penuntutan dan pemidanaan.
Ketiga, dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK sebagai upaya hukum luar biasa otomatis akan menghapuskan upaya hukum luar biasa lainnya, yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum yang diatur dalam pasal 259. Instrumen hukum ini merupakan instrumen hukum yang khusus hanya diberikan kepada Jaksa Agung, dimana hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap selain putusan MA. Upaya hukum ini dalam pasal 259 ayat 2 dinyatakan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Maksud dari ayat 2 ini menurut (….) putusan tersebut tidak memiliki akibat hukum, sesuai juga dengan yurisprudensi MA dalam perkara Drs. H. Ghozin Baidowi (Putusan MA No. 186 K/Kr/1979). Jadi walaupun MA menilai bahwa permohonan Jaksa Agung tersebut tepat maka MA hanya dapat memberikan pertimbangan hukum semata tanpa menjatuhkan vonis, karena tujuan dari upaya hukum luar biasa ini adalah semata untuk meluruskan hukumnya saja untuk menjaga kesatuan hukum.
Jika Jaksa dibolehkan untuk mengajukan PK tentunya timbul pertanyaan, untuk apa Jaksa Agung menggunakan upaya hukum luar biasa ini yang pada akhirnya tidak memiliki dampak apapun terhadap terpidana, padahal ada upaya hukum lainnya yang lebih “menguntungkan”? Terlebih upaya hukum yang lebih “menguntungkan” tersebut tak harus diajukan sendiri olehnya cukup oleh anak buahnya. Kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa pada akhirnya akan benar-benar menjadi upaya hukum luar biasa, dalam pengertian luar biasa bodoh jika Jaksa Agung menggunakannya padahal ada upaya hukum lainnya yang jauh lebih “bermanfaat”, yaitu PK.
Kesimpulan
Dimungkinkannya PK oleh jaksa berimplikasi pada diperlukannya beberapa perubahan ketentuan dalam KUHAP. Perubahan-perubahan tersebut diperlukan demi menjaga kepastian hukum serta untuk melindungi hak-hak terpidana.
Setidaknya perubahan tersebut harus mencakup:
1. Kejelasan mengenai apakah PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana atau tidak.
2. Kejelasan apakah jika PK telah diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dapat dilakukan PK lagi oleh jaksa.
3. Diaturnya tenggat waktu permohonan PK oleh jaksa.
4. Kejelasan mengenai siapa yang dapat mengajukan PK yang diatur dalam pasal 263 ayat 3 serta tata caranya, serta
5. Dihapuskannya upaya hukum luar biasa Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
Akhir kata saya ingin mengutip tulisan mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang ditulisnya sesaat setelah diterimanya permohonan PK oleh MA dalam kasus Muchtar Pakpahan.
Sekali lagi, berprasangka baik. Sebutlah satu di antara yang dua “pasti” salah. Tentang siapa yang salah, biarlah sejarah yang akan menentukan alias wallahu’alam bissawab.”