Selasa, 21 Agustus 2012

Pengertian ”Penjara dan/atau Denda”


Putusan MA No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara korupsi yang dipimpin oleh Ketua Muda Pidana Umum Artidjo Alkotsar ini cukup menarik, bukan pada perkaranya itu sendiri namun pada penafsirannya mengenai apa yang dimaksud dengan rumusan pemidanaan penjara dan/atau denda. Apakah makna ”penjara dan/atau denda” diartikan bahwa pengadilan dapat memilih salah satu diantara dua jenis pidana pokok tersebut yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, menjatuhkan keduanya, atau pidana penjara bersifat imperatif sementara pidana dendanya bersifat fakultatif Dalam putusan ini MA berpandangan bahwa pidana penjaranya bersifat imperatif, sehingga pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda.
Dalam perkara tindak pidana korupsi ini terdakwa didakwa melanggar pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Di tingkat pertama dakwaan terhadap terdakwa tersebut dinyatakan terbukti. PN kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50 juta, serta pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 12,5 juta. Atas putusan ini Terdakwa kemudian mengajukan banding.
Di tingkat banding Pengadilan Tinggi mengabulkan permohonan banding dari terdakwa. PT kemudian mengubah sanksi pidana dengan menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan oleh PN sehingga hanya pidana denda dan pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan. Alasan PT menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan PN yang terlihat dari Memori Kasasi JPU yaitu bahwa pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidanapenjara dan atau denda artinya baik pidana penjara dan denda keduanya dapat di ja t uhkan bersamaan, tapi dapat pula dijatuhkan salah satu dari padanya yaitu pidana penjara saja atau denda… Namun di tingkat kasasi putusan PT tersebut dibatalkan oleh MA dengan alasan pidana penjara atas pelanggaran pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 bersifat imperatif.
Pertimbangan ini menarik karena dalam perkara lainnya dimana ketentuan sanksi pidananya juga dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” Mahkamah Agung berpandangan lain dan bahkan dapat dikatakan sejalan dengan penafsiran yang digunakan oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara Ni Ketut Ari Susanti ini. Anehnya antara perkara tersebut dengan perkara ini terdiri dari dua hakim agung yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar (Ketua Muda bidang Pidana Umum) dan Mansur Kartayasa. Bahkan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar. Perkara tersebut yaitu perkara Tindak Pidana Cukai dalam putusan MA No. 13 K/Pid.Sus/2011 (Isnaini).
Dalam Perkara Isnaini tersebut terdakwa di dakwa melanggar pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal 54 tersebut berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Di tingkat pertama terdakwa Isniani dinyatakan terbukti melanggar pasal yang didakwakan, dan dijatuhi pidana denda Rp. 1,3 juta tanpa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini diperkuat di tingkat banding. Atas kedua putusan ini JPU kemudian mengajukan kasasi dengan alasan karena judex facti dianggap melanggar UU karena hanya menjatuhkan pidana denda tanpa menjatuhkan pidana penjara. Permohonan Kasasi JPU tersebut kemudian di tolak oleh MA dengan alasan yang intinya adalah Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo.
Adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif.
Berikut pertimbangan MA dalam Putusan No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)
Pertimbangan MA:
Bahwa Judex Facti mempertimbangkan Terdakwa telah terbukti melakukan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 namun Judex Facti menjatuhkan pidana denda tanpa pidana penjara, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan tentang penjatuhan sanksi yang diatur di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tersebut yang mengatur keharusan menjatuhkan pidana penjara yaitu dipidana dalam pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000, – ( lima puluh juta rupiah ) ;
Bahwa sebagai pidana pokok juga disamping penjara yang berarti harus di jatuhkan pidana penjara sebagai pidana pokok yang ditambah/ disertai pidana pokok lain yaitu denda, dengan demikian penjatuhan pidana denda saja tanpa penjara merupakan kesalahan penerapan hukum, oleh karena itu permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Jaksa/ Penuntut Umum beralasan hukum untuk dikabulkan ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Artidjo Alkotsar (Ketua)
  2. Mansur Kartayasa
  3. Timur P Manurung

Tidak ada komentar: