tag:blogger.com,1999:blog-70294152278536884602024-03-06T17:14:32.077+08:00Hukum dan KeadilanSyafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.comBlogger45125tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-14771336274474523732012-10-31T08:23:00.005+08:002012-10-31T08:23:48.605+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<strong><span style="font-size: 12pt;">Saksi Yang Memiliki Hubungan Darah Dan Orang </span></strong><br /><strong><span style="font-size: 12pt;">Yang Mempunyai Ikatan Kerja Dengan Terdakwa </span></strong></div>
<div align="center" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum</span></b></div>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; text-indent: 40pt;">Masalah
ini sering ditanyakan oleh mahasiswa yang mengikuti proses on the spot
judicial monitoring di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Mahasiswa terkadang
menyaksikan dalam persidangan saksi disumpah dan tidak disumpah.
Bagaimanakah ketentuan mengenai saksi yang disumpah dan tidak disumpah
ini (dalam persidangan pidana), darimana asal muasalnya sehingga ada 2
model saksi seperti ini.</span></div>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt;"><span style="text-indent: 40pt;">S</span>aksi
yang disumpah dan tidak disumpah berkaitan dengan adanya hubungan
antara saksi dengan terdakwa. Kalau disimak pertanyaan hakim sebelum
meminta keterangan saksi, setelah hakim menanyakan identitas saksi, lalu
menanyakan hubungan saksi dengan terdakwa: Apakah saksi kenal dengan
terdakwa? Apakah saksi ada hubungan saudara? Apakah saksi ada hubungan
pekerjaan dengan terdakwa? Tindakan/pertanyaan hakim selanjutnya
tergantung pada jawaban saksi tersebut.</span></div>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Apabila
saksi memiliki hubungan famili dengan terdakwa, maka hakim akan
menanyakan lebih lanjut mengenai bagaimana hubungan famili tersebut.
Misalkan atas pertanyaan hakim saksi mengatakan bahwa, “Saya anak
kandung terdakwa”, maka hakim harus memperhatikan Pasal 168 KUHAP dan
Pasal 169 KUHAP.</span></div>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">P</span><span style="font-size: 10pt;">asal 168 KUHAP berbunyi sebagai berikut :</span><br /><span style="font-size: 10pt;">Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:</span><span style="font-size: 10pt;"></span></div>
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li><em><span style="font-size: 10pt;">Keluarga sedarah atau semenda
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;</span></em></li>
<li><em><span style="font-size: 10pt;">Saudara dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga
mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga;</span></em></li>
<li><em><span style="font-size: 10pt;">Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.</span></em></li>
</ol>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt;">Sedangkan Pasal 169 KUHAP menyebutkan:</span></div>
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li><em><span style="font-size: 10pt;">Dalam hal mereka sebagaimana
dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas
menyutujinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah</span></em>;<br /><em><span style="font-size: 10pt;"></span></em></li>
<li><em><span style="font-size: 10pt;">Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah;</span></em></li>
</ol>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Berarti
hakim ketua sidang yang memeriksa anak kandung terdakwa sebagai saksi
(dan juga orang-orang lain seperti tersebut dalam Pasal 168 KUHAP):</span> <span style="font-size: 10pt;"><em></em></span></div>
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Pertama kali Hakim ketua sidang
harus menanyakan kepada anak kandung yang menjadi saksi tersebut, apakah
ia tetap akan menjadi saksi atau akan menggunakan haknya untuk
mengundurkan diri dari menjadi saksi.</em></span><br /><span style="font-size: 10pt;"><em></em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Kalau anak kandung terdakwa
tersebut menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi,
maka anak kandung terdakwa tersebut tidak didengar sebagai saksi dan
dipersilakan meninggalkan kursi tempat memeriksa saksi;</em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Kalau anak kandung terdakwa
tersebut tidak menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi
saksi, maka Hakim Ketua sidang selanjutnya wajib menanyakan kepada
penuntut umum dan terdakwa, apakah penuntut umum dan terdakwa setuju
jika anak kandung terdakwa tersebut menjadi saksi.</em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Kalau penuntut umum dan terdakwa
dengan tegas menyetujui anak kandung terdakwa menjadi saksi, maka anak
kandung terdakwa tersebut, sebelum memberikan keterangannya harus
disumpah terlebih dahulu (Vide Pasal 169 ayat (1) KUHAP);</em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Kalau penuntut umum dan atau
terdakwa tidak menyetujui anak kandung terdakwa menjadi saksi, maka anak
kandung terdakwa tersebut didengar keterangannya di luar sumpah.</em></span> </li>
</ol>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Jadi,
yang berhak menentukan apakah ia mau bersaksi atau tidak adalah si anak
kandung terdakwa sendiri, bukan terdakwa dan penuntut umum. Keberatan
terdakwa atau penuntut umum tidak membuat anak kandung terdakwa itu
meninggalkan kursi saksi, tapi mengakibatkan anak kandung terdakwa tidak
perlu bersumpah.</span></div>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bahwa
orang yang berhak mengundurkan diri dari menjadi saksi tidak sama
dengan orang boleh dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi, karena kalau
orang yang boleh mengundurkan diri dari menjadi saksi diatur dalam
Pasal 168 KUHAP, maka orang yang boleh dibebaskan dari kewajiban menjadi
saksi diatur dalam Pasal 170 KUHAP yang berbunyi:<span style="font-size: 10pt;"></span></span></div>
<ol>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Mereka yang karena pekerjaannya,
harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban menympan rahasia, dapat minta dibebaskan
dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi yaitu tentang hal
yang dipercayakan kepada mereka;</em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Hakim menentukan sah tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut;</em></span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;"><em><span style="font-size: 10pt;"></span></em></span></li>
</ol>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dalam
praktek kadang dijumpai karena saksi mempunyai ikatan/hubungan kerja
dengan terdakwa, langsung saja saksi tersebut didengar keterangannya di
luar sumpah. Praktek ini jelas tidak sesuai dengan KUHAP, maksud
pertanyaan ini bukanlah karena saksi mempunyai hubungan/ikatan kerja
dengan terdakwa lalu saksi tersebut didengar keterangannya di luar
sumpah, melainkan maksudnya adalah untuk menjadi bahan pertimbangan bagi
Hakim, apakah saksi itu bisa dipercaya dan Hakim harus bisa memilah dan
menilai apakah keterangan saksi tersebut objektif atau tidak. Dan dalam
menilai keterangan saksi, Hakim harus berpedoman pada <strong>Pasal 185 ayat (6) KUHAP</strong>, dalam menilai keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:</span></div>
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;</em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;</em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;</em></span></li>
<li><span style="font-size: 10pt;"><em>Cara hidup dan kesusilaan serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;</em></span></li>
</ol>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Lalu saksi yang bagaimanakah yang bisa memberikan keterangan tanpa disumpah terlebih dahulu?</span></div>
<em><span style="font-size: 10pt;">1. a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin (Pasal 171 huruf a KUHAP);</span></em><br /><em><span style="font-size: 10pt;"><span style="color: white; font-size: 8pt;">00.</span>b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 1712 huruf b KUHAP);</span></em><br />
<span style="font-size: 10pt;"><em>2. Saksi yang berhak mengundurkan
diri dari menjadi saksi, tetapi tidak mempergunakan haknya untuk
mengundurkan diri dari menjadi saksi, namun Penuntut Umum dan atau
terdakwa, tidak setuju (keberatan) orang tersebut menjadi saksi (diatur
dalam Pasal 169 ayat (1) dan (2) KUHAP).</em></span><br />
<span style="font-size: 10pt;"><em>3. Saksi yang menolak untuk
bersumpah/berjanji tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan tetap
dilakukan, hakim dapat mengeluarkan penetapan untuk mengenakan sandera
di rumah tahanan negara paling lama 14 hari, tetapi sampai masa
sanderanya habis jika masih tetap tidak mau bersumpah, maka dalam
keadaan yang demikian, keterangan yang telah diberikan oleh saksi yang
menolak bersumpah/berjanji itu merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP).Mereka
yang karena pekerjaannya, harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiba</em></span><br />
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Diatas
disebutkan bahwa menurut Pasal 171 huruf a KUHAP anak yang umurnya
belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin memberi keterangan tanpa
sumpah. Hakim harus hati-hati terhadap pasal ini, karena dalam praktek
bisa terjadi begitu diketahui umur si anak belum cukup 15 tahun,
langsung saja saksi tersebut didengar keterangannya dengan tidak
disumpah lebih dahulu. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 171 huruf a
KUHAP, karena dalam Pasal 171 huruf a KUHAP tegas disebutkan, anak yang
umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin.</span></div>
<div align="center" style="text-align: justify; text-indent: 30pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 150%;">Berdasarkan
Pasal 171 huruf a KUHAP tersebut, setelah mendengar keterangan bahwa
umur saksi belum cukup 15 tahun, Hakim Ketua sidang harus melanjutkan
dengan pertanyaan kepada saksi, apakah dia sudah pernah menikah atau
belum. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;"> </span></div>
<div style="margin-left: 30.9pt; text-align: justify; text-indent: -16.9pt;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Referensi: </span></b></div>
<span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;"> -<span style="font: 7pt 'Times New Roman';"> </span></span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">KUHAP</span><br />
<b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> - Soelaiman M, S.H</span></b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; line-height: 115%;">., Majalah Varia Peradilan Tahun IX No. 103 April 1994</span></div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-74132215784951596642012-08-21T13:40:00.000+08:002012-08-21T13:40:00.883+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Kesaksian Polisi yang Tidak Dibenarkan </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Putusan Mahkamah Agung dalam kasus
narkotika ini sangat menarik karena MA membatalkan putusan Judex Factie
yang telah menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama 4 tahun. Alasan
Mahkamah Agung membatalkan putusan judex factie tersebut oleh karena
saksi-saksi yang memberatkan terdakwa ternyata dari pihak kepolisian itu
sendiri. Mahkamah Agung memandang bahwa dalam kasus ini sangat mungkin
kesaksian dari pihak kepolisian tersebut direkayasa, bahkan dalam
pertimbangannya secara berani Mahkamah Agung menyatakan bahwa cara-cara
penyelidikan dan penyidikan seperti yang terjadi dalam kasus ini sarat
dengan rekayasa dan pemerasan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/fd1593130b28a386dde351177237277a">No. 1531 K/Pid.Sus/2010 (Ket San alias Chong Ket)</a></strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :</div>
<div style="text-align: justify;">
Alasan keberatan Terdakwa angka 1 dapat
dibenarkanbahwa saksi PRANOTO dan SUGIANTO yang berasal dari pihak
kepolisian, keterangannya tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat
diragukan dengan alasan-alasan :</div>
<ul>
<li style="text-align: justify;">Bahwa pihak kepolisian dalam
pemeriksaan perkara a quo mempunyai kepentingan terhadap perkara agar
perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan, sehingga keterangannya
pasti memberatkan atau menyudutkan bahwa bisa merekayasa keterangan.
Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar
diberikan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan
Pasal 185 ayat (6 ) KUHAP) ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa secara formal kehadiran polisi di
persidangan pada dasarnya digunakan pada saat memberi keterangan yang
sifatnya Verbalisan ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa keterangan 3 orang saksi lainnya pada pokoknya menerangkan tidak mengetahui siapa barang tersebut ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa barang yang ditemukan tidak jelas
siapa pemiliknya. Untuk mencari kepastian siapa pemilik barang
tersebut, Terdakwa dipaksa mengaku oleh polisi dengan cara memukuli ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa barang yang di temukan jaraknya
berjauhan yaitu berada di tempat dimana posisi Terdakwa berdiri. Tidak
ada pula saksi yang melihat Terdakwa menyimpan atau melemparkan barang
itu di tempat ditemukan barang. Bisa saja terjadi barang tersebut sudah
disimpan lebih dahulu oleh polisi, oleh karena lama dipepet, kemudian
polisi menyetop Terdakwa persis pada saat berada di dekat barang itu.
Dalam banyak kejadian penggeledahan badan/ rumah barang bukti berupa
narkoba atau psikotropika adalah milik polisi, sudah dipersiapkan
sebelum melakukan penangkapan ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa tidak jarang pula terjadi, barang
bukti tersebut milik polisi, kemudian dengan berbagai trik menyatakan
di temukan di kantong Terdakwa atau tempat lainnya untuk selanjutnya
dijadikan alat pemerasan atas diri Terdakwa, seperti halnya dalam
perkara a quo, Terdakwa dimintai uang oleh polisi sebesar Rp. 100 juta
agar perkaranya bisa bebas, tidak dilanjutkan ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa oleh karena itu, mengapa pembuat
UU tidak membenarkan cara-cara penangan seperti dalam perkara a quo,
karena pembuat undang-undang sudah memikirkan dan mengantisipasi, bahwa
pada suatu ketika akan terjadinya praktek rekayasa alat bukti/ barang
bukti untuk menjadikan orang menjadi tersangka. Apabila hal ini
dibenarkan maka mudahnya orang jadi tersangka, sehingga polisi dapat
memanfaatkannya sebagai alat pemerasan dsb ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa keterangan Terdakwa sepanjang persidangan telah menyangkali barang tersebut bukan sebagai miliknya ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas,
Judex Facti tidak punya cukup alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 183
KUHAP, untuk menyatakan perbuatan Terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa tidak ada hasil pemeriksaan Lab
yang menyatakan urine Terdakwa mengandung atau pernah menggunakan
narkotika atau psikotropika ;</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<ol start="1">
<li style="text-align: justify;">Imron Anwari (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">Surya Jaya</li>
<li style="text-align: justify;">Achmad Yamanie</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-41385575236395789862012-08-21T13:38:00.006+08:002012-08-21T13:38:58.845+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Pengenyampingan Hasil Lab yang Tidak Dibenarkan </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/20df1030b6b67f2f437e9aeb9f3e9248">No. 908 K/Pid/2010</a></div>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan
tersebut Mahkamah Agung berpendapat, bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa
Penuntut Umum dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :</div>
<ul>
<li style="text-align: justify;">Bahwa Judex Facti salah menerapkan
hukum pembuktian serta keliru menafsirkan pasal 263 ayat (2) KUHPidana,
sehingga membebaskan Terdakwa dari dakwaan Penuntut Umum ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa kesalahan dalam pertimbangan
putusan a quo yaitu Judex Facti telah mengesampingkan hasil laboratoris
Kriminalistik barang bukti dokumen No. Lab. 120/DTF/2008 tanggal 17 Mei
2008 Judex Facti tidak mempunyai cukup alasan objektif dan ilmiah untuk
mengesampingkan hasil Lab. Kriminalistik, sebab Judex Facti sama sekali
tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan penelitian dan
pendalaman soal perbedaan tanda tangan Terdakwa yang hanya berdasar pada
tanda tangan pembanding (KT) yang tertera pada surat ketetapan pajak ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa pengetahuan Judex Facti tidak
didasari pada metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga
hasilnya lebih cenderung bersifat subjektif dan spekulatif ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa kesalahan Judex Fact i dalam
mengambil kesimpulan dengan menyatakan bahwa hasil pemeriksaan Lab.
Krimina listik No. Lab.120/DTF/2008 kalau dilihat secara saksama yaitu
tanda tangan yang ada di lembar kuitansi (QT 1) dan surat perjanjian
jual beli tanah tertanggal 2 November 1987 (QT 2) dengan tanda tangan di
lembar surat ketetapan pajak No. Kohi r . 000469 tahun 1993 sebagai
pembanding (KT) ada kesamaan/kemiripan sehingga Majelis Hakim
berpendapat tanda tangan yang ada di kuitansi pembayaran dan surat jual
beli tersebut adalah juga tanda tangan dari Isodorus ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa pengambilan kesimpulan dengan
metode seperti itu sangat meragukan dan secara i lmiah tidak dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Secara kasat mata memang tanda
tangan bisa saja sama atau mirip karena dibuat sama atau mirip oleh
orang yang memalsukan, tetapi sesungguhnya dapat berbeda apabila dilihat
melalui pendekatan ilmu bantu hukum acara pidana yaitu melalui hasil
pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa oleh karena atas dasar penilaian
yang keliru terhadap hasil tanda tangan maka kesimpulan yang diambil
oleh Judex Facti sangat meragukan dan kebenarannya tidak dapat diyakini
sebagai suatu kebenaran materil ;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa berdasarkan hal tersebut Judex
Facti terbukti keliru dalam menerapkan hukum karena mengesampingkan
suatu kebenaran objektif yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah,
menuju pada kesimpulan pribadi yang nilaI kebenarannya bersifat
subjektif dan spekulatif karena hakim tidak memiliki standar pengetahuan
yang memadai khusus untuk itu.</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Majelis Hakim Agung:</div>
<ol>
<li style="text-align: justify;">Imron Anwari (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">Surya Jaya</li>
<li style="text-align: justify;">Achmad Yamanie</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-72903788761891438992012-08-21T13:38:00.003+08:002012-08-21T13:38:19.909+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Putusan tentang Narkotika </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/c052d247fa12350e7382adf178e15c92"><strong>No. 899 K/Pid.Sus/2009 (Rudini Hidayat)</strong></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa alasan Terdakwa dalam memori
kasasinya bahwa dia tidak mengetahui kalau rokok lintingan itu terbua t
dari daun ganja, keterangan Terdakwa tersebut tidak dapat diterima
dengan alasan :</div>
<ol>
<li style="text-align: justify;">Tidak biasanya satu batang rokok (lintingan daun ganja) dihisap bersama-sama secara bergantian ;</li>
<li style="text-align: justify;">Rokok yang di tawarkan M. Asrori dibuat
dalam bentuk, tidak punya merek (pembungkus), kemasan sangat berbeda
dengan yang biasanya dij ual di pasaran ;</li>
<li style="text-align: justify;">M. Asrori menawarkan rokok ganja ini kepada teman- temannya yang berada di teras rumah Asep yaitu Eful, Rudini dan Terdakwa ;</li>
<li style="text-align: justify;">Hasil visum Lab. No. <span class="skype_pnh_container" dir="ltr" tabindex="-1"><span class="skype_pnh_highlighting_inactive_common" dir="ltr"><span class="skype_pnh_text_span">0905-0717</span></span> </span> terbukti Mariyuana hasil positif ;</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Atas dasar alasan tersebut menunjukkan
bahwa Terdakwa telah mengetahui , menduga, atau patut menduga atau
menginsafi kalau rokok yang ditawarkan oleh Asrori untuk dihisap
bersama-sama secara bergantian adalah terbuat dari lintingan daun ganja ;</div>
<div style="text-align: justify;">
Apabi la perbuatan Terdakwa menghisap
rokok dari lintingan daun ganja dihubungkan dengan hasil visum
menunjukkan bahwa Terdakwa dan kawan-kawan selain menghisap rokok ganja
juga pengguna/pemakai Mariyuana. Kesimpulannya terdakwa dan kawan- kawan
pemakai narkotika ;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<ol start="1">
<li style="text-align: justify;">Imron Anwari (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">Surya Jaya</li>
<li style="text-align: justify;">Achmad Yamanie</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-56256298605331186652012-08-21T13:37:00.000+08:002012-08-21T13:37:02.523+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Putusan Korupsi di bawah Pidana Minimum </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/1a5607c9ad56fac0db5e19892a338e92">No. 1660 K/Pid.Sus/2009</a> (Feri Susanto)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perkara ini Terdakwa didakwa
karena turut serta melakukan tindak pidana korupsi dalam pekerjaan
proyek pemeliharaan jalan dengan total kerugian sekitar 50 juta rupiah.
Dalam perkara ini terdakwa membantu Muljatno untuk mendirikan perusahaan
fiktif dimana terdakwa duduk sebagai Direktur Utamanya semata-mata agar
perusahaan tersebut yang sebenarnya dikendalikan oleh Muljatno dapat
memenangkan tender pemeliharaan jalan dengan total nilai proyek sebesar
+/- 140 juta rupiah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kenyataannya mulai dari pendirian
perusahaan, pelaksanaan pekerjaan hingga pencairan dana sama sekali
tidak dilakukan oleh Terdakwa, namun terdakwa membiarkan Muljatno untuk
memalsukan tanda tangannya dengan imbalan uang Rp. 5 juta.</div>
<div style="text-align: justify;">
Hingga batas waktu yang ditentukan
ternyata proyek pemeliharaan jalan tidak sepenuhnya terlaksana, namun
oleh perusahaan yang seakan-akan dipimpin oleh Terdakwa dilaporkan
pekerjaan telah selesai. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata terdapat
laporan palsu yang dilakukan oleh perusahaan milik terdakwa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di tingkat pertama walaupun terdakwa
didakwa dengan pasal 2 yang ancaman minimumnya 4 tahun dan denda Rp. 50
juta namun Pengadilan Negeri menghukum terdakwa dengan hukuman 4 bulan,
denda Rp. 30 juta subsidair 2 bulan dan pidana tambahan pembayaran uang
pengganti sebesar Rp. 5 juta. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung melalui putusan ini. Alasan Mahkamah Agung
membenarkan putusan judex factie dapat dilihat dibawah ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Pertimbangan Mahkamah Agung:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa
Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, Judex Facti sudah tepat dalam
pertimbangan hukum putusannya. Nilai kerugian yang dikorupsi Terdakwa
Relative kecil sebesar Rp.49.522.116.02 ,- sedangkan yang diperoleh
Terdakwa secara pribadi Rp.5.000.000,- disamping itu dalam perkara ini
tidak memiliki dampak yang signifikan, maupun peran Terdakwa yang tidak
signifikan pula.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<ol start="1">
<li style="text-align: justify;">Imam Harjadi (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">Mansur Kartayasa</li>
<li style="text-align: justify;">M. Zaharuddin Utama</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-91900932206585580182012-08-21T13:36:00.000+08:002012-08-21T13:36:00.412+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Penafsiran ”Penjara dan/atau Denda” (2) </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/a223e65d22d1f368e4a83b2011450373">No. 13 K/Pid.Sus/2011</a> (Isnaini)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam Perkara ini Terdakwa di dakwa
melanggar pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal 54 tersebut
berbunyi sebagai berikut:</div>
<div style="text-align: justify;">
Setiap orang yang menawarkan,
menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai
yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai
atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana <strong>penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10
(sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Di tingkat pertama terdakwa Isniani
dinyatakan terbukti melanggar pasal yang didakwakan, dan dijatuhi pidana
denda Rp. 1,3 juta tanpa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini diperkuat
di tingkat banding. Atas kedua putusan ini JPU kemudian mengajukan
kasasi dengan alasan karena judex facti dianggap melanggar UU karena
hanya menjatuhkan pidana denda tanpa menjatuhkan pidana penjara.
Permohonan Kasasi JPU tersebut kemudian di tolak oleh MA dengan alasan
yang intinya adalah Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana
penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Pertimbangan MA:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan, judex facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan
hukum dan putusan judex facti sudah tepat, karena judex facti telah
mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar , yai
tu ;</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo ;</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Bahwa Terdakwa memiliki usaha kecil
yang memperkerjakan buruh-buruh kecil sehingga penjatuhan pidana denda
kepada Terdakwa dipandang sudah tepat ;</div>
<div style="text-align: justify;">
3. Bahwa judex facti telah
mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan
yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, berat
ringannya pidana adalah wewenang judex facti ;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<ol start="1">
<li style="text-align: justify;">Artidjo Alkotsar (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">Mansur Kartayasa</li>
<li style="text-align: justify;">Sri Murwahyuni</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-76173442170572554212012-08-21T13:35:00.002+08:002012-08-21T13:35:14.336+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Pengertian ”Penjara dan/atau Denda” </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/bbde1c582cf8c5ddd70e89b1bab414a7">No. 2442 K/Pid.Sus/2009</a> (Ni Ketut Ari Susanti)</div>
<div style="text-align: justify;">
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam
perkara korupsi yang dipimpin oleh Ketua Muda Pidana Umum Artidjo
Alkotsar ini cukup menarik, bukan pada perkaranya itu sendiri namun pada
penafsirannya mengenai apa yang dimaksud dengan rumusan pemidanaan
penjara dan/atau denda. Apakah makna ”penjara dan/atau denda” diartikan
bahwa pengadilan dapat memilih salah satu diantara dua jenis pidana
pokok tersebut yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, menjatuhkan
keduanya, atau pidana penjara bersifat imperatif sementara pidana
dendanya bersifat fakultatif Dalam putusan ini MA berpandangan bahwa
pidana penjaranya bersifat imperatif, sehingga pengadilan tidak dapat
hanya menjatuhkan pidana denda.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perkara tindak pidana korupsi ini
terdakwa didakwa melanggar pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Di tingkat
pertama dakwaan terhadap terdakwa tersebut dinyatakan terbukti. PN
kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 tahun dan
denda sebesar Rp. 50 juta, serta pidana tambahan pembayaran uang
pengganti sebesar Rp. 12,5 juta. Atas putusan ini Terdakwa kemudian
mengajukan banding.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di tingkat banding Pengadilan Tinggi
mengabulkan permohonan banding dari terdakwa. PT kemudian mengubah
sanksi pidana dengan menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan
oleh PN sehingga hanya pidana denda dan pembayaran uang pengganti yang
dijatuhkan. Alasan PT menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan
PN yang terlihat dari Memori Kasasi JPU <em>yaitu bahwa pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana<strong>penjara dan atau</strong> <strong>denda</strong>
artinya baik pidana penjara dan denda keduanya dapat di ja t uhkan
bersamaan, tapi dapat pula dijatuhkan salah satu dari padanya yaitu
pidana penjara saja atau denda… </em>Namun di tingkat kasasi putusan PT
tersebut dibatalkan oleh MA dengan alasan pidana penjara atas
pelanggaran pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 bersifat imperatif.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pertimbangan ini menarik karena dalam
perkara lainnya dimana ketentuan sanksi pidananya juga dirumuskan dalam
bentuk ”penjara dan/atau denda” Mahkamah Agung berpandangan lain dan
bahkan dapat dikatakan sejalan dengan penafsiran yang digunakan oleh
Pengadilan Tinggi dalam perkara Ni Ketut Ari Susanti ini. Anehnya antara
perkara tersebut dengan perkara ini terdiri dari dua hakim agung yang
sama, yaitu Artidjo Alkotsar (Ketua Muda bidang Pidana Umum) dan Mansur
Kartayasa. Bahkan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim yang sama, yaitu
Artidjo Alkotsar. Perkara tersebut yaitu perkara Tindak Pidana Cukai
dalam putusan MA No. <a href="http://krupukulit.wordpress.com/2011/06/10/penafsiran-%e2%80%9dpenjara-danatau-denda%e2%80%9d-2/" title="Penafsiran ”Penjara dan/atau Denda” (2)"><strong>13 K/Pid.Sus/2011 (Isnaini).</strong></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam Perkara Isnaini tersebut terdakwa
di dakwa melanggar pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2007
tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal 54
tersebut berbunyi sebagai berikut:</div>
<div style="text-align: justify;">
Setiap orang yang menawarkan,
menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai
yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai
atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana <strong>penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10
(sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Di tingkat pertama terdakwa Isniani
dinyatakan terbukti melanggar pasal yang didakwakan, dan dijatuhi pidana
denda Rp. 1,3 juta tanpa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini diperkuat
di tingkat banding. Atas kedua putusan ini JPU kemudian mengajukan
kasasi dengan alasan karena judex facti dianggap melanggar UU karena
hanya menjatuhkan pidana denda tanpa menjatuhkan pidana penjara.
Permohonan Kasasi JPU tersebut kemudian di tolak oleh MA dengan alasan
yang intinya adalah Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana
penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo.</div>
<div style="text-align: justify;">
Adanya dua pertimbangan yang berbeda
untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian
mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara
dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau
alternatif.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut pertimbangan MA dalam Putusan No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Pertimbangan MA:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa Judex Facti mempertimbangkan
Terdakwa telah terbukti melakukan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 namun Judex Facti menjatuhkan
pidana denda tanpa pidana penjara, hal tersebut bertentangan dengan
ketentuan tentang penjatuhan sanksi yang diatur di dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tersebut yang mengatur keharusan
menjatuhkan pidana penjara yaitu dipidana dalam pidana penjara seumur
hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000, – ( lima puluh juta
rupiah ) ;</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa sebagai pidana pokok juga
disamping penjara yang berarti harus di jatuhkan pidana penjara sebagai
pidana pokok yang ditambah/ disertai pidana pokok lain yaitu denda,
dengan demikian penjatuhan pidana denda saja tanpa penjara merupakan
kesalahan penerapan hukum, oleh karena itu permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi / Jaksa/ Penuntut Umum beralasan hukum untuk dikabulkan ;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<ol start="1">
<li style="text-align: justify;">Artidjo Alkotsar (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">Mansur Kartayasa</li>
<li style="text-align: justify;">Timur P Manurung</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-17582859336043479612012-08-21T13:34:00.002+08:002012-08-21T13:34:14.649+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Penipuan atau Penyuapan? </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="article-content">
<div class="tweetmebutton">
</div>
Apakah membayar seorang pejabat/pegawai negeri untuk meloloskan
seseorang menjadi seorang pegawai merupakan suatu tindak pidana? Tentu
saja bukan? Setidaknya ada dua tindak pidana yang bisa dikenakan
terhadap kedua pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, yaitu
tindak pidana korupsi, khususnya pasal suap (pasal 5 dan pasal 12 huruf a
atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20
Tahun 2001) atau pasal Kolusi (Pasal 21 jo. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme) [lihat pasal-pasal tersebut dibawah].<br />
Apakah pasal-pasal tersebut mensyaratkan perbuatan yang dikehendaki
oleh penyuap (aktif) harus telah terlaksana, dalam konteks ini, apakah
lolos atau tidaknya penyuap atau pihak ketiga (anak, keluarga, teman
dll) menjadi salah satu penentu terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana
tersebut? Tidak. Mengapa? Oleh karena pasal-pasal tersebut, khususnya
pasal penyuapan merupakan delik formil, delik yang sempurnanya perbuatan
tidak ditentukan dari apakah akibat yang diharapkan terjadi terlaksana
atau tidak, namun sempurnanya delik didasarkan pada selesai atau
tidaknya perbuatan.<br />
Akan tetapi dalam beberapa perkara yang saya temui tak jarang
perbuatan seperti ini tidak didakwa dengan pasal penyuapan namun
penipuan, khususnya ketika ternyata si penerima suap (penyuap pasif)
tidak dapat memenuhi janjinya, seperti dalam kasus Farida Hanum (<a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b73a681ba0e3511b4f7a0f97a490f7c1/">Nomor 960 K/Pid/2011</a>)
[1]. Dalam perkara Farida Hanum ini Farida merupakan anggota Polri yang
dihukum 2 tahun atas penipuan terhadap beberapa karena menjanjikan
sanggup meloloskan pihak-pihak yang mau membayar sejumlah uang untuk
lolos dalam proses seleksi SECABA (Sekolah Calon Bintara) Polri. Kasus
ini berawal dari dipertemukannya korban dengan Terdakwa oleh seseorang
dengan tujuan agar anak korban dapat lolos SECABA. Terdakwa menjanjikan
bisa meloloskan anak Korban jika korban sanggup membayar sejumlah uang
(sekitar Rp 100 juta) karena katanya ia memiliki jatah 7 orang untuk
bisa diloloskan menjadi anggota Polri. Namun setelah (para) korban telah
membayar sejumlah uang tersebut ternyata Terdakwa tidak berhasil
memenuhi janjinya. Para korban kemudian melaporkan Terdakwa ke
kepolisian, dan kemudian ia didakwa dengan pasal penipuan, sementara itu
para Korban sendiri tidak didakwa.<br />
Dalam perkara lain, yaitu perkara gugatan perdata antara Ir. Hj. Sarmilis vs Bilkisti & Sugeng Padmono (<a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/df751cb0f16b2a0f3c5eacf11ac865d4">No. 3038 K/PDT/2009</a>)
Mahkamah Agung bahkan mengabulkan gugatan ganti kerugian yang dituntut
oleh Penggugat (Ir. Hj. Sarmilis) terhadap para Tergugat (Bilkisti &
Sugeng Padmono) karena para Tergugat tersebut tidak berhasil memenuhi
janjinya untuk meloloskannya menjadi Pegawai Negeri tetap dari Pegawai
Negeri Honorer. [lihat <a href="http://leip.or.id/kajian-putusan/putusan-perdata/215-kewajiban-mengembalikan-uang-dalam-perjanjian-yang-tidak-halal.html">Kewajiban Mengembalikan Uang Dalam Perjanjian Yang Tidak Halal</a>].
Dikabulkannya gugatan tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung secara
sadar atau tidak sadar telah mengakui bentuk perbuatan seperti ini yang
pada dasarnya adalah penyuapan serta perikatan atas dasar yang tidak
halal menjadi perikatan yang sah. [2]<br />
Perkara seperti ini tentunya tidak sejalan dengan upaya pemberantasan
korupsi (yang mana suap merupakan salah satu bentuk tindak pidana
korupsi). Putusan-putusan seperti ini membuat pesan bahwa membayar
seseorang penyelenggara negara / pegawai negeri secara melawan hukum
untuk meloloskannya atau pihak lain dalam suatu proses seleksi
penerimaan pegawai negeri / TNI/ Polri dll adalah sah sepanjang ia atau
pihak ketiga tersebut tidak lolos seleksi tersebut. Secara logika
perkara seperti ini juga tidak masuk akal, bagaimana mungkin suatu
perikatan dianggap sah jika prestasi yang diharapkan terjadi justru
tidak terjadi, sementara jika prestasi yang diharapkan terjadi baru lah
menjadi perikatan yang tidak sah dan menjadi tindak pidana suap.<br />
Praktik suap seperti ini tentunya cukup banyak, dan mungkin sudah
melembaga di masyarakat, dimana masyarakat menganggap membayar sejumlah
uang untuk menjadi pegawai negeri merupakan sesuatu yang jamak. Praktik
yang mungkin telah melembaga tersebut tentunya harus ditinggalkan, salah
satu caranya tentu dengan memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa
praktik seperti itu merupakan praktik yang ilegal, dan salah satu bentuk
pelajaran tersebut tentunya adalah dengan menghukum juga pihak yang
membayar (menyuap) terlepas dari apakah pihak yang membayar tersebut
ternyata sudah mengalami kerugian juga atau tidak karena ternyata apa
yang dijanjikan pihak penerima suap tersebut terpenuhi atau tidak.<br />
<strong>Lampiran </strong><br /><strong>Pasal 5 UU 31/1999 jo 20/2011</strong><br />(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:<br />
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau<br />
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.<br />
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).<br />
<strong>Pasal 12 huruf a dan b UU 20/2001 jo. 31/1999</strong><br />Dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):<br />
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;<br />
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;<br />
<strong>Pasal 1 angka 4 UU 28/1999</strong><br />Kolusi adalah
permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara
Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan
orang lain, masyarakat, dan atau negara.<br />
<strong>Pasal 5 angka 4 UU 28/1999</strong><br />Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :<br />4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;<br />
<strong>Pasal 21 UU 28/1999</strong><br />Setiap Penyelenggara Negara
atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 4 dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).<br />
<strong>Footnotes:</strong><br />
[1.] Dalam perkara ini sendiri perkara dinyatakan Ne bis in idem oleh
karena Terdakwa telah dihukum dalam perkara yang sama namun atas
laporan dari pihak korban yang lainnya. Majelis Hakim Agung dalam
perkara ini yaitu: Komariah Emong Saparadjaja (Ketua Majelis), Salman
Lutha, dan Andi Abu Ayyub Saleh.<br />
[2.] Saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu anggota majelis
perkara ini mengenai putusan dalam perkara ini. Saya menanyakan mengapa
MA memutus demikian padahal jelas-jelas perikatan tersebut merupakan
perikatan yang tidak sah, beliau menyatakan bahwa memang perikatan
tersebut merupakan perikatan yang tidak sah karena atas sebab yang tidak
halal, namun menurut beliau para korban nyatanya telah kehilangan uang
dan para tergugat telah mendapatkan keuntungan sementara tidak diketahui
apakah para tergugat telah dipidana juga atau tidak. Menurut beliau
tentulah tidak adil jika para tergugat mendapatkan keuntungan secara
tidak sah dan bisa lolos begitu saja, untuk itu maka MA (Majelis kasasi)
mengabulkan gugatan penggugat sebagai suatu bentuk hukuman terhadap
para penggugat.<br />
</div>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-84215012048315887092012-08-21T13:31:00.000+08:002012-08-21T13:31:10.889+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Ancaman Pidana Minimum Tidak Mengikat Bagi Terdakwa Anak </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
Ancaman pidana minimum sepertinya menjadi isu yang cukup sering
dibahas oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam perkara anak. Dalam
putusan-putusan terdahulu
akibat terjadinya kekosongan pengaturan mengenai apakah dalam perkara
dengan terdakwa anak pengadilan terikat dengan ketentuan pidana minimum
atau tidak, Mahkamah Agung cenderung mempertimbangkan bahwa ancaman
pidana minimum bagi anak dikurangi menjadi setengah dari ancaman yang
diatur dimasing-masing pasal yang didakwakan. Dalam perkara Jefferi
Ramadhan ini tampaknya Mahkamah Agung kembali melakukan terobosan hukum.
Dalam perkara ini pada pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa
ancaman pidana minimum tidak dapat diterapkan. Pertimbangan tersebut
didasarkan pada penafsiran MA atas maksud dan hakikat dari pasal 26 UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dengan demikian maka Mahkamah
Agung berpendapat bahwa Pengadilan Anak dimungkinkan untuk menjatuhkan
dibawah pidana minimum, batasan pidana minimum yang diberlakukan bagi
terpidana anak menurut Mahkamah Agung adalah 1 hari, sebagaimana diatur
dalam KUHP.<br />
<strong>Kutipan Pertimbangan Mahkamah Agung:</strong><br />Bahwa alasan
tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan
hukum, pertimbangan hukum dan putusan Judex Facti sudah tepat dan benar,
yaitu :<br />
<ol>
<li>Bahwa, sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun
1997, pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada nakal adalah paling
lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa;</li>
<li>Bahwa, apakah ketentuan tersebut berlaku terhadap ancaman pidana
minimum bagi anak nakal?, Dalam praktek selama ini, ketentuan Pasal 26
ayat (1) tersebut dapat digunakan terhadap ancaman minimum pidana
penjara bagi anak nakal, artinya ketentuan pidana penjara minimum Pasal
112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dikurangkan dengan ½, ini
berarti pidana penjara minimum yang dijatuhkan terhadap anak nakal
minimal 2 tahun;</li>
<li>Bahwa, namun apabila ketentuan tersebut ditafsirkan dan
dihubungkandengan maksud dan hakikat keberadaan Undang-Undang No 3 Tahun
1997 tentang Perlindungan Anak, maka terhadap anak nakal sesungguhnya
tidak dapat diterapkan ketentuan batas minimum pemidanaan, artinya
terhadap pidana penjara yang akan dijatuhkan terhadap anak nakal
mengikuti ancaman minimum pidana penjara 1 hari sebagaimana dalam KUHP;</li>
<li>Bahwa, apapun maksud Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No, 35 Tahun
2009 tersebut, memberikan pedoman bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan
pidana melebihi ½ dari ancaman pidana maksimum, tetapi tidak melarang
menjatuhkan pidana di bawah minimum;</li>
<li>Bahwa, berdasarkan alasan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah
Agung berpendapat pidana penjara bagi anak sebaiknya sebaiknya mengikuti
ancaman minimum pidana penjara 1 (satu) hari, dengan demikian Judex
Facti yang menjatuhkan pidana penjara di bawah minimal Pasal 112 ayat
(1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 bukanlah merupakan kesalahan
penerapan hukum, melainkan untuk memenuhi dan menegakkan jiwa atau roh
atau spirit yang terkandung dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997</li>
<li>Bahwa, Judex Facti telah mempertimbangkan Pasal aturan hukum yang
menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum dari putusan serta pertimbangan
mengenai keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang
meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, di samping itu
berat ringannya pidana adalah wewenang Judex Facti;</li>
</ol>
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong><br />1. Artidjo Alkotsar (Ketua)<br />2. Surya Jaya<br />3. Suhadi</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-12125143077410576682012-08-21T13:29:00.003+08:002012-08-21T13:29:23.801+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Terdakwa yang Tidak Didampingi oleh Penasehat Hukum bisa Dibebaskan
dan Dugaan Penyiksaan merupakan Beban Pembuktian dari JPU, bukan
Terdakwa </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<strong>Putusan MA No. 2588 K/Pid.Sus/2010</strong><br />
<strong><br />Resume Putusan:</strong><br />
Terdakwa Frengki dan Terdakwa Yusli dalam perkara ini didakwa dengan
dakwaan sengaja membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba
jenis Ganja. Atau dakwaan lainnya adalah memberi bantuan untuk membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba jenis Ganja yang didahului
dengan permufakatan jahat.<br />
Pengadilan Negeri Sidikalang menyatakan bahwa dakwaan-dakwaan jaksa
tersebut tidak terbukti. Dasar putusan ini adalah pencabutan BAP
Kepolisian di pengadilan oleh para terdakwa karena BAP tersebut dibuat
tanpa pendampingan penasehat hukum dan dibuat dalam keadaan dipaksa.<br />
Dengan putusan tersebut, JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Alasan kasasinya adalah sebagai berikut: 1. Terdakwa sudah mengakui
perbuatannya dengan bukti tanda tangan terdakwa di BAP ; 2. Terdakwa
telah mendalilkan adanya penyiksaan tetapi terdakwa tidak dapat
membuktikan dalilnya tersebut.<br />
Namun, Mahkamah Agung tidak sependapat dengan JPU. Mahkamah Agung
menguatkan putusan PN Sidikalang tersebut. Dengan putusannya tersebut
Mahkamah Agung menyatakan bahwa bantuan hukum adalah hak setiap terdakwa
dalam tingkatan pemeriksaan. MA juga menyatakan bahwa BAP yang
ditandatangani terdakwa bukan sebagai barang bukti di pengadilan dan JPU
tetap harus membuktikan secara substansial perbuatan pidana terdakwa.
Selain itu, yang terpenting, MA juga menyatakan bahwa dugaan <em>torture </em>(peyiksaan)
yang diajukan oleh terdakwa merupakan hal yang harus dibuktikan oleh
JPU, bukan terdakwa. Dengan demikian, JPU wajib membuktikan <em>torture</em> tersebut tidak terjadi.<br />
<br />
<strong>Pertimbangan MA</strong><br />
<ol start="1">
<li>Keberatan memori kasasi JPU tidak dapat dibenarkan karena judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum:<ol start="1">
<li>Terdakwa telah mencabut semua keterangannya dalam BAP karena
berdasarkan atas tekanan/paksaan dari pihak penyidik Polri dan
saksi verbalisan tidak dapat dihadirkan JPU untuk menguji bantahan
terdakwa</li>
<li>Selama pemeriksaan dari penyidik, kepada terdakwa tidak ada penasehat hukum yang mendampinginya</li>
<li>Penasehat hukum juga menyatakan tidak pernah mendampingi
Terdakwa dalam pemerisaan di penyidik, Penasehat hukum hanya
menandatangani BAP setelah siap atas permintaan Penyidik</li>
</ol>
</li>
</ol>
<br />
Majelis Hakim Agung<br />
<ol>
<li>Imam Harjadi (Ketua)</li>
<li>Salman Luthan</li>
<li>Sri Murwahyuni</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-21152579299890476532012-08-21T13:27:00.002+08:002012-08-21T13:27:18.803+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h2 class="contentheading">
Contoh Putusan Pidana Korporasi (1) </h2>
<div class="article-tools">
<br /></div>
<div class="tweetmebutton">
</div>
<div class="bg">
<div style="text-align: justify;">
<strong>Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/39b5cbb3394865d2b67cca16f2218c95">No. 862 K/Pid.Sus/2010 </a>(Kim Young Woo / PT. </strong><strong>Dongwoo Environmental Indonesia)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Putusan ini merupakan putusan atas
perkara pencemaran lingkungan hidup yang melibatkan suatu perusahaan
pengelola limbah cair Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Putusan ini
menarik karena merupakan salah satu dari sedikit putusan atas suatu
tindak pidana yang melibatkan korpoasi atau corporate crime.</div>
<div style="text-align: justify;">
Secara ringkas pada intinya dalam
perkara ini PT Dongwoo Environmental Indonesia sebagai perusahaan jasa
pengelola limbah B3 ternyata antara tahun 2006-2007 membuang sebagian
limbah yang diterima dari pihak ketiga yang seharusnya diolah dalam
tempat penampungan yang dimilikinya ke tempat lain yaitu tanah lapang di
kawasan Bekasi dan Cikarang. Tindakan tersebut kemudian mencemarkan
lingkungan dan mengakibatkan sebagian penduduk di kawasan tersebut
mengalami sakit-sakit.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari tingkat pertama hingga putusan
kasasi ini pengadilan menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar
UU No. 23 Tahun 1997. Yang menarik terdapat beberapa ketidakjelasan
dalam putusan ini. Pertama Dalam bagian Subyek Mahkamah Agung menyatakan
bahwa yang menadi Terdakwa adalah Kim Young Woo yang berstatus sebagai
Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia, sementara dalam
uraian dakwaan yang didakwa adalah PT. DEI itu sendiri. Begitu juga
dalam amar putusan, secara jelas menyatakan ”Terdakwa PT Dongwoo
Environmental Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo…”.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut kutipan tentang subyek terdakwa dalam putusan ini:</div>
<div style="text-align: justify;">
“memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :</div>
<div style="text-align: justify;">
Nama : <strong>KIM YOUNG WOO </strong>;</div>
<div style="text-align: justify;">
Tempat lahir : Seoul ;</div>
<div style="text-align: justify;">
Umur / tanggal lahir : 58 Tahun / 05 Januari 1950 ;</div>
<div style="text-align: justify;">
Jenis kelamin : Laki – laki ;</div>
<div style="text-align: justify;">
Kebangsaan : Korea Selatan ;</div>
<div style="text-align: justify;">
Tempat tinggal : xxxx</div>
<div style="text-align: justify;">
Agama : Kathol i k ;</div>
<div style="text-align: justify;">
Pekerjaan : Presiden Direktur PT. DongwooEnvironmental Indonesia ;”</div>
<div style="text-align: justify;">
Permasalahan ini juga diangkat oleh
Pemohon Kasasi (Terdakwa), dimana permasalahan perumusan subyek tersebut
telah terjadi dari tingkat pertama. Pemohon Kasasi berpandangan bahwa
jika perumusan subyeknya sebagaimana ditulis dalam putusan tingkat I dan
Banding maka sebenarnya yang menjadi terdakwa bukan lah PT. DEI namun
diri pribadi dari Kim Young Woo. Sementara itu jika dalam perkara ini
yang diadili adalah diri pribadi dari Kim Young Woo maka perkara ini
melanggar asas Ne Bis In Idem, mengingat terhadap diri pribadi Kim Young
Woo telah diperiksa dan diputus juga dalam berkas perkara yang
tersendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pemohon Kasasi Permasalahan
ketidakjelasan perumusan siapa yang menjadi terdakwa dalam perkara ini
mungkin terjadi karena permasalahan teknis belaka yang sangat mungkin
juga disebabkan minimnya pengaturan mengenai tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi. Namun sayangnya permasalahan ini tidak dijawab
oleh Mahkamah Agung. Seharusnya MA bisa memberikan kejelasan mengenai
permasalahan ini serta memberikan petunjuk dalam pertimbangannya
bagaimana seharusnya penempatan subyek dalam tindak pidana korporasi
kedepan, dengan tetap menyatakan kesalahan yang dilakukan baik oleh JPU
maupun Judex Facti dalam dakwaan maupun putusannya masih bisa dimaklumi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Permasalahan kedua sangat terkait dengan
permasalahan pertama, yaitu mengenai subsidair dari hukuman denda
apabila Terdakwa tidak membayar denda tersebut. Dalam putusannya MA
menyatakan bahwa Terdakwa dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 650 juta,
dan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 6 (enam) bulan. Permasalahannya adalah siapa yang akan
menjalani pidana kurungan tersebut apabila PT DEI tidak mau membayarnya?
Apakah Kim Young Woo? Dalam kapasitas apa ia akan dikenakan kurungan?
Apakah dalam kapasitasnya sebagai Presiden Direktur atau sebagai
pribadi? Bagaimana jika ternyata telah terjadi pergantian jabatan
Presiden Direktur, apakah yang menjalani kurungan tetap Kim Young Woo
atau Presiden Direktur yang pada saat itu menjabat?</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketidakjelasan mengenai pengganti denda
yang dapat memaksa Terdakwa dalam hal Terdakwa merupakan suatu Korporasi
dalam UU 23 Tahun 1997 (saat ini telah diganti dengan UU No. 32/2009)
tidak diatur. Karena hal tersebut tidak diatur maka berdasarkan pasal
103 KUHP ketentuan yang berlaku tentunya apa yang diatur dalam Buku I
KUHP, dalam hal ini apabila denda tidak dibayarkan maka diganti dengan
pidana kurungan. Dalam hal pertanggungjawaban korporasi tentu pidana
kurungan tidak dapat dijatuhkan, karena korporasi tidak mungkin bisa
dikurung. Sehingga sebenarnya terdapat kekosongan hukum mengenai hal
ini. Perkara ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh MA untuk mengisi
kekosongan hukum tersebut, misalnya dengan menyatakan bahwa apabila
denda tidak dibayarkan maka asetnya akan dirampas oleh negara senilai
denda yang dijatuhkan. Sekali lagi, sayangnya MA tidak mengambil
kesempatan ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Pertimbangan MA:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :</div>
<div style="text-align: justify;">
- Bahwa terlepas dari alasan-alasan
kasasi Judex Facti telah salah menerapkan hukum yaitu Judex Facti telah
salah dan keliru dalam penjatuhan sanks i terhadap Terdakwa sesuai
dengan ketentuan Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang mengancam sanksi terhadap pelanggar ketentuan a
quo dengan sanksi denda lebih berat yaitu di tambah sepertiga bila
tindak pidana di lakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
perseroan , perserikatan, yayasan atau organisasi lain ;</div>
<div style="text-align: justify;">
- Bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan
dalam kedudukan sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental
Indonesia yang bergerak di bidang Pengelolaan Limbah B3, yang secara
melawan hukum telah dengan sengaja melakaukan perbuatan pencemaran
lingkungan hidup secara berlan jut dengan cara membuang limbah sisa–sisa
pengolahan limbah B3 yang dilakukan PT. Dongwoo sejak bulan Oktober
2005 sampai dengan bulan Juni 2006, ke lokasi tanah kosong di Kampung
Sempu, Desa Pasirgombong, Kecamatan Cikarang Utara, yang mengakibatkan
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yaitu tanah di wilayah
pembuangan limbah telah terkontaminasi bahan pelarut organik yang
bersifat racun akut dan kronis yang dapat menyerang pernafasan makluk
hidup, sehingga berakibat 12 (dua belas) orang penduduk menderita sakit
sesuai Visum Et Repertum Dr. Ridwan Juansyah maupun hasil Lab Krim
tanggal 26 Juni 2006 ;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<ol start="1">
<li style="text-align: justify;">Mansur Kartayasa (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">M. Zaharuddin Utama</li>
<li style="text-align: justify;">Imam Harjadi</li>
</ol>
</div>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-24124235916877416072012-08-17T00:05:00.000+08:002012-08-17T00:05:00.899+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<header class="post-title">
<h1>
Perkara Pohon Mangga – Putusan MA No. 1022 K/Pdt/2006</h1>
</header>Begini kasus posisinya. Penggugat pada tahun 1986 membeli rumah di
komplek Polda di Jayapura. Pada saat itu di depan halaman rumahnya,
tepatnya di pinggir jalan, telah ada 2 buah pohon mangga yang masih
kecil. Kedua pohon tersebut sebelumnya ditanam oleh Tergugat yang
merupakan tetangganya. Kian lama kedua pohon mangga tersebut semakin
besar. Hal tersebut membuat Penggugat merasa khawatir kedua pohon
tersebut jika tumbang akan menimpa rumahnya, terlebih dahan pohon
tersebut memang telah menyentuh atap rumah Penggugat. Penggugat meminta
ijin dari Tergugat selaku pemilik kedua pohon mangga tersebut untuk
menebangnya namun tak diijinkan oleh Tergugat. Karena tidak mendapatkan
respon yang baik kemudian Penggugat mengirimkan surat ke kantor Walikota
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Walikota kemudian membentuk tim
gabungan untuk meninjau lokasi. Setelah melihat permasalahannya, Tim
Gabungan tersebut kemudian merekomendasikan agar Tergugat menebang kedua
pohon tersebut, namun tetap tak digubris oleh Tergugat. Akhirnya
Penggugat membawa masalah ini ke Pengadilan Negeri Jayapura atas dasar
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).<br />
Dalam petitumnya Penggugat memohon agar pengadilan memerintahkan
Tergugat untuk menebang kedua pohon tersebut, serta apabila suatu hari
sebelum kedua pohon tersebut ditebang ternyata tumbang dan menimpa rumah
Penggugat maka Tergugat dihukum untuk mengganti kerugian yang
ditimbulkannya.<br />
Atas gugatan tersebut pengadilan negeri Jayapura menggabulkan gugatan
penggugat untuk sebagian. Gugatan yang dikabulkan yaitu menyatakan
bahwa perbuatan Tergugat yang menolak permintaan untuk menebang kedua
pohon mangga tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, serta
memerintahkan agar Tergugat menebang kedua pohon dimaksud atas biaya
Tergugat. Namun ditingkat banding Pengadilan Tinggi kemudian membatalkan
putusan PN tersebut, dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat
diterima (NO). Pertimbangan PT tidak terlalu terlihat dalam putusan ini,
karena putusan ini adalah putusan kasasi. Namun dari pokok permohonan
Pemohon tampaknya PT membatalkan putusan PN dikarenakan PT menganggap
tergugat kurang pihak, seharusnya Negara turut digugat oleh Penggugat.
Selain itu PT menggap gugatan prematur karena belum ada kerugian yang
ditanggung Penggugat (karena pohonnya belum tumbang).<br />
Di tingkat Kasasi Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan PT,
serta mengambil alih putusan PN. Pertimbangan hukum MA yang menarik
adalah MA menyatakan bahwa Pertimbangan PT yang menganggap bahwa
kerugian dari Pemohon/Penggugat belum nyata tidak dapat dibenarkan, oleh
karena kerugian tidak selalu harus diartikan adanya kerugian materil,
tetapi kerugian juga dapat diartikan apabila kerugian itu mengancam hak
dan kepentingan Pemohon/Penggugat.</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-67687307194993646262012-08-16T23:48:00.005+08:002012-08-16T23:55:55.246+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<br />
<header class="post-title" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: left;">
<h1>
<span style="font-size: small;">Dilema Peninjauan Kembali oleh Jaksa – Catatan Atas Putusan MA</span></h1>
<span style="font-size: small;"><br /></span></header><br />
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pada
tahun 2007 yang lalu Mahkamah Agung memutuskan bahwa Permohonan PK yang
diajukan oleh Jaksa dalam kasus pembunuhan aktivis Munir dapat
diterima, bahkan dalam putusannya Majelis PK yang dipimpin oleh Ketua MA
pada saat itu, Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL membatalkan putusan MA
sebelumnya pada tingkat Kasasi dan menyatakan bahwa Pollycarpus terbukti
bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Hukuman yang
dijatuhkan oleh Majelis PK ini pun tak tanggung-tanggung, 20 tahun
penjara, 6 tahun lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi yang
menghukum Polly sebesar 14 tahun penjara. Namun khusus mengenai besarnya
hukuman ini suara MA ternyata tidak bulat, 2 Anggota Majelis yaitu
Parman Suparman dan Harifin Tumpa berpendapat bahwa hukuman yang dapat
dijatuhkan terhadap Polly tidak boleh lebih tinggi dari 14 tahun atau
tidak boleh lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span id="more-45"></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Diterimannya
permohonan PK yang diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung memang bukan
pertama kalinya terjadi. Kasus pertama dimana PK oleh Jaksa diterima
oleh MA yaitu dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Pada kasus
tersebut kebetulan yang menjadi ketua Majelis PK juga merupakan Ketua MA
pada saat itu, yaitu Soerjono. Pada masa itu reaksi masyarakat cukup
keras menolak keputusan MA tersebut. Dua argumentasi pokok yang
dikemukakan oleh kelompok yang menolak kewenangan PK oleh Jaksa, pertama
karena dalam Pasal 263 KUHAP secara tegas dinyatakan bahwa yang berhak
mengajukan PK adalah Terdakwa atau ahli warisnya. Kedua, pidana yang
dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Dalam kasus Muchtar
Pakpahan tersebut sebelumnya Mahkamah Agung telah membebaskan Mucthar
Pakpahan, sehingga tidak mungkin PK dapat diajukan oleh Jaksa, karena
putusannya pun pada akhirnya tidak boleh melebihi putusan bebas. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sebelum
putusan PK dalam kasus Pollycarpus ini diajukan oleh Jaksa, dapat
dikatakan mayoritas ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana dan
acara pidana memandang bahwa putusan MA dalam kasus Mochtar Pakpahan
merupakan suatu ”kesalahan sejarah” yang tidak perlu terjadi lagi, atau
dengan kata lain putusan MA yang tidak perlu dijadikan yurisprudensi.
Pasca putusan Kasasi yang membebaskan Akbar Tandjung pada tahun 2004
misalnya, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut
suka atau tidak suka harus diterima, karena PK merupakan hak terpidana
dan ahli warisnya, bukan milik kejaksaan. Hal ini dikatakannya dalam
menanggapi usulan masyarakat agar Kejaksaan mengajukan PK atas putusan
kasasi tersebut.<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn1" name="_ftnref1"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[1]</span></span></span></a> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Namun
kondisi seakan berbalik ketika MA dalam putusan Kasasinya menyatakan
Polly tidak terbukti melalukan pembunuhan atas Aktivis HAM Munir,
dorongan agar Jaksa mengajukan PK justru muncul dari para aktivis HAM.
Seakan para aktivis ini yang dulunya dalam kasus Muchtar Pakpahan
menolak mentah-mentah dibolehkannya Jaksa mengajukan PK berbalik arah
menjadi mendukung kewenangan PK oleh Jaksa. Putusan yang dulu dibencinya
kini dijadikan sumber hukum, di dorong untuk menjadi yurisprudensi!</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Kasus
Munir memang suatu dilema, batu ujian yang (seharusnya) sangat sulit
bagi para aktivis khususnya HAM. Jika putusan kasasi diterima mungkin
tak akan ada lagi kelanjutan atas misteri kematian Munir, namun jika
Jaksa dibolehkan mengajukan PK mungkin hal ini membuka kemungkinan
pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang lebih luas, seperti yang
terjadi dalam kasus Muchtar Pakpahan satu dasawarsa sebelumnya.
Sayangnya dilema tersebut seakan tak tercermin, padahal masalah ini
sebenarnya merupakan masalah yang sangat kritis, dua pilihan yang
sama-sama buruk. Tak banyak diskusi mengenai apa implikasi-implikasi
lanjutan dari masing-masing pilihan tersebut, dan langkah apa yang harus
dilakukan untuk meminimalisir implikasi yang bersifat negatif. Yang
terjadi hanyalah perdebatan legalistis semata, karena telah ada
’yurisprudensinya’ maka Jaksa dapat mengajukan PK, karena KUHAP tidak
secara tegas melarang Jaksa untuk mengajukan PK maka berarti Jaksa tidak
dilarang. Tepat seperti pertimbangan MA dalam putusan Muchtar Pakpahan.
Entah apakah argumentasi tersebut dibangun untuk menyindir pertimbangan
MA sebelas tahun yang lalu atau memang diyakini sebagai suatu
kebenaran. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
putusannya MA cukup panjang lebar dalam memberikan pertimbangan
mengenai kewenangan PK oleh Jaksa. Total halaman khusus pertimbangan
tersebut sebanyak 9 halaman, yang dimulai dari halaman 17 hingga halaman
25 dari 51 halaman seluruhnya. Dalam pertimbangannya tersebut cukup
banyak MA mengutip pertimbangan MA sebelumnya dalam kasus Muchtar
Pakpahan. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya pertimbangan MA dalam kasus
Muchtar Pakpahan merupakan inti dari pertimbangan MA dalam kasus
Pollycarpus. Salah satu Dalam pertimbangan di Kasus Muchtar Papkahan MA
berpendat:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><i>Pasal
21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini
ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak
yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili
kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan
yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah
Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan
kembali (PK) ke Mahkamah Agung;</i><i> </i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pertimbangan di atas dirujuk oleh MA dalam Kasus Pollycarpus, kemudian MA menambahkan (hal. 19-20):</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; “<i>Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang” </i><b>tidak menjelaskan </b>tentang “<i>siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” </i>tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : ”A<i>pabila
terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang
berkepentingan”, </i>tidak menjelaskan “<i>tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” </i>dan
terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25
Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2
Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan
menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud “<i>fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana” </i>selain terpidana atau ahli warisnya adalah <b>Jaksa</b>;</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
pertimbangan di atas terlihat bahwa MA menganggap bahwa terdapat
ketidakjelasan mengenai siapa yang dimaksud pihak-pihak yang disebutkan
dalam pasal 23 UU No. 4/2004. Jika dibaca secara keseluruhan seluruh
pertimbangan MA dalam kedua putusan ini, ketidakjelasan pengertian
”pihak-pihak yang berkepentingan” merupakan pertanyaan pokok dari
masalah ini. Ketidakjelasan tersebut menurut MA terjadi juga pada pasal
21 UU No. 14 Tahun 1970, “…tidak menjelaskan siapa-siapa yang dimaksud
dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan
kembali”, begitu pernyataan MA. …Suatu pertanyaan dan pernyataan yang
menggelikan, mengingat penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970
sebenarnya telah dengan gamblang menjelaskan mengenai siapa yang
dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><i>Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. <b>Permohonan
peninjauan kembali dalam perkara perdata diajukan oleh pihak yang
berkepentingan, termasuk di dalamnya juga para ahli waris dari
pihak-pihak yang <span style="text-decoration: underline;">berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli warisnya</span></b>. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Apakah
mungkin dalam dua kasus ini Majelis Hakim yang sama-sama dipimpin oleh
Ketua MA tersebut menggunakan UU yang tidak ada Penjelasannya?
Barangkali UU nya UU bajakan yang dibeli dari Pasar Senen. <i>Ius Curia Novit</i>, hakim harus dipandang tahu hukum (tapi belum tentu hakim tahu halaman penjelasannya ada di mana khan?).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
bagian lain selanjutnya MA dalam putusan Pollycarpus mencoba membangun
argumentasi bahwa dalam pasal 263 sebenarnya tidak mutlak mengatur bahwa
hak untuk mengajukan PK tidak hanya berlaku bagi Terpidana atau Ahli
Warisnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 263 ayat 1. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">2.
Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">a.
Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana
/ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan
vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang
berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam
ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ <i>Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan</i>” tidak mungkin dimanfaatkan
oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang
bersangkutan,sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan
hak untuk mengajukan peninjauan kembali;</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
pertimbangan point b di atas terlihat bahwa menurut MA PK tidak mutlak
hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya. Pasal 263 ayat 3
secara logis hanya mungkin diajukan oleh Jaksa. Akan tetapi jika dibaca
secara keseluruhan bukannya hal ini berarti hak PK oleh Jaksa tersebut
khusus apabila yang terjadi memang sesuai dengan pasal 263 ayat 3, yaitu
jika terdapat putusan dimana dakwaan telah dinyatakan terbukti namun
tidak diikuti pemidanaan? Mengingat pasal 263 ayat 2 a dan b secara
logis juga hanya mungkin diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
seluruh pertimbangan MA mengenai kewenangan jaksa untuk PK ini sangat
terlihat bahwa MA hanya ingin membuktikan bahwa Jaksa dapat mengajukan
PK, namun dengan melepaskan konteks dalam hal apa kewenangan tersebut
dapat diberikan. Hal ini terlihat dari misalnya ketika MA merujuk pada
pasal 248 ayat 3 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang
terdapad pada hal. 25 putusan a quo. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: left; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-size: small;">Menimbang,
bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai
bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;">1. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan “<i>Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan
terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”;</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
pasal 248 ayat 3 tersebut memang jelas disebutkan bahwa Oditur
(Jaksanya militer) ternyata memiliki kewenangan untuk mengajukan PK
dalam perkara pidana militer. Jika dibandingkan dengan pasal 263 ayat 3
KUHAP sangat terlihat kesamaannya dengan pasal 248 ayat 3 ini, kecuali
satu kata, yaitu disisipkannya kata <b>’Óditur’</b> antara frase ’yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap” dan frase ”dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali…”. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pasal 263 (3) UU No. 8 Tahun 1981</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Disisipkannya
kata Oditur tersebut memang seakan menjadi jawaban atas misteri, untuk
siapa sebenarnya alasan PK dalam pasal 263 (3) di atas. Namun apakah
serta merta dapat dikatakan bahwa Oditur dalam perkara pidana militer
memiliki hak yang sama untuk mengajukan PK sebagaimana halnya Terpidana
atau ahli warisnya? </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Selengkapnya pasal 248 UU 3/1971 berbunyi demikian:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b><span lang="IN" style="color: black;">Pasal 248</span></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b> </b><span lang="IN" style="color: black;">(1)
Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala
tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="color: black;">(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="color: black;">a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat
diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"> <span lang="IN" style="color: black;">b.
apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah
terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang
lain;</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"> <span lang="IN" style="color: black;">c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"> <span lang="IN" style="color: black;">(3)
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap
suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam
putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
pasal 248 ayat 1 s/d 3 tersebut terlihat menjadi lebih jelas, bahwa PK
pada prinsipnya merupakan hak dari terpidana atau ahli warisnya, kecuali
1 hal, yaitu yang terdapat dalam ayat 3. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Masalah ini akan lebih jelas lagi jika kita lihat bagaimana sejarah pengaturan mengenai PK ini. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Selain
perbandingan dengan UU 31/1997 di atas, untuk memperkuat argumentasinya
MA juga merujuk pada Statute of International Criminal Court, khususnya
pasal 84 yang memang mengatur mengenai Peninjauan Kembali (<i>Revision of Conviction or Sentence</i>). Dalam halaman 25 MA menyatakan: </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;">2. Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan “<i>1.
The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or
one person alive at the time of the accused”s death who has been given
express written instructions from the accused to bring such a claim or
the <span style="text-decoration: underline;">prosecutor</span> on the
person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment
of conviction or sentence on the grounds that………….”;</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
pertimbangan di atas MA sengaja menggarisbawahi kata ”prosecuter”,
seakan untuk menunjukkan bahwa dalam ICC pun Jaksa memiliki kewenangan
untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun tampaknya MA tidak mencoba
mengaitkan kata “<i>prosecutor</i>” tersebut dengan empat kata berikutnya ”…<i>on the person’s behalf</i>”.
Dengan rumusan pasal 84 ICC tersebut tentunya harus diartikan bahwa
kewenangan PK oleh prosecutor tersebut dimungkinkan namun demi
kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak
dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau
merugikan si tepidana.<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn2" name="_ftnref2"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[2]</span></span></a> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Sejarah Peraturan Peninjauan Kembali</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dalam
peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai PK pertama kali
diatur dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam pasal 15.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 15</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Terhadap
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau
keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Penjelasan Pasal 15</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;">Pasal
ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau
herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang
istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum
lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan
dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat
dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan
baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak
atau memperoleh perhatian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt; text-align: left;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Setelah
diundangkannya UU No. 19/1964 tersebut, tak selang berapa lama keluar
UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung sebagai turunan dari UU 19/1964. Dalam UU ini
kemudian dipertegas kembali mengenai adanya lembaga Peninjauan Kembali,
tak kurang dari 2 pasal yang menyatakan instrumen hukum ini, yaitu pada
Pasal 31 dan pasal 52.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 31</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Terhadap
putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai
dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 52</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: left;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Mahkamah
Agung mengadili tentang putusan-putusan yang dimohon peninjauan kembali
untuk masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
dua pasal di atas terlihat bahwa pengaturannya masih terlalu minim.
Atas kondisi ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 6
Tahun 1967 tentang Permohonan Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara
“Request-Civiel. Inti dari SEMA ini adalah menginstruksikan kepada
pengadilan-pengadilan untuk tidak menerima permohonan PK, karena hingga
saat itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai persyaratan,
tata cara dan lain sebagainya. Namun mengingat ternyata cukup banyaknya
permohonan yang diajukan ke pengadilan akhirnya dua tahun kemudian MA
mencabut SEMA tersebut dan mengatur mengenai persyaratan dan tata cara
permohonan PK melalui PERMA No. 1 Tahun 1969 (tanpa judul). PERMA yang
terdiri dari 8 pasal ini kemudian yang menjadi kerangka dasar pengaturan
mengenai PK selanjutnya, baik PK dalam hukum acara pidana maupun
peradilan lainnya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Khusus mengenai PK dalam perkara pidana diatur dalam pasla 3 dan 4 Perma tersebut. Selengkapnya:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 3</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Mahkamah
Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjaunya kembali
suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan
yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap,atas dasar alasan:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">a. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang menyolok;</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">b. apabila
dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan itu dianggap terbukti,
akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">c. apabila
terdapat keadaan-keadaan baru, sehingga menimbulkan pertimbangan
mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui pada waktu sidang
yang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung
pembebasan terpidana melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa
perbuatan yang di tuduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak
dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan
atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan;</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">d. apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan
sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti
itu diikuti oleh suatu pemidanaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 4</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">(1) Permohonan
peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan
Hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang
berkepentingan atau oleh Jaksa Agung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">(2) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">(3) Permohonan
harus diajukan secara tertulis,dengan menyebutkan sejelas jelasnya
alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepanitraan
Pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">(4) Apabila
pemohon tidak dapat menulis, maka ia diperbolehkan menguraikan
permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan tersebut, yang
akan memuat catatan tentang permohonan itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">(5) Ketua
Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirim surat permohonan atau catatan
tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua
Mahkamah Agung disertai dengan pertimbangannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">(6) Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: left;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
pasal 3 di atas terlihat bahwa tedapat kesamaan antara pasal tersebut
dengan pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981. Berbeda dengan pasal 263 KUHAP
dalam Perma ini memang diatur secara tegas bahwa Jaksa, khususnya Jaksa
Agung memiliki kewenangan juga untuk mengajukan PK (Pasal 4 ayat 1),
namun tanpa menjelaskan dalam hal apa kewenangan tersebut dimungkinkan.
Namun Perma ini sendiri ternyata tak berumur lama, karena tiga bulan
kemudian MA mengeluarkan SEMA No. 18 Tahun 1969 yang pada intinya
menunda pelaksanaan Perma tersebut hingga batas waktu yang tidak
ditentukan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Setahun
kemudian UU No. 19/1964 digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali masalah PK
dicantumkan dalam UU ini, yaitu dalam pasal 21 (rumusan pasalnya dapat
dilihat dibagian sebelumnya). Dalam pasal 21 ini khususnya bagian
penjelasan dijelaskan bahwa untuk perkara pidana PK dapat diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya, UU ini
juga tidak mengatur secara detil persyaratan dan tata cara permohonan
PK tersebut. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Atas
terbitnya UU kekuasaan kehakiman yang baru tersebut Mahkamah Agung
langsung menerbitkan lagi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971.
Perma ini intinya membatalkan berlakunya Perma No. 18/1969. Pembatalan
tersebut dikarenakan pada masa itu sedang dibahas rancangan
undang-undang yang akan mengatur hukum acara termasuk Peninjauan
Kembali, sehingga MA berpandangan bahwa sebaiknya pelaksanaan
pemeriksaan PK menunggu terbitnya UU tersebut. Namun hingga tahun 1976
ternyata rancangan undang-undang yang dimaksudkan tak kunjung terbit,
hal ini kemudian mendorong MA untuk mencabut Perma No. 1 Tahun 1971 dan
memberlakukan kembali Perma No. 18/1969 melalui Perma No. 1 Tahun 1976.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pada
tahun 1980 mengingat ternyata belum terbit juga undang-undang yang akan
mengatur hukum acara peninjauan kembali MA berinisiatif untuk
mengadakan rapat kerja dengan DPR mengenai masalah ini. Dalam rapat
tersebut disepakati untuk sementara pengaturan PK diatur dalam Perma.
Untuk itu maka MA menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Dilihat dari
pengaturannya Perma ini jauh lebih komperhensif dari Perma sebelumnya,
yaitu Perma No. 1/1969. Jika Perma No. 1/1969 hanya mengatur 8 pasal
dalam Perma 1/1980 ini terdapat 23 Pasal. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Salah
satu perbedaan substansial dari Perma 1/1980 dengan Perma 1/1969 ini
adalah dihapuskannya alasan PK karena adanya kekeliruan atau kekhilafan
yang menyolok, baik dalam perkara Pidana maupun perkara Perdata. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 9</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -18.75pt;">
<span style="font-size: small;">(1) Mahkamah
Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung
pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar
alasan:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">a. apabila
dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang
dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">b. apabila
terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat,
bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari
tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang
dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya
tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau
penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -18.75pt;">
<span style="font-size: small;">(2) Atas
dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu
putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai
terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan itu diikuti oleh
suatu pemidanaan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 10</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">(1)
Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung,
oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasal 16</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Apabila
terpidana meninggal dunia sebelum diajukan permohonan peninjauan
kembali, permohonan tersebut dapat diajukan oleh yang berkepentingan
termasuk ahli warisnya atau Jaksa Agung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
cuplikan ketentuan di atas terlihatt bahwa memang Jaksa, khususnya
Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK, namun tetap tanpa
kejelasan untuk alasan yang mana Jaksa Agung dapat mengajukan PK. Jika
dilihat dari pasal 9 terkesan bahwa khusus mengenai PK karena adanya
novum (ayat 1 b) hak ini hanya dimiliki oleh terpidana dan ‘pihak yang
berkepentingan’, namun jika dikaitkan dengan pasal 16 terlihat bahwa
Jaksa Agung memiliki hak juga untuk mengajukan PK atas dasar novum namun
demi kepentingan terpidana itu sendiri.<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn3" name="_ftnref3"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[3]</span></span></span></a> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Kesan
bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan justru demi
kepentingan terpidana itu sendiri dapat terlihat juga dari ketentuan
lainnya yaitu dalam pasal 11 dan 12. Dalam pasal 11 ini disebutkan bahwa
dalam hal permohonan PK diajukan oleh Jaksa Agung maka permohonan
tersebut (sekedar) diberitahukan juga kepada terpidana. Namun apabila
permohonan diajukan oleh terpidana maka Jaksa Agung memberikan
kesimpulan / pendapat atas permohonan tersebut (pasal 12). Tentunya jika
Jaksa Agung dapat mengajukan PK yang dapat memberatkan terpidana maka
terpidana juga diberikan hak untuk mengajukan pendapat atau kesimpulan
atas permohonan dari Jaksa Agung tersebut, namun ketentuan semacam ini
tidak terdapat dalam Perma ini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa
kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan semata-mata demi kepentingan
terpidana itu sendiri, atau karena alasan sebagaimana diatur dalam
pasal 9 ayat 2, yang memang hanya mungkin diajukan oleh Jaksa Agung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Usia
Perma ini ternyata tak berapa lama, karena setahun kemudian akhirnya
terbit UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam
KUHAP ini beberapa ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam baik Perma
No. 1/1969 maupun 1/1980 menjadi hilang, yaitu kewenangan Jaksa Agung
untuk mengajukan PK, termasuk kewenangannya dalam mewakili kepentingan
terpidana itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 16 Perma 1/1980.
Penghapusan kewenangan Jaksa tersebut juga terlihat dalam definisi Upaya
Hukum yang diatur dalam pasal 1 KUHAP, dalam huruf 12 dinyatakan :</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Upaya
hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi <b>atau
hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Namun
dengan dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut
menyisakan satu soal, siapa yang mungkin untuk mengajukan PK dengan
alasan sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 3.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Setelah
berlakunya KUHAP tesebut MA tidak pernah menerbitkan Perma maupun SEMA
yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali khususnya yang mengatur
mengenai PK dalam perkara pidana, kecuali Perma No. 1 Tahun 1982.<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn4" name="_ftnref4"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[4]</span></span></span></a>
Pemahaman bahwa PK merupakan hak ekslusif dari Terpidana dan Ahli
Warisnya kemudian menjadi pemahaman yang umum, hingga akhirnya muncul
permohonan PK oleh Jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996.
Permohonan tersebut sangat mengejutkan masyarakat khususnya kelompok
aktivis serta komunitas hukum. Berbagai polemik muncul di media-media
massa pada saat itu, tak kurang beberapa mantan Hakim Agung pun turut
bicara mengenai masalah ini, seperti misalnya Subianto dan Bismar
Siregar <a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn5" name="_ftnref5"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[5]</span></span></span></a>,
mantan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmaja, Anggota DPR, akademisi,
dan lain sebagainya. Berbagai unjuk rasa pun terjadi walaupun dalam
skala kecil mengingat situasi politik saat itu yang memang tidak
memungkinkan demonstrasi secara besar-besaran.<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn6" name="_ftnref6"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[6]</span></span></span></a> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Setahun
kemudian, tepatnya tanggal 15 Oktober 1997 Pemerintah dan DPR
menerbitkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Entah apakah
UU ini terpengaruh dari kejadian PK dalam kasus Muchtar Pakpahan atau
tidak namun kenyataannya dalam ketentuan mengenai PK dalam perkara
Pidana Militer seakan terjadi beberapa perbaikan yang lebih jelas. Hal
ini terlihat dari disisipkannya kata “oditur” dalam pasal 248 ayat 3 UU
31/1997 <a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn7" name="_ftnref7"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[7]</span></span></span></a>, serta dalam pasal 1 huruf 41 a UU ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 0pt 0pt 0pt 1in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="color: black;">a.
dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak
menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama
dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli
warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dengan
pengaturan pasal 1 huruf 41 a dan pasal 248 ayat 3 tersebut menjadi
jelas, bahwa (setidaknya) dalam peradilan pidana militer, oditur militer
memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan PK, namun kewenangan
tersebut terbatas apabila “…<i>dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan</i>.” (pasal 248 ayat 3). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pengaturan
PK dalam UU 31/1997 di atas seakan menjadi jembatan antara rumusan PK
dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 263 s/d 268 dengan Perma-Perma
sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa khususnya Jaksa
Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Namun demikian dalam UU
ini pun ternyata pengaturan mengenai tata cara permohonan tersebut,
khususnya apabila Oditur yang mengajukan PK serta bagaimana ketentuan
selanjutnya ternyata tidak terjawab juga dalam UU ini. Misalnya, apakah
putusan PK berdasarkan alasan pasal 248 (2) ini juga harus mengikuti
pasal 251 ayat (2)? </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin: 3pt 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Implikasi Hukum dimungkinkannya PK oleh Jaksa</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Mungkin
sudah tak terlalu bermanfaat juga untuk mempermasalahkan lagi apakah
Jaksa dapat melakukan PK atau tidak, mengingat dalam kenyataannya MA
sebagai benteng terakhir peradilan telah menerima PK oleh Jaksa, tidak
hanya sekali namun empat kali.<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn8" name="_ftnref8"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[8]</span></span></span></a>
Kita hanya bisa berharap putusan-putusan tersebut dijatuhkan dengan
pertimbangan yang matang, serta sesuai dengan rasa keadilan. Kini yang
perlu difikirkan adalah apa implikasi-implikasi hukum dari diberikannya
kewenangan PK oleh Jaksa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Terdapat
setidaknya 3 (tiga) pertanyaan hukum yang muncul sebagai akibat dari
dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK dalam konstruksi hukum acara
pidana yang ada saat ini. <b><i>Pertama</i></b>, jika Jaksa
diperbolehkan untuk mengajukan permohonan PK apakah PK oleh Jaksa
tersebut menghapuskan hak terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan
PK? Pasal 268 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1981 menyatakan secara tegas bahwa
permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja.
Selain KUHAP terdapat dua Undang-undang lainnya yang menyatakan hal yang
sama, yaitu UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU No. 14/1985 di pasal 66 ayat 1 dinyatakan
Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Sementara dalam UU No.
4/2004 pada pasal 23 ayat 2 dinyatakan ”<i>Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali</i>.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pertanyaan
hukum ini sebelumnya juga pernah muncul, yaitu pada kasus Muchtar
Pakpahan. Tak lama setelah MA memutuskan permohonan PK oleh Jaksa
tersebut Muchtar Pakpahan juga mengajukan permohonan PK atas PK tersebut
ke PN Medan. Pada saat itu sempat Panitera PN Medan menolak
mendaftarkan permohonan PK tersebut dengan alasan bahwa PK hanya dapat
diajukan 1 kali sesuai dengan pasal 268 ayat 3 KUHAP. Namun setelah
mendapatkan kritikan akhirnya PN Medan menerima pendaftaran permohonan
PK tersebut, entah bagaimana putusan MA pada saat itu, apakah penolakan
tersebut dikarenakan atas pasal 268 ayat 3 KUHAP tersebut atau karena
masalah lainnya atau mungkin memang tidak pernah ada putusan PK atas PK
tersebut dikarenakan Muchtar Pakpahan mendapatkan abolisi sebelum MA
mengeluarkan putusannya. Yang jelas akhirnya Muchtar Pakpahan bebas
bukan karena putusan MA namun karena pemberian abolisi yang dikeluarkan
oleh Presiden BJ Habibie 4 hari setelah menjabat sebagai Presiden
menggantikan HM Soeharto.<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn9" name="_ftnref9"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN">[9]</span></span></span></a> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dari
pertanyaan pertama ini tentunya hanya ada dua jawaban, PK oleh Jaksa
tidak menghapuskan hak terpidana untuk juga mengajukan PK, atau PK oleh
Jaksa menghapuskan hak terpidana. Masing-masing jawaban ini dapat dicari
landasan hukumnya baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan
lainnya. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Masing-masing jawaban
tersebut akan menimbulkan permasalahan hukum baru. Jika hak tersebut
dianggap hilang maka hal ini membuka peluang bagi Jaksa untuk bertindak
secara sewenang-wenang. Bagaimana jika kewenangan Jaksa untuk mengajukan
PK tersebut dipergunakan semata untuk menghapuskan hak dari terpidana
dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Untuk menghapuskan hak terpidana
ini tentunya akan sangat mudah dilakukan oleh Jaksa, ajukan saja PK
dengan alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim
(pasal 263 ayat 2 b), hilanglah hak dari terpidana tersebut bahkan jika
dikemudian hari ditemukan novum. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Untuk
menghindari hal tersebut tentunya kita akan berfikir bahwa PK oleh
Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk mengajukan kasasi,
sangatlah tidak adil jika hal tersebut yang dipilih. Namun jika
dipandang bahwa hak tersebut tidak hilang, akan timbul pertanyaan baru,
apakah PK yang diajukan oleh terpidana menghapuskan kewenangan Jaksa
untuk mengajukan PK? Jika dikatakan bahwa kewenangan PK Jaksa hilang
jika upaya hukum tersebut telah dipergunakan sebelumya oleh Terpidana,
dimana dasar hukumnya? Seperti juga tafsir MA atas PK oleh Jaksa “…tak
ada aturan yang melarang”. <i>So, how do we deal with this problem?</i></span><br />
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Kedua</b>.
Jika PK dapat diajukan oleh Jaksa, kapan terpidana akan ‘menikmati’ hak
nya atas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28D ayat 1
UUD 1945? Mengingat dalam KUHAP tidak ada batasan waktu kapan PK dapat
diajukan, terlebih lagi dalam pasal 264 ayat 3 dinyatakan “<i>Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu</i>”
. Akhirnya tentu kepastian bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap yang mengungtungkan terpidana tersebut baru akan benar-benar
menunggu dari diajukannya PK oleh Jaksa, yang ternyata tak ada
batasannya juga sampai kapan Jaksa akan atau tidak akan mengajukan PK.
Artinya tak ada kepastian hukum sama sekali. Hal ini tentunya bukan
masalah besar jika kita anggap bahwa kepastian hukum bukanlah hak asasi
manusia, atau kalau kita anggap bahwa penjahat bukan manusia. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Di
sisi lain tentunya sangat janggal jika masalah ini kita kaitkan dengan
daluarsa penuntutan maupun daluarsa pemidanaan yang diatur dalam KUHP.
Jika diperhatikan lebih dalam lagi, KUHAP pada dasarnya menempatkan
kedudukan Hak PK dalam kedudukan yang sangat istimewa. Hal ini terlihat
dengan diberikannya juga hak atas PK tersebut kepada Ahli Waris
Terpidana, yang mana berarti hak tersebut tidak hilang bahkan apabila
Terpidana telah meninggal dunia. Hal ini secara kontras berbeda dengan
kewenangan untuk menuntut yang dimiliki oleh Negara, dimana kewenangan
tersebut gugur apabila Tersangka atau Terdakwa meninggal dunia<a href="http://krupukulit.wordpress.com/wp-admin/#_ftn10" name="_ftnref10"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[10]</span></span></a>.
Dengan gugurnya hak menuntut tersebut maka berarti secara otomatis
apabila pun Negara memiliki kewenangan untuk mengajukan PK kewenangan
tersebut dapat gugur walaupun kewenangan tersebut belum dipergunakannya.
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Selain
itu tentunya menjadi janggal juga jika diperbandingkan dengan PK dalam
bidang perdata sebagaimana diatur dalam pasal 67 dan 69 UU No. 14 Tahun
1985. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Tentunya
kedepan, jika memang dipandang bahwa Jaksa (tetap) dapat mengajukan PK
-selain karena alasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 263 ayat 3-
harus diatur mengenai batasan waktu bagi Jaksa untuk dapat mengajukan
PK, dan aturan ini harus hanya mengikat bagi Jaksa saja. Mengapa hanya
mengikat untuk Jaksa? Ya pikir sendirilah. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pengaturan
tenggat waktu khusus untuk PK yang diajukan oleh Jaksa tentunya dapat
dilakukan. Ketentuan tenggat waktu yang ada pada PK dalam bidang perdata
dapat dijadikan rujukan, kecuali mengenai satu hal, yaitu PK dengan
alasan novum. Jika merujuk pada pasal 69 huruf b UU 14/1985 batasan
waktu PK karena adanya novum tenggat waktunya adalah 180 hari setelah
ditemukannya novum tersebut. Pembatasan yang demikian tentunya kurang
tepat jika diletakan dalam konteks pidana, karena tetap tidak akan
memberikan kepastian hukum bagi terpidana. Yang mungkin untuk dilakukan
adalah dengan memberikan tenggat waktu sekian lama setelah putusan
tersebut berkekuatan hukum tetap, termasuk juga dalam hal ditemukannya
novum. Jadi andaikan diatur tenggat waktu bagi Jaksa untuk mengajukan PK
selambat-lambatnya 180 hari setelah putusan memiliki kekuatan hukum
tetap, andaikata pun di hari ke 181 ditemukan novum yang dapat menghukum
terpidana hak jaksa tersebut tetap dinyatakan gugur. Adilkah? Jawaban
ini akan mudah dijawab jika kita mengetahui alasan diaturnya daluarsa
penuntutan dan pemidanaan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Ketiga, </b>dibolehkannya
Jaksa untuk mengajukan PK sebagai upaya hukum luar biasa otomatis akan
menghapuskan upaya hukum luar biasa lainnya, yaitu Kasasi Demi
Kepentingan Hukum yang diatur dalam pasal 259. Instrumen hukum ini
merupakan instrumen hukum yang khusus hanya diberikan kepada Jaksa
Agung, dimana hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap selain putusan MA. Upaya hukum ini dalam
pasal 259 ayat 2 dinyatakan tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan. Maksud dari ayat 2 ini menurut (….) putusan tersebut
tidak memiliki akibat hukum, sesuai juga dengan yurisprudensi MA dalam
perkara Drs. H. Ghozin Baidowi (Putusan MA No. 186 K/Kr/1979). Jadi
walaupun MA menilai bahwa permohonan Jaksa Agung tersebut tepat maka MA
hanya dapat memberikan pertimbangan hukum semata tanpa menjatuhkan
vonis, karena tujuan dari upaya hukum luar biasa ini adalah semata untuk
meluruskan hukumnya saja untuk menjaga kesatuan hukum. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Jika
Jaksa dibolehkan untuk mengajukan PK tentunya timbul pertanyaan, untuk
apa Jaksa Agung menggunakan upaya hukum luar biasa ini yang pada
akhirnya tidak memiliki dampak apapun terhadap terpidana, padahal ada
upaya hukum lainnya yang lebih “menguntungkan”? Terlebih upaya hukum
yang lebih “menguntungkan” tersebut tak harus diajukan sendiri olehnya
cukup oleh anak buahnya. Kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya
hukum luar biasa pada akhirnya akan benar-benar menjadi upaya hukum luar
biasa, dalam pengertian luar biasa bodoh jika Jaksa Agung
menggunakannya padahal ada upaya hukum lainnya yang jauh lebih
“bermanfaat”, yaitu PK. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Kesimpulan</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Dimungkinkannya
PK oleh jaksa berimplikasi pada diperlukannya beberapa perubahan
ketentuan dalam KUHAP. Perubahan-perubahan tersebut diperlukan demi
menjaga kepastian hukum serta untuk melindungi hak-hak terpidana. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Setidaknya perubahan tersebut harus mencakup:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">1. Kejelasan mengenai apakah PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana atau tidak. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">2. Kejelasan apakah jika PK telah diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dapat dilakukan PK lagi oleh jaksa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">3. Diaturnya tenggat waktu permohonan PK oleh jaksa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">4. Kejelasan mengenai siapa yang dapat mengajukan PK yang diatur dalam pasal 263 ayat 3 serta tata caranya, serta</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt 0pt 0pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-size: small;">5. Dihapuskannya upaya hukum luar biasa Kasasi Demi Kepentingan Hukum. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Akhir
kata saya ingin mengutip tulisan mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang
ditulisnya sesaat setelah diterimanya permohonan PK oleh MA dalam kasus
Muchtar Pakpahan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: left;">
<span style="font-size: small;">“<i>Sekali
lagi, berprasangka baik. Sebutlah satu di antara yang dua “pasti”
salah. Tentang siapa yang salah, biarlah sejarah yang akan menentukan
alias wallahu’alam bissawab.”</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<span style="font-size: small;"><br />
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: 150%; margin: 0pt; text-align: justify;">
</div>
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-77654069586462320712012-08-16T23:36:00.001+08:002012-08-16T23:36:10.410+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<header class="post-title">
<h1>
Penjatuhan Tindakan Kewajiban Rehabilitasi atas Perbuatan yang Didakwa Pasal 111 UU Narkotika</h1>
</header><div style="text-align: justify;">
<strong>Nomor <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/cfb0d0923d489596ffbc9fc0d6485135">777 K/Pid.Sus/2011</a> (Sukron Habibi)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perkara ini terdakwa yang baru
berusia 18 tahun tertangkap tangan sedang membawa ganja dengan berat
kotor 0,7 gram ketika hendak menuju rumah rekannya untuk melakukan pesta
minuman keras. Atas perbuatan membawa ganja tersebut terdakwa kemudian
didakwa dengan dakwaan tunggal oleh Penuntut Umum dengan menggunakan
pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan dituntut
pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 800.000.000,00.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas tuntutan tersebut Pengadilan Negeri
Pasuruan menyatakan dakwaan terbukti dan menjatuhi hukuman penjara
kepada terdakwa selama 8 bulan dan denda Rp 800.000.000,00 subsidair
kurungan 2 bulan. Hukuman penjara yang dijatuhkan oleh PN Pasuruan ini
memang jauh dibawah ancaman pidana penjara minimum yang diatur dalam
pasal 111 ayat (1) UU Narkotika, yang mana diatur minimum <span id="more-1142"></span>selama
4 tahun. Atas putusan seperti ini Penuntut Umum kemudian mengajukan
banding, namun oleh PT Surabaya putusan PN Pasuruan tersebut justru
diperkuat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas putusan PT yang memperkuat putusan
PN tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam alasan kasasinya Penuntut Umum bersikukuh bahwa judex facti telah
melakukan kesalahan penerapan hukum oleh karena menjatuhkan hukuman
penjara yang melanggar ketentuan pidana minimum. Namun diluar dugaan
Penuntut Umum Mahkamah Agung bukannya membatalkan putusan PT dan
menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutannya, Mahkamah Agung justru
memerintahkan agar Terdakwa dikenai tindakan berupa pengobatan dan
rehabilitasi. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa
dalam perkara Penuntut Umum terlalu memaksakan dakwaannya yang
menggunakan pasal 111 ayat (1) UU Narkotika, padahal pada hakikatnya
peristiwa ini merupakan peristiwa penyalahgunaan narkotika yang diatur
dalam pasal 127 UU Narkotika, selain itu terdakwa juga masih sangat muda
dan masih sekolah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Kutipan pertimbangan Mahkamah Agung:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti
tidak salah menerapkan hukum, namun untuk pemidanaan terhadap Terdakwa
perlu diperbaiki dengan pertimbangan sebagai berikut :</div>
<ul>
<li style="text-align: justify;">Bahwa Jaksa/Penuntut Umum memaksakan
Dakwaan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, walaupun pada hakikatnya dalam peristiwa tersebut in casu
yang terjadi adalah penyalahgunaan Narkotika jenis tanaman yang
dilakukan oleh Terdakwa yang masih sangat muda (18 tahun) dan masih
sekolah;</li>
<li style="text-align: justify;">Bahwa perbuatan Terdakwa harusnya
didakwa dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, walaupun dapat saja dipaksakan sesuai dakwaan Jaksa/Penuntut
Umum memaksakan dakwaan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 a quo, dan karena setiap putusan harus bersifat konkrit langsung
menyentuh kenyataan yang ada agar segera menghidupkan rasa keadilan
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang abstrak sehingga
perlu diuji kehandalannya, in casu Terdakwa harus dipidana dengan
pemidanaan yang paling tepat, karenanya ketentuan tentang Pasal 103 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang rehabilitasi wajib
diterapkan sebagai pembinaan lebih lanjut kepada Terdakwa;</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, berdasarkan pertimbangan
tersebut maka putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya No.
861/PID/2010/PT. SBY. Tanggal 10 Januari 2011 yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 129/Pid. B/2010/PN. PSR. tanggal 21
Oktober 2010 harus diperbaiki sekedar mengenai amar pemidanaan;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Kutipan sebagian Amar Putusan</strong><br />
1. Menyatakan Terdakwa Sukron Habibi bin H. Suja’i, telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak dan
melawan hukum menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman ;</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Memerintahkan agar Terdakwa Sukron
Habibi bin H. Suja’i menjalani pengobatan dan rehabilitasi pada rumah
sakit dan/atau lembaga rehabilitasi yang diakui Pemerintah ;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Imron Anwari (Ketua)<br />
2. Surya Jaya<br />
3. Timur Manurung</div>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-72828375298736272392012-08-16T23:34:00.001+08:002012-08-21T13:32:13.812+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<header class="post-title">
<h1>
Pengurangan Ancaman Pidana Minimum dalam Pengadilan Anak sebagai Yurisprudensi?</h1>
</header><br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa ancaman hukuman
maksimum yang dapat dijatuhkan kepada terpidana anak adalah ½ dari
ancaman maksimum dari ketentuan pidana yang akan dikenakan (Pasal 26
ayat (1), 27, dan 28 ayat (1)). Undang-undang yang hingga kini masih
berlaku tersebut belum mengatur bagaimana dengan ancaman minimum yang
saat ini banyak diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan pidana.
Belum diaturnya ketentuantuan mengenai bagaimana penerapan ketentuan
pidana minimum dalam UU ini dapat dipahami, mengingat pada saat itu
memang belum ada ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum. UU
yang memuat ancaman pidana minimum sendiri baru lahir pada tahun yang
sama dengan lahirnya UU Pengadilan Anak itu sendiri, yaitu tahun 1997,
tepatnya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU yang lahir 2 bulan
setelah UU Pengadilan Anak. [1]</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Kini
lebih dari 15 tahun sejak UU Pengadilan Anak tersebut disahkan telah
banyak undang-undang yang memuat ketentuan ancaman pidana minimum yang
harus dijatuhkan pengadilan apabila dinyatakan terdakwa terbukti
bersalah atas dakwaan penuntut umum. Setidaknya terdapat 52 UU sejak
tahun 1997 (daftar UU lihat lampiran). Dari 52 UU tersebut memang tidak
seluruhnya merupakan delik-delik yang mungkin dilakukan oleh anak.
Tindak pidana yang diatur di UU 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat misalnya, tentu hampir tidak
mungkin dilakukan oleh Anak dibawah umur. Delik-delik yang memuat
ancaman pidana minimum yang mungkin dilakukan oleh anak misalnya
narkotika, pornografi, tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, kejahatan
dalam UU Perlindungan Anak dan beberapa tindak pidana lainnya. Akan
tetapi terlepas dari jenis delik apa yang mungkin dilakukan oleh anak
dibawah umur pertanyaan mengenai bagaimana pemberlakuan ancaman pidana
minimum bagi anak tetaplah penting untuk dijawab. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Atas
kekosongan hukum ini Mahkamah Agung telah beberapa kali memutus bahwa
ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman
minimum yang <span id="more-980"></span>ada dalam ketentuan terkait.
Putusan Mahkamah Agung yang sejauh ini ditemukan penulis yang
menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi anak diturunkan menjadi ½
dari ancaman yang tertera dalam pasal terkait adalah putusan MA No. No.
695 K/Pid/2006 dengan terdakwa berinisial ‘M’ yang diputus pada tanggal
12 April 2006. Dalam perkara ini Terdakwa didakwa yang pada saat itu
berusia 16 tahun melakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak dibawah umur melakukan perbuatan cabul. Perbuatan tersebut
diancam dengan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dengan ancaman hukuman penjara paling tinggi 15 tahun dan paling singkat
3 tahun dan denda paling tinggi Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Dalam
perkara tersebut Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti melanggar
pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003 tersebut dan dijatuhi hukuman penjara 3
tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Atas tuntutan tersebut Pengadilan
Negeri Praya dalam putusannya No. 157/Pid.B/2005/PN.Pra menyatakan
Terdakwa terbukti melanggar pasal 82 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi
pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Putusan
tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Mataram No.
04/Pid/2006/PT.MTR tanggal 25 Januari 2006. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Hukuman
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Praya tersebut khususnya pidana
penjara, berada di bawah ancaman hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 82
UU Perlindungan Anak. Atas dasar tersebut Penuntut Umum kemudian
mengajukan kasasi. Penuntut Umum mendalilkan bahwa putusan judex facti
salah karena tidak menerapkan ketentuan pidana minimum tersebut. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Permohonan
Kasasi Penuntut Umum dikabulkan oleh MA dengan majelis hakim yang
terdiri dari Hakim Agung Iskandar Kamil, SH., sebagai Ketua Majelis, dan
M. Bahaudin Qaudry, SH., serta Prof. Dr. Kamiuddin Salle, SH., MH.,
sebagai anggota majelisnya. Namun pertimbangan MA dalam perkara ini
justru bertolak belakang dari dalil Penuntut Umum. Dalam putusannya MA
justru menurunkan hukuman khususnya hukuman denda dari Rp 60.000.000,00
menjadi Rp. 30.000.000,00 dengan pertimbangan bahwa ancaman pidana
minimum adalah ½ dari ancaman pidana minimum bagi orang dewasa, dengan
menganalogikan ketentuan pengurangan ancaman hukuman maksimum bagi
terdakwa anak yang diatur dalam pasal 26 (1) UU 3 Tahun 1997 seperti
tertuang dibawah ini:</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Menimbang bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Bahwa
alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah
salah menerapkan peraturan hukum/diterapkan tidak sebagaimana mestinya,
karena berdasarkan pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 jo. Pasal
1 angka 2 huruf a Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, terhadap
Terdakwa yang berumur 16 tahun tersebut pidana penjara yang dapat
dijaturhkan adalah ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa ;</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><i>Karena
ketentuan pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ditentukan ancaman
pidana penjara kumulatif dengan pidana denda yaitu paling singkat 3
tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,- maka secara analogis
dengan Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tersebut, maka
ancaman pidana minimum bagi anak adalah ½ nya dari orang dewasa yaitu
penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,</i>-</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Putusan
MA tersebut bukan satu-satunya putusan yang menerapkan atau menyatakan
bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman
yang tertera dalam pasal pidananya. Setahun berikutnya MA kembali
memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam putusan Nomor 2824
K/Pid/2006 yang diputus pada tanggal 31 Januari 2007 dengan terdakwa
‘SS’ yang berusia 14 tahun. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam
perkara ini serupa dengan dalam putusan No. 695 K/Pid/2006 di atas,
yaitu pelanggaran atas pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003. Dalam perkara ini
Pengadilan Negeri menjatuhi hukuman terhadap terdakwa sesuai dengan
pidana minimum yang diatur pasal 82 UU Perlindungan Anak tersebut, yaitu
penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,00. Putusan
judex facti tersebut dibatalkan oleh MA dengan komposisi majelis hakim
yang hampir sama dengan komposisi dalam perkara sebelumnya, kecuali satu
orang anggota yang berbeda yaitu Djoko Sarwoko yang ‘menggantikan’
posisi Prof. Dr. Kaimuddin Salle, SH., MH, sebagai anggota majelis. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Yang
menarik, dalam perkara ini walaupun majelis kasasi mempertegas bahwa
ancaman pidana minimum untuk terdakwa anak dikurangi menjadi ½ namun
dalam putusannya majelis kasasi bahkan tidak menjatuhkan hukuman
terhadap terdakwa, namun tindakan, yaitu mengembalikan terdakwa kepada
orang tuanya, mengingat usia terdakwa yang masih terlalu muda yaitu 14
tahun. Pertimbangan mengenai berlakunya pengurangan ½ ancaman pidana
minimum dalam putusan ini seakan hanya ingin mempertegas putusan
sebelumnya. Berikut pertimbangan MA dalam perkara ini:</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Terlepas
dari alasan-alasan tersebut, ternyata judex factie telah salah
menerapkan peraturan hukum/tidak menerapkan sebagaimana mestinya, karena
judex factie telah menerapkan penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang
masih berumur 14 tahun ini sama dengan terhadap orang dewasa, sedangkan
berdasarkan Pasal 26 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 penjatuhan pidana
terhadap anak nakal paling lama ½ dari maximum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa, serta secara acontrario dapat ditafsir pula paling
lama ½ dari minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ;</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></i></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Oleh
karena Terdakwa masih begitu muda belum mengetahui baik buruknya
perbuatan yang dilakukannya tersebut dan supaya pemidanaan tidak
mempengaruhi pendidikannya masa mendatang, maka perlu hanya dilakukan
tindakan terhadap Terdakwa tersebut berupa pengembalian pada orang tua
untuk dapat dilakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah (Pasal
24 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 ;</span></i></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Dua
bulan setelah putusan tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2007 MA
kembali memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam perkara No. 277
K/Pid.Sus/2007 dengan terdakwa ‘H’ yang diputus dengan majelis yang
sama dengan perkara No. 2824 K/Pid/2006 sebelumnya. Serupa dengan
perkara sebelumnya, perkara ini juga mengenai kekerasan seksual oleh
anak-anak terhadap anak-anak. Dalam perkara ini MA membatalkan putusan
judex facti yang menghukum terdakwa (17 tahun) dengan hukuman selama 4
tahun dan denda Rp 30.000.000,00 menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp
30.000.000,00. [2] </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Dalam
putusan yang lainnya MA kembali memperkuat ketiga pertimbangan
putusan-putusan di atas yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum
bagi terdakwa anak dikurangi setengahnya. Kali ini dalam perkara nomor
1185 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa ‘NSAJ’ yang diputus pada tanggal 29
Nopember 2010. Dalam perkara ini terdakwa yang saat melakukan tindak
pidana masih berusia 17 tahun juga didakwa dengan Pasal 81 UU
Perlindungan Anak. Di tingkat pertama terdakwa dinyatakan terbukti
melanggar Pasal 81 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara
sesuai dengan ancaman minimum yaitu penjara 3 tahun dan denda Rp
60.000.000,00 oleh PN Slawi. Putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi Semarang dimana PT menurunkan hukumannya menjadi 1 tahun 6 bulan
dan denda Rp 30.000.000,00. Atas putusan PT tersebut Penuntut Umum
mengajukan permohonan kasasi dengan alasan putusan PT menyalahi
ketentuan pidana minimum yang ditetapkan UU Perlindungan Anak. Namun
atas alasan tersebut majelis kasasi yang dipimpin oleh Ketua MA saat itu
yaitu Dr. Harifin A Tumpa, SH., MH., sebagai ketua Majelis dan Prof.
Rehngena Pubrba, SH, MS dan H. Djafni Djamal, SH., MH sebagai anggota
majelis menyatakan bahwa putusan PT Semarang tersebut tidak salah dalam
menerapkan hukum. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Sebagai
catatan tambahan, sebenarnya penerapan pengurangan ancaman pidana
minimum bagi anak menjadi ½ sudah pernah dilakukan oleh Pengadilan
Tingkat Pertama jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 2000. Pada saat itu PN
Denpasar yang memeriksa dan memutus perkara nomor 183/Pid.B/2000/PN.Dps
dalam perkara Psikotropika (Pasal 59 ayat 1 sub e UU No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika) yang diancam dengan ancaman pidana penjara minimum
4 tahun menjatuhi hukuman penjara terhadap terdakwa ‘DY’ yang masih
berusia 17 tahun dengan pidana penjara selama 2 tahun, atau ½ dari
ancaman penjara minimum. Namun putusan tersebut dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Denpasar. PT Denpasar kemudian mengkoreksi putusan PN
tersebut menjadi sesuai dengan pidana minimum yang diatur dalam pasal 59
ayat 1 sub e UU tersebut. Putusan PT ini kemudian dikuatkan MA dalam
putusannya nomor 2110 K/Pid/2001 yang diputus pada tanggal 19 Nopember
2003. Saat itu majelis hakim agung yang menangani perkara tersebut
adalah Abdul Kadir Mappong, SH sebagai ketua majelis, IB Ngurah Adnyana,
SH dan Usman Karim, SH sebagai anggota-anggota majelis. Di luar putusan
ini belum ditemukan lagi putusan lainnya yang serupa. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Yurisprudensi?</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Dengan
melihat beberapa putusan Mahkamah Agung yang menafsirkan atau
memperluas pengertian pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang menurunkan ancaman minimum menjadi ½ dari ancaman
pidana minimum bagi orang dewasa yang menjadi pertanyaan adalah, apakah
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penafsiran maupun perluasan
penafsiran tersebut telah dapat dikatakan sebagai Yurisprudensi? </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Menurut
saya sudah, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, adanya
kekosongan pengaturan mengenai pengaturan pidana minimum bagi terdakwa
anak dalam UU No. 3 Tahun 1997. Kedua, perluasan penafsiran oleh MA
tersebut logis dan sejalan dengan tujuan dari UU Pengadilan Anak itu
sendiri. Ketiga, penafsiran tersebut telah berulang kali diterapkan dan
diperkuat oleh baik MA maupun pengadilan-pengadilan di tingkat pertama
maupun banding, dimana di tingkat MA majelis Hakim Agungnya pun
berbeda-beda. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Pertanyaann
selanjutnya adalah, mengingat perkara-perkara di atas semuanya
merupakan perkara dengan dakwaan pelanggaran atas UU Perlindungan Anak,
apakah yurisprudensi ini berarti hanya berlaku dalam perkara tindak
pidana Perlindungan Anak atau berlaku juga untuk semua tindak pidana
dimana terdapat ancaman pidana minimum? Menurut saya berlaku juga. Dalam
putusan-putusan di atas Mahkamah Agung tidak secara spesifik membahas
mengenai tindak pidana Perlindungan Anak, namun pasal 26 ayat (1) UU
Pengadilan Anak (3 Tahun 1997). Dengan demikian penafsiran ini bersifat
umum dan dapat diterapkan untuk tindak pidana-tindak pidana lainnya. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Sekian. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Footnotes:</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
(1) UU 3 Tahun 1997 disahkan pada tanggal 3 Januari 1997 sedangkan UU 5 Tahun 1997 disahkan pada tanggal 11 Maret 1997.<br />
(2) Jika melihat besarnya pidana denda yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri sebesar Rp 30.000.000,00 dari ancaman denda minimum
pasal yang didakwakan, yaitu pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 terlihat
sebenarnya Pengadilan Negeri juga telah menerapkan pengurangan ½ ancaman
pidana bagi terdakwa anak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Lampiran</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">Daftar UU yang Memuat Ketentuan Pidana Minimum</span></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">No UU Title</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">1. 5 Tahun 1997 Psikotropika</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">2. 22 Tahun 1997 Narkotika</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">3. 10 Tahun 1998 Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">4. 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">5. 17 Tahun 1999 Penyelenggaraan Ibadah Haji </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">6. 23 Tahun 1999 Bank Indonesia </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">7. 24 Tahun 1999 Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">8. 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">9. 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">10. 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">11. 21 Tahun 2000 Serikat Pekerja/ Serikat Buruh</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">12. 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">13. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">14. 15 Tahun 2002 Tindak Pidana Pencucian Uang </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">15. 19 Tahun 2002 Hak Cipta </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">16. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">17. 24 Tahun 2002 Surat Utang Negara </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">18. 12 Tahun 2003 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">19. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">20. 23 Tahun 2003 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">21. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">22. 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">23. 15 Tahun 2004 Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">24. 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">25. 24 Tahun 2004 Lembaga Penjamin Simpanan </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">26. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">27. 39 Tahun 2004 Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">28. 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi Dan Korban </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">29. 15 Tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">30. 17 Tahun 2006 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">31. 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">32. 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">33. 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">34. 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">35. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">36. 9 TAHUN 2008 Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">37. 10 TAHUN 2008 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">38. 11 TAHUN 2008 Informasi Dan Transaksi Elektronik </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">39. 19 TAHUN 2008 Surat Berharga Syariah Negara </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">40. 21 TAHUN 2008 Perbankan Syariah </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">41. 42 TAHUN 2008 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">42. 43 TAHUN 2008 Wilayah Negara </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">43. 44 TAHUN 2008 Pornografi </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">44. 2 TAHUN 2009 Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">45. 10 TAHUN 2009 Kepariwisataan </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">46. 32 TAHUN 2009 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">47. 35 TAHUN 2009 Narkotika </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">48. 41 TAHUN 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">49. 11 TAHUN 2010 Cagar Budaya </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">50. 5 Tahun 2011 Akuntan Publik</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">51. 6 Tahun 2011 Keimigrasian</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;">52. 10 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2007 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: sans-serif; font-size: x-small;"><br />
</span></div>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-75975030532588348972012-08-16T23:29:00.001+08:002012-08-16T23:29:33.152+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<header class="post-title">
<h1>
Problematika Pasal 3 dan Pasal 8 UU Tipikor</h1>
</header><div style="text-align: justify;">
UU
Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999
sebagaiaman telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebenarnya
mengandung beberapa permasalahan. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti
mengenai permasalahan tumpang tindih pengaturan delik/tindak pidana
yang diatur di dalamnya. Sebenarnya ada cukup banyak ketentuan pidana
yang tumpang tindih dalam UU ini, namun kali ini saya hanya akan
menyoroti tumpang tindihnya pengaturan dalam Pasal 3 dan Pasal 8, karena
kebetulan baru menemukan suatu putusan yang terkait masalah ini, yaitu
Putusan No. <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/74e9b09ff46e20636f918ad69eef54b4">293 K/Pid.Sus/2010</a> dengan terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum masuk bagaimana perkara di atas
tentunya sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang diatur
dalampasal 3 dan pasal 8 UU Tipikor.</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<strong>Pasal 3 </strong></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Setiap orang yang
dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<strong><span id="more-931"></span>Pasal 8</strong></div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau
surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua pasal ini sebenarnya memiliki
irisan, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan suatu perbuatan dapat
memenuhi kedua ketentuan tersebut, yang dalam istilah kerennya disebut <em>concursus idealis</em>. Mengenai concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang berbunyi:</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.</li>
<li>Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang diterapkan.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Bagaimana ceritanya antara pasal 3 dan
pasal 8 di atas bisa terjadi irisan? Kalau kita baca pasal 8 maka inti
perbuatan yang dilarang adalah menggelapkan uang atau surat berharga.
Larangan ini berlaku bagi pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum. Apa itu pegawai negeri?
Mengenai hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi,
yaitu:</div>
<div style="text-align: justify;">
Pegawai Negeri adalah meliputi: a.
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalm Undang-undang tentang
kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari
suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah;e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Penggelapan itu sendiri artinya adalah
dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan. Pengertian ini terdapat dalam Pasal
372 KUHP.</div>
<div style="text-align: justify;">
Nah, kalau dikaitkan dengan pasal 3,
penggelapan itu sendiri pada dasarnya adalah salah satu bentuk dari
perbuatan menyalahgunakan wewenang. Secara sekilas memang terkesan bahwa
berarti semua perbuatan yang diatur dalam pasal 8 tercakup juga dalam
pasal 3. Ya, sekilas, tapi kalau dibaca secara teliti sebenarnya tidak.
Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, obyek yang digelapkan
yang diatur dalam pasal 8 spesifik hanya uang dan surat berharga,
sementara barang tidak. Jadi misalnya seorang pegawai negeri menjual
mobil dinas yang digunakannya tidak bisa dikenakan pasal 8.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, dalam pasal 3 terdapat unsur ‘yang
dapat merugikan keuangan negara’, sementara dalam pasal 8 unsur
kerugian negara tidak ada. Pasal 8 tersebut tidak peduli apakah uang
atau surat berharga yang digelapkan oleh pelaku adalah uang atau surat
berharga milik negara atau tidak, yang penting uang atau surat berharga
tersebut ada dalam penguasaan si pelaku karena jabatannya. Contoh untuk
perbuatan seperti ini misalnya seorang Teller bank pemerintah pada saat
menerima setoran tabungan dari nasabah tidak memasukkan uang tersebut ke
pencatatan bank, namun ia kantongi sendiri. Uang tersebut tentunya
bukan uang milik negara, karena jelas uang tersebut adalah milik si
nasabah. Dalam hal demikian maka si Teller bank tersebut telah memenuhi
unsur-unsur pasal 8, namun tidak untuk pasal 3. Ya kalau ditarik-tarik
sih bisa saja, karena pada akhirnya negara bisa dimintakan
pertanggungjawaban untuk memberikan ganti kerugian kepada si
korban/nasabah, karena perbuatan si Teller tersebut dilakukan karena ada
kaitannya dengan jabatannya, dan ketika negara harus mengganti kerugian
si korban tersebut tentunya negara menjadi dirugikan juga. Ya, betul,
tapi agak terlalu jauh sih. Tapi seperti ini kira-kira perbedaan pasal 8
dan pasal 3.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ok, sekarang saya ingin memberikan 2
ilustrasi kasus yang serupa untuk menggambarkan permasalahan antara
pasal 3 dan pasal 8 ini. Contoh pertama, seorang bendahara suatu
instansi pemerintah menggelapkan uang kas instansi tersebut sebanyak 100
juta rupiah. Contoh kedua, seorang pegawai negeri yang mendapatkan
jatah mobil dinas senilai 200 juta menggelapkan mobil dinas tersebut
dengan cara menjual mobil tersebut seharga 150 juta kepada pihak lain.
Dari kedua contoh kasus tersebut ketentuan mana yang akan digunakan?</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari contoh pertama, walaupun perbuatan
tersebut bisa juga dikenakan pasal 3 namun mengingat ketentuan dalam
pasal 63 ayat 2 KUHP (asas lex specialis derogat lex generali) maka
tentunya perbuatan si pelaku lebih tepat dipidana dengan pasal 8.
Sementara untuk contoh kedua, karena obyek yang digelapkan bukanlah uang
atau surat berharga namun barang (mobil) maka si pelaku tidak dapat
dijerat dengan pasal 8 walaupun bentuk perbuatannya sama-sama
penggelapan, melainkan pasal 3.</div>
<div style="text-align: justify;">
Yang menjadi permasalahan adalah jika
dilihat dari nilai perkara sebenarnya kasus kedua tentunya lebih besar
daripada kasus pertama, yaitu kalau antara 150-200 juta. Sementara nilai
perkara dalam perkara pertama adalah 100 juta. Namun jika melihat
ancaman hukuman yang bisa dijatuhkan bagi pelaku dalam contoh pertama
maksimum penjara selama 15 tahun, minimum 3 tahun, DAN denda Rp. 150
juta s/d 750 juta, sementara untuk terhadap pelaku dalam contoh perkara
kedua ancaman hukumannya yaitu maksimum seumur hidup, minimum 1 tahun,
DAN/ATAU Rp. 50 juta s/d 1 milyar.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa yang aneh? Perhatikan ancaman maksimum dan minimumnya, serta imperatif (wajib) atau tidaknya denda dijatuhkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa artinya? Artinya terhadap pelaku
dalam contoh kedua yang nilai korupsinya lebih besar dari pada pelaku
dalam contoh pertama bisa dijatuhkan hukuman lebih ringan daripada
pelaku dalam contoh pertama. Adil kah?</div>
<div style="text-align: justify;">
Ok, itu tentunya hanya kasus fiktif. Nah
ini ada kasus kongkrit terkait masalah pasal 3 dan pasal 8 ini. Yaitu
kasus yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Secara ringkas dalam
perkara ini terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making yang merupakan pegawai
bagian pemasaran pada suatu perusahaan daerah di Kabupaten Lembata
Kupang, didakwa dalam dakwaan alternatif antara pasal 3 dan pasal 8.
Adapun perbuatan yang didakwakan kepadanya yaitu dalam beberapa kali
melakukan penjualan namun uang hasil penjualan tersebut tidak disetorkan
kepada perusahaan daerah dimana ia bekerja namun ia gunakan untuk
kepentingannya sendiri. Selain itu terdakwa juga beberapa kali
menggelapkan uang sisa pembelian barang. Total uang hasil penjualan yang
ia nikmati sebesar +/- 80 juta rupiah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perkara ini, Penuntut Umum dalam
surat tuntutannya menuntut pengadilan agar menyatakan terdakwa terbukti
atas dakwaan alternatif kedua, yaitu yang diancam dengan pasal 8
(penggelapan), serta menuntut terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 3
tahun (sesuai ancaman minimum) serta denda sebesar Rp. 150 juta dan
pembayaran uang pengganti sebesar +/- 80 juta rupiah. Namun pengadilan
tidak sependapat dengan Penuntut Umum, pengadilan memutus terdakwa
terbukti atas dakwaan alternatif pertama (pasal 3) dan menghukum
terdakwa dengan hukuman penjara selama 2 tahun, denda sebesar Rp. 50
juta, dan uang pengganti sebesar +/- 77 juta. Diperkuat hingga tingkat
kasasi di Mahkamah Agung.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari putusan tersebut tentunya menjadi
janggal, mengapa pengadilan memilih dakwaan alternatif pertama (pasal 3)
bukan dakwaan alternatif kedua (penggelapan), padahal seharusnya dalam
perkara ini yang lebih tepat untuk dikenakan adalah dakwaan alternatif
kedua. Apa sebab? Pertama pasal 3 mensyaratkan adanya unsur ‘yang dapat
merugikan keuangan negara’. Dalam perkara ini tentunya sedikit lebih
rumit untuk mengkaitkan kasus ini dengan kerugian negara, mengingat
institusi tempat terdakwa bekerja adalah Perusahaan Daerah (BUMD),
dimana masih terjadi perdebatan apakah kerugian yang dialami oleh
BUMN/BUMD masuk dalam kategori kerugian keuangan negara. Dan hal ini
pula yang menjadi salah satu materi memori kasasi terdakwa. Kedua, dari
bentuk perbuatan yang didakwakan jelas bentuk perbuatan yang terjadi
adalah penggelapan, sehingga lebih tepat yang diterapkan adalah dakwaan
kedua.</div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, mengapa pengadilan bahkan sampai
tingkat Mahkamah Agung akhirnya diputus yang diterapkan adalah dakwaan
pertama? Saya menduga hal ini tidak terlepas dari problematika pasal 3
dan pasal 8 ini. Jika pengadilan memilih dakwaan alternatif kedua maka
hukuman yang harus dijatuhkan minimal 3 tahun penjara dan denda minimal
Rp 150 juta rupiah, padahal nilai korupsi yang terjadi (hanyalah) +/- 80
juta. Sementara di sisi lain banyak perkara korupsi lainnya yang
nilainya jauh lebih besar yang dilakukan tidak dalam bentuk penggelapan
namun masuk dalam kategori pasal 3 dihukum dengan hukuman dibawah 3
tahun. Jadi dalam perkara ini sepertinya pengadilan mengahadapi dilema
yang disebabkan oleh problem pasal 3 dan pasal 8 ini. Karena dilema
tersebut akhirnya pengadilan memilih untuk menerapkan dakwaan altenatif
kedua yang ancaman minimumnya lebih rendah dari dakwaan alternatif
pertama, walaupun secara formil seharusnya tidak tepat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Putusan Mahkamah Agung Nomor <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/23fdf63be451480ec1e9d0edce4a5771">300 K/Pid.Sus/2009</a> (Kristiani Mei Puji Astutik)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perkara ini Terdakwa pada saat
menjabat sebagai Pemegang Kas Sekretariat DPRD Kab. Blora Tahun anggaran
2006 didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh Terdakwa pada intinya menggunakan dana yang berasal
dari Pos Belanja Tidak Langsung sebesar +/- Rp 77 Juta tanpa bisa
mempertanggungjawabkannya, dari total anggaran sebesar +/- Rp 9 milyar.
Atas perbuatan tersebut Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan
berlapis (primair-subsidair) dimana dalam dakwaan primair PU mendakwa
dengan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, Subsidair dengan Pasal 3 UU Tipikor,
Lebih Subsidair dengan Pasal 8 UU Tipikor.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam Tuntutannya Penuntut Umum
berkesimpulan bahwa dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Subsidari,
yaitu yang diancam dengan Pasal 3 UU Tipikor. Tuntutan hukuman yang
dituntut yaitu penjara selama 2 tahun 6 bulan, denda Rp 50 juta, dan
pembayaran uang pengganti sebesar +/- 77 juta dengan penjara pengganti
selama 1 tahun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<span id="more-1080"></span>Di tingkat
pertama, Pengadilan Negeri Kab. Blora menyatakan Terdakwa terbukti atas
dakwaan Subsidair (sesuai kesimpulan Penuntut Umum) dan menghukum
Terdakwa sesuai dengan ancaman minimal yang diatur dalam Pasal 3 UU
Tipikor, yaitu 1 tahun dan denda Rp 50 juta, tanpa pidana tambahan
pembayaran uang pengganti. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Semarang, dimana Pengadilan Tinggi Semarang
menghapuskan pidana denda yang dijatuhkan PN Kab. Blora sehingga hukuman
yang diberikan hanya pidana penjara selama 1 tahun.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas putusan PT Semarang tersebut
Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Alasan permohonan kasasi yang
diajukan Penuntut Umum pada dasarnya hanya seputar besarnya hukuman yang
menurut Penuntut Umum terlalu rendah, hanya penjara 1 tahun tanpa denda
dan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Permohonan kasasi
tersebut kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung, dimana MA kemudian
menambahkan hukuman yang dijatuhkan dengan pidana denda Rp 50 juta dan
pembayaran uang pengganti +/- Rp 77 juta.</div>
<div style="text-align: justify;">
Baik alasan kasasi Penuntut Umum maupun
pertimbangan hukum Mahkamah Agung agak cukup unik, karena tidak ada sama
sekali hal ikhwal hukum yang dipermasalahkan, hanya menyangkut masalah
berat-ringannya hukuman. Bagaimana Penuntut Umum menguraikan alasan
kasasinya juga tergolong unik, karena terkesan sedikit memelas kepada
Mahkamah Agung –hal yang biasanya justru digunakan oleh Terdakwa-
seperti terlihat kutipan dibawah ini:</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Dalam hal ini kami
Jaksa Penuntut Umum berharap dan sekaligus memohon, serta mendambakan
putusan dari Ketua Mahkamah Agung Rl dalam perkara ini berdasarkan hati
nurani yang paling dalam yang arif dan bijaksana mengingat masyarakat
kecil di pedesaan khususnya di daerah kami Blora, yang sekaligus kami
adalah putri daerah Blora masih banyak yang berkekurangan kehidupan
ekonominya. Bahkan pencurian Jagung karena kelaparan untuk makan saja,
putusan Pengadilan bisa 1 (satu) tahun lebih, sedangkan Terdakwa
terbukti Korupsi hanya di putus 1 (satu) tahun tanpa denda dan Uang
pengganti. Bila kami hayati rasanya tidaklah berlebihan jika Jaksa
Penuntut Umum menuntut Terdakwa di samping pidana kurungan selama 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan juga membayar denda Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan dengan perintah
Terdakwa tetap ditahan dan membayar Uang pengganti sebesar Rp
76.833.587,- (tujuh puluh enam juta delapan ratus tiga puluh tiga ribu
lima ratus delapan puluh tujuh rupiah) dan jika tidak membayar Uang
pengganti tersebut paling lambat, 1 (satu) tahun sesudah putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan Hukum tetap, maka harta bendanya dapat
disita jaksa dan dilelang untuk mencukupi Uang pengganti tersebut, dan
apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi Uang
pengganti tersebut maka dipidana penjara selama 1 (satu) tahun. (hal.
27-28).</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Sementara itu
pertimbangan MA juga terkesan tanpa dasar, hanya berdasarkan ‘hati
nurani’ belaka tanpa argumentasi hukum sama sekali, dan tidak dapat
menjelaskan dimana letak kesalahan putusan Judex Facti, namun menyatakan
judex facti salah dalam menerapkan hukum, seperti terlihat di bawah
ini:</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:<br />
mengenai alasan-alasan ke I & II:</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti salah menerapkan hukum;</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Berdasarkan fakta-fakta
di persidangan, perbuatan Terdakwa telah terbukti sebagai tindak pidana
korupsi seperti diuraikan dalam dakwaan subsidair, dan pula telah
terbukti uang sebesar Rp 76.833.587,- (tujuh puluh enam juta delapan
ratus tiga puluh tiga ribu lima ratus delapan puluh tujuh rupiah)
dipergunakan oleh Terdakwa, karena itu perbuatan Terdakwa memenuhi Pasal
3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001;</div>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
Menimbang bahwa
berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis berkeyakinan bahwa Terdakwa
terbukti bersalah, sehingga patut untuk dijatuhi hukuman;</div>
<div style="text-align: justify;">
Pertimbangan di atas cukup janggal,
mengingat judex facti, baik pengadilan tingkat pertama maupun banding
sebenarnya juga telah menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti.
Yang membedakan putusan MA ini dengan PN Kab. Blora hanyalah masalah
penjatuhan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, yang mana dalam
Pasal 18 UU Tipikor (dan juga karena sifatnya yang merupakan pidana
tambahan) penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
sebenarnya tidak bersifat mutlak. Sementara itu perbedaan putusan MA
dengan Pengadilan banding selain masalah uang pengganti juga pada
masalah tidak dijatuhkannya pidana denda. Untuk pidana denda ini
sebenarnya Pengadilan Tinggi Semarang tidak dapat dikatakan salah dalam
menerapkan hukum, mengingat rumusan sanksi yang diatur dalam Pasal 3 UU
Tipikor memang tidak bersifat kumulatif mutlak antara pidana penjara
dengan denda, namun dirumuskan dalam bentuk alternatif-kumulatif
(penjara dan/atau denda). Dalam rumusan alternatif-kumulatif seperti ini
maka pengadilan dapat memilih menjatuhkan kedua jenis hukuman atau
memilih salah satu diantaranya (lihat <a href="http://krupukulit.wordpress.com/2011/06/10/penafsiran-%E2%80%9Dpenjara-danatau-denda%E2%80%9D-2/">resume putusan ini</a>).</div>
<div style="text-align: justify;">
Terlepas dari masalah di atas, apakah
berat ringannya hukuman semata merupakan wilayah kasasi atau tidak,
putusan ini kembali menunjukkan problematika dalam UU Tipikor (31/1999
dan 20/2001) itu sendiri, khususnya antara Pasal 3 dan Pasal 8.
Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan menggunakan uang Kas yang
kemudian tidak dapat dipertanggungjawabkannya tersebut pada dasarnya
merupakan perbuatan penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (jika
perbuatan tersebut dilakukan oleh pegawai negeri). Dalam dakwaannya
Penuntut Umum sendiri telah memasukkan pasal ini sebagai salah satu
pasal yang didakwakan, yaitu dalam dakwaan Lebih Subsidair. Tapi baik
Penuntut Umum maupun Pengadilan (termasuk Mahkamah Agung) sama-sama
sepakat bahwa Pasal yang dilanggar adalah Pasal 3 (dakwaan Subsidair)
bukan Pasal 8 (Lebih Subsidair). Mengapa? Sebagaimana halnya dalam
tulisan sebelumnya, cukup kuat dugaan saya tidak digunakannya Pasal 8
dalam perkara ini semata-mata karena besaran ancaman minimal yang diatur
dalam pasal 8 tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa, khususnya
kerugian yang ditimbulkan, yaitu +/- Rp 78 juta.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai informasi, ancaman hukuman untuk
pasal 3 ini adalah seumur hidup atau pidana penjara setinggi-tingginya
20 tahun dan minimal 1 tahun DAN/ATAU denda minimal Rp 50 juta dan
maksimal Rp 1 milyar. Sementara untuk ancaman hukuman untuk pasal 8
yaitu pidana penjara maks 15 tahun dan minimal 3 tahun DAN denda maks Rp
750 juta dan minimal 150 juta. Dengan melihat besaran ancaman minimal
ini, seandainya Penuntut Umum berpandangan bahwa hukuman baik di tingkat
pertama maupun banding yang dijatuhkan terlalu ringan sebagaimana di
dalilkan dalam alasan kasasinya, seharusnya Penuntut Umum menggunakan
dalil bahwa yang lebih tepat terbukti adalah Dakwaan Lebih Subsidair.
Tapi bisa dipahami mengapa hal tersebut tidak dilakukan, oleh karena
dalam kesimpulannya sendiri Penuntut Umum memang telah menyatakan bahwa
Terdakwa terbukti Atas Dakwaan Subsidair. Mengapa dakwaan subsidair yang
menurut PU terbukti? Ya tentu karena urutan dakwaannya demikian, PU
menempatkan pasal 3 dalam Dakwaan Subsidair, sementara Pasal 8 dalam
Dakwaan Lebih Subsidair. Mengapa PU menempatkan pasal 3 dalam urutan
dakwaan yang lebih tinggi dari pasal 8? Ya kembali lagi karena
permasalahan ketidakjelasan ancaman hukuman maksimal dan minimal antara
pasal 3 dan pasal 8.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Catatan Tambahan:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Majelis Hakim Agung dalam Putusan di atas:</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Muhammad Taufik (Ketua)</div>
<div style="text-align: justify;">
2. M. Zaharuddin Utama</div>
<div style="text-align: justify;">
3. Syamsul Ma’arif</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-57751027758281122702012-08-16T23:20:00.003+08:002012-08-16T23:25:37.591+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<header class="entry-header">
<h1 class="entry-title">
Masalah Perjanjian Parkir </h1>
</header>
Seorang teman saya
mengangkat tema hubungan hukum antara pengelola perparkiran dengan
pemilik kendaraan. Seperti kita ketahui bersama, saat ini isu tersebut
marak dibahas di berbagai media. Pertanyaan utamanya: apakah pengelola
parkir harus bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas hilangnya
kendaraan yang diparkir di tempatnya?<br />
Dalam kasus semacam ini, pengelola parkir biasanya merujuk pada
klausula eksonerasi dalam perjanjian parkir, yaitu bahwa dirinya tidak
bertanggungjawab atas terjadinya kerusakan atau kehilangan kendaraan
yang diparkir di tempatnya. Namun demikian, tentu jadi pertanyaan,
apakah klausula eksonerasi seperti itu juga bisa dianggap sah?<br />
Di sisi lain, gugatan pemilik yang juga mendapat dukungan pendapat
umum, mendalilkan bahwa dalam kasus-kasus semacam ini, pengelola parkir
seharusnya bertanggungjawab memberikan ganti rugi. Pendapat umum ini,
kemungkinan besar, memang hanya berdasarkan simpati. Simpati, tentu
sangat subyektif. Artinya, dapatkah kita harapkan pengelola parkir yang
jelas-jelas mempunyai pendapat berbeda, dengan sendirinya juga merasakan
hal yang sama? Kemungkinan besar tidak. Atau, bisa juga digugat,
mengapa simpati yang sama tidak diberikan kepada pengelola parkir?<br />
Hukum, dalam hal ini, seharusnya dapat berfungsi sebagai mekanisme
untuk mengurai permasalahan secara obyektif. Dalam hukum
pertanggungjawaban, pertanyaan utamanya memang selalu siapa yang
seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya suatu kerugian. Tapi
bagaimana hukum mengurai masalah pertanggungjawaban tersebut?<br />
Kewajiban hukum antara satu pihak terhadap pihak lain, dapat
diturunkan dari adanya hubungan hukum dua belah pihak yang disebut
perikatan. Perikatan, menurut KUH Perdata, lahir karena suatu
perjanjian, atau karena undang-undang. Lahir karena perjanjian, apabila
adanya perikatan itu akibat kehendak para pihak itu sendiri, serta lahir
karena undang-undang, apabila adanya perikatan itu akibat berlakunya
aturan tertentu, atau perbuatan seseorang (baik yang sah, maupun yang
melawan hukum).<br />
<b>Pasal 1233</b><b> KUH Perdata: </b>“Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.”<br />
<b>Pasal</b> <b>1313</b><b> KUH Perdata: </b>“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”<br />
<b>Pasal</b> <b>1352</b><b> KUH Perdata: </b>“Perikatan
yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai
undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.<br />
<b>Pasal</b> <b>1353</b><b> KUH Perdata: </b>“Perikatan
yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul
dari suatu perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang melanggar hukum.”<br />
Mengapa pada akhirnya seseorang dapat dianggap mempunyai suatu
kewajiban tertentu, tentu harus ditelusuri dari keberadaan hubungan
hukum semacam itu. Dengan demikian, apabila dalam kasus kehilangan
kendaraan di tempat parkir hendak dikaji secara hukum, pertanyaan
pertamanya tentu apa hubungan hukum para pihak tersebut.<br />
Apabila hubungan hukum di antara para pihak itu telah jelas diketahui
sebagai suatu bentuk perjanjian, baru selanjutnya dapat ditinjau lebih
jauh, apakah klausula-klausula yang dinyatakan dalam perjanjian terkait
dapat dianggap berlaku. Jika klausula terkait ternyata menghilangkan
esensi pokok dari perjanjian itu sendiri, seperti misalnya menutup
kewajiban ganti rugi atas terjadinya kehilangan untuk perjanjian jasa
penitipan, tentu klausula seperti itu sudah sepatutnya dibatalkan. Untuk
menyeimbangkan posisi konsumen dengan pemberi jasa yang dianggap lebih
tahu dalam hal perjanjian konsumen, dalam UU Perlindungan Konsumen
terdapat ketentuan umum yang mengatur hal tersebut.<br />
<b>Pasal 18 ayat 1 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen: </b>“Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha; […]“<br />
Uraian singkat di atas, merupakan gambaran konstruksi hukum yang saya
pikir relevan dengan perjanjian parkir. Namun demikian, apa begitu juga
prakteknya?<br />
Di bawah ini ada dua kasus yang bisa kita pelajari. Meski begitu,
argumentasi hukum yang digunakan sangat lemah, berupa serangkaian
pernyataan yang menyebutkan beberapa pasal, tanpa menjelaskan hubungan
satu sama lain, apalagi memproyeksikan fakta terhadap ketentuan dalam
pasal-pasal tersebut. Sementara dari sisi substansi, dalam kedua putusan
ini, hubungan hukum berupa perjanjian seperti sesuatu yang asing dalam
praktek hukum di Indonesia. Lahirnya hak dan kewajiban, seolah hanya
bisa didasarkan pada suatu peraturan tertentu saja (dengan mencomot satu
dua peraturan KUH Perdata atau UU Perlindungan Konsumen). Patut
disyukuri bahwa dalam putusan yang kedua, entah bagaimana, pertanyaan
apakah perjanjian parkir harus dianggap sebagai perjanjian penitipan
atau perjanjian sewa, toh masih muncul di tingkat kasasi. Meskipun,
sayangnya, kemudian disimpulkan tanpa uraian memadai.<br />
<b>1966/K/PDT/2005</b> (Imelda Wijaya vs. Anugerah Bina Karya)<br />
Dalam perkara pertama, adanya hak penggugat (pemilik kendaraan)
didasarkan pada Pasal 4 huruf a dan b, sedang pertanggungjawaban
tergugat (pengelola parkir) dikonstruksikan dari Pasal 19 ayat (1).
Kemudian, tanpa mengurai lebih lanjut lagi, pembatalan klausula baku
didasarkan pada Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Dalam perkara ini,
perbuatan melawan hukum dipahami berdasar “[…] perbuatan Tergugat yang
mengijinkan orang lain tanpa Kartu Tanda Parkir P-1 membawa pergi mobil
milik Penggugat ke luar dari areal parkir.”<br />
Dengan demikian, pertanggungjawabkan diturunkan begitu saja oleh
(kuasa) penggugat dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, tanpa
didukung dengan bangunan argumentasi berdasarkan ketentuan hukum,
mengapa perbuatan itu harus dianggap melawan hukum, apa yang harus
digantirugi, bagaimana kerugian itu muncul dan siapa yang menyebabkan,
serta siapa yang salah (bandingkan kriteria Pasal 1365 KUH Per: “(1)
perbuatan yang melanggar hukum, (2) kerugian, (3) hubungan sebab akibat
antara perbuatan dengan timbulnya kerugian itu, serta (4) kesalahan
orang yang berbuat).<br />
Selanjutnya, dalam putusan tersebut tidak diketahui bagaimana hakim
mempertimbangkan argumen penggugat. Namun yang jelas, hingga tingkat
kasasi, pengadilan menyatakan perbuatan tergugat adalah perbuatan
melawan hukum, klausula eksonerasi dalam perjanjian batal demi hukum,
serta tergugat wajib membayar ganti rugi.<br />
Tentu bisa dipertanyakan, mengapa penggugat, juga penilaian hakim
kemudian, di satu sisi menganggap perlunya pembatalan klausula
eksonerasi (artinya mengakui adanya perjanjian), sedangkan di sisi lain
mendasarkan hubungan hukum pada perbuatan melawan hukum (mengapa bukan
berdasar perjanjian?). Pada tingkat kasasi perkara kedua di bawah ini,
bisa kita lihat, bagaimana pemohon kasasi/tergugat (pengelola parkir)
juga mempertanyakan hal tersebut.<br />
<b>2078/K/PDT/2009</b> (Sumito Y. Viansyah vs. Secure Parking)<br />
Dalam perkara ini, pertanggungjawaban juga diturunkan begitu saja
dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, yaitu “berdasarkan fakta
[…] penyebab hilangnya sepeda motor milik Pengugat di areal parkir yang
dikelola oleh Tergugat jelas disebabkan karena kelalaian, kekurang
hati-hatian serta perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pegawai/bawahan Tergugat yang berjaga di pintu keluar”.<br />
Selanjutnya, (kuasa) penggugat, menyebut Pasal 1365 (mungkin untuk
menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum), Pasal 1366 (mungkin untuk
menunjukkan bahwa kelalaian juga dianggap sebagai perbuatan), serta
Pasal 1367 KUH Perdata (mungkin untuk menunjukkan bahwa perusahaan
bertanggungjawab atas tindakan pegawainya). Meski menyebutkan ketiga
pasal ini, namun tak satupun dari ketiganya diuraikan untuk
memproyeksikan fakta terkait. Alih-alih menjelaskan, argumentasi
penggugat bahkan langsung melompat ke pertanggungjawaban perusahaan.<br />
Dalam hal ini, pertanggungjawaban (perusahaan) juga diturunkan dari
suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, yaitu “melakukan perbuatan
melawan hukum dengan masih mencantumkan klausula baku pengalihan
tanggungjawab pada karcis parkir”. Ini diikuti dengan sedikit
pernyataan, tanpa penjelasan, bahwa perbuatan itu melanggar larangan
pencantuman klausula baku yang mengalihkan pertanggungjawaban (Pasal 18
UU Perlindungan Konsumen).<br />
Mungkin tak banyak yang tahu, dalam gugatan disebutkan pula
Ostermann-arrest (HR 20-11-1924), dengan dalih perbuatan melawan hukum
bukan hanya perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain,
namun juga yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sendiri.
Namun entah apa relevansinya, karena, kalau mau diteliti lebih jauh,
putusan Hoge Raad itu sebenarnya menyangkut pertanggungjawaban badan
publik yang melakukan perbuatan melawan hukum.<br />
Beda dengan perkara sebelumnya, dalam perkara ini bantahan dari
(kuasa) tergugat lebih panjang lebar. Namun, alih-alih langsung
mempertanyakan dalil perbuatan melawan hukum, misalnya, (kuasa) tergugat
menyimpulkan sendiri bahwa hubungan hukum antara penggugat dan tergugat
adalah perikatan bebas (Pasal 1359 ayat (2)). Saya sendiri ragu, apa
(kuasa) tergugat memang paham apa itu perikatan bebas, serta benar-benar
menganggap bahwa hubungan antara pengelola parkir dan pemilik kendaraan
adalah pemenuhan kewajiban yang timbul bukan berdasar hukum, namun
berdasar kepatutan saja. Karena, selanjutnya, tergugat mengajukan dalih
bahwa klausula baku yang dipermasalahkan itu didasarkan pada ketentuan
peraturan daerah yang salah satu pasalnya berisi klausula eksonerasi.
Berdasar klausula eksonerasi ini, tergugat mendalilkan “atas hilangnya
kendaraan dan atau barang- barang yang berada didalam kendaraan atau
rusaknya kendaraan selama berada di petak parkir , merupakan tanggung
jawab pemakai tempat parkir” (Pasal 36 ayat (2) Perda DKI No. 5/1999).
Kalau (kuasa) tergugat benar menganggap tidak ada hubungan hukum,
mengapa mendasarkan pendapat pada adanya klausula eksonerasi? Sehubungan
dengan keraguan saya tadi, tanpa adanya perjanjian, ini klausula atas
apa?<br />
Bagaimanapun, tanpa bisa dilihat apa pertimbangannya, pengadilan
mengabulkan gugatan penggugat bahwa telah ada perbuatan melawan hukum
yang mewajibkan pembayaran ganti rugi, serta membatalkan klausula
eksonerasi. Sedang di tingkat banding, pengadilan tingkat banding pada
dasarnya sependapat dengan pengadilan tingkat pertama, namun mengurangi
nilai kerugian yang wajib dibayarkan tergugat, serta tidak mengambilalih
putusan pengadilan tingkat pertama yang melarang penggunaan klausula
eksonerasi. Karena merasa dalilnya tidak dibahas dengan memadai,
tergugat mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding.<br />
Di tingkat kasasi, tergugat berdalih bahwa berdasarkan peraturan
daerah yang memuat klausula eksonerasi, seharusnya dirinya tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban. Berbeda dengan pendapat sebelumnya yang
mendalilkan perikatan bebas, kali ini tergugat, dengan uraian yang cukup
panjang, berpendapat bahwa hubungan hukum di antara mereka adalah
perjanjian sewa-menyewa, bukan perjanjian penitipan. Kemudian,
disampaikan juga adanya fakta adanya perusakan tempat parkir, sebagai
dalih bahwa terdapat daya paksa (overmacht). Selain itu, tergugat
kembali menjelaskan bahwa dalam kasus ini tidak ada perbuatan melawan
hukum.<br />
Dalam perkara ini, ternyata penggugat di tingkat pertama juga
mengajukan permohonan kasasi. Alasannya, pengadilan tingkat banding
telah keliru dalam menentukan besarnya ganti rugi, serta mempertanyakan
tidak diambilalihnya putusan terkait larangan klausula eksonerasi.<br />
Apa pendapat Mahkamah Agung? ,
Mahkamah Agung hanya menggunakan pertimbangan singkat. Pada intinya,
putusan pengadilan tingkat banding telah tepat, yaitu larangan
penggunaan klausula baku tak dapat dikabulkan karena “tidak ada kaitan
langsung dengan masalah kerugian”, serta hubungan hukum antara pemilik
kendaraan dengan pengusaha parkir adalah “Perjanjian Penitipan”, yang
jika dihubungkan dengan Pasal-Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata maka
Tergugat berkewajiban menanggung kehilangan sepeda motor Penggugat di
tempat pengelolaan Tergugat”.<br />
Namun demikian, meski mengandung pertanyaan hukum yang sangat
menarik, dalam putusan ini, tidak dijelaskan mengapa perjanjian parkir
dianggap sebagai perjanjian penitipan, bukan perjanjian sewa menyewa.
Bahkan sedari awal, pengadilan, juga (kuasa) para pihak, tidak
sedikitpun mencoba untuk mengkonstruksikan hubungan hukum (perikatan) di
antara para pihak, sehingga terjadi tumpang tindih antara konstruksi
perjanjian dengan perbuatan melawan hukum.<br />
Jadi, kembali lagi, apa yang sebenarnya bisa kita pelajari dari dua kasus tersebut?<br />
<br />
Pada tulisan sebelumny
telah dibahas sekilas tentang hubungan hukum antara pengelola dan
pemilik kendaraan yang seharusnya merupakan suatu bentuk perjanjian.
Selain itu, telah disinggung pula sedikit tentang sejauh mana perjanjian
seperti itu dapat dibatasi keberlakuannya dengan klausula-klausula
(baku) tertentu. Meskipun begitu, pada kenyataannya, ternyata
putusan-putusan yang ada bahkan tidak mengklasifikasikan secara jelas
hubungan hukum tersebut.<br />
Tentu masih menjadi tanya, pada akhirnya apa yang sebenarnya menjadi
dasar dari diakui atau tidaknya adanya kewajiban dari pengelola parkir
untuk mengganti kerugian yang terjadi akibat rusak atau hilangnya barang
yang diparkir. Sebagaimana sudah disebutkan juga dalam tulisan
sebelumnya, meskipun bisa jadi hal tersebut berlandaskan simpati yang
toh diterima secara luas oleh masyarakat, namun tidak ketidakjelasan
duduk perkaranya secara hukum, serta hak dan kewajiban para pihak, tentu
tidak adil bagi pengelola parkir. Bukankah sepatutnya dia juga
mendapatkan simpati yang sama untuk mengetahui dan memahami apa dasar
dari timbulnya kewajiban yang harus dia tanggung untuk menggantirugi?
Katakanlah di lain kesempatan hakim memutuskan sebaliknya, apa juga
hanya karena simpati itu?<br />
Ketidakjelasan tersebut, bahkan sudah bisa dilihat dari sikap yang
ditunjukkan oleh Mahkamah Agung sendiri. Dalam pernyataannya melalui
media, terkait gugatan-gugatan atas hilangnya kendaraan saat parkir,
Mahkamah Agung melalui juru bicaranya menyatakan: “Kendaraan hilang bisa
digugat jika itu resmi. Kalau tidak resmi tidak bisa digugat karena
tidak ada kontrak perjanjian.” Artinya, Mahkamah Agung sendiri mengakui
bahwa hubungan hukum dalam perjanjian parkir adalah suatu perjanjian,
meskipun dalam putusan-putusan yang telah dibahas sebelumnya, kewajiban
hukum pengelola ternyata didasarkan pada perbuatan melawan hukum yang
membuat ada tidaknya perjanjian, atau berlaku atau tidaknya klausula
baku, sebenarnya tidak lagi relevan.<br />
Bagaimanapun, adanya pertentangan pendapat ini, bisa juga dikarenakan
contoh kasus yang digunakan masih terlalu sedikit, sehingga mungkin
dalam kasus-kasus yang lain sebenarnya Mahkamah Agung tegas menyatakan
adanya perjanjian. Sebagaimana dalam salah satu kasus yang disebutkan
sebelumnya, meski mendasarkan kewajiban pengelola pada perbuatan melawan
hukum, namun Mahkamah Agung toh menegaskan bahwa perjanjian parkir
adalah perjanjian penitipan barang.<br />
Pertanyaannya kemudian, mengapa kualifikasi perjanjian ini menjadi
penting, serta bagaimana seharusnya mengurai permasalahan perjanjian
parkir ini. Kebetulan, terdapat satu tulisan (“De Toepassing van Exoneratieclausules in het Parkeercontract”, <em>Rechtskundig Weekblad</em>,
1982-1983, 2161-2178) berdasarkan praktek di Belgia, di mana konstruksi
yang digunakan masih bisa dibandingkan dengan di Indonesia, karena
adanya kemiripan dasar hukum (KUHPerdata/BW).Faure sebenarnya juga cukup dikenal di Indonesia sebagai ahli hukum (pertanggungjawaban) lingkungan.<br />
Di bawah ini, ringkasan inti dari tulisan tersebut, berikut
konteksnya dalam hukum Indonesia (KUHPerdata) yang saya tambahkan
sendiri. Secara garis besar, dalam menangani sengketa terkait perjanjian
parkir, pertama-tama perlu dikualifikasikan dulu, apa perjanjian yang
berlaku di antara pengelola parkir dan pemilik kendaraan (konsumen).
Selanjutnya, baru bisa diurai lebih lanjut, klausula-klausula apa yang
boleh dianggap berlaku (atau tidak) dalam perjanjian tersebut. Terakhir,
tindakan para pihak terkait akan bisa dinilai berdasarkan hak dan
kewajiban para pihak, sehubungan dengan isi dan ruang lingkup dari
perjanjian tersebut.<br />
<strong>Kualifikasi Perjanjian Parkir</strong><br />
Dalam prakteknya di Belgia, menurut Faure, perjanjian parkir biasa
dikualifikasikan ke dalam tiga kategori: perjanjian sewa, perjanjian
penitipan barang, atau perjanjian umum. Mengapa kualifikasi tersebut
penting? Hal ini berhubungan dengan hak dan kewajiban para pihak terkait
yang kemudian berlaku. Apabila perjanjian parkir dikualifikasikan
sebagai perjanjian sewa menyewa, maka pengelola parkir hanya akan
dianggap sebagai pemilik suatu barang (tempat) yang mempersilahkan
pemilik mobil, untuk mengunakannya dalam waktu tertentu, dengan
membayarnya. Sedang apabila perjanjian parkir dapat dikualifikasikan
sebagai perjanjian penitipan barang, maka dengan sendirinya terdapat
kewajiban dari pengelola untuk menjaga mobil yang diparkir dengan baik,
serta mengembalikannya dalam kondisi semula. Dasar hukumnya dapat
dilihat dalam dua ketentuan pasal di bawah ini.<br />
<strong>Pasal 1548</strong><br />
Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak
yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang
disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan
pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.<br />
<strong>Pasal 1694</strong><br />
Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan
janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan
yang sama.<br />
Dengan demikian, dalam prakteknya di Belgia, tetap terbuka
kemungkinan untuk mengkualifikasikan perjanjian parkir sebagai dua
bentuk perjanjian yang berbeda (sementara di Indonesia Mahkamah Agung
tegas menyatakan bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian penitipan).
Masalahnya dengan adanya kualifikasi yang terbuka seperti ini, tentu
dibutuhkan adanya kriteria atau tolak ukur tertentu yang dapat dijadikan
patokan yang membatasi keduanya. Apa kira-kira patokan itu?<br />
Menurut Faure, dalam prakteknya patokan itu bisa dicermati, antara lain, dalam beberapa kriteria berikut ini:<br />
<ol>
<li>Apakah terjadi serah terima kunci mobil? Diserahkannya kunci mobil,
tentu akan memperkuat argumentasi bahwa perjanjian parkir dalam kasus
tersebut memang perjanjian penitipan barang.</li>
<li>Apakah terdapat petunjuk-petunjuk khusus bagaimana mobil harus
diparkirkan? Semakin banyak dan ketat petunjuk yang diberikan, tentu
semakin memperkuat adanya indikasi bahwa perjanjian parkir tersebut
adalah perjanjian penitipan barang.</li>
<li>Apakah ada pengawasan dalam gedung parkir? Semakin (terlihat)
ketatnya pengawasan dalam parkir, akan membuat perjanjian parkir juga
semakin mudah dianggap perjanjian penitipan.</li>
<li>Berapa besarnya tarif parkir? Beberapa orang berpendapat bahwa tarif
parkir bisa dijadikan patokan. Meski begitu, ada beberapa pendapat
berbeda yang mengatakan bahwa besarnya tarif parkir tidak relevan
menunjukkan “harga” tempat parkir, karena “harga” yang rendah bisa juga
dimaksudkan pengelola untuk menarik pelanggan.</li>
<li>Keberadaan garasi khusus. Apabila mobil disimpan dalam sebuah garasi
tertutup, apa yang terjadi dalam garasi tersebut, pada dasarnya di luar
tanggungjawab pengelola parkir, sehingga akan lebih mudah
dikualifikasikan sebagai perjanjian sewa menyewa.</li>
</ol>
<strong>Akibat Kualifikasi Perjanjian Parkir</strong><br />
Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, pengkualifikasian
perjanjian parkir relevan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian parkir (perlu diperhatikan bahwa dalam prakteknya di
Indonesia pihak penggugat sudah langsung merujuk pada UU Perlindungan
Konsumen yang sangat umum). Kalau kualifikasinya ternyata perjanjian
sewa menyewa, posisi pengelola parkir tentu lebih bebas, namun beda
halnya kalau ternyata perjanjian parkir dapat dikualifikasikan sebagai
perjanjian penitipan barang.<br />
Dalam KUHPerdata sendiri, telah diatur kewajiban penerima titipan
(dalam hal ini pengelola parkir) yang cukup ketat, di mana perjanjian
penitipan bukan hanya perikatan yang prestasinya bersifat usaha (untuk
menjaga barang tersebut), namun juga bersifat hasil (untuk mengembalikan
barang tersebut dalam kondisi yang sama dengan saat diterima).<br />
<strong>Pasal 1714</strong><br />
Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang sama dengan yang
diterimanya. Dengan demikian, kalau titipan itu berupa uang tunai maka
wajib dikembalikan uang tunai dalam jumlah dan jenis mata uang seperti
semula biarpun mata uang itu sudah naik atau turun nilainya.<br />
<strong>Pasal 1715</strong><br />
Penerima titipan hanya wajib mengembalikan barang titipan itu dalam
keadaan sebagaimana adanya pada saat pengembalian. Kekurangan yang
timbul pada barang itu di luar kesalahan penerima titipan, harus menjadi
tanggungan pemberi titipan.<br />
Kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut dalam keadaan yang
sama, juga mengandung konsekuensi bahwa beban pembuktian ada pada
penerima titipan. Jadi, pada prinsipnya secara hukum dia wajib untuk
mengembalikan barang yang dititipkan, kecuali bisa dibuktikan sebalknya.
Dia hanya bisa dianggap tidak bertanggungjawab, jika dapat membuktikan
bahwa tidak (dapat) dikembalikannya barang itu, bukan merupakan
kesalahannya. Dalam prakteknya, pembuktian terbalik seperti ini, sulit
untuk dipenuhi oleh pihak tergugat, sehingga dengan mudah dia akan
dianggap telah melakukan wanprestasi.<br />
<strong>Klausula Baku</strong><br />
Dalam perjanjian parkir, klausula baku menjadi relevan untuk dibahas,
karena dalam prakteknya pengelola parkir akan berusaha untuk membatasi
pertanggungjawabannya, dengan menentukan beberapa syarat atau klausula.
Hal ini, dengan beberapa batasan, dimungkinkan oleh undang-undang. Dalam
hukum Indonesia, syarat atau klausula seperti ini, meski hampir selalu
dirujukkan pada ketentuan UU Perlindungan Konsumen, dapat dilihat juga
dasar hukumnya dalam KUHPerdata. Pengertian syarat atau klausula adalah
(beberapa) ketentuan yang menangguhkan atau membatalkan ketentuan
(pokok) perjanjian.<br />
<strong>Pasal</strong> <strong>1253</strong><br />
Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu
peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan
cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa
itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada
terjadi tidaknya peristiwa itu.<br />
Pertanyaannya kemudian, dalam situasi seperti apa, syarat atau
klausula itu bisa dianggap berlaku atau tidak berlaku. Untuk menjawab
pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dicermati bunyi Pasal 1254
KUHPerdata berikut ini. Secara umum, suatu syarat akan dianggap batal
demi hukum, jika syarat itu bertujuan pemenuhan perjanjian menjadi tidak
mungkin, bertentangan dengan kesusilaan (ketertiban umum), atau
dilarang oleh undang-undang.<br />
<strong>Pasal</strong> <strong>1254</strong><br />
Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin
terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau
sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan
persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.<br />
Dalam prakteknya di Belgia, untuk menilai berlaku atau tidaknya suatu
klausula, Faure membaginya ke dalam beberapa kategori, yaitu substansi
syarat itu sendiri, kesepakatan para pihak, serta interpretasi para
pihak terkait atas syarat-syarat tersebut. Di bawah ini uraian
ketidakberlakuan klausula, atas dasar cacat substansi atau kesepakatan
para pihak terkait.<br />
Pertama, klausula dianggap tak berlaku, apabila secara substansial
tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, sehingga harus diperhatikan
hal-hal berikut ini:<br />
<ol>
<li>Tak boleh ada pengecualian pertanggungjawaban karena adanya tipu daya atau kesalahan disengaja yang dilakukan oleh tergugat.</li>
<li>Syarat (klausula) yang diperjanjikan tidak boleh menghilangkan
setiap isi atau esensi dari perjanjian itu sendiri, misalnya kewajiban
untuk “mengembalikan [barang titipan] dalam keadaan yang sama” dalam
perjanjian penitipan barang.</li>
<li>Syarat yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.</li>
</ol>
Kedua, klausula dianggap tak berlaku, apabila dalam proses
penetapannya ternyata tidak terbentuk suatu kesepakatan. Untuk itu,
perlu dicermati beberapa hal berikut:<br />
<ol>
<li>Kesepakatan harus secara jelas dan tegas disepakati oleh para pihak, kehendak dan persetujuan para pihak.</li>
<li>Syarat yang ditempelkan pada papan atau dituliskan di dinding gedung
parkir harus bisa dibuktikan memang dapat diketahui oleh konsumen.</li>
<li>Syarat yang dicantumkan pada tiket parkir pada prinsipnya telah dianggap diketahui oleh konsumen.</li>
<li>Ditentukan berdasarkan kondisi dalam kasus tertentu, misalnya
pembatasan pertanggungjawaban berdasarkan biaya parkir,di mana pengelola
hanya mempersyaratkan untuk melakukan pengawasan mobil yang diparkir
sebatas melalui instalasi kamera, tetapi tidak melalui pengawasan
langsung.</li>
</ol>
Bagaimana prakteknya di Indonesia? Sebagaimana kita ketahui, klausula
baku yang biasa diajukan sebagai bantahan oleh pihak tergugat, akan
dianggap oleh hakim tidak berlaku, karena bertentangan dengan Pasal 18
ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen.<br />
<strong>Pasal 18 ayat 1 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen</strong><br />
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:<br />
<ol>
<li>menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; […]</li>
</ol>
<strong>Rumusan Baku</strong><br />
Dari gambaran di atas, sebenarnya ada suatu metode atau rumusan yang
bisa dipelajari dari praktek di Belgia, serta sebenarnya cukup cocok
dengan peraturan yang ada di Indonesia, untuk menyelesaikan sengketa
terkait perjanjian parkir yang menggunakan klausula baku. Rumusan itu
bisa diringkaskan dengan beberapa pertanyaan berikut:<br />
<ol>
<li>Apakah perjanjian parkir dapat dikategorikan sebagai perjanjian
penitipan barang? Kualifikasi ini akan memperjelas apa sebenarnya hak
dan kewajiban para pihak. Sehingga, apabila kemudian terjadi pelanggaran
kontrak atau wanprestasi, jelas juga apa yang menjadi landasan
diwajibkannya pembayaran ganti rugi.</li>
<li>Apakah klausula baku terkait dapat dianggap berlaku? Hal ini penting
untuk menilai sejauh mana sebenarnya kewajiban tergugat. Terkait
hilangnya barang, mungkin cukup jelas (karena pengembalian barang adalah
kewajiban yang timbul dari perikatan yang prestasinya bersifat hasil,
artinya dapat mengembalikan, atau tidak), namun akan beda halnya kalau
sengketa yang timbul terkait dengan terjadinya kerusakan.</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-25858170412740444622012-08-16T23:16:00.003+08:002012-08-16T23:16:24.264+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<header class="post-title">
<h1>
Hubungan Hukum Antara Pengelola Perparkiran dengan Pemilik Kendaraan Sebagai Perjanjian Penitipan</h1>
</header><div style="text-align: justify;">
<strong>Nomor <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/ae9d695bd5e38662292fd16fbf45a606/">2078 K/Pdt/2009 </a>(PT Securindo Packatama Indonesia vs Sumito Y Viansyah)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Ringkasan Perkara</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Perkara ini merupakan perkara sengketa
antara pemilik kendaraan (Sumito Y Viansyah) dengan penyedia jasa
perparkiran (PT Securindo Packatama Indonesia). Sumito sebagai pemilik
motor menggugat ganti kerugian kepada PT SPI karena hilangnya motor
miliknya yang diparkir tempat parkir yang dikelola oleh PT SPI.
Penggugat mendalilkan bahwa pihak tergugat melakukan perbuatan melawan
hukum oleh karena pihaknya telah lalai menjaga motor miliknya, tidak
melakukan pemeriksaan atas keluar masuknya kendaraan di tempat parkir
yang dikelolanya, terbukti dengan masih adanya karcis parkir, STNK serta
kunci motor dipihak penggugat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum perkara ini diajukan ke
pengadilan, Penggugat telah meminta pertanggungjawaban Tergugat, namun
oleh Tergugat ditolak dengan alasan berdasarkan Pasal 36 ayat (2)
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur bahwa
kehilangan barang-barang atau kendaraan selama dalam petak parkir
merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir. Tidak puas dengan
tanggapan Tergugat tersebut, Penggugat kemudian mengadukan Tergugat ke
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Oleh BPSK permasalahan ini
kemudian dimediasikan namun tidak terjadi kesepakatan, oleh karena pihak
Tergugat hanya <span id="more-1182"></span>bersedia membayar ganti
kerugian sebesar Rp 7 juta yang menurut Penggugat nilai tersebut jauh
dibawah nilai yang diharapkannya. Karena mediasi di BPSK tidak mencapai
kata sepakat, Penggugat kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di tingkat pertama PN Jakarta Pusat
mengabulkan sebagian gugatan Penggugat. PN Jakarta Pusat menyatakan
bahwa Tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, menghukum
tergugat membayar sejumlah ganti kerugian, serta menghukum Tergugat
untuk tidak lagi mencantumkan klausula baku yang terdapat pada tiket
parkir yang mengalihkan tanggung jawab kepada pemakai tempat parkir.
Putusan ini kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Oleh PT
Jakarta pada dasarnya gugatan tetap dikabulkan sebagian, namun besaran
ganti kerugiannya dikurangi serta hukuman untuk tidak lagi mencantumkan
klausula baku dibatalkan oleh PT.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas putusan judex facti tersebut
Tergugat kemudian mengajukan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam
memori kasasinya Tergugat/Pemohon Kasasi mendalilkan judex facti telah
salah dalam menerapkan hukum oleh karena apa yang dianggap sebagai
klausula baku dalam tiket parkir didasarkan pada Pasal 36 ayat 2 Perda
DKI No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran yang menyatakan bahwa
kehilangan barang atau kendaraan atau rusaknya kendaraan selama dalam
petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir.</div>
<div style="text-align: justify;">
Selain itu menurut Tergugat Judex Facti
juga telah keliru dalam menafsirkan hubungan hukum antara Penggugat
dengan Tergugat, dimana Judex Facti menafsrikan hubungan hukum tersebut
sebagai ‘Perjanjian Penitipan’ bukan ‘Sewa Menyewa’. Tergugat
berpendapat bahwa seharusnya hubungan hukum yang terjadi adalah sewa
menyewa oleh karena jika dilihat dari tarif yang ditetapkan yang mana
(pada saat itu) hanyalah Rp 1.000,- per jam dan Rp 500 untuk tiap jam
berikutnya nilai tersebut terlalu kecil untuk ditafsirkan sebagai tarif
dalam hubungan Perjanjian Penitipan yang mana dalam hubungan Perjanjian
Penitipan tanggung jawab pihak yang dititipkan akan menjadi besar. Untuk
menunjukkan bahwa hubungan hukum perparkiran ini merupakan hubungan
sewa menyewa Tergugat juga menunjukkan beberapa ketentuan terkait, yaitu
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 73 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelenggaran Perparkiran di Daerah yang dalam pasal 1 butir 12 nya
secara tegas menyatakan bahwa sewa parkir adalah pembayaran atas
pemakaian tempat parkir yang diselenggarakan oleh orang atau badan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas permohonan kasasi tersebut Mahkamah
Agung menyatakan Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum. Dalam
pertimbangannnya MA tetap menyatakan bahwa sesuai yurisprudensi hubungan
hukum antara pemilik kendaraan dengan pengusaha parkir adalah
“Perjanjian Penitipan”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Kutipan Pertimbangan Mahkamah Agung</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi I dan Pemohon Kasasi II tidak dapat dibenarkan, Judex Facti
(Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan
sebagai berikut :</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Bahwa Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat banding dapat
mengambi l alih pertimbangan Pengadilan Negeri yang dianggapnya telah
tepat dan benar dan menjadikannya sebagai pertimbangan sendiri ;</li>
<li>Bahwa putusan Pengadi lan Tinggi yang membatalkan putusan Pengadilan
Negeri pada dasarnya menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri kecuali
mengenai besarnya ganti rugi dan amar putusan ke 4 yang berbuny i: “
Menghukum Tergugat untuk tidak lagi mencantumkan klausula baku yang
mengalihkan tanggung jawab pada tiket parkir yang berisi: ” Asuransi
kendaraan dan barang-barang didalamnya serta semua resiko atas segala
kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan
barang-barang didalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan sendiri
(tidak ada penggantian berupa apapun dari penyedia parkir) ” karena
tidak ada kaitan langsung dengan masalah kerugian maka harus di tolak ;</li>
<li>Bahwa berdasarkan Yurisprudensi bahwa hubungan hukum antara pemilik
kendaraan dengan pengusaha parkir adalah “Perjanjian Penitipan ”, yang
jika dihubungkan dengan Pasal -Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata maka
Tergugat berkewajiban menanggung kehilangan sepeda motor Penggugat di
tempat pengelolaan Tergugat sehingga dengan hilangnya sepeda motor milik
Penggugat maka pihak Tergugat harus bertanggung jawab ;</li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
di atas , lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti (Pengadilan
Tinggi) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang- undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
I : PT. SECURINDO PACKATAMA INDONESIA (SECURE PARKING) dan Pemohon
Kasas III : SUMITO Y Viansyah tersebut;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong><br />
1. Imron Anwari (Ketua)<br />
2. Suwardi<br />
3. M. Hakim Nyak Pha</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="text-decoration: underline;"><strong>Catatan Tambahan:</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
1. Lihat juga putusan <strong><a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/22f50c8bc5bbece9026af62d2a9cd7cc/">No. 1966 K/Pdt/2005 </a>(Ny. T. Imelda Wijaya vs PT Anugrah Bina Karya)</strong></div>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-17458545743639479822012-08-16T23:13:00.002+08:002012-08-16T23:13:13.232+08:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<header class="post-title">
<h1>
Unsur Memiliki atau Menguasasi Dalam Perkara Narkotika</h1>
</header><div class="post-extras">
<a href="http://krupukulit.wordpress.com/tag/hakim-nyak-pha/" rel="tag">Hakim Nyak Pha</a>, <a href="http://krupukulit.wordpress.com/tag/imron-anwari/" rel="tag">imron anwari</a>, <a href="http://krupukulit.wordpress.com/tag/narkotika/" rel="tag">Narkotika</a>, <a href="http://krupukulit.wordpress.com/tag/surya-jaya/" rel="tag">Surya Jaya</a><br />
</div>
<br /><div style="text-align: justify;">
<strong>Putusan MA <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/5bb3a8649757bc76ba127c16ec0b4a0d">No. 1386 K/Pid.Sus/2011</a> (Sidiq Yudhi Arianto)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tak
jarang terjadi penyalahgunaan wewenang dalam upaya pemberantasan
narkotika. Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut yaitu
dengan menjerat pengguna narkoba dengan ketentuan yang jauh lebih berat,
yaitu pasal 112 UU 35 Tahun 2009 (memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan narkotika golongan I secara melawan hukum) yang diancam
dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun, DAN
denda minimal Rp 800 juta, maksimal Rp 8 milyar. Padahal untuk pengguna
(penyalahguna) narkotika untuk penggunaan narkotika golongan I ancaman
maksimumnya hanya 4 tahun tanpa denda. Penyalahgunaan wewenang juga
umumnya terjadi sebaliknya, yaitu pengedar dikenakan pasal pengguna.
Dalam kasus ini tampaknya pengadilan mencium dugaan penyalahgunaan
kewenangan dalam bentuk yang pertama, yaitu seorang pengguna didakwa
dengan pasal 112.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kasus ini berawal dari secara tiba-tiba
terdakwa ditangkap oleh beberapa orang polisi setelah sebelumnya
terdakwa membeli 0,2 gram shabu-shabu dari seorang bandar. Dalam dakwaan
tidak dijelaskan bagaimana pihak kepolisian tersebut bisa mengetahui
bahwa terdakwa sebelumnya telah membeli shabu-shabu tersebut, penuntut
umum hanya menjelaskan saat digeledah di saku kirinya ditemukan 1 paket
shabu-shabu seberat 0,2 gram.<span id="more-943"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam dakwaannya Penuntut Umum mendakwa
terdakwa dengan dakwaan subsidiaritas dimana dalam dakwaan pertama
terdakwa didakwa dengan pasal 112 ayat 1, dan dakwaan subsidair dengan
pasal 127 (pengguna). Di tahap penuntutan Penuntut Umum menuntut
terdakwa terbukti atas dakwaan primair dan menuntut terdakwa dijatuhi
hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 800 juta.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas tuntutan tersebut pengadilan
menyatakan terdakwa terbukti melanggar UU Narkotika, namun dakwaan yang
menurut pengadilan terbukti bukanlah dakwaan primair akan tetapi dakwaan
subsidair. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dengan
memperberat hukuman dari sebelumnya 10 bulan penjara menjadi 1,5 tahun.
Atas putusan PT ini Penuntut Umum mengajukan permohonan Kasasi. Alasan
utama permohonan kasasi PU tersebut intinya yaitu judex facti salah
dalam menerapkan hukum dengan menjatuhkan putusan yang hanya menghukum
terdakwa dengan dakwaan subsidair oleh karena pada saat ditangkap tidak
ditemukan peralatan untuk menggunakan shabu-shabu serta terdakwa menolak
dilakukan test urine, sehingga menurut PU seharusnya terdakwa tidak
dihukum sebagai penyalahguna melainkan pasal 112.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas alasan kasasi tersebut Mahkamah
Agung menolaknya. Yang menarik dalam pendapatnya MA menyatakan bahwa
walaupun terdakwa unsur-unsur dalam pasal 112 juga terbukti, yaitu
memiliki dan atau menguasai narkotika namun MA menyatakan bahwa dalam
melihat unsur tersebut harus dipertimbangkan juga maksud dan tujuan atau
konteks penguasaan maupun kepemilikan narkotika tersebut, apakah
dimaksudkan untuk digunakan sendiri atau diperjualbelikan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Selain itu MA juga dalam pertimbangannya
memberikan pertimbangan yang seakan mengkritik praktek yang selama ini
dilakukan oleh para penyidik dalam perkara narkotika, dimana MA
menyatakan bahwa sering kali terjadi ketidakjujuran penyidik dalam
kaitannya dengan test urine, dimana tidak dilakukannya test urine
terjadi karena untuk menghindari diterapkannya pasal 127 UU narkotika
terhadap pengguna.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pertimbangan-pertimbangan ini menurut
saya penting untuk memberikan kejelasan kapan kepemilikan atau
penguasaan narkotika dapat dianggap memenuhi pasal 112 kapan dianggap
memenuhi pasal 127. Dengan demikian diharapkan penegakan hukum menjadi
lebih tepat sasaran, tidak asal untuk menjatuhi hukuman seberat-beratnya
belaka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut kutipan pertimbangan hukum Mahkamah Agung:</div>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut
Umum bahwa sesuai fakta hukum di persidangan Terdakwa terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) UU
No. 35 Tahun 2009, bukan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a
sebagaimana dalam putusan a quo.</div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa Judex Facti /Pengadilan Tinggi
tidak salah menerapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009
dalam memeriksa dan memutus perkara a quo dengan alasan-alasan ;</div>
<ol style="text-align: justify;"><ol><ol><ol>
<li>Jumlah jenis narkotika yang di temukan pada diri Terdakwa hanya
seberat 0.2 gram yang dibeli Terdakwa dari seseorang bernama Ganjar
Raharjo ;</li>
<li>Terdakwa membeli narkotika bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbeikan melainkan untuk digunakan;</li>
<li>Terdakwa yang bermaksud untuk menggunakan atau memakai narkotika
tersebut, tentu saja menguasai atau memiliki narkotika tersebut, tetapi
kepemilikan dan penguasaan narkotika tersebut semata-mata untuk
digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus dipertimbangkan
bahwa kepemilikan atau penguasaan atas suatu narkotika dan sejenisnya
harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan bukan hanya
tekstualnya dengan menghubungkan kalimat dalam Undang-Undang tersebut ;</li>
<li>Dalam proses hukum penyidikan, polisi sering kali menghindari untuk
dilakukan pemeriksaan urine Terdakwa, sebab ada ketidakjujuran dalam
penegakan hukum untuk menghindari penerapan ketentuan tentang
penyalahgunaan narkotika, meskipun sesungguhnya Terdakwa melanggar pasal
127 ayat (1) Undang-Undang No.35 tahun 2009 ;</li>
<li>Oleh karena itu, kepemilikan atau penguasaan narkotika seberat 0.2
untuk tujuan digunakan Terdakwa, tidaklah tepat terhadapnya diterapkan
Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, akan tetapi ketentuan yang
lebih tepat sebagaimana dalam putusan a quo.</li>
</ol>
</ol>
</ol>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
di atas, lagi pula ternyata putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Jaksa
Penuntut Umum tersebut harus ditolak ;</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Majelis Hakim Agung:</strong></div>
<ol>
<li style="text-align: justify;">Imron Anwari (Ketua)</li>
<li style="text-align: justify;">Surya Jaya</li>
<li style="text-align: justify;">Hakim Nyak Pha</li>
</ol>
</div>
Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-61280538072818425802011-08-22T21:08:00.000+08:002011-08-22T21:08:36.890+08:00Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><h2><i></i>Oleh: Jecky Tengens, SH *)</h2><div class="tanggalterbit">Selasa, 19 July 2011</div><div class="description">Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.</div><br />
<div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Fiat justisia ruat coelum, pepatah </span>latin ini memiliki arti “<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan</span>”<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: minor-bidi;"></span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana</span>. N<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">amun sayangnya</span>, <span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">sistem formil tersebut dalam prakt</span>i<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">knya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum</span>.</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Lihatlah bagaimana contoh kasus yang pernah ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta</span>. Kasus dimaksud tentang<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> dua orang pelajar SMP yang dituduh mencuri</span>. Kedua belah pihak yakni dua pelajar dan korban pencurian sebenarnya telah berdamai, namun <span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">polisi berbalutkan atribut penegak hukum lebih memilih untuk meneruskan kasus tersebut hingga sampai ke </span>p<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">engadilan. Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan pelaku.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Contoh lainnya yang mungkin lebih dikenal oleh masyarakat luas ialah kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri </span>dua<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan dalam menjalani persidangan. Jangan juga kita lupakan kasus nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang kemudian harus berujung di meja hijau.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><b>Kepentingan Korban serta Pelaku</b></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;">A<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">pa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum? Banyak jawaban yang terlontar, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya sebuah sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yang menghuni </span>rumah tahanan (rutan)<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> dan </span>lembaga pemasyarakatan<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity </span>rutan<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> dan </span>lapas<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan </span>rutan dan lapas<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana. </span>Lapas<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolah</span>lapas<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam kasus yang pernah dialami oleh LBH Mawar saron Jakarta, sebagaimana yang diungkapkan di atas, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang terjadi hanyalah sebuah kesalahpahaman yang melibatkan para pelaku yang notabene masih berstatus pelajar SMP. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah </span>hukum<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> acara pidana (criminal justice system), kilah penegak hukum pada umumnya.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Konsep seperti inilah yang tidak memberi perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat. Suatu pengantar yang cukup dalam mempromosikan konsep Restorative Justice dalam proses Criminal Justice </span>S<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">ytem di Indonesia.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><b>Pendekatan restorative justice</b></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya di</span>r<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">estorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku</span>. P<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">emulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. </span>K<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">enapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi</span>.</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara ri</span>i<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">l, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Menurut beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Kisah dari Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, sebagaimana</span>tertuang<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir” akan saya kutip untuk menambah ruang pertanyaan dalam benak anda mengenai konsep restorative justice ini;</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“hampir 40 tahun lalu-ketika itu saya belum lama memperoleh gelar Sarjana Hukum- saya ditugasi mengajar pada kursus perwira di Pusat Pendidikan Infantri Bandung....ketika membahas mengenai sifat-sifat dan tata cara penegakan hukum pidana, seorang peserta menceritakan pengalaman dan sekaligus meminta pendapat saya.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Perwira Komandan Batalyon yang bersangkutan menceritakan pengalamannya menghadapi pertikaian fisik antara dua kelompok masyarakat tradisional di suatu tempat. Mula-mula, dalam rangka memulihkan ketertiban dan penegakan hukum, para perusuh ditangkap dan ditahan. Tetapi masalah menjadi lebih meluas dan rumit. Kedua pihak yang bertikai dengan ancaman kekerasan “mengepung” kantor tempat tahanan dan menuntut kawan-kawan mereka dibebaskan, di pihak lain pertikaian berjalan terus.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Untuk mengatasi persoalan, Batalyon mengambil kebijakan mengusahakan perdamaian antara kelompok yang bertikai. Dengan menyediakan berbagai makanan termasuk menyembelih hewan, kedua kelompok diundang. Kedua kelompok menerima undangan tersebut, melalui upacara tertentu kedua kelompok berdamain, yang ditahan dilepaskan, dan proses hukum dihentikan.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Setelah bercerita, Perwira Komandan Batalyon tersebut kemudian bertanya, apakah tindakan kami salah, tidak meneruskan proses hukum tersebut, sedangkan yang terjadi adalah suatu tindak pidana?</span>”</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin beragam, ada yang sepakat bahwa hal itu bisa dibenarkan, ada juga yang tidak setuju jika proses hukum dihentikan. Namun Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL sendiri menjawab bahwa, salah satu tujuan hukum pidana ialah tegaknya ketertiban dan perdamaian, kalau dengan cara-cara yang ditempuh telah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan pemidanaan telah tercapai sehingga tidak lagi diperlukan proses pemidanaan.</span></div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNoSpacing" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya sebuah “karya agung” bangsa Indonesia yang dipakai sebagai dasar formil dalam setiap penanganan perkara pidana lebih mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, pendekatan humanis yang lebih adil harus didorong dan diutamakan ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yang tidak menciptakan keadilan di dalam masyarakat. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses pemidanaan pun adalah keadilan, sehingga sang pemutus nantinya bisa menciptakan putusan yang berdasarkan keadilan dan bukan berdasarkan hukum, sama seperti adagium populer yang dipakai sebagai pembuka dari tulisan ini “Fiat Justisia Ruat Coelum”, walau langit runtuh KEADILAN harus ditegakkan</span>.</div></div>Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-23718358192478769092011-07-07T11:26:00.000+08:002011-07-07T11:26:15.574+08:00Mencermati Vonis Percobaan Dalam Tindak Pidana Korupsi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Tindak pidana korupsi (tipikor) tak pernah usang menjadi isu yang selalu disorot masyarakat. Belum tuntas persoalan eksistensi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, muncul wacana yang digulirkan Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya yang menjatuhkan vonis percobaan pada kasus tipikor (SINDO, (25/5 ’09).<br />
<br />
Hal ini memicu kontroversi. Reaksi keras datang dari masyarakat. Sejumlah elemen masyarakat menilai vonis percobaan tidak memberi efek jera <em>(detterent effect)</em> bagi koruptor dan telah mencederai rasa keadilan. Sebagian bahkan menilai vonis tersebut tidak memiliki dasar hukum dalam UU Tipikor karena sama sekali tidak diatur.<br />
<br />
*** Dasar hukum penjatuhan hukuman percobaan diatur dalam Pasal 14 a – 14 f KUHP. Pasal 14 a ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa <em>“Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perjanjian itu.”</em><br />
<br />
Berdasarkan Pasal 14 a ayat (1) KUHP, apabila suatu tindak pidana dijatuhi pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka hakim dapat memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani.<br />
<br />
Patokan penerapan Pasal 14 a ayat (1) KUHP adalah berdasarkan pidana penjara yang dijatuhkan dan bukan berdasarkan ancaman pidana penjara yang diancamkan. Dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan Emerson Yuntho (SINDO, 1/5 ‘09) yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai vonis percobaan hanya dapat diterapkan terhadap terdakwa yang diancam pidana paling lama 1 tahun penjara.<br />
<br />
UU Tipikor memang tidak secara eksplisit mengatur kemungkinan dijatuhkannya hukuman percobaan namun ia membuka ruang dan kesempatan untuk menerapkan vonis yang semacam ini. Ancaman minimum pidana penjara 1 (satu) tahun seperti terdapat pada Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 9 UU Tipikor memberi ruang dan kesempatan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman percobaan pada kasus-kasus tipikor yaitu apabila kasus yang dijerat dengan pasal-pasal tersebut kemudian dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari 1 (satu) tahun.<br />
<br />
Penulis mengamini pendapat Wakil Ketua MA, Abdul Kadir Mappong yang mengatakan bahwa Pasal 14 ayat (1) KUHP <em>(lebih tepatnya adalah Pasal 14 a – Pasal 14 f KUHP)</em> bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menjatuhan hukuman percobaan (SINDO, 25/5 ’09). Namun demikian, penulis memberi catatan bahwa sesuai ketentuan Pasal 14 a ayat (1) KUHP, penjatuhan hukuman percobaan tersebut haruslah hanya terhadap kasus korupsi yang diputus dengan hukuman penjara tidak lebih dari 1 (satu) tahun atau yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a – Pasal 14 f KUHP.<br />
<br />
Kontroversi seputar penerapan hukuman percobaan pada kasus tipikor menyiratkan adanya kegelisahan dan ketidakpuasan atas bentuk pidana ini. Di sisi lain, bentuk pidana ini memang dimungkinkan meskipun tidak diatur secara eksplisit oleh UU Tipikor. Hukum pidana mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Apabila masyarakat menghendaki ditiadakannya hukuman percobaan maka pintu yang memberi ruang dan kesempatan itu haruslah ditutup.<br />
<br />
*** Ahli hukum pidana sepakat bahwa hukuman percobaan memiliki kedudukan yang penting sebagai alternatif pemidanaan non institusional khususnya untuk menggantikan bentuk pidana badan (penjara dan kurungan) yang telah menjadi bentuk paling umum dari suatu pemidanaan. Studi praktek pidana badan menunjukkan bentuk pidana ini tidak selalu efektif untuk mengurangi kejahatan (tindak pidana), bahkan ekses negatifnya telah banyak dibuktikan terjadi. Diantara ekses negatif pidana badan adalah munculnya cap jahat (stigma) sehingga mempersulit rehabilitasi dan/atau resosialisasi narapidana ke dalam masyarakat.<br />
<br />
Hukuman percobaan dilatarbelakangi pemikiran yang ingin memberi kesempatan pada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki perilakunya secara non institusional di dalam masyarakat. Aspek rehabilitatif suatu pemidanaan menjadi titik berat penjatuhan bentuk pidana ini. Sejauh yang penulis tahu, preferensi hakim memilih bentuk hukuman percobaan adalah sangat rendah meskipun terhadap jenis tindak pidana ringan dan bahkan untuk jenis <em>crime without victim </em>sekalipun. Padahal jenis tindak pidana ringan merupakan jenis tindak pidana yang direkomendasikan untuk penerapan hukuman percobaan.<br />
<br />
Tren tampaknya mulai berubah, kini justru hakimlah yang mempelopori penggunaan hukuman percobaan<em>. </em>Tidak tanggung-tanggung hukuman percobaan mulai dipopulerkan melalui penerapannya dalam tipikor yang dianggap sebagai <em>extra ordinary crime.</em><br />
<br />
Pasal 4 UU Tipikor menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.<br />
<br />
Ketentuan Pasal 4 UU Tipikor menunjukkan adanya tuntutan yang begitu keras dari masyarakat agar tipikor tetap dituntut dan dipidana meskipun kerugian keuangan negara telah dikembalikan pelakunya. Suasana batin masyarakat yang kecewa atas kebobrokan negeri ini dimana salah satu penyebabnya adalah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah bersifat sistemik memunculkan tuntutan agar hukum (pidana) bersikap tegas dan keras terhadap koruptor. Dengan cara demikian diharapkan hukum bisa membantu mendorong perubahan perilaku bangsa ini melalui peranannya sebagai <em>tools of social enginering.</em><br />
<br />
Sementara itu menurut Muladi (Lembaga Pidana Bersyarat, 2004), pidana bersyarat (hukuman percobaan) harus mendapat prioritas utama di dalam penjatuhan pidana, kecuali apabila pengadilan berpendapat bahwa <em>pertama,</em> perampasan kemerdekaan diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap tindak pidana lebih lanjut yang mungkin dilakukan oleh si pelaku tindak pidana; <em>kedua,</em> pelaku tindak pidana membutuhkan pembinaan untuk perbaikan dan dengan pertimbangan efektifitas dalam hal ini diperlukan pembinaan di dalam lembaga; dan <em>ketiga,</em> penerapan pidana bersyarat akan mengurangi kesan beratnya tindak pidana.<br />
<br />
Pendapat Muladi bisa dipahami mengingat pentingnya hukuman percobaan dan manfaat positif yang dikandungnya. Meskipun Muladi mendorong prioritas penggunaan hukuman percobaan namun masih juga ia memberi batasan dalam penerapannya. Poin ketiga dari rekomendasi Muladi di atas sangat tepat untuk menjelaskan mengapa muncul reaksi keras masyarakat terhadap penjatuhan hukuman percobaan pada beberapa kasus korupsi.<br />
<br />
Penjatuhan hukuman percobaan pada kasus korupsi akan mengurangi kesan beratnya tipikor sehingga menyebabkan orang tidak lagi melihat ancaman pidana dalam UU Tipikor sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam hal ini pemidanaan tipikor telah kehilangan fungsi pencegahan umumnya. Pencegahan khusus berupa efek jera yang diharapkan muncul dari pemidanaan korupsi pun juga dikhawatirkan hilang bersamaan dengan penerapan hukuman percobaan yang berarti bahwa terpidana tidak perlu menjalani hukuman meskipun dinyatakan terbukti bersalah.</div>Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-9081063543441597132011-07-05T15:01:00.001+08:002011-07-05T15:07:25.143+08:00YURISPRUDENSI PUTUSAN PROVISIONIL<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><ol style="text-align: left;"><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Tuntutan/putusan Provisionil tidak boleh mengenai pokok perkara dan jika begitu harus dinyatakan tidak diterima .</span><i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;"> </span></i></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Putusan MA-RI No. 1738.K /Sip/1976</span></i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;"> :</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Putusan Provisi dalam perkara ini seharusnya hanya berupa larangan untuk meneruskan bangunandan penghukuman untuk membayar uang paksa (jadi tidak mengenai pokok perkara);</span></div><ol><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Putusan MA-RI No. 140.K /Sip/1974</span></i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">, tanggal 18 November 1975 :</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam putusan pokok perkara ;</span></div><ol><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Putusan MA-RI No.279.K /Sip/1976</span></i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">, tanggal 5 Juli 1977 :</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Permohonan provinsi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang tidak mengenai pokok perkara, permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak ;</span></div><ol><li class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Putusan MA-RI No. 1051.K /Sip/1974</span></i><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">, tanggal 12 Februari 1976 :</span></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">Karena pelaksanaan putusan ini berwujud suatu pembongkaran, maka demi penghati-hati agar dikemudian hari tidak repot bila putusan ini diubah, maka khusus amar ke 7 dari putusan Pengadilan negeri yang berisi penetapan dapat di jalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan (vitvoerbaar bij voorraad) perlu di batalkan ;</span></div></div>Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-5827056714813728952011-07-05T14:52:00.002+08:002011-07-05T14:52:40.514+08:00YURISPRUDENSI Cara Mengajukan Gugatan dan Perubahan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0.0001pt;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiT2zIAY5N9gRnofClzoPkLR318gYGM-hjanhS4egsFgoJX9EtRLRKtxjQTX2sMVttVHVF5D9wfbmxCy8cDpWhqfHQgbaqT_vj4Ee1dsN-8h5o0ZfQTQ3M28e1EixEFByLHT9r4qB5AeuY/s1600/JUSTICE-logo.jpg"><span style="color: blue; font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; text-decoration: none;"> </span></a><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;">1. Putusan MA-RI No. 434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 : Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada Hak Pembelaan para Tergugat;<br />
2. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No. 823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :<br />
Yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak pembelaan diri) atau pembuktian; <br />
3. Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 : <br />
Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;<br />
4. Putusan MA-RI No.209.K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 : Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair : “untuk peradilan yang adil”;<br />
5. Putusan MA-RI No.823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 : <br />
Karena perubahan tersebut tidaklah merugikan kepentingan Tergugat dalam pembelaan atau pembuktian, sehingga tidak bertentangan dengan Hukum Acara dan demi Peradilan yang cepat dan murah (tentang perubahan tanggal, bulan, tahun dalam gugatan);<br />
6. Putusan MA-RI No.2.K/Sip/1959, tanggal 28 Januari 1959 : Karena Tergugat asli/ pembanding/Penggugat untuk kasasi terhadap perubahan isi gugatan berupa pencabutan kembali sebagian dari barang yang digugat, dapat dibenarkan karena dalam perkara ini pengurangan gugat itu dapat merugikan baginya mengenai hal warisan dan gono-gini; <br />
7. Putusan MA-RI No.1425.K/Pdt/1985, tanggal 24 Juni 1991 : Perubahan surat/ gugatan perdata dapat diterima/dibenarkan bila perusahaan itu dilakukan sebelum Hakim membacakan surat Gugatan di dalam persidangan dan kepada Tergugat masih diperintahkan untuk menjawab surat gugatan tersebut;<br />
8. Putusan MA-RI No. 457/Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 : <br />
Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara); sehingga terjadi perubahan subyek hukum gugatan (Vide = Putusan MA-RI No. 305.K/Sip/1971, tanggal 16 Juni 1971);<br />
9. Putusan MA-RI No.546.K/Sip/1970, tanggal 14 Oktober 1970 : <br />
Perubahan gugatan itu tidak diterima apabila perubahan itu dilakukan pada taraf pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalil-dalil, tangkisan-tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis dikemukakan dan kedua pihak sebelumnya telah mohon putusan;<br />
10. Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 30 September 1972 :<br />
Keberataan kasasi bahwa Pengadilan Tinggi telah merumuskan Posita Penggugat tidak sesuai dengan dalil Penggugat, dapat dibenarkan, karena dalil Penggugat adalah “menempati” tanah sengketa dengan kekerasan, sedang oleh Pengadilan Tinggi dirubah menjadi “meminjam”;<br />
11. Putusan MA-RI No.1720.K/Sip/1978 : <br />
<b>Tentang pencabutan Gugatan.</b><br />
Karena Tergugat asal II telah menyetujui pencabutan gugatan dan tidak bersedia menghadap ke sidang, maka dapat dipandang bahwa Tergugat tersebut telah melepaskan kepentingan dalam perkara ini, sehingga pencoretan namanya sebagai Tergugat tidaklah bertentangan dengan hukum;<br />
12. Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 4 Oktober 1972 : Judex-facti tidak boleh merubah dalil gugatan (Posita) dari Penggugat (Pasal 189 ayat (3) Rbg./ Pasal 178 ayat (3) HIR; <br />
13. Putusan MA-RI No. 843.K/Sip/1984, tanggal 19 September 1985; <br />
Pengadilan Tinggi telah salah dalam menerapkan Hukum Acara sebab pihak Tergugat asal tidak ternyata telah didengar dan menyetujui akan usul perubahan gugatan yang diajukan oleh Penggugat/penggugat asal dalam persidangan pada tanggal 20 April 1981, maka usul perubahan tersebut harus dianggap tidak pernah ada;<br />
Jumlah piutang yang dapat dikabulkan hanya apa yang disebut dalam Surat Gugat Penggugat asal yakni sebesar Rp. 32.346.555,-;<br />
14. Putusan MA-RI No. 943.K/Pdt/1984, tanggal 19 September 1985 :<br />
<b>Perubahan Gugatan selama persidangan :</b><br />
1. Sesuai Yurisprudensi perubahan gugatan/tuntutan selama persidangan memang diperbolehkan asalkan saja tidak menyimpang dari posita, dan tidak menghambat acara pemeriksaan di sidang, meskipun Tergugat tidak menyetujui perubahan tersebut. Perubahan gugatan diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama;<br />
2. Pengadilan Tingkat Banding juga memeriksa fakta-fakta, oleh karena itu perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding asalh saja pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan membela diri; </span></div></div>Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-68831373595552295252011-04-05T22:38:00.002+08:002011-04-05T22:38:32.469+08:00DALAM REKONPENSI (Gugat Balik atau Gugat Balasan)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><span class="pathway"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Gugatan Rekonpensi, menurut Pasal 132 a HIR dapat diajukan dalam setiap perkara kecuali:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;"><span>1.<span style="font: 7pt 'Times New Roman';"> </span></span></span><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Penggugat dalam gugatan asal menuntut mengenai sifat, sedangkan gugatan rekonpensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;"><span>2.<span style="font: 7pt 'Times New Roman';"> </span></span></span><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa tuntutan balik itu berhubung dengan pokok perselisihan (kompetensi absolut).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;"><span>3.<span style="font: 7pt 'Times New Roman';"> </span></span></span><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Dalam perkara tentang menjalankan putusan hakim. Gugatan Rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama (Pasal 132b HIR/Pasal 158 RBg.).</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam rekonpensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak dapat diajukan gugatan rekonpensi.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Gugatan dalam konpensi dan rekonpensi diperiksa dan diputus dalam satu putusan kecuali apabila menurut pendapat hakim salah satu dari gugatan dapat diputus terlebih dahulu.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Gugatan rekonpensi hanya boleh diterima apabila berhubungan dengan gugatan konpensi.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Apabila gugatan konpensi dicabut, maka gugatan rekonpensi tidak dapat dilanjutkan.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;"><span style="color: red; font-family: 'MS Reference Sans Serif'; font-size: 8pt;">Sumber: Mengadaptasi dari Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,<span> </span>2008, hlm. 59. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. </span></div></span> </div>Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7029415227853688460.post-64308715427914633922011-04-05T22:31:00.000+08:002011-04-05T22:31:18.248+08:00TINDAK PIDANA DALAM DELIK KHUSUS<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="posttitle"><br />
</div><div class="entry"> <div class="snap_preview"><div align="center"><strong>MONEY LOUNDRY</strong></div><div align="center"><strong>BAGIAN I</strong></div><div align="center"><strong>PENDAHULUAN</strong></div><strong>A. Latar Belakang </strong><br />
Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset yang sah. Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan melakukan pencucian uang.<br />
Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela.<br />
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, UndangUndang No. 15 Tahun 2002, pengertian bank dirumuskan secara luas dalam Pasal l butir 4, yaitu : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.<br />
Ada pelbagai perumusan bertalian dengan makna pencucian uang atau “money laundering”. Pada dasarnya perumusan itu menyangkut suatu proses pencucian uang yang diperoleh dari kejahatan dan dicuci melalui suatu lembaga keuangan (bank) atau penyedia jasa keuangan, sehingga pada akhirnya uang yang haram itu mendapatkan suatu penampilan sebagai uang yang sah atau halal.<br />
Dalam Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dirumuskan : Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang berjumlah Rp 500 juta atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan :<br />
a. korupsi<br />
b. penyuapan<br />
c. penyeludupan barang<br />
d. penyeludupan tenaga kerja<br />
e. penyeludupan imigran<br />
f. perbankan<br />
g. narkotika<br />
h. psikotropika<br />
i. perdagangan budak,wanita dan anak<br />
j. perdagangan senjata gelap<br />
k. penculikan<br />
l. terorisme<br />
m. pencurian<br />
n. penggelapan<br />
o. penipuan<br />
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.<br />
<strong>B. Teori-Teori </strong><br />
T<strong>indak pidana pencucian uang dirumuskan dalam Pasal 3 UU TPPU, yaitu :</strong><br />
(1) Setiap orang yang dengan sengaja :<br />
<ul><li>menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;</li>
<li>mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;</li>
<li>membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;</li>
<li>menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;</li>
<li>menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;</li>
<li>membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana</li>
<li>menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau</li>
<li>menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.</li>
</ul>Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).<br />
(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ).<br />
Sejumlah karakteristik yang umumnya melekat pada White Collar Crime menurut Hazel Croall (1992) sebagaimana dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo (2001) adalah sebagai berikut:<br />
<ul><li>Tidak kasat mata (low visibility)</li>
<li>Sangat kompleks (complexity)</li>
<li>Ketidakjelasan pertanggung jawaban pidana (diffusion of responsibility)</li>
<li>Ketidak ielasan korban (diffusion of victims)</li>
<li>Aturan hukum yang samar atau tidak ielas (ambiguous criminal law)</li>
<li>Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution).</li>
</ul>Untuk itu akan dijelaskan di bawah ini <strong>tiga tahap pencucian uang</strong> :<br />
<ul><li>Pertama, apa yang dinamakan “placement”. Dengan “placement” dimaksudkan “the physical disposal of cash proceeds derived from illegal activity”. Dengan perkataan lain, fase pertama dari proses pencucian uang haram ini ialah memindahkan uang haram dari sumber di mana uang itu diperoleh untuk menghindarkan jejaknya. Atau secara lebih sederhana agar sumber uang tersebut tidak diketahui oleh pihak penegak hukum. Metode yang paling penting dari “placement” ini adalah apa yang disebut sebagai “smurfing”. Melalui “smurfing” ini, maka keharusan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikelabui atau dihindari.</li>
<li>Tahap yang kedua dinamakan “layering”. Dengan “layering” dimaksudkan “separating illicit proceeds from their source by creating complex layers of financial transactions designed to disguise the audit trail and provide anonymity”. Hubungan antara “placement” dengan “layering” adalah jelas. Setiap prosedur “placement” yang berarti mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu adalah juga salah satu bentuk “layering”. Strategi “layering” pada umumnya meliputi, antara lain, dengan mengubah uang tunai menjadi aset fisik, seperti kendaraan bermotor, barang-barang perhiasan dari emas atau batu-batu permata yang mahal, atau “real estate”, atau instrumen keuangan seperti “money orders, cashiers cheques or securities and multiple electronic transfers of funds to so called `bank secrecy havens’, such as Switzerland or the Caymen Islands”.</li>
<li>Yang ketiga adalah “integration”. Dengan “integration” dimaksudkan “the provision of apparent legitimacy to criminally derived wealth. If the layering process has succeeded, integration schemes place the laundered proceeds back into the economy in such a way that the re-enter the financial system appearing to be normal business funds”. Dengan perkataan lain, si penjahat harus mengintegrasikan dana dengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yang normal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyampaikan laporan palsu yang menyangkut pinjaman uang, juga melalui “invoices and income of shell corporations, or more simply through an electronic transfer of the funds from a bank secrecy haven back to the money’s country of origin”.</li>
</ul>Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama narkotika.<br />
Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani, jika ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensi transaksi.<br />
Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai Money Laundering adalah :<br />
<ul><li>United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Dec. 20, 1988);</li>
<li>Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No.8, 1990);</li>
<li>European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991);</li>
</ul><div align="center"><strong>BAGIAN II</strong></div><div align="center"><strong>PERMASALAHAN</strong></div><div align="center"><br />
</div>DPR and lembaga eksekutif Pemerintah Indonesia saat ini sedang merevisi UU 15/2002 mengenai tindak pidana pencucian uang. Mereka melakukan ini sebagai respon terhadap tekanan dari Financial Action Task Force (FATF), sebuah lembaga antar negara yang memonitor implementasi undang-undang anti pencucian uang pada sektor keuangan secara global. Tahun lalu FATF mengumumkan bahwa mereka akan menerapkan sanksi kepada Indonesia jika UU 15/2002 tidak diperbaiki sehingga memenuhi standar internasional.<br />
Dalam pembahasan revisi UU 15/2002 ini, salah satu dari sekian banyak isue yang seharusnya dipertimbangkan oleh Pemerintahan Megawati dan DPR adalah bagaimana menggunakan UU anti pencucian uang untuk mengendalikan aktivitas ilegal di sektor kehutanan. Pembalakan liar, yang merupakan kejahatan kehutanan yang paling menonjol, diperkirakan merugikan negara paling sedikit sebesar Rp 9 trilliun, atau US$ 1 miliar, per tahun (dan menurut beberapa perkiraaaan, kerugian dapat mencapai US$ 3,4 miliar). Kejahatan kehutanan ini sering dikaitkan dengan korupsi, penyuapan, penggelapan pajak, kejahatan perbankan, dan berbagai jenis kejahatan lainnya yang tidak unik hanya kepada sektor kehutanan. Kejahatan kehutanan juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk kehilangan ekosistem kehutanan dan berbagai jenis satwa langka.<br />
Pemerintah Indonesia saat ini terlibat dalam berbagai inisiatif kerjasama bilateral dan multilateral untuk memerangi pembalakan liar dan jenis-jenis kejahatan kehutanan lainnya. Dengan memasukkan “kejahatan kehutanan” sebagai <em>predicate offense </em>didalam UU Perubahan terhadap UU 15/2002, pemerintah Indonesia dapat melakukan langkah yang sangat strategis – dan menjadi preseden secara global – untuk meningkatkan <em>governance </em>baik di sektor kehutanan maupun di sektor keuangan.<br />
<strong>A. Apa itu Kejahatan Kehutanan?</strong><br />
Kejahatan kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Di Indonesia, UU 41/1999 tentang Kehutanan mendefinisikan paling sedikit 13 katagori aktivitas kejahatan yang terkait dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp.5-10 miliar. Beberapa dari aktivtias tersebut<br />
diantaranya adalah:<br />
v Merusak infrastruktur yang digunakan untuk perlindungan hutan;<br />
v Terlibat didalam kegiatan yang mendukung degradasi hutan;<br />
v Menggunakan atau menempati sebagian dari Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri;<br />
v Menebang pohon dalam batas 500 meter dari tepi waduk atau danau;<br />
v Membakar hutan;<br />
v Memanen hasil hutan tanpa memiliki izin atau hak;<br />
v Menambang didalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;<br />
v Mengangkut hasil hutan tanpa dokumen yang syah;<br />
v Membawa peralatan berat ke kawasan hutan tanpa memiliki izin.<br />
Sampai sejauh ini bentuk kejahatan kehutanan yang paling menonjol adalah aktivitas yang dikenal sebagai ‘pembalakan liar.’ Di Indonesia, secara umum diperkirakan antara 60 sampai 80 persen dari 60 sampai dengan 70 juta m3 kayu yang dikonsumsi oleh industri kayu domestik setiap tahun diperoleh secara ilegal.<br />
Di hampir semua propinsi yang kaya hutan, pembalakan liar melibatkan berbagai oknum termasuk:<br />
pegawai yang korup; personel TNI dan polisi; broker kayu ilegal; pemegang hak konsensi hutan yang beroperasi diluar kontrak HPH mereka; penduduk lokal yang terlibat didalam penebagan informal; dan jasa pengangkutan, eksportir, dan pegawai Bea Cukai. Pada umumnya pembalakan liar dan berbagai kejahatan kehutanan terkait langsung dengan aktivitas<br />
kriminal yang tidak unik hanya kepada sektor kehutanan. <em>Korupsi, </em>misalnya, adalah sebuah kegiatan<br />
kriminal yang sangat menyebar luas dimana oknum pegawai pemerintah menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil hutan. Perusahaan kayu sering terlibat didalam <em>penggelapan pajak </em>atau <em>tax evasion </em>dengan melaporkan penebangan kayu yang lebih rendah dari seharusnya. Beberapa produser pulp dan kertas di Indonesia telah melakukan tindak pidana <em>kejahatan perbankan </em>dengan melakukan <em>mark-up </em>biaya investasi mereka. <em>Penyelundupan </em>juga sangat menonjol di sektor kehutanan yang terlihat dari besarnya volume kayu dan hasil hutan lainnya yang dikirimkan keluar Indonesia tanpa dilengkapi surat-surat yang syah.<br />
<strong>B. Peran yang dimainkan bank</strong><br />
Sering sekali diasumsikan bahwa pembalakan liar di Indonesia dilakukan oleh aktor berskala kecil yang bekerja secara tunai (<em>cash basis</em>) dengan sedikit kebutuhan untuk memperoleh pembiayaan. Pada kenyataannya, bank dan lembaga keuangan lainnya memainkan peran penting dalam menyediakan dana untuk kegiatan kehutanan yang legal dan tidak legal. Bank, misalnya, secara rutin memberikan modal kerja untuk aktivitas pembalakan; pembiayaan pembangunan hutan tanaman; pinjaman jangka panjang untuk fasilitas pemrosesan kayu; penjaminan penerbitan obligasi dan surat berhaga komersial; pembelian hutang perusahaan; dan pembiayaan perdagangan, disamping tentunya menerima deposit dari perusahaan kehutanan.<br />
Seperti diperlihatkan oleh angka-angka dibawah ini, jumlah uang yang keluar dan masuk sektor kehutanan di Indonesia sangatlah besar :<br />
v Industri kehutanan menghasilkan ekspor senilai lebih dari US$ 5 miliar per tahun;<br />
v Lebih dari US$ 15 miliar telah diinvestasikan di sektor pulp dan kertas sejak akhir tahun 1980-an;<br />
v Sebelum dilakukan penjualan, BPPN menguasai hutang perusahaan kehutanan senilai US$ 3 miliar dan US$ 8.5 miliar dalam bentuk aset kehutanan yang digadaikan;<br />
v Bank Mandiri saat ini menguasai hutang perusahaan kehutanan senilai US$ 1.3 miliar;<br />
v Menteri Kehutanan menderita kerugian sebesar US$ 1 miliar per tahun akibat terjadinya pembalakan liar.<br />
Sebelum terjadinya krisis keuangan tahun 1997, hampir seluruh konglomerat kehutanan di Indonesia memiliki bank mereka sendiri. Dalam banyak hal, kondisi ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk memastikan tersedianya dana untuk membiayai kegiatan kehutanan yang ilegal dan merupakan kendaraan yang dapat digunakan untuk memanipulasi transaksi keuangan yang terkait dengan investasi di sektor kehutanan.<br />
<strong>C. Pencucian Uang Terjadi di Sektor Kehutanan</strong><br />
Untuk lebih memahami bagaimana proses pencucian uang terjadi di sektor kehutanan di Indonesia, perhatikan contoh hipotesis berikut ini. Sebuah perusahaan plywood di Propinsi Riau membeli bahan baku kayu dari perusahaan kayu yang tidak memiliki izin pemanfaatan hasil hutan dan melakukan pembalakan liar di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Perusahaan plywood ini menjual panel kayu kepada pembelinya di China, Korea Selatan, dan Taiwan melalui perusahaan pemasaran Indonesia yang berlokasi di Hong Kong. Pegawai-pegawai perusahaan kayu dan perusahaan plywood serta perusahaan pemasaran di Hong Kong menyadari bahwa kayu yang digunakan untuk membuat panel kayu berasal dari pembalakan liar.<br />
Untuk menyamarkan kenyataan bahwa keuntungan perusahaan berasal dari kegiatan ilegal, ketiga perusahaan ini menerapkan starategi yang berbeda. Perusahaan kayu <em>menempatkan </em>hasil tindak pidana kedalam sistem keuangan dengan mendepositokan kedalam sebuah rekening bank dengan nama fiktif.<br />
Perusahaan pemasaran melakukan <em>layering </em>dengan mengalihkan penerimaan uangnya melalui sebuah bank di Cayman Island. Sedangkan perusahaan plywood <em>mengintegrasikan </em>keuntungannya kedalam aktivitas bisnis legal dengan melakukan investasi disebuah kawasan wisata di Bali.<br />
Didalam ketiga kasus diatas, perusahaan yang terlibat telah mengambil langkah-langkah untuk membuat uang yang berasal dari kegiatan ilegal nampak seolah-olah berasal dari sumber yang syah. Jika ‘kejahatan kehutanan’ secara spesifik masuk kedalam daftar <em>predicate offense </em>pada UU tindak pidana pencucian uang Indonesia, masing-masing perusahaan dapat dituntut terlibat pencucian uang. Hal ini tidak hanya dapat diterapkan kepada perusahaan kayu dan plywood yang berada di Indonesia, akan tetapi juga kepada perusahaan pemasaran Indonesia yang berada di Hong Kong. Jika lembaga keuangan terbukti membantu proses penyamaran asal dana yang diperoleh secara ilegal ini, mereka juga dapat dituntut terlibat tindak pidana pencucian uang.<br />
<div align="center"><strong>BAGIAN III</strong></div><div align="center"><strong>ANALISIS</strong></div><div align="center"><strong> </strong></div><strong>A. Manfaat Mengkaitkan Hutan Dengan Pencucian Uang</strong><br />
Ada berbagai cara untuk mengkaitkan tindak pidana kehutanan dengan dengan tindak pidana pencucian uang. Memasukkan kejahatan kehutanan dan kejahatan lingkungan didalam UU perubahan atas UU 15/2002 tentunya adalah langkah yang paling efektif untuk mencapai hal tersebut. Manfaat mengkaitkan tindak pidana kehutanan dengan tindak pidana pencucian uang diantaranya adalah sebagai berikut:<br />
1) Bank akan meningkatkan praktek <em>due diligence </em>dalam memberikan pinjaman disektor kehutanan: peraturan ‘Know Your Customer’ meminta bank untuk menentukan apakah pelanggan terlibat didalam kegiatan ilegal atau tidak. Disektor kehutanan khususnya, bank memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan terhadap pelanggan yang diketahui menggunakan kayu dari pembalakan liar.<br />
2) Bank diminta untuk memonitor dan melaporkan transaksi yang mencurigakan: UU 15/2002 mendefinisikan transaksi mencurigakan sebagai: “transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan UU.” Kenyataan bahwa hampir 70 persen kayu di Indonesia diperoleh dari sumber yang ilegal memunculkan pertanyaan penting tentang apa yang tergolong ‘transaksi mencurigakan’ di sector kehutanan. Dalam konteks ini, secara konseptual bank dapat diwajibkan untuk memperlakukan setiap transaksi yang melibatkan aktivitas kehutanan sebagai salah satu bentuk ‘transaksi mencurigakan’ – paling tidak sampai perusahaan kehutanan memberikan bukti sebaliknya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah kepada peningkatan yang besar didalam tingkat transparansi dan akuntabilitas perusahaan di sektor kehutanan.<br />
3) Pemerintah akan memiliki alat baru untuk menegakkan peraturan kehutanan dan keuangan: Memasukan kejahatan kehutanan didalam <em>predicate offense </em>akan memperluas pilihan penegakan hukum untuk memutuskan sumber pembiayaan bagi kegiatan pembalakan liar. Disamping menuntut aktor yang secara langsung terlibat didalam pembalakan liar, pemerintah dapat juga menuntut lembaga keuangan yang membiayai kegiatan pembalakan liar.<br />
4) Ketentuan hukum baru akan tersedia untuk penegakan hukum dan penuntutan: Untuk kegiatan pembalakan liar, sering terjadi kayu yang ditebang dan uang yang dihasilkan dari kayu tersebut dikirim keluar negeri. Berbeda dengan UU kehutanan, UU tindak pidana pencucian uang akan memungkinkan pemerintah Indonesia menuntut warga negara Indonesia yang mungkin terlibat didalam kegiatan pencucian uang, tanpa memperhatikan apakah mereka melakukannya di Indonesia atau diluar negeri.<br />
Dibawah FATF, penegakan hukum tindak pidana pencucian uang juga difasilitasi melalui kerjasama<br />
dengan negara lain.<br />
<strong>B. Macam-Macam Kejahatan Keuangan Kehutanan </strong><br />
1. Menyatakan harga jual produk kayu dibawah harga pasar untuk melaporkan laba yang kecil atau rugi Menyatakan harga input produk kayu yang jauh diatas harga pasar untuk mengurangi laba atau melaporkan rugi<br />
2. Tidak membayar kepada kreditur dengan memindahkan arus kas perusahaan ke bisnis yang lain.<br />
3. Memanipulasi pembayaran hutang piutang kepada group perusahaan sendiri untuk mengurangi laba dan menghindari pajak perusahaan<br />
4. Mark up nilai jasa dan produk yang diterima dari grup perusahaan sendiri<br />
untuk mengurangi besarnya laba dan pajak perusahaan<br />
5. Tidak membayar DR dan PSDH dengan benar dengan under-grading, under measuring, under-reporting dan undervaluing kayu dan misklasifikasi spesies kayu<br />
6. Tidak membayar DR dan PSDH dan kewajiban negara lainnya<br />
<strong>C. Perlunya Kepemimpinan dari Menteri Kehutanan</strong><br />
Sejak April 2003, CIFOR telah terlibat dalam seri diskusi dengan Unit Intelejen Keuangan pemerintah Indonesia (PPATK) untuk mengupayakan tercantumnya kejahatan kehutanan didalam UU perubahan atas UU 15/2002. Pada awal Juni, PPATK memasukkan ‘kejahatan dibidang kehutanan’ dan kejahatan dibidang lingkungan’ didalam daftar <em>predicate offense </em>didalam rancangan UU perubahan yang telah diserahkan kepada DPR untuk diratifikasi.<br />
Saat ini sangat dibutuhkan adanya kepemimpinan dari Menteri Kehutanan atas isue ini untuk memastikan kejahatan kehutanan tercakup dalam UU perubahan atas UU 15/2002 pada saat diratifikasi nanti. Secara khusus, Menteri Kehutanan menempati posisi unik untuk mengkomunikasikan apa implikasi bagi<br />
penegakan hukum dan <em>governance </em>dibidang kehutanan jika kejahatan kehutanan dimasukkan sebagai <em>predicate offense </em>pencucian uang. Sampai UU diratifikasi oleh DPR, akan sangat berguna jika Menteri mengkomunikasikan dengan PPATK dan dengan Komisi II DPR tentang pentingnya penerapan UU anti pencucian uang untuk mengendalikan pembalakan liar.<br />
Setelah diratifikasi, Menteri Kehutanan perlu bekerja sama secara erat dengan PPATK dan lembaga keuangan kunci lainnya di Indonesia dan regulator untuk memastikan UU anti pencucian uang diterapkan secara efektif disektor kehutanan. Lembaga ini termasuk Bank Indonesia, Bapepam dan Dirjen Lembaga<br />
Keuangan Departemen Keuangan. Bank Indonesia telah menerbitkan peraturan ‘know your customer’ (KYC) untuk perbankan. Sementara Bapepam mengeluarkan aturan serupa untuk perusahaan sekuritas dan<br />
Dirjen Lembaga Keuangan telah mengeluarkan peraturan untuk lembaga keuangan bukan bank.<br />
Peraturan KYC mewajibkan bank dan penyedian jasa keuangan lainnya untuk mengidentifikasi indetitas nasabah, memonitor transasksi nasabah, dan melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK. Menteri Kehutanan memegang peran penting untuk membantu bank dan lembaga keuangan lainnya untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan ‘aktivitas mencurigakan’ di sektor kehutanan, dan bagaimana aktivtas ini dimonitor.<br />
<div align="center"><strong>BAGIAN IV</strong></div><div align="center"><strong>KESIMPULAN</strong></div><div align="center"><br />
</div>Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Setiap orang yang menerima atau menguasai hasil transaksi (<em>penempatan, transfer, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran</em>) harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.<br />
Alat Bukti Pemeriksaannya: sesuai hukum acara pidana, informasi yg diucapkan, dikirimkan, diterima, atau Disimpan secara elektronik, alat optik atau sejenis, tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi<br />
Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama narkotika.<br />
Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani, jika ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensi transaksi.<br />
Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai Money Laundering adalah :<br />
<ul><li>United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Dec. 20, 1988);</li>
<li>Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No.8, 1990);</li>
<li>European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991);</li>
</ul><div align="center"><strong>REFERENSI</strong></div><div align="center"><br />
</div><ul><li>Keputusan Kepala PPATK No.2/1/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyediaan Jasa Keuangan</li>
<li>Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (<em>Know Your Customer Principles</em>)</li>
<li>Rancangan UU Tentang Perubahan Atas UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang</li>
<li>Studi Penerapan Sanksi Pidana Kehutanan, <em>Bab III Analisis Pasal-Pasal Pidana Kehutanan dalam Peraturan Perundang-Undangan Terkait</em>, Departemen Kehutanan</li>
<li>UU No.15 Tahun 2002 <em>Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, </em>Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan</li>
</ul></div></div></div>Syafruddinhttp://www.blogger.com/profile/08822480617219190846noreply@blogger.com0