Kamis, 07 Juli 2011

Mencermati Vonis Percobaan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi (tipikor) tak pernah usang menjadi isu yang selalu disorot masyarakat. Belum tuntas persoalan eksistensi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, muncul wacana yang digulirkan Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya yang menjatuhkan vonis percobaan pada kasus tipikor (SINDO, (25/5 ’09).

Hal ini memicu kontroversi. Reaksi keras datang dari masyarakat. Sejumlah elemen masyarakat menilai vonis percobaan tidak memberi efek jera (detterent effect) bagi koruptor dan telah mencederai rasa keadilan. Sebagian bahkan menilai vonis tersebut tidak memiliki dasar hukum dalam UU Tipikor karena sama sekali tidak diatur.

*** Dasar hukum penjatuhan hukuman percobaan diatur dalam Pasal 14 a – 14 f KUHP. Pasal 14 a ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa “Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perjanjian itu.”

Berdasarkan Pasal 14 a ayat (1) KUHP, apabila suatu tindak pidana dijatuhi pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka hakim dapat memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani.

Patokan penerapan Pasal 14 a ayat (1) KUHP adalah berdasarkan pidana penjara yang dijatuhkan dan bukan berdasarkan ancaman pidana penjara yang diancamkan. Dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan Emerson Yuntho (SINDO, 1/5 ‘09) yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai vonis percobaan hanya dapat diterapkan terhadap terdakwa yang diancam pidana paling lama 1 tahun penjara.

UU Tipikor memang tidak secara eksplisit mengatur kemungkinan dijatuhkannya hukuman percobaan namun ia membuka ruang dan kesempatan untuk menerapkan vonis yang semacam ini. Ancaman minimum pidana penjara 1 (satu) tahun seperti terdapat pada Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 9 UU Tipikor memberi ruang dan kesempatan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman percobaan pada kasus-kasus tipikor yaitu apabila kasus yang dijerat dengan pasal-pasal tersebut kemudian dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari 1 (satu) tahun.

Penulis mengamini pendapat Wakil Ketua MA, Abdul Kadir Mappong yang mengatakan bahwa Pasal 14 ayat (1) KUHP (lebih tepatnya adalah Pasal 14 a – Pasal 14 f KUHP) bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menjatuhan hukuman percobaan (SINDO, 25/5 ’09). Namun demikian, penulis memberi catatan bahwa sesuai ketentuan Pasal 14 a ayat (1) KUHP, penjatuhan hukuman percobaan tersebut haruslah hanya terhadap kasus korupsi yang diputus dengan hukuman penjara tidak lebih dari 1 (satu) tahun atau yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a – Pasal 14 f KUHP.

Kontroversi seputar penerapan hukuman percobaan pada kasus tipikor menyiratkan adanya kegelisahan dan ketidakpuasan atas bentuk pidana ini. Di sisi lain, bentuk pidana ini memang dimungkinkan meskipun tidak diatur secara eksplisit oleh UU Tipikor. Hukum pidana mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Apabila masyarakat menghendaki ditiadakannya hukuman percobaan maka pintu yang memberi ruang dan kesempatan itu haruslah ditutup.

*** Ahli hukum pidana sepakat bahwa hukuman percobaan memiliki kedudukan yang penting sebagai alternatif pemidanaan non institusional khususnya untuk menggantikan bentuk pidana badan (penjara dan kurungan) yang telah menjadi bentuk paling umum dari suatu pemidanaan. Studi praktek pidana badan menunjukkan bentuk pidana ini tidak selalu efektif untuk mengurangi kejahatan (tindak pidana), bahkan ekses negatifnya telah banyak dibuktikan terjadi. Diantara ekses negatif pidana badan adalah munculnya cap jahat (stigma) sehingga mempersulit rehabilitasi dan/atau resosialisasi narapidana ke dalam masyarakat.

Hukuman percobaan dilatarbelakangi pemikiran yang ingin memberi kesempatan pada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki perilakunya secara non institusional di dalam masyarakat. Aspek rehabilitatif suatu pemidanaan menjadi titik berat penjatuhan bentuk pidana ini. Sejauh yang penulis tahu, preferensi hakim memilih bentuk hukuman percobaan adalah sangat rendah meskipun terhadap jenis tindak pidana ringan dan bahkan untuk jenis crime without victim sekalipun. Padahal jenis tindak pidana ringan merupakan jenis tindak pidana yang direkomendasikan untuk penerapan hukuman percobaan.

Tren tampaknya mulai berubah, kini justru hakimlah yang mempelopori penggunaan hukuman percobaan. Tidak tanggung-tanggung hukuman percobaan mulai dipopulerkan melalui penerapannya dalam tipikor yang dianggap sebagai extra ordinary crime.

Pasal 4 UU Tipikor menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Ketentuan Pasal 4 UU Tipikor menunjukkan adanya tuntutan yang begitu keras dari masyarakat agar tipikor tetap dituntut dan dipidana meskipun kerugian keuangan negara telah dikembalikan pelakunya. Suasana batin masyarakat yang kecewa atas kebobrokan negeri ini dimana salah satu penyebabnya adalah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah bersifat sistemik memunculkan tuntutan agar hukum (pidana) bersikap tegas dan keras terhadap koruptor. Dengan cara demikian diharapkan hukum bisa membantu mendorong perubahan perilaku bangsa ini melalui peranannya sebagai tools of social enginering.

Sementara itu menurut Muladi (Lembaga Pidana Bersyarat, 2004), pidana bersyarat (hukuman percobaan) harus mendapat prioritas utama di dalam penjatuhan pidana, kecuali apabila pengadilan berpendapat bahwa pertama, perampasan kemerdekaan diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap tindak pidana lebih lanjut yang mungkin dilakukan oleh si pelaku tindak pidana; kedua, pelaku tindak pidana membutuhkan pembinaan untuk perbaikan dan dengan pertimbangan efektifitas dalam hal ini diperlukan pembinaan di dalam lembaga; dan ketiga, penerapan pidana bersyarat akan mengurangi kesan beratnya tindak pidana.

Pendapat Muladi bisa dipahami mengingat pentingnya hukuman percobaan dan manfaat positif yang dikandungnya. Meskipun Muladi mendorong prioritas penggunaan hukuman percobaan namun masih juga ia memberi batasan dalam penerapannya. Poin ketiga dari rekomendasi Muladi di atas sangat tepat untuk menjelaskan mengapa muncul reaksi keras masyarakat terhadap penjatuhan hukuman percobaan pada beberapa kasus korupsi.

Penjatuhan hukuman percobaan pada kasus korupsi akan mengurangi kesan beratnya tipikor sehingga menyebabkan orang tidak lagi melihat ancaman pidana dalam UU Tipikor sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam hal ini pemidanaan tipikor telah kehilangan fungsi pencegahan umumnya. Pencegahan khusus berupa efek jera yang diharapkan muncul dari pemidanaan korupsi pun juga dikhawatirkan hilang bersamaan dengan penerapan hukuman percobaan yang berarti bahwa terpidana tidak perlu menjalani hukuman meskipun dinyatakan terbukti bersalah.

Selasa, 05 Juli 2011

YURISPRUDENSI PUTUSAN PROVISIONIL

  1. Tuntutan/putusan Provisionil tidak boleh mengenai pokok perkara dan jika begitu harus dinyatakan tidak diterima . 
  2. Putusan MA-RI No. 1738.K /Sip/1976 :
Putusan Provisi dalam perkara ini seharusnya hanya berupa larangan untuk meneruskan bangunandan penghukuman untuk membayar uang paksa (jadi tidak mengenai pokok perkara);
  1. Putusan MA-RI No. 140.K /Sip/1974, tanggal 18 November 1975 :
Karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam putusan pokok perkara ;
  1. Putusan MA-RI No.279.K /Sip/1976, tanggal 5 Juli 1977 :
Permohonan provinsi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang tidak mengenai pokok perkara, permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak ;
  1. Putusan MA-RI No. 1051.K /Sip/1974, tanggal 12 Februari 1976 :
Karena pelaksanaan putusan ini berwujud suatu pembongkaran, maka demi penghati-hati agar dikemudian hari tidak repot bila putusan ini diubah, maka khusus amar ke 7 dari putusan Pengadilan negeri yang berisi penetapan dapat di jalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan (vitvoerbaar bij voorraad) perlu di batalkan ;

YURISPRUDENSI Cara Mengajukan Gugatan dan Perubahan

1. Putusan MA-RI No. 434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 : Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada Hak Pembelaan para Tergugat;
2. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No. 823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :
Yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak pembelaan diri) atau pembuktian;
3. Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 :
Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;
4. Putusan MA-RI No.209.K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 : Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair : “untuk peradilan yang adil”;
5. Putusan MA-RI No.823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :
Karena perubahan tersebut tidaklah merugikan kepentingan Tergugat dalam pembelaan atau pembuktian, sehingga tidak bertentangan dengan Hukum Acara dan demi Peradilan yang cepat dan murah (tentang perubahan tanggal, bulan, tahun dalam gugatan);
6. Putusan MA-RI No.2.K/Sip/1959, tanggal 28 Januari 1959 : Karena Tergugat asli/ pembanding/Penggugat untuk kasasi terhadap perubahan isi gugatan berupa pencabutan kembali sebagian dari barang yang digugat, dapat dibenarkan karena dalam perkara ini pengurangan gugat itu dapat merugikan baginya mengenai hal warisan dan gono-gini;
7. Putusan MA-RI No.1425.K/Pdt/1985, tanggal 24 Juni 1991 : Perubahan surat/ gugatan perdata dapat diterima/dibenarkan bila perusahaan itu dilakukan sebelum Hakim membacakan surat Gugatan di dalam persidangan dan kepada Tergugat masih diperintahkan untuk menjawab surat gugatan tersebut;
8. Putusan MA-RI No. 457/Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 :
Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara); sehingga terjadi perubahan subyek hukum gugatan (Vide = Putusan MA-RI No. 305.K/Sip/1971, tanggal 16 Juni 1971);
9. Putusan MA-RI No.546.K/Sip/1970, tanggal 14 Oktober 1970 :
Perubahan gugatan itu tidak diterima apabila perubahan itu dilakukan pada taraf pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalil-dalil, tangkisan-tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis dikemukakan dan kedua pihak sebelumnya telah mohon putusan;
10. Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 30 September 1972 :
Keberataan kasasi bahwa Pengadilan Tinggi telah merumuskan Posita Penggugat tidak sesuai dengan dalil Penggugat, dapat dibenarkan, karena dalil Penggugat adalah “menempati” tanah sengketa dengan kekerasan, sedang oleh Pengadilan Tinggi dirubah menjadi “meminjam”;
11. Putusan MA-RI No.1720.K/Sip/1978 :
Tentang pencabutan Gugatan.
Karena Tergugat asal II telah menyetujui pencabutan gugatan dan tidak bersedia menghadap ke sidang, maka dapat dipandang bahwa Tergugat tersebut telah melepaskan kepentingan dalam perkara ini, sehingga pencoretan namanya sebagai Tergugat tidaklah bertentangan dengan hukum;
12. Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 4 Oktober 1972 : Judex-facti tidak boleh merubah dalil gugatan (Posita) dari Penggugat (Pasal 189 ayat (3) Rbg./ Pasal 178 ayat (3) HIR;
13. Putusan MA-RI No. 843.K/Sip/1984, tanggal 19 September 1985;
Pengadilan Tinggi telah salah dalam menerapkan Hukum Acara sebab pihak Tergugat asal tidak ternyata telah didengar dan menyetujui akan usul perubahan gugatan yang diajukan oleh Penggugat/penggugat asal dalam persidangan pada tanggal 20 April 1981, maka usul perubahan tersebut harus dianggap tidak pernah ada;
Jumlah piutang yang dapat dikabulkan hanya apa yang disebut dalam Surat Gugat Penggugat asal yakni sebesar Rp. 32.346.555,-;
14. Putusan MA-RI No. 943.K/Pdt/1984, tanggal 19 September 1985 :
Perubahan Gugatan selama persidangan :
1. Sesuai Yurisprudensi perubahan gugatan/tuntutan selama persidangan memang diperbolehkan asalkan saja tidak menyimpang dari posita, dan tidak menghambat acara pemeriksaan di sidang, meskipun Tergugat tidak menyetujui perubahan tersebut. Perubahan gugatan diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama;
2. Pengadilan Tingkat Banding juga memeriksa fakta-fakta, oleh karena itu perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding asalh saja pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan membela diri;