Jumat, 17 Agustus 2012

Perkara Pohon Mangga – Putusan MA No. 1022 K/Pdt/2006

Begini kasus posisinya. Penggugat pada tahun 1986 membeli rumah di komplek Polda di Jayapura. Pada saat itu di depan halaman rumahnya, tepatnya di pinggir jalan, telah ada 2 buah pohon mangga yang masih kecil. Kedua pohon tersebut sebelumnya ditanam oleh Tergugat yang merupakan tetangganya. Kian lama kedua pohon mangga tersebut semakin besar. Hal tersebut membuat Penggugat merasa khawatir kedua pohon tersebut jika tumbang akan menimpa rumahnya, terlebih dahan pohon tersebut memang telah menyentuh atap rumah Penggugat. Penggugat meminta ijin dari Tergugat selaku pemilik kedua pohon mangga tersebut untuk menebangnya namun tak diijinkan oleh Tergugat. Karena tidak mendapatkan respon yang baik kemudian Penggugat mengirimkan surat ke kantor Walikota untuk menyelesaikan masalah tersebut. Walikota kemudian membentuk tim gabungan untuk meninjau lokasi. Setelah melihat permasalahannya, Tim Gabungan tersebut kemudian merekomendasikan agar Tergugat menebang kedua pohon tersebut, namun tetap tak digubris oleh Tergugat. Akhirnya Penggugat membawa masalah ini ke Pengadilan Negeri Jayapura atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Dalam petitumnya Penggugat memohon agar pengadilan memerintahkan Tergugat untuk menebang kedua pohon tersebut, serta apabila suatu hari sebelum kedua pohon tersebut ditebang ternyata tumbang dan menimpa rumah Penggugat maka Tergugat dihukum untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya.
Atas gugatan tersebut pengadilan negeri Jayapura menggabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Gugatan yang dikabulkan yaitu menyatakan bahwa perbuatan Tergugat yang menolak permintaan untuk menebang kedua pohon mangga tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, serta memerintahkan agar Tergugat menebang kedua pohon dimaksud atas biaya Tergugat. Namun ditingkat banding Pengadilan Tinggi kemudian membatalkan putusan PN tersebut, dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (NO). Pertimbangan PT tidak terlalu terlihat dalam putusan ini, karena putusan ini adalah putusan kasasi. Namun dari pokok permohonan Pemohon tampaknya PT membatalkan putusan PN dikarenakan PT menganggap tergugat kurang pihak, seharusnya Negara turut digugat oleh Penggugat. Selain itu PT menggap gugatan prematur karena belum ada kerugian yang ditanggung Penggugat (karena pohonnya belum tumbang).
Di tingkat Kasasi Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan PT, serta mengambil alih putusan PN. Pertimbangan hukum MA yang menarik adalah MA menyatakan bahwa Pertimbangan PT yang menganggap bahwa kerugian dari Pemohon/Penggugat belum nyata tidak dapat dibenarkan, oleh karena kerugian tidak selalu harus diartikan adanya kerugian materil, tetapi kerugian juga dapat diartikan apabila kerugian itu mengancam hak dan kepentingan Pemohon/Penggugat.

Kamis, 16 Agustus 2012



Dilema Peninjauan Kembali oleh Jaksa – Catatan Atas Putusan MA



Pada tahun 2007 yang lalu Mahkamah Agung memutuskan bahwa Permohonan PK yang diajukan oleh Jaksa dalam kasus pembunuhan aktivis Munir dapat diterima, bahkan dalam putusannya Majelis PK yang dipimpin oleh Ketua MA pada saat itu, Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL membatalkan putusan MA sebelumnya pada tingkat Kasasi dan menyatakan bahwa Pollycarpus terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis PK ini pun tak tanggung-tanggung, 20 tahun penjara, 6 tahun lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi yang menghukum Polly sebesar 14 tahun penjara. Namun khusus mengenai besarnya hukuman ini suara MA ternyata tidak bulat, 2 Anggota Majelis yaitu Parman Suparman dan Harifin Tumpa berpendapat bahwa hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap Polly tidak boleh lebih tinggi dari 14 tahun atau tidak boleh lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi.
Diterimannya permohonan PK yang diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung memang bukan pertama kalinya terjadi. Kasus pertama dimana PK oleh Jaksa diterima oleh MA yaitu dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Pada kasus tersebut kebetulan yang menjadi ketua Majelis PK juga merupakan Ketua MA pada saat itu, yaitu Soerjono. Pada masa itu reaksi masyarakat cukup keras menolak keputusan MA tersebut. Dua argumentasi pokok yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak kewenangan PK oleh Jaksa, pertama karena dalam Pasal 263 KUHAP secara tegas dinyatakan bahwa yang berhak mengajukan PK adalah Terdakwa atau ahli warisnya. Kedua, pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Dalam kasus Muchtar Pakpahan tersebut sebelumnya Mahkamah Agung telah membebaskan Mucthar Pakpahan, sehingga tidak mungkin PK dapat diajukan oleh Jaksa, karena putusannya pun pada akhirnya tidak boleh melebihi putusan bebas.
Sebelum putusan PK dalam kasus Pollycarpus ini diajukan oleh Jaksa, dapat dikatakan mayoritas ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana dan acara pidana memandang bahwa putusan MA dalam kasus Mochtar Pakpahan merupakan suatu ”kesalahan sejarah” yang tidak perlu terjadi lagi, atau dengan kata lain putusan MA yang tidak perlu dijadikan yurisprudensi. Pasca putusan Kasasi yang membebaskan Akbar Tandjung pada tahun 2004 misalnya, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut suka atau tidak suka harus diterima, karena PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan milik kejaksaan. Hal ini dikatakannya dalam menanggapi usulan masyarakat agar Kejaksaan mengajukan PK atas putusan kasasi tersebut.[1]
Namun kondisi seakan berbalik ketika MA dalam putusan Kasasinya menyatakan Polly tidak terbukti melalukan pembunuhan atas Aktivis HAM Munir, dorongan agar Jaksa mengajukan PK justru muncul dari para aktivis HAM. Seakan para aktivis ini yang dulunya dalam kasus Muchtar Pakpahan menolak mentah-mentah dibolehkannya Jaksa mengajukan PK berbalik arah menjadi mendukung kewenangan PK oleh Jaksa. Putusan yang dulu dibencinya kini dijadikan sumber hukum, di dorong untuk menjadi yurisprudensi!
Kasus Munir memang suatu dilema, batu ujian yang (seharusnya) sangat sulit bagi para aktivis khususnya HAM. Jika putusan kasasi diterima mungkin tak akan ada lagi kelanjutan atas misteri kematian Munir, namun jika Jaksa dibolehkan mengajukan PK mungkin hal ini membuka kemungkinan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang lebih luas, seperti yang terjadi dalam kasus Muchtar Pakpahan satu dasawarsa sebelumnya. Sayangnya dilema tersebut seakan tak tercermin, padahal masalah ini sebenarnya merupakan masalah yang sangat kritis, dua pilihan yang sama-sama buruk. Tak banyak diskusi mengenai apa implikasi-implikasi lanjutan dari masing-masing pilihan tersebut, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk meminimalisir implikasi yang bersifat negatif. Yang terjadi hanyalah perdebatan legalistis semata, karena telah ada ’yurisprudensinya’ maka Jaksa dapat mengajukan PK, karena KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa untuk mengajukan PK maka berarti Jaksa tidak dilarang. Tepat seperti pertimbangan MA dalam putusan Muchtar Pakpahan. Entah apakah argumentasi tersebut dibangun untuk menyindir pertimbangan MA sebelas tahun yang lalu atau memang diyakini sebagai suatu kebenaran.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
Dalam putusannya MA cukup panjang lebar dalam memberikan pertimbangan mengenai kewenangan PK oleh Jaksa. Total halaman khusus pertimbangan tersebut sebanyak 9 halaman, yang dimulai dari halaman 17 hingga halaman 25 dari 51 halaman seluruhnya. Dalam pertimbangannya tersebut cukup banyak MA mengutip pertimbangan MA sebelumnya dalam kasus Muchtar Pakpahan. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya pertimbangan MA dalam kasus Muchtar Pakpahan merupakan inti dari pertimbangan MA dalam kasus Pollycarpus. Salah satu Dalam pertimbangan di Kasus Muchtar Papkahan MA berpendat:
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;
Pertimbangan di atas dirujuk oleh MA dalam Kasus Pollycarpus, kemudian MA menambahkan (hal. 19-20):
Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang” tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, tidak menjelaskan “tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” dan terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud “fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana” selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa;
Dari pertimbangan di atas terlihat bahwa MA menganggap bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai siapa yang dimaksud pihak-pihak yang disebutkan dalam pasal 23 UU No. 4/2004. Jika dibaca secara keseluruhan seluruh pertimbangan MA dalam kedua putusan ini, ketidakjelasan pengertian ”pihak-pihak yang berkepentingan” merupakan pertanyaan pokok dari masalah ini. Ketidakjelasan tersebut menurut MA terjadi juga pada pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970, “…tidak menjelaskan siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali”, begitu pernyataan MA. …Suatu pertanyaan dan pernyataan yang menggelikan, mengingat penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 sebenarnya telah dengan gamblang menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.
Penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata diajukan oleh pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya juga para ahli waris dari pihak-pihak yang berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.
Apakah mungkin dalam dua kasus ini Majelis Hakim yang sama-sama dipimpin oleh Ketua MA tersebut menggunakan UU yang tidak ada Penjelasannya? Barangkali UU nya UU bajakan yang dibeli dari Pasar Senen. Ius Curia Novit, hakim harus dipandang tahu hukum (tapi belum tentu hakim tahu halaman penjelasannya ada di mana khan?).
Dalam bagian lain selanjutnya MA dalam putusan Pollycarpus mencoba membangun argumentasi bahwa dalam pasal 263 sebenarnya tidak mutlak mengatur bahwa hak untuk mengajukan PK tidak hanya berlaku bagi Terpidana atau Ahli Warisnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 263 ayat 1.
2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
Dari pertimbangan point b di atas terlihat bahwa menurut MA PK tidak mutlak hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya. Pasal 263 ayat 3 secara logis hanya mungkin diajukan oleh Jaksa. Akan tetapi jika dibaca secara keseluruhan bukannya hal ini berarti hak PK oleh Jaksa tersebut khusus apabila yang terjadi memang sesuai dengan pasal 263 ayat 3, yaitu jika terdapat putusan dimana dakwaan telah dinyatakan terbukti namun tidak diikuti pemidanaan? Mengingat pasal 263 ayat 2 a dan b secara logis juga hanya mungkin diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya.
Dari seluruh pertimbangan MA mengenai kewenangan jaksa untuk PK ini sangat terlihat bahwa MA hanya ingin membuktikan bahwa Jaksa dapat mengajukan PK, namun dengan melepaskan konteks dalam hal apa kewenangan tersebut dapat diberikan. Hal ini terlihat dari misalnya ketika MA merujuk pada pasal 248 ayat 3 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang terdapad pada hal. 25 putusan a quo.
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”;
Dalam pasal 248 ayat 3 tersebut memang jelas disebutkan bahwa Oditur (Jaksanya militer) ternyata memiliki kewenangan untuk mengajukan PK dalam perkara pidana militer. Jika dibandingkan dengan pasal 263 ayat 3 KUHAP sangat terlihat kesamaannya dengan pasal 248 ayat 3 ini, kecuali satu kata, yaitu disisipkannya kata ’Ă“ditur’ antara frase ’yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap” dan frase ”dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali…”.
Pasal 263 (3) UU No. 8 Tahun 1981
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Disisipkannya kata Oditur tersebut memang seakan menjadi jawaban atas misteri, untuk siapa sebenarnya alasan PK dalam pasal 263 (3) di atas. Namun apakah serta merta dapat dikatakan bahwa Oditur dalam perkara pidana militer memiliki hak yang sama untuk mengajukan PK sebagaimana halnya Terpidana atau ahli warisnya?
Selengkapnya pasal 248 UU 3/1971 berbunyi demikian:
Pasal 248
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Dari pasal 248 ayat 1 s/d 3 tersebut terlihat menjadi lebih jelas, bahwa PK pada prinsipnya merupakan hak dari terpidana atau ahli warisnya, kecuali 1 hal, yaitu yang terdapat dalam ayat 3.
Masalah ini akan lebih jelas lagi jika kita lihat bagaimana sejarah pengaturan mengenai PK ini.
Selain perbandingan dengan UU 31/1997 di atas, untuk memperkuat argumentasinya MA juga merujuk pada Statute of International Criminal Court, khususnya pasal 84 yang memang mengatur mengenai Peninjauan Kembali (Revision of Conviction or Sentence). Dalam halaman 25 MA menyatakan:
2. Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan “1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused”s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that………….”;
Dalam pertimbangan di atas MA sengaja menggarisbawahi kata ”prosecuter”, seakan untuk menunjukkan bahwa dalam ICC pun Jaksa memiliki kewenangan untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun tampaknya MA tidak mencoba mengaitkan kata “prosecutor” tersebut dengan empat kata berikutnya ”…on the person’s behalf”. Dengan rumusan pasal 84 ICC tersebut tentunya harus diartikan bahwa kewenangan PK oleh prosecutor tersebut dimungkinkan namun demi kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau merugikan si tepidana.[2]
Sejarah Peraturan Peninjauan Kembali
Dalam peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai PK pertama kali diatur dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam pasal 15.
Pasal 15
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.
Penjelasan Pasal 15
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.
Setelah diundangkannya UU No. 19/1964 tersebut, tak selang berapa lama keluar UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagai turunan dari UU 19/1964. Dalam UU ini kemudian dipertegas kembali mengenai adanya lembaga Peninjauan Kembali, tak kurang dari 2 pasal yang menyatakan instrumen hukum ini, yaitu pada Pasal 31 dan pasal 52.
Pasal 31
Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.
Pasal 52
Mahkamah Agung mengadili tentang putusan-putusan yang dimohon peninjauan kembali untuk masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.
Dari dua pasal di atas terlihat bahwa pengaturannya masih terlalu minim. Atas kondisi ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 6 Tahun 1967 tentang Permohonan Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara “Request-Civiel. Inti dari SEMA ini adalah menginstruksikan kepada pengadilan-pengadilan untuk tidak menerima permohonan PK, karena hingga saat itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai persyaratan, tata cara dan lain sebagainya. Namun mengingat ternyata cukup banyaknya permohonan yang diajukan ke pengadilan akhirnya dua tahun kemudian MA mencabut SEMA tersebut dan mengatur mengenai persyaratan dan tata cara permohonan PK melalui PERMA No. 1 Tahun 1969 (tanpa judul). PERMA yang terdiri dari 8 pasal ini kemudian yang menjadi kerangka dasar pengaturan mengenai PK selanjutnya, baik PK dalam hukum acara pidana maupun peradilan lainnya.
Khusus mengenai PK dalam perkara pidana diatur dalam pasla 3 dan 4 Perma tersebut. Selengkapnya:
Pasal 3
Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjaunya kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap,atas dasar alasan:
a. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang menyolok;
b. apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan itu dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
c. apabila terdapat keadaan-keadaan baru, sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui pada waktu sidang yang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbuatan yang di tuduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan;
d. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 4
(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung.
(2) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(3) Permohonan harus diajukan secara tertulis,dengan menyebutkan sejelas jelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepanitraan Pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.
(4) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia diperbolehkan menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan tersebut, yang akan memuat catatan tentang permohonan itu.
(5) Ketua Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirim surat permohonan atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung disertai dengan pertimbangannya.
(6) Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.
Dari pasal 3 di atas terlihat bahwa tedapat kesamaan antara pasal tersebut dengan pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981. Berbeda dengan pasal 263 KUHAP dalam Perma ini memang diatur secara tegas bahwa Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan juga untuk mengajukan PK (Pasal 4 ayat 1), namun tanpa menjelaskan dalam hal apa kewenangan tersebut dimungkinkan. Namun Perma ini sendiri ternyata tak berumur lama, karena tiga bulan kemudian MA mengeluarkan SEMA No. 18 Tahun 1969 yang pada intinya menunda pelaksanaan Perma tersebut hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Setahun kemudian UU No. 19/1964 digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali masalah PK dicantumkan dalam UU ini, yaitu dalam pasal 21 (rumusan pasalnya dapat dilihat dibagian sebelumnya). Dalam pasal 21 ini khususnya bagian penjelasan dijelaskan bahwa untuk perkara pidana PK dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya, UU ini juga tidak mengatur secara detil persyaratan dan tata cara permohonan PK tersebut.
Atas terbitnya UU kekuasaan kehakiman yang baru tersebut Mahkamah Agung langsung menerbitkan lagi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971. Perma ini intinya membatalkan berlakunya Perma No. 18/1969. Pembatalan tersebut dikarenakan pada masa itu sedang dibahas rancangan undang-undang yang akan mengatur hukum acara termasuk Peninjauan Kembali, sehingga MA berpandangan bahwa sebaiknya pelaksanaan pemeriksaan PK menunggu terbitnya UU tersebut. Namun hingga tahun 1976 ternyata rancangan undang-undang yang dimaksudkan tak kunjung terbit, hal ini kemudian mendorong MA untuk mencabut Perma No. 1 Tahun 1971 dan memberlakukan kembali Perma No. 18/1969 melalui Perma No. 1 Tahun 1976.
Pada tahun 1980 mengingat ternyata belum terbit juga undang-undang yang akan mengatur hukum acara peninjauan kembali MA berinisiatif untuk mengadakan rapat kerja dengan DPR mengenai masalah ini. Dalam rapat tersebut disepakati untuk sementara pengaturan PK diatur dalam Perma. Untuk itu maka MA menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Dilihat dari pengaturannya Perma ini jauh lebih komperhensif dari Perma sebelumnya, yaitu Perma No. 1/1969. Jika Perma No. 1/1969 hanya mengatur 8 pasal dalam Perma 1/1980 ini terdapat 23 Pasal.
Salah satu perbedaan substansial dari Perma 1/1980 dengan Perma 1/1969 ini adalah dihapuskannya alasan PK karena adanya kekeliruan atau kekhilafan yang menyolok, baik dalam perkara Pidana maupun perkara Perdata.
Pasal 9
(1) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar alasan:
a. apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
b. apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
(2) Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 10
(1) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.
Pasal 16
Apabila terpidana meninggal dunia sebelum diajukan permohonan peninjauan kembali, permohonan tersebut dapat diajukan oleh yang berkepentingan termasuk ahli warisnya atau Jaksa Agung.
Dari cuplikan ketentuan di atas terlihatt bahwa memang Jaksa, khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK, namun tetap tanpa kejelasan untuk alasan yang mana Jaksa Agung dapat mengajukan PK. Jika dilihat dari pasal 9 terkesan bahwa khusus mengenai PK karena adanya novum (ayat 1 b) hak ini hanya dimiliki oleh terpidana dan ‘pihak yang berkepentingan’, namun jika dikaitkan dengan pasal 16 terlihat bahwa Jaksa Agung memiliki hak juga untuk mengajukan PK atas dasar novum namun demi kepentingan terpidana itu sendiri.[3]
Kesan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan justru demi kepentingan terpidana itu sendiri dapat terlihat juga dari ketentuan lainnya yaitu dalam pasal 11 dan 12. Dalam pasal 11 ini disebutkan bahwa dalam hal permohonan PK diajukan oleh Jaksa Agung maka permohonan tersebut (sekedar) diberitahukan juga kepada terpidana. Namun apabila permohonan diajukan oleh terpidana maka Jaksa Agung memberikan kesimpulan / pendapat atas permohonan tersebut (pasal 12). Tentunya jika Jaksa Agung dapat mengajukan PK yang dapat memberatkan terpidana maka terpidana juga diberikan hak untuk mengajukan pendapat atau kesimpulan atas permohonan dari Jaksa Agung tersebut, namun ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam Perma ini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan semata-mata demi kepentingan terpidana itu sendiri, atau karena alasan sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat 2, yang memang hanya mungkin diajukan oleh Jaksa Agung.
Usia Perma ini ternyata tak berapa lama, karena setahun kemudian akhirnya terbit UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP ini beberapa ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam baik Perma No. 1/1969 maupun 1/1980 menjadi hilang, yaitu kewenangan Jaksa Agung untuk mengajukan PK, termasuk kewenangannya dalam mewakili kepentingan terpidana itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 16 Perma 1/1980. Penghapusan kewenangan Jaksa tersebut juga terlihat dalam definisi Upaya Hukum yang diatur dalam pasal 1 KUHAP, dalam huruf 12 dinyatakan :
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
Namun dengan dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut menyisakan satu soal, siapa yang mungkin untuk mengajukan PK dengan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 3.
Setelah berlakunya KUHAP tesebut MA tidak pernah menerbitkan Perma maupun SEMA yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali khususnya yang mengatur mengenai PK dalam perkara pidana, kecuali Perma No. 1 Tahun 1982.[4] Pemahaman bahwa PK merupakan hak ekslusif dari Terpidana dan Ahli Warisnya kemudian menjadi pemahaman yang umum, hingga akhirnya muncul permohonan PK oleh Jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Permohonan tersebut sangat mengejutkan masyarakat khususnya kelompok aktivis serta komunitas hukum. Berbagai polemik muncul di media-media massa pada saat itu, tak kurang beberapa mantan Hakim Agung pun turut bicara mengenai masalah ini, seperti misalnya Subianto dan Bismar Siregar [5], mantan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmaja, Anggota DPR, akademisi, dan lain sebagainya. Berbagai unjuk rasa pun terjadi walaupun dalam skala kecil mengingat situasi politik saat itu yang memang tidak memungkinkan demonstrasi secara besar-besaran.[6]
Setahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Oktober 1997 Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Entah apakah UU ini terpengaruh dari kejadian PK dalam kasus Muchtar Pakpahan atau tidak namun kenyataannya dalam ketentuan mengenai PK dalam perkara Pidana Militer seakan terjadi beberapa perbaikan yang lebih jelas. Hal ini terlihat dari disisipkannya kata “oditur” dalam pasal 248 ayat 3 UU 31/1997 [7], serta dalam pasal 1 huruf 41 a UU ini.
a. dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;
Dengan pengaturan pasal 1 huruf 41 a dan pasal 248 ayat 3 tersebut menjadi jelas, bahwa (setidaknya) dalam peradilan pidana militer, oditur militer memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan PK, namun kewenangan tersebut terbatas apabila “…dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” (pasal 248 ayat 3).
Pengaturan PK dalam UU 31/1997 di atas seakan menjadi jembatan antara rumusan PK dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 263 s/d 268 dengan Perma-Perma sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa khususnya Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Namun demikian dalam UU ini pun ternyata pengaturan mengenai tata cara permohonan tersebut, khususnya apabila Oditur yang mengajukan PK serta bagaimana ketentuan selanjutnya ternyata tidak terjawab juga dalam UU ini. Misalnya, apakah putusan PK berdasarkan alasan pasal 248 (2) ini juga harus mengikuti pasal 251 ayat (2)?
Implikasi Hukum dimungkinkannya PK oleh Jaksa
Mungkin sudah tak terlalu bermanfaat juga untuk mempermasalahkan lagi apakah Jaksa dapat melakukan PK atau tidak, mengingat dalam kenyataannya MA sebagai benteng terakhir peradilan telah menerima PK oleh Jaksa, tidak hanya sekali namun empat kali.[8] Kita hanya bisa berharap putusan-putusan tersebut dijatuhkan dengan pertimbangan yang matang, serta sesuai dengan rasa keadilan. Kini yang perlu difikirkan adalah apa implikasi-implikasi hukum dari diberikannya kewenangan PK oleh Jaksa.
Terdapat setidaknya 3 (tiga) pertanyaan hukum yang muncul sebagai akibat dari dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK dalam konstruksi hukum acara pidana yang ada saat ini. Pertama, jika Jaksa diperbolehkan untuk mengajukan permohonan PK apakah PK oleh Jaksa tersebut menghapuskan hak terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Pasal 268 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1981 menyatakan secara tegas bahwa permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja. Selain KUHAP terdapat dua Undang-undang lainnya yang menyatakan hal yang sama, yaitu UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU No. 14/1985 di pasal 66 ayat 1 dinyatakan Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Sementara dalam UU No. 4/2004 pada pasal 23 ayat 2 dinyatakan ”Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
Pertanyaan hukum ini sebelumnya juga pernah muncul, yaitu pada kasus Muchtar Pakpahan. Tak lama setelah MA memutuskan permohonan PK oleh Jaksa tersebut Muchtar Pakpahan juga mengajukan permohonan PK atas PK tersebut ke PN Medan. Pada saat itu sempat Panitera PN Medan menolak mendaftarkan permohonan PK tersebut dengan alasan bahwa PK hanya dapat diajukan 1 kali sesuai dengan pasal 268 ayat 3 KUHAP. Namun setelah mendapatkan kritikan akhirnya PN Medan menerima pendaftaran permohonan PK tersebut, entah bagaimana putusan MA pada saat itu, apakah penolakan tersebut dikarenakan atas pasal 268 ayat 3 KUHAP tersebut atau karena masalah lainnya atau mungkin memang tidak pernah ada putusan PK atas PK tersebut dikarenakan Muchtar Pakpahan mendapatkan abolisi sebelum MA mengeluarkan putusannya. Yang jelas akhirnya Muchtar Pakpahan bebas bukan karena putusan MA namun karena pemberian abolisi yang dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie 4 hari setelah menjabat sebagai Presiden menggantikan HM Soeharto.[9]
Dari pertanyaan pertama ini tentunya hanya ada dua jawaban, PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk juga mengajukan PK, atau PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana. Masing-masing jawaban ini dapat dicari landasan hukumnya baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Masing-masing jawaban tersebut akan menimbulkan permasalahan hukum baru. Jika hak tersebut dianggap hilang maka hal ini membuka peluang bagi Jaksa untuk bertindak secara sewenang-wenang. Bagaimana jika kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut dipergunakan semata untuk menghapuskan hak dari terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Untuk menghapuskan hak terpidana ini tentunya akan sangat mudah dilakukan oleh Jaksa, ajukan saja PK dengan alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim (pasal 263 ayat 2 b), hilanglah hak dari terpidana tersebut bahkan jika dikemudian hari ditemukan novum.
Untuk menghindari hal tersebut tentunya kita akan berfikir bahwa PK oleh Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk mengajukan kasasi, sangatlah tidak adil jika hal tersebut yang dipilih. Namun jika dipandang bahwa hak tersebut tidak hilang, akan timbul pertanyaan baru, apakah PK yang diajukan oleh terpidana menghapuskan kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK? Jika dikatakan bahwa kewenangan PK Jaksa hilang jika upaya hukum tersebut telah dipergunakan sebelumya oleh Terpidana, dimana dasar hukumnya? Seperti juga tafsir MA atas PK oleh Jaksa “…tak ada aturan yang melarang”. So, how do we deal with this problem?
Kedua. Jika PK dapat diajukan oleh Jaksa, kapan terpidana akan ‘menikmati’ hak nya atas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945? Mengingat dalam KUHAP tidak ada batasan waktu kapan PK dapat diajukan, terlebih lagi dalam pasal 264 ayat 3 dinyatakan “Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu” . Akhirnya tentu kepastian bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengungtungkan terpidana tersebut baru akan benar-benar menunggu dari diajukannya PK oleh Jaksa, yang ternyata tak ada batasannya juga sampai kapan Jaksa akan atau tidak akan mengajukan PK. Artinya tak ada kepastian hukum sama sekali. Hal ini tentunya bukan masalah besar jika kita anggap bahwa kepastian hukum bukanlah hak asasi manusia, atau kalau kita anggap bahwa penjahat bukan manusia.
Di sisi lain tentunya sangat janggal jika masalah ini kita kaitkan dengan daluarsa penuntutan maupun daluarsa pemidanaan yang diatur dalam KUHP. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, KUHAP pada dasarnya menempatkan kedudukan Hak PK dalam kedudukan yang sangat istimewa. Hal ini terlihat dengan diberikannya juga hak atas PK tersebut kepada Ahli Waris Terpidana, yang mana berarti hak tersebut tidak hilang bahkan apabila Terpidana telah meninggal dunia. Hal ini secara kontras berbeda dengan kewenangan untuk menuntut yang dimiliki oleh Negara, dimana kewenangan tersebut gugur apabila Tersangka atau Terdakwa meninggal dunia[10]. Dengan gugurnya hak menuntut tersebut maka berarti secara otomatis apabila pun Negara memiliki kewenangan untuk mengajukan PK kewenangan tersebut dapat gugur walaupun kewenangan tersebut belum dipergunakannya.
Selain itu tentunya menjadi janggal juga jika diperbandingkan dengan PK dalam bidang perdata sebagaimana diatur dalam pasal 67 dan 69 UU No. 14 Tahun 1985.
Tentunya kedepan, jika memang dipandang bahwa Jaksa (tetap) dapat mengajukan PK -selain karena alasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 263 ayat 3- harus diatur mengenai batasan waktu bagi Jaksa untuk dapat mengajukan PK, dan aturan ini harus hanya mengikat bagi Jaksa saja. Mengapa hanya mengikat untuk Jaksa? Ya pikir sendirilah.
Pengaturan tenggat waktu khusus untuk PK yang diajukan oleh Jaksa tentunya dapat dilakukan. Ketentuan tenggat waktu yang ada pada PK dalam bidang perdata dapat dijadikan rujukan, kecuali mengenai satu hal, yaitu PK dengan alasan novum. Jika merujuk pada pasal 69 huruf b UU 14/1985 batasan waktu PK karena adanya novum tenggat waktunya adalah 180 hari setelah ditemukannya novum tersebut. Pembatasan yang demikian tentunya kurang tepat jika diletakan dalam konteks pidana, karena tetap tidak akan memberikan kepastian hukum bagi terpidana. Yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan memberikan tenggat waktu sekian lama setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, termasuk juga dalam hal ditemukannya novum. Jadi andaikan diatur tenggat waktu bagi Jaksa untuk mengajukan PK selambat-lambatnya 180 hari setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, andaikata pun di hari ke 181 ditemukan novum yang dapat menghukum terpidana hak jaksa tersebut tetap dinyatakan gugur. Adilkah? Jawaban ini akan mudah dijawab jika kita mengetahui alasan diaturnya daluarsa penuntutan dan pemidanaan.
Ketiga, dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK sebagai upaya hukum luar biasa otomatis akan menghapuskan upaya hukum luar biasa lainnya, yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum yang diatur dalam pasal 259. Instrumen hukum ini merupakan instrumen hukum yang khusus hanya diberikan kepada Jaksa Agung, dimana hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap selain putusan MA. Upaya hukum ini dalam pasal 259 ayat 2 dinyatakan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Maksud dari ayat 2 ini menurut (….) putusan tersebut tidak memiliki akibat hukum, sesuai juga dengan yurisprudensi MA dalam perkara Drs. H. Ghozin Baidowi (Putusan MA No. 186 K/Kr/1979). Jadi walaupun MA menilai bahwa permohonan Jaksa Agung tersebut tepat maka MA hanya dapat memberikan pertimbangan hukum semata tanpa menjatuhkan vonis, karena tujuan dari upaya hukum luar biasa ini adalah semata untuk meluruskan hukumnya saja untuk menjaga kesatuan hukum.
Jika Jaksa dibolehkan untuk mengajukan PK tentunya timbul pertanyaan, untuk apa Jaksa Agung menggunakan upaya hukum luar biasa ini yang pada akhirnya tidak memiliki dampak apapun terhadap terpidana, padahal ada upaya hukum lainnya yang lebih “menguntungkan”? Terlebih upaya hukum yang lebih “menguntungkan” tersebut tak harus diajukan sendiri olehnya cukup oleh anak buahnya. Kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya hukum luar biasa pada akhirnya akan benar-benar menjadi upaya hukum luar biasa, dalam pengertian luar biasa bodoh jika Jaksa Agung menggunakannya padahal ada upaya hukum lainnya yang jauh lebih “bermanfaat”, yaitu PK.
Kesimpulan
Dimungkinkannya PK oleh jaksa berimplikasi pada diperlukannya beberapa perubahan ketentuan dalam KUHAP. Perubahan-perubahan tersebut diperlukan demi menjaga kepastian hukum serta untuk melindungi hak-hak terpidana.
Setidaknya perubahan tersebut harus mencakup:
1. Kejelasan mengenai apakah PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana atau tidak.
2. Kejelasan apakah jika PK telah diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dapat dilakukan PK lagi oleh jaksa.
3. Diaturnya tenggat waktu permohonan PK oleh jaksa.
4. Kejelasan mengenai siapa yang dapat mengajukan PK yang diatur dalam pasal 263 ayat 3 serta tata caranya, serta
5. Dihapuskannya upaya hukum luar biasa Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
Akhir kata saya ingin mengutip tulisan mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang ditulisnya sesaat setelah diterimanya permohonan PK oleh MA dalam kasus Muchtar Pakpahan.
Sekali lagi, berprasangka baik. Sebutlah satu di antara yang dua “pasti” salah. Tentang siapa yang salah, biarlah sejarah yang akan menentukan alias wallahu’alam bissawab.”


Penjatuhan Tindakan Kewajiban Rehabilitasi atas Perbuatan yang Didakwa Pasal 111 UU Narkotika

Nomor 777 K/Pid.Sus/2011 (Sukron Habibi)
Dalam perkara ini terdakwa yang baru berusia 18 tahun tertangkap tangan sedang membawa ganja dengan berat kotor 0,7 gram ketika hendak menuju rumah rekannya untuk melakukan pesta minuman keras. Atas perbuatan membawa ganja tersebut terdakwa kemudian didakwa dengan dakwaan tunggal oleh Penuntut Umum dengan menggunakan pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan dituntut pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 800.000.000,00.
Atas tuntutan tersebut Pengadilan Negeri Pasuruan menyatakan dakwaan terbukti dan menjatuhi hukuman penjara kepada terdakwa selama 8 bulan dan denda Rp 800.000.000,00 subsidair kurungan 2 bulan. Hukuman penjara yang dijatuhkan oleh PN Pasuruan ini memang jauh dibawah ancaman pidana penjara minimum yang diatur dalam pasal 111 ayat (1) UU Narkotika, yang mana diatur minimum selama 4 tahun. Atas putusan seperti ini Penuntut Umum kemudian mengajukan banding, namun oleh PT Surabaya putusan PN Pasuruan tersebut justru diperkuat.
Atas putusan PT yang memperkuat putusan PN tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam alasan kasasinya Penuntut Umum bersikukuh bahwa judex facti telah melakukan kesalahan penerapan hukum oleh karena menjatuhkan hukuman penjara yang melanggar ketentuan pidana minimum. Namun diluar dugaan Penuntut Umum Mahkamah Agung bukannya membatalkan putusan PT dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutannya, Mahkamah Agung justru memerintahkan agar Terdakwa dikenai tindakan berupa pengobatan dan rehabilitasi. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa dalam perkara Penuntut Umum terlalu memaksakan dakwaannya yang menggunakan pasal 111 ayat (1) UU Narkotika, padahal pada hakikatnya peristiwa ini merupakan peristiwa penyalahgunaan narkotika yang diatur dalam pasal 127 UU Narkotika, selain itu terdakwa juga masih sangat muda dan masih sekolah.
Kutipan pertimbangan Mahkamah Agung:
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, namun untuk pemidanaan terhadap Terdakwa perlu diperbaiki dengan pertimbangan sebagai berikut :
  • Bahwa Jaksa/Penuntut Umum memaksakan Dakwaan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, walaupun pada hakikatnya dalam peristiwa tersebut in casu yang terjadi adalah penyalahgunaan Narkotika jenis tanaman yang dilakukan oleh Terdakwa yang masih sangat muda (18 tahun) dan masih sekolah;
  • Bahwa perbuatan Terdakwa harusnya didakwa dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, walaupun dapat saja dipaksakan sesuai dakwaan Jaksa/Penuntut Umum memaksakan dakwaan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 a quo, dan karena setiap putusan harus bersifat konkrit langsung menyentuh kenyataan yang ada agar segera menghidupkan rasa keadilan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang abstrak sehingga perlu diuji kehandalannya, in casu Terdakwa harus dipidana dengan pemidanaan yang paling tepat, karenanya ketentuan tentang Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang rehabilitasi wajib diterapkan sebagai pembinaan lebih lanjut kepada Terdakwa;
Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut maka putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya No. 861/PID/2010/PT. SBY. Tanggal 10 Januari 2011 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 129/Pid. B/2010/PN. PSR. tanggal 21 Oktober 2010 harus diperbaiki sekedar mengenai amar pemidanaan;
Kutipan sebagian Amar Putusan
1. Menyatakan Terdakwa Sukron Habibi bin H. Suja’i, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak dan melawan hukum menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman ;
2. Memerintahkan agar Terdakwa Sukron Habibi bin H. Suja’i menjalani pengobatan dan rehabilitasi pada rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi yang diakui Pemerintah ;
Majelis Hakim Agung:
1. Imron Anwari (Ketua)
2. Surya Jaya
3. Timur Manurung

Pengurangan Ancaman Pidana Minimum dalam Pengadilan Anak sebagai Yurisprudensi?


Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa ancaman hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada terpidana anak adalah ½ dari ancaman maksimum dari ketentuan pidana yang akan dikenakan (Pasal 26 ayat (1), 27, dan 28 ayat (1)). Undang-undang yang hingga kini masih berlaku tersebut belum mengatur bagaimana dengan ancaman minimum yang saat ini banyak diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan pidana. Belum diaturnya ketentuantuan mengenai bagaimana penerapan ketentuan pidana minimum dalam UU ini dapat dipahami, mengingat pada saat itu memang belum ada ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum. UU yang memuat ancaman pidana minimum sendiri baru lahir pada tahun yang sama dengan lahirnya UU Pengadilan Anak itu sendiri, yaitu tahun 1997, tepatnya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU yang lahir 2 bulan setelah UU Pengadilan Anak. [1]

Kini lebih dari 15 tahun sejak UU Pengadilan Anak tersebut disahkan telah banyak undang-undang yang memuat ketentuan ancaman pidana minimum yang harus dijatuhkan pengadilan apabila dinyatakan terdakwa terbukti bersalah atas dakwaan penuntut umum. Setidaknya terdapat 52 UU sejak tahun 1997 (daftar UU lihat lampiran). Dari 52 UU tersebut memang tidak seluruhnya merupakan delik-delik yang mungkin dilakukan oleh anak. Tindak pidana yang diatur di UU 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat misalnya, tentu hampir tidak mungkin dilakukan oleh Anak dibawah umur. Delik-delik yang memuat ancaman pidana minimum yang mungkin dilakukan oleh anak misalnya narkotika, pornografi, tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, kejahatan dalam UU Perlindungan Anak dan beberapa tindak pidana lainnya. Akan tetapi terlepas dari jenis delik apa yang mungkin dilakukan oleh anak dibawah umur pertanyaan mengenai bagaimana pemberlakuan ancaman pidana minimum bagi anak tetaplah penting untuk dijawab. 

Atas kekosongan hukum ini Mahkamah Agung telah beberapa kali memutus bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman minimum yang ada dalam ketentuan terkait. Putusan Mahkamah Agung yang sejauh ini ditemukan penulis yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi anak diturunkan menjadi ½ dari ancaman yang tertera dalam pasal terkait adalah putusan MA No. No. 695 K/Pid/2006 dengan terdakwa berinisial ‘M’ yang diputus pada tanggal 12 April 2006. Dalam perkara ini Terdakwa didakwa yang pada saat itu berusia 16 tahun melakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak dibawah umur melakukan perbuatan cabul. Perbuatan tersebut diancam dengan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara paling tinggi 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling tinggi Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 

Dalam perkara tersebut Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti melanggar pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003 tersebut dan dijatuhi hukuman penjara 3 tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Atas tuntutan tersebut Pengadilan Negeri Praya dalam putusannya No. 157/Pid.B/2005/PN.Pra menyatakan Terdakwa terbukti melanggar pasal 82 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Mataram No. 04/Pid/2006/PT.MTR tanggal 25 Januari 2006. 

Hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Praya tersebut khususnya pidana penjara, berada di bawah ancaman hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Atas dasar tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Penuntut Umum mendalilkan bahwa putusan judex facti salah karena tidak menerapkan ketentuan pidana minimum tersebut. 
Permohonan Kasasi Penuntut Umum dikabulkan oleh MA dengan majelis hakim yang terdiri dari Hakim Agung Iskandar Kamil, SH., sebagai Ketua Majelis, dan M. Bahaudin Qaudry, SH., serta Prof. Dr. Kamiuddin Salle, SH., MH., sebagai anggota majelisnya. Namun pertimbangan MA dalam perkara ini justru bertolak belakang dari dalil Penuntut Umum. Dalam putusannya MA justru menurunkan hukuman khususnya hukuman denda dari Rp 60.000.000,00 menjadi Rp. 30.000.000,00 dengan pertimbangan bahwa ancaman pidana minimum adalah ½ dari ancaman pidana minimum bagi orang dewasa, dengan menganalogikan ketentuan pengurangan ancaman hukuman maksimum bagi terdakwa anak yang diatur dalam pasal 26 (1) UU 3 Tahun 1997 seperti tertuang dibawah ini:

Menimbang bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan peraturan hukum/diterapkan tidak sebagaimana mestinya, karena berdasarkan pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 jo. Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, terhadap Terdakwa yang berumur 16 tahun tersebut pidana penjara yang dapat dijaturhkan adalah ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ;

Karena ketentuan pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ditentukan ancaman pidana penjara kumulatif dengan pidana denda yaitu paling singkat 3 tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,- maka secara analogis dengan Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tersebut, maka ancaman pidana minimum bagi anak adalah ½ nya dari orang dewasa yaitu penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,-

Putusan MA tersebut bukan satu-satunya putusan yang menerapkan atau menyatakan bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman yang tertera dalam pasal pidananya. Setahun berikutnya MA kembali memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam putusan Nomor 2824 K/Pid/2006 yang diputus pada tanggal 31 Januari 2007 dengan terdakwa ‘SS’ yang berusia 14 tahun. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara ini serupa dengan dalam putusan No. 695 K/Pid/2006 di atas, yaitu pelanggaran atas pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003. Dalam perkara ini Pengadilan Negeri menjatuhi hukuman terhadap terdakwa sesuai dengan pidana minimum yang diatur pasal 82 UU Perlindungan Anak tersebut, yaitu penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,00. Putusan judex facti tersebut dibatalkan oleh MA dengan komposisi majelis hakim yang hampir sama dengan komposisi dalam perkara sebelumnya, kecuali satu orang anggota yang berbeda yaitu Djoko Sarwoko yang ‘menggantikan’ posisi Prof. Dr. Kaimuddin Salle, SH., MH, sebagai anggota majelis. 

Yang menarik, dalam perkara ini walaupun majelis kasasi mempertegas bahwa ancaman pidana minimum untuk terdakwa anak dikurangi menjadi ½ namun dalam putusannya majelis kasasi bahkan tidak menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, namun tindakan, yaitu mengembalikan terdakwa kepada orang tuanya, mengingat usia terdakwa yang masih terlalu muda yaitu 14 tahun. Pertimbangan mengenai berlakunya pengurangan ½ ancaman pidana minimum dalam putusan ini seakan hanya ingin mempertegas putusan sebelumnya. Berikut pertimbangan MA dalam perkara ini:

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Terlepas dari alasan-alasan tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan peraturan hukum/tidak menerapkan sebagaimana mestinya, karena judex factie telah menerapkan penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang masih berumur 14 tahun ini sama dengan terhadap orang dewasa, sedangkan berdasarkan Pasal 26 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 penjatuhan pidana terhadap anak nakal paling lama ½ dari maximum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, serta secara acontrario dapat ditafsir pula paling lama ½ dari minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ;

Oleh karena Terdakwa masih begitu muda belum mengetahui baik buruknya perbuatan yang dilakukannya tersebut dan supaya pemidanaan tidak mempengaruhi pendidikannya masa mendatang, maka perlu hanya dilakukan tindakan terhadap Terdakwa tersebut berupa pengembalian pada orang tua untuk dapat dilakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah (Pasal 24 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 ;

Dua bulan setelah putusan tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2007 MA kembali memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam perkara No. 277 K/Pid.Sus/2007 dengan terdakwa ‘H’ yang diputus dengan majelis yang sama dengan perkara No. 2824 K/Pid/2006 sebelumnya. Serupa dengan perkara sebelumnya, perkara ini juga mengenai kekerasan seksual oleh anak-anak terhadap anak-anak. Dalam perkara ini MA membatalkan putusan judex facti yang menghukum terdakwa (17 tahun) dengan hukuman selama 4 tahun dan denda Rp 30.000.000,00 menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,00. [2] 

Dalam putusan yang lainnya MA kembali memperkuat ketiga pertimbangan putusan-putusan di atas yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi setengahnya. Kali ini dalam perkara nomor 1185 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa ‘NSAJ’ yang diputus pada tanggal 29 Nopember 2010. Dalam perkara ini terdakwa yang saat melakukan tindak pidana masih berusia 17 tahun juga didakwa dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak. Di tingkat pertama terdakwa dinyatakan terbukti melanggar Pasal 81 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara sesuai dengan ancaman minimum yaitu penjara 3 tahun dan denda Rp 60.000.000,00 oleh PN Slawi. Putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dimana PT menurunkan hukumannya menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,00. Atas putusan PT tersebut Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi dengan alasan putusan PT menyalahi ketentuan pidana minimum yang ditetapkan UU Perlindungan Anak. Namun atas alasan tersebut majelis kasasi yang dipimpin oleh Ketua MA saat itu yaitu Dr. Harifin A Tumpa, SH., MH., sebagai ketua Majelis dan Prof. Rehngena Pubrba, SH, MS dan H. Djafni Djamal, SH., MH sebagai anggota majelis menyatakan bahwa putusan PT Semarang tersebut tidak salah dalam menerapkan hukum. 

Sebagai catatan tambahan, sebenarnya penerapan pengurangan ancaman pidana minimum bagi anak menjadi ½ sudah pernah dilakukan oleh Pengadilan Tingkat Pertama jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 2000. Pada saat itu PN Denpasar yang memeriksa dan memutus perkara nomor 183/Pid.B/2000/PN.Dps dalam perkara Psikotropika (Pasal 59 ayat 1 sub e UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika) yang diancam dengan ancaman pidana penjara minimum 4 tahun menjatuhi hukuman penjara terhadap terdakwa ‘DY’ yang masih berusia 17 tahun dengan pidana penjara selama 2 tahun, atau ½ dari ancaman penjara minimum. Namun putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar. PT Denpasar kemudian mengkoreksi putusan PN tersebut menjadi sesuai dengan pidana minimum yang diatur dalam pasal 59 ayat 1 sub e UU tersebut. Putusan PT ini kemudian dikuatkan MA dalam putusannya nomor 2110 K/Pid/2001 yang diputus pada tanggal 19 Nopember 2003. Saat itu majelis hakim agung yang menangani perkara tersebut adalah Abdul Kadir Mappong, SH sebagai ketua majelis, IB Ngurah Adnyana, SH dan Usman Karim, SH sebagai anggota-anggota majelis. Di luar putusan ini belum ditemukan lagi putusan lainnya yang serupa. 


Yurisprudensi?
Dengan melihat beberapa putusan Mahkamah Agung yang menafsirkan atau memperluas pengertian pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menurunkan ancaman minimum menjadi ½ dari ancaman pidana minimum bagi orang dewasa yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penafsiran maupun perluasan penafsiran tersebut telah dapat dikatakan sebagai Yurisprudensi? 

Menurut saya sudah, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, adanya kekosongan pengaturan mengenai pengaturan pidana minimum bagi terdakwa anak dalam UU No. 3 Tahun 1997. Kedua, perluasan penafsiran oleh MA tersebut logis dan sejalan dengan tujuan dari UU Pengadilan Anak itu sendiri. Ketiga, penafsiran tersebut telah berulang kali diterapkan dan diperkuat oleh baik MA maupun pengadilan-pengadilan di tingkat pertama maupun banding, dimana di tingkat MA majelis Hakim Agungnya pun berbeda-beda. 

Pertanyaann selanjutnya adalah, mengingat perkara-perkara di atas semuanya merupakan perkara dengan dakwaan pelanggaran atas UU Perlindungan Anak, apakah yurisprudensi ini berarti hanya berlaku dalam perkara tindak pidana Perlindungan Anak atau berlaku juga untuk semua tindak pidana dimana terdapat ancaman pidana minimum? Menurut saya berlaku juga. Dalam putusan-putusan di atas Mahkamah Agung tidak secara spesifik membahas mengenai tindak pidana Perlindungan Anak, namun pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak (3 Tahun 1997). Dengan demikian penafsiran ini bersifat umum dan dapat diterapkan untuk tindak pidana-tindak pidana lainnya. 

Sekian. 
Footnotes:
(1) UU 3 Tahun 1997 disahkan pada tanggal 3 Januari 1997 sedangkan UU 5 Tahun 1997 disahkan pada tanggal 11 Maret 1997.
(2) Jika melihat besarnya pidana denda yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri sebesar Rp 30.000.000,00 dari ancaman denda minimum pasal yang didakwakan, yaitu pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 terlihat sebenarnya Pengadilan Negeri juga telah menerapkan pengurangan ½ ancaman pidana bagi terdakwa anak.

Lampiran
Daftar UU yang Memuat Ketentuan Pidana Minimum

No UU Title
1. 5 Tahun 1997 Psikotropika
2. 22 Tahun 1997 Narkotika
3. 10 Tahun 1998 Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
4. 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
5. 17 Tahun 1999 Penyelenggaraan Ibadah Haji 
6. 23 Tahun 1999 Bank Indonesia 
7. 24 Tahun 1999 Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar
8. 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme 
9. 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 
10. 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia
11. 21 Tahun 2000 Serikat Pekerja/ Serikat Buruh
12. 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia 
13. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
14. 15 Tahun 2002 Tindak Pidana Pencucian Uang 
15. 19 Tahun 2002 Hak Cipta 
16. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak 
17. 24 Tahun 2002 Surat Utang Negara 
18. 12 Tahun 2003 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 
19. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan 
20. 23 Tahun 2003 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden 
21. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 
22. 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 
23. 15 Tahun 2004 Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 
24. 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 
25. 24 Tahun 2004 Lembaga Penjamin Simpanan 
26. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
27. 39 Tahun 2004 Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
28. 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi Dan Korban 
29. 15 Tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan 
30. 17 Tahun 2006 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan 
31. 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 
32. 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana 
33. 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil 
34. 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan 
35. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai 
36. 9 TAHUN 2008 Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia 
37. 10 TAHUN 2008 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 
38. 11 TAHUN 2008 Informasi Dan Transaksi Elektronik 
39. 19 TAHUN 2008 Surat Berharga Syariah Negara 
40. 21 TAHUN 2008 Perbankan Syariah 
41. 42 TAHUN 2008 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden 
42. 43 TAHUN 2008 Wilayah Negara 
43. 44 TAHUN 2008 Pornografi 
44. 2 TAHUN 2009 Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia 
45. 10 TAHUN 2009 Kepariwisataan 
46. 32 TAHUN 2009 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 
47. 35 TAHUN 2009 Narkotika 
48. 41 TAHUN 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 
49. 11 TAHUN 2010 Cagar Budaya 
50. 5 Tahun 2011 Akuntan Publik
51. 6 Tahun 2011 Keimigrasian
52. 10 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2007 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi