Dilema Peninjauan Kembali oleh Jaksa – Catatan Atas Putusan MA
Pada
tahun 2007 yang lalu Mahkamah Agung memutuskan bahwa Permohonan PK yang
diajukan oleh Jaksa dalam kasus pembunuhan aktivis Munir dapat
diterima, bahkan dalam putusannya Majelis PK yang dipimpin oleh Ketua MA
pada saat itu, Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL membatalkan putusan MA
sebelumnya pada tingkat Kasasi dan menyatakan bahwa Pollycarpus terbukti
bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Hukuman yang
dijatuhkan oleh Majelis PK ini pun tak tanggung-tanggung, 20 tahun
penjara, 6 tahun lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi yang
menghukum Polly sebesar 14 tahun penjara. Namun khusus mengenai besarnya
hukuman ini suara MA ternyata tidak bulat, 2 Anggota Majelis yaitu
Parman Suparman dan Harifin Tumpa berpendapat bahwa hukuman yang dapat
dijatuhkan terhadap Polly tidak boleh lebih tinggi dari 14 tahun atau
tidak boleh lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi.
Diterimannya
permohonan PK yang diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung memang bukan
pertama kalinya terjadi. Kasus pertama dimana PK oleh Jaksa diterima
oleh MA yaitu dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Pada kasus
tersebut kebetulan yang menjadi ketua Majelis PK juga merupakan Ketua MA
pada saat itu, yaitu Soerjono. Pada masa itu reaksi masyarakat cukup
keras menolak keputusan MA tersebut. Dua argumentasi pokok yang
dikemukakan oleh kelompok yang menolak kewenangan PK oleh Jaksa, pertama
karena dalam Pasal 263 KUHAP secara tegas dinyatakan bahwa yang berhak
mengajukan PK adalah Terdakwa atau ahli warisnya. Kedua, pidana yang
dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Dalam kasus Muchtar
Pakpahan tersebut sebelumnya Mahkamah Agung telah membebaskan Mucthar
Pakpahan, sehingga tidak mungkin PK dapat diajukan oleh Jaksa, karena
putusannya pun pada akhirnya tidak boleh melebihi putusan bebas.
Sebelum
putusan PK dalam kasus Pollycarpus ini diajukan oleh Jaksa, dapat
dikatakan mayoritas ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana dan
acara pidana memandang bahwa putusan MA dalam kasus Mochtar Pakpahan
merupakan suatu ”kesalahan sejarah” yang tidak perlu terjadi lagi, atau
dengan kata lain putusan MA yang tidak perlu dijadikan yurisprudensi.
Pasca putusan Kasasi yang membebaskan Akbar Tandjung pada tahun 2004
misalnya, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut
suka atau tidak suka harus diterima, karena PK merupakan hak terpidana
dan ahli warisnya, bukan milik kejaksaan. Hal ini dikatakannya dalam
menanggapi usulan masyarakat agar Kejaksaan mengajukan PK atas putusan
kasasi tersebut.
Namun
kondisi seakan berbalik ketika MA dalam putusan Kasasinya menyatakan
Polly tidak terbukti melalukan pembunuhan atas Aktivis HAM Munir,
dorongan agar Jaksa mengajukan PK justru muncul dari para aktivis HAM.
Seakan para aktivis ini yang dulunya dalam kasus Muchtar Pakpahan
menolak mentah-mentah dibolehkannya Jaksa mengajukan PK berbalik arah
menjadi mendukung kewenangan PK oleh Jaksa. Putusan yang dulu dibencinya
kini dijadikan sumber hukum, di dorong untuk menjadi yurisprudensi!
Kasus
Munir memang suatu dilema, batu ujian yang (seharusnya) sangat sulit
bagi para aktivis khususnya HAM. Jika putusan kasasi diterima mungkin
tak akan ada lagi kelanjutan atas misteri kematian Munir, namun jika
Jaksa dibolehkan mengajukan PK mungkin hal ini membuka kemungkinan
pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang lebih luas, seperti yang
terjadi dalam kasus Muchtar Pakpahan satu dasawarsa sebelumnya.
Sayangnya dilema tersebut seakan tak tercermin, padahal masalah ini
sebenarnya merupakan masalah yang sangat kritis, dua pilihan yang
sama-sama buruk. Tak banyak diskusi mengenai apa implikasi-implikasi
lanjutan dari masing-masing pilihan tersebut, dan langkah apa yang harus
dilakukan untuk meminimalisir implikasi yang bersifat negatif. Yang
terjadi hanyalah perdebatan legalistis semata, karena telah ada
’yurisprudensinya’ maka Jaksa dapat mengajukan PK, karena KUHAP tidak
secara tegas melarang Jaksa untuk mengajukan PK maka berarti Jaksa tidak
dilarang. Tepat seperti pertimbangan MA dalam putusan Muchtar Pakpahan.
Entah apakah argumentasi tersebut dibangun untuk menyindir pertimbangan
MA sebelas tahun yang lalu atau memang diyakini sebagai suatu
kebenaran.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
Dalam
putusannya MA cukup panjang lebar dalam memberikan pertimbangan
mengenai kewenangan PK oleh Jaksa. Total halaman khusus pertimbangan
tersebut sebanyak 9 halaman, yang dimulai dari halaman 17 hingga halaman
25 dari 51 halaman seluruhnya. Dalam pertimbangannya tersebut cukup
banyak MA mengutip pertimbangan MA sebelumnya dalam kasus Muchtar
Pakpahan. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya pertimbangan MA dalam kasus
Muchtar Pakpahan merupakan inti dari pertimbangan MA dalam kasus
Pollycarpus. Salah satu Dalam pertimbangan di Kasus Muchtar Papkahan MA
berpendat:
Pasal
21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini
ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak
yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili
kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan
yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah
Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan
kembali (PK) ke Mahkamah Agung;
Pertimbangan di atas dirujuk oleh MA dalam Kasus Pollycarpus, kemudian MA menambahkan (hal. 19-20):
Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; “Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang” tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : ”Apabila
terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang
berkepentingan”, tidak menjelaskan “tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” dan
terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25
Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2
Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan
menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud “fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana” selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa;
Dari
pertimbangan di atas terlihat bahwa MA menganggap bahwa terdapat
ketidakjelasan mengenai siapa yang dimaksud pihak-pihak yang disebutkan
dalam pasal 23 UU No. 4/2004. Jika dibaca secara keseluruhan seluruh
pertimbangan MA dalam kedua putusan ini, ketidakjelasan pengertian
”pihak-pihak yang berkepentingan” merupakan pertanyaan pokok dari
masalah ini. Ketidakjelasan tersebut menurut MA terjadi juga pada pasal
21 UU No. 14 Tahun 1970, “…tidak menjelaskan siapa-siapa yang dimaksud
dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan
kembali”, begitu pernyataan MA. …Suatu pertanyaan dan pernyataan yang
menggelikan, mengingat penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970
sebenarnya telah dengan gamblang menjelaskan mengenai siapa yang
dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.
Penjelasan pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Permohonan
peninjauan kembali dalam perkara perdata diajukan oleh pihak yang
berkepentingan, termasuk di dalamnya juga para ahli waris dari
pihak-pihak yang berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.
Apakah
mungkin dalam dua kasus ini Majelis Hakim yang sama-sama dipimpin oleh
Ketua MA tersebut menggunakan UU yang tidak ada Penjelasannya?
Barangkali UU nya UU bajakan yang dibeli dari Pasar Senen. Ius Curia Novit, hakim harus dipandang tahu hukum (tapi belum tentu hakim tahu halaman penjelasannya ada di mana khan?).
Dalam
bagian lain selanjutnya MA dalam putusan Pollycarpus mencoba membangun
argumentasi bahwa dalam pasal 263 sebenarnya tidak mutlak mengatur bahwa
hak untuk mengajukan PK tidak hanya berlaku bagi Terpidana atau Ahli
Warisnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 263 ayat 1.
2.
Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:
a.
Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum
mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana
/ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan
vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang
berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam
ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan
oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang
bersangkutan,sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan
hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
Dari
pertimbangan point b di atas terlihat bahwa menurut MA PK tidak mutlak
hanya dapat diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya. Pasal 263 ayat 3
secara logis hanya mungkin diajukan oleh Jaksa. Akan tetapi jika dibaca
secara keseluruhan bukannya hal ini berarti hak PK oleh Jaksa tersebut
khusus apabila yang terjadi memang sesuai dengan pasal 263 ayat 3, yaitu
jika terdapat putusan dimana dakwaan telah dinyatakan terbukti namun
tidak diikuti pemidanaan? Mengingat pasal 263 ayat 2 a dan b secara
logis juga hanya mungkin diajukan oleh Terpidana dan ahli warisnya.
Dari
seluruh pertimbangan MA mengenai kewenangan jaksa untuk PK ini sangat
terlihat bahwa MA hanya ingin membuktikan bahwa Jaksa dapat mengajukan
PK, namun dengan melepaskan konteks dalam hal apa kewenangan tersebut
dapat diberikan. Hal ini terlihat dari misalnya ketika MA merujuk pada
pasal 248 ayat 3 UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang
terdapad pada hal. 25 putusan a quo.
Menimbang,
bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai
bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan “Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan
terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”;
Dalam
pasal 248 ayat 3 tersebut memang jelas disebutkan bahwa Oditur
(Jaksanya militer) ternyata memiliki kewenangan untuk mengajukan PK
dalam perkara pidana militer. Jika dibandingkan dengan pasal 263 ayat 3
KUHAP sangat terlihat kesamaannya dengan pasal 248 ayat 3 ini, kecuali
satu kata, yaitu disisipkannya kata ’Ă“ditur’ antara frase ’yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap” dan frase ”dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali…”.
Pasal 263 (3) UU No. 8 Tahun 1981
Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Disisipkannya
kata Oditur tersebut memang seakan menjadi jawaban atas misteri, untuk
siapa sebenarnya alasan PK dalam pasal 263 (3) di atas. Namun apakah
serta merta dapat dikatakan bahwa Oditur dalam perkara pidana militer
memiliki hak yang sama untuk mengajukan PK sebagaimana halnya Terpidana
atau ahli warisnya?
Selengkapnya pasal 248 UU 3/1971 berbunyi demikian:
Pasal 248
(1)
Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala
tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat
diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;
b.
apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah
terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang
lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3)
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap
suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam
putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Dari
pasal 248 ayat 1 s/d 3 tersebut terlihat menjadi lebih jelas, bahwa PK
pada prinsipnya merupakan hak dari terpidana atau ahli warisnya, kecuali
1 hal, yaitu yang terdapat dalam ayat 3.
Masalah ini akan lebih jelas lagi jika kita lihat bagaimana sejarah pengaturan mengenai PK ini.
Selain
perbandingan dengan UU 31/1997 di atas, untuk memperkuat argumentasinya
MA juga merujuk pada Statute of International Criminal Court, khususnya
pasal 84 yang memang mengatur mengenai Peninjauan Kembali (Revision of Conviction or Sentence). Dalam halaman 25 MA menyatakan:
2. Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan “1.
The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or
one person alive at the time of the accused”s death who has been given
express written instructions from the accused to bring such a claim or
the prosecutor on the
person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment
of conviction or sentence on the grounds that………….”;
Dalam
pertimbangan di atas MA sengaja menggarisbawahi kata ”prosecuter”,
seakan untuk menunjukkan bahwa dalam ICC pun Jaksa memiliki kewenangan
untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun tampaknya MA tidak mencoba
mengaitkan kata “prosecutor” tersebut dengan empat kata berikutnya ”…on the person’s behalf”.
Dengan rumusan pasal 84 ICC tersebut tentunya harus diartikan bahwa
kewenangan PK oleh prosecutor tersebut dimungkinkan namun demi
kepentingan terpidana itu sendiri, yang secara a contrario berarti tidak
dimungkinkan peninjauan kembali yang bertujuan untuk memberatkan atau
merugikan si tepidana.
Sejarah Peraturan Peninjauan Kembali
Dalam
peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai PK pertama kali
diatur dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam pasal 15.
Pasal 15
Terhadap
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau
keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan Undang-undang.
Penjelasan Pasal 15
Pasal
ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau
herziening. Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang
istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum
lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan
dalam Hukum Acara. Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat
dilakukan, apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan
baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak
atau memperoleh perhatian.
Setelah
diundangkannya UU No. 19/1964 tersebut, tak selang berapa lama keluar
UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung sebagai turunan dari UU 19/1964. Dalam UU ini
kemudian dipertegas kembali mengenai adanya lembaga Peninjauan Kembali,
tak kurang dari 2 pasal yang menyatakan instrumen hukum ini, yaitu pada
Pasal 31 dan pasal 52.
Pasal 31
Terhadap
putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sesuai
dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.
Pasal 52
Mahkamah
Agung mengadili tentang putusan-putusan yang dimohon peninjauan kembali
untuk masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Undang-undang.
Dari
dua pasal di atas terlihat bahwa pengaturannya masih terlalu minim.
Atas kondisi ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 6
Tahun 1967 tentang Permohonan Peninjauan Kembali Putusan/Gugatan Secara
“Request-Civiel. Inti dari SEMA ini adalah menginstruksikan kepada
pengadilan-pengadilan untuk tidak menerima permohonan PK, karena hingga
saat itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai persyaratan,
tata cara dan lain sebagainya. Namun mengingat ternyata cukup banyaknya
permohonan yang diajukan ke pengadilan akhirnya dua tahun kemudian MA
mencabut SEMA tersebut dan mengatur mengenai persyaratan dan tata cara
permohonan PK melalui PERMA No. 1 Tahun 1969 (tanpa judul). PERMA yang
terdiri dari 8 pasal ini kemudian yang menjadi kerangka dasar pengaturan
mengenai PK selanjutnya, baik PK dalam hukum acara pidana maupun
peradilan lainnya.
Khusus mengenai PK dalam perkara pidana diatur dalam pasla 3 dan 4 Perma tersebut. Selengkapnya:
Pasal 3
Mahkamah
Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjaunya kembali
suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan
yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap,atas dasar alasan:
a. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang menyolok;
b. apabila
dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan itu dianggap terbukti,
akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
c. apabila
terdapat keadaan-keadaan baru, sehingga menimbulkan pertimbangan
mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui pada waktu sidang
yang masih berlangsung putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung
pembebasan terpidana melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa
perbuatan yang di tuduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak
dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan
atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan;
d. apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan
sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti
itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 4
(1) Permohonan
peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan
Hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana atau pihak yang
berkepentingan atau oleh Jaksa Agung.
(2) Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(3) Permohonan
harus diajukan secara tertulis,dengan menyebutkan sejelas jelasnya
alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepanitraan
Pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.
(4) Apabila
pemohon tidak dapat menulis, maka ia diperbolehkan menguraikan
permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan tersebut, yang
akan memuat catatan tentang permohonan itu.
(5) Ketua
Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirim surat permohonan atau catatan
tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya kepada Ketua
Mahkamah Agung disertai dengan pertimbangannya.
(6) Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat Jaksa Agung.
Dari
pasal 3 di atas terlihat bahwa tedapat kesamaan antara pasal tersebut
dengan pasal 263 UU No. 8 Tahun 1981. Berbeda dengan pasal 263 KUHAP
dalam Perma ini memang diatur secara tegas bahwa Jaksa, khususnya Jaksa
Agung memiliki kewenangan juga untuk mengajukan PK (Pasal 4 ayat 1),
namun tanpa menjelaskan dalam hal apa kewenangan tersebut dimungkinkan.
Namun Perma ini sendiri ternyata tak berumur lama, karena tiga bulan
kemudian MA mengeluarkan SEMA No. 18 Tahun 1969 yang pada intinya
menunda pelaksanaan Perma tersebut hingga batas waktu yang tidak
ditentukan.
Setahun
kemudian UU No. 19/1964 digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kembali masalah PK
dicantumkan dalam UU ini, yaitu dalam pasal 21 (rumusan pasalnya dapat
dilihat dibagian sebelumnya). Dalam pasal 21 ini khususnya bagian
penjelasan dijelaskan bahwa untuk perkara pidana PK dapat diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya, UU ini
juga tidak mengatur secara detil persyaratan dan tata cara permohonan
PK tersebut.
Atas
terbitnya UU kekuasaan kehakiman yang baru tersebut Mahkamah Agung
langsung menerbitkan lagi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1971.
Perma ini intinya membatalkan berlakunya Perma No. 18/1969. Pembatalan
tersebut dikarenakan pada masa itu sedang dibahas rancangan
undang-undang yang akan mengatur hukum acara termasuk Peninjauan
Kembali, sehingga MA berpandangan bahwa sebaiknya pelaksanaan
pemeriksaan PK menunggu terbitnya UU tersebut. Namun hingga tahun 1976
ternyata rancangan undang-undang yang dimaksudkan tak kunjung terbit,
hal ini kemudian mendorong MA untuk mencabut Perma No. 1 Tahun 1971 dan
memberlakukan kembali Perma No. 18/1969 melalui Perma No. 1 Tahun 1976.
Pada
tahun 1980 mengingat ternyata belum terbit juga undang-undang yang akan
mengatur hukum acara peninjauan kembali MA berinisiatif untuk
mengadakan rapat kerja dengan DPR mengenai masalah ini. Dalam rapat
tersebut disepakati untuk sementara pengaturan PK diatur dalam Perma.
Untuk itu maka MA menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Dilihat dari
pengaturannya Perma ini jauh lebih komperhensif dari Perma sebelumnya,
yaitu Perma No. 1/1969. Jika Perma No. 1/1969 hanya mengatur 8 pasal
dalam Perma 1/1980 ini terdapat 23 Pasal.
Salah
satu perbedaan substansial dari Perma 1/1980 dengan Perma 1/1969 ini
adalah dihapuskannya alasan PK karena adanya kekeliruan atau kekhilafan
yang menyolok, baik dalam perkara Pidana maupun perkara Perdata.
Pasal 9
(1) Mahkamah
Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung
pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas dasar
alasan:
a. apabila
dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang
dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan;
b. apabila
terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat,
bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari
tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang
dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya
tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau
penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
(2) Atas
dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu
putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai
terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan itu diikuti oleh
suatu pemidanaan.
Pasal 10
(1)
Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung,
oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.
Pasal 16
Apabila
terpidana meninggal dunia sebelum diajukan permohonan peninjauan
kembali, permohonan tersebut dapat diajukan oleh yang berkepentingan
termasuk ahli warisnya atau Jaksa Agung.
Dari
cuplikan ketentuan di atas terlihatt bahwa memang Jaksa, khususnya
Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK, namun tetap tanpa
kejelasan untuk alasan yang mana Jaksa Agung dapat mengajukan PK. Jika
dilihat dari pasal 9 terkesan bahwa khusus mengenai PK karena adanya
novum (ayat 1 b) hak ini hanya dimiliki oleh terpidana dan ‘pihak yang
berkepentingan’, namun jika dikaitkan dengan pasal 16 terlihat bahwa
Jaksa Agung memiliki hak juga untuk mengajukan PK atas dasar novum namun
demi kepentingan terpidana itu sendiri.
Kesan
bahwa kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan justru demi
kepentingan terpidana itu sendiri dapat terlihat juga dari ketentuan
lainnya yaitu dalam pasal 11 dan 12. Dalam pasal 11 ini disebutkan bahwa
dalam hal permohonan PK diajukan oleh Jaksa Agung maka permohonan
tersebut (sekedar) diberitahukan juga kepada terpidana. Namun apabila
permohonan diajukan oleh terpidana maka Jaksa Agung memberikan
kesimpulan / pendapat atas permohonan tersebut (pasal 12). Tentunya jika
Jaksa Agung dapat mengajukan PK yang dapat memberatkan terpidana maka
terpidana juga diberikan hak untuk mengajukan pendapat atau kesimpulan
atas permohonan dari Jaksa Agung tersebut, namun ketentuan semacam ini
tidak terdapat dalam Perma ini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa
kewenangan PK oleh Jaksa Agung dimungkinkan semata-mata demi kepentingan
terpidana itu sendiri, atau karena alasan sebagaimana diatur dalam
pasal 9 ayat 2, yang memang hanya mungkin diajukan oleh Jaksa Agung.
Usia
Perma ini ternyata tak berapa lama, karena setahun kemudian akhirnya
terbit UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam
KUHAP ini beberapa ketentuan yang sebelumnya terdapat dalam baik Perma
No. 1/1969 maupun 1/1980 menjadi hilang, yaitu kewenangan Jaksa Agung
untuk mengajukan PK, termasuk kewenangannya dalam mewakili kepentingan
terpidana itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 16 Perma 1/1980.
Penghapusan kewenangan Jaksa tersebut juga terlihat dalam definisi Upaya
Hukum yang diatur dalam pasal 1 KUHAP, dalam huruf 12 dinyatakan :
Upaya
hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau
hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
Namun
dengan dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan PK tersebut
menyisakan satu soal, siapa yang mungkin untuk mengajukan PK dengan
alasan sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 3.
Setelah
berlakunya KUHAP tesebut MA tidak pernah menerbitkan Perma maupun SEMA
yang mengatur mengenai Peninjauan Kembali khususnya yang mengatur
mengenai PK dalam perkara pidana, kecuali Perma No. 1 Tahun 1982.
Pemahaman bahwa PK merupakan hak ekslusif dari Terpidana dan Ahli
Warisnya kemudian menjadi pemahaman yang umum, hingga akhirnya muncul
permohonan PK oleh Jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996.
Permohonan tersebut sangat mengejutkan masyarakat khususnya kelompok
aktivis serta komunitas hukum. Berbagai polemik muncul di media-media
massa pada saat itu, tak kurang beberapa mantan Hakim Agung pun turut
bicara mengenai masalah ini, seperti misalnya Subianto dan Bismar
Siregar ,
mantan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmaja, Anggota DPR, akademisi,
dan lain sebagainya. Berbagai unjuk rasa pun terjadi walaupun dalam
skala kecil mengingat situasi politik saat itu yang memang tidak
memungkinkan demonstrasi secara besar-besaran.
Setahun
kemudian, tepatnya tanggal 15 Oktober 1997 Pemerintah dan DPR
menerbitkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Entah apakah
UU ini terpengaruh dari kejadian PK dalam kasus Muchtar Pakpahan atau
tidak namun kenyataannya dalam ketentuan mengenai PK dalam perkara
Pidana Militer seakan terjadi beberapa perbaikan yang lebih jelas. Hal
ini terlihat dari disisipkannya kata “oditur” dalam pasal 248 ayat 3 UU
31/1997 , serta dalam pasal 1 huruf 41 a UU ini.
a.
dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak
menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama
dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli
warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;
Dengan
pengaturan pasal 1 huruf 41 a dan pasal 248 ayat 3 tersebut menjadi
jelas, bahwa (setidaknya) dalam peradilan pidana militer, oditur militer
memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan PK, namun kewenangan
tersebut terbatas apabila “…dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” (pasal 248 ayat 3).
Pengaturan
PK dalam UU 31/1997 di atas seakan menjadi jembatan antara rumusan PK
dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 263 s/d 268 dengan Perma-Perma
sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa khususnya Jaksa
Agung memiliki kewenangan untuk mengajukan PK. Namun demikian dalam UU
ini pun ternyata pengaturan mengenai tata cara permohonan tersebut,
khususnya apabila Oditur yang mengajukan PK serta bagaimana ketentuan
selanjutnya ternyata tidak terjawab juga dalam UU ini. Misalnya, apakah
putusan PK berdasarkan alasan pasal 248 (2) ini juga harus mengikuti
pasal 251 ayat (2)?
Implikasi Hukum dimungkinkannya PK oleh Jaksa
Mungkin
sudah tak terlalu bermanfaat juga untuk mempermasalahkan lagi apakah
Jaksa dapat melakukan PK atau tidak, mengingat dalam kenyataannya MA
sebagai benteng terakhir peradilan telah menerima PK oleh Jaksa, tidak
hanya sekali namun empat kali.
Kita hanya bisa berharap putusan-putusan tersebut dijatuhkan dengan
pertimbangan yang matang, serta sesuai dengan rasa keadilan. Kini yang
perlu difikirkan adalah apa implikasi-implikasi hukum dari diberikannya
kewenangan PK oleh Jaksa.
Terdapat
setidaknya 3 (tiga) pertanyaan hukum yang muncul sebagai akibat dari
dibolehkannya Jaksa untuk mengajukan PK dalam konstruksi hukum acara
pidana yang ada saat ini. Pertama, jika Jaksa
diperbolehkan untuk mengajukan permohonan PK apakah PK oleh Jaksa
tersebut menghapuskan hak terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan
PK? Pasal 268 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1981 menyatakan secara tegas bahwa
permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja.
Selain KUHAP terdapat dua Undang-undang lainnya yang menyatakan hal yang
sama, yaitu UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU No. 14/1985 di pasal 66 ayat 1 dinyatakan
Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Sementara dalam UU No.
4/2004 pada pasal 23 ayat 2 dinyatakan ”Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
Pertanyaan
hukum ini sebelumnya juga pernah muncul, yaitu pada kasus Muchtar
Pakpahan. Tak lama setelah MA memutuskan permohonan PK oleh Jaksa
tersebut Muchtar Pakpahan juga mengajukan permohonan PK atas PK tersebut
ke PN Medan. Pada saat itu sempat Panitera PN Medan menolak
mendaftarkan permohonan PK tersebut dengan alasan bahwa PK hanya dapat
diajukan 1 kali sesuai dengan pasal 268 ayat 3 KUHAP. Namun setelah
mendapatkan kritikan akhirnya PN Medan menerima pendaftaran permohonan
PK tersebut, entah bagaimana putusan MA pada saat itu, apakah penolakan
tersebut dikarenakan atas pasal 268 ayat 3 KUHAP tersebut atau karena
masalah lainnya atau mungkin memang tidak pernah ada putusan PK atas PK
tersebut dikarenakan Muchtar Pakpahan mendapatkan abolisi sebelum MA
mengeluarkan putusannya. Yang jelas akhirnya Muchtar Pakpahan bebas
bukan karena putusan MA namun karena pemberian abolisi yang dikeluarkan
oleh Presiden BJ Habibie 4 hari setelah menjabat sebagai Presiden
menggantikan HM Soeharto.
Dari
pertanyaan pertama ini tentunya hanya ada dua jawaban, PK oleh Jaksa
tidak menghapuskan hak terpidana untuk juga mengajukan PK, atau PK oleh
Jaksa menghapuskan hak terpidana. Masing-masing jawaban ini dapat dicari
landasan hukumnya baik dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan
lainnya. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Masing-masing jawaban
tersebut akan menimbulkan permasalahan hukum baru. Jika hak tersebut
dianggap hilang maka hal ini membuka peluang bagi Jaksa untuk bertindak
secara sewenang-wenang. Bagaimana jika kewenangan Jaksa untuk mengajukan
PK tersebut dipergunakan semata untuk menghapuskan hak dari terpidana
dan ahli warisnya untuk mengajukan PK? Untuk menghapuskan hak terpidana
ini tentunya akan sangat mudah dilakukan oleh Jaksa, ajukan saja PK
dengan alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim
(pasal 263 ayat 2 b), hilanglah hak dari terpidana tersebut bahkan jika
dikemudian hari ditemukan novum.
Untuk
menghindari hal tersebut tentunya kita akan berfikir bahwa PK oleh
Jaksa tidak menghapuskan hak terpidana untuk mengajukan kasasi,
sangatlah tidak adil jika hal tersebut yang dipilih. Namun jika
dipandang bahwa hak tersebut tidak hilang, akan timbul pertanyaan baru,
apakah PK yang diajukan oleh terpidana menghapuskan kewenangan Jaksa
untuk mengajukan PK? Jika dikatakan bahwa kewenangan PK Jaksa hilang
jika upaya hukum tersebut telah dipergunakan sebelumya oleh Terpidana,
dimana dasar hukumnya? Seperti juga tafsir MA atas PK oleh Jaksa “…tak
ada aturan yang melarang”. So, how do we deal with this problem?
Kedua.
Jika PK dapat diajukan oleh Jaksa, kapan terpidana akan ‘menikmati’ hak
nya atas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28D ayat 1
UUD 1945? Mengingat dalam KUHAP tidak ada batasan waktu kapan PK dapat
diajukan, terlebih lagi dalam pasal 264 ayat 3 dinyatakan “Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu”
. Akhirnya tentu kepastian bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap yang mengungtungkan terpidana tersebut baru akan benar-benar
menunggu dari diajukannya PK oleh Jaksa, yang ternyata tak ada
batasannya juga sampai kapan Jaksa akan atau tidak akan mengajukan PK.
Artinya tak ada kepastian hukum sama sekali. Hal ini tentunya bukan
masalah besar jika kita anggap bahwa kepastian hukum bukanlah hak asasi
manusia, atau kalau kita anggap bahwa penjahat bukan manusia.
Di
sisi lain tentunya sangat janggal jika masalah ini kita kaitkan dengan
daluarsa penuntutan maupun daluarsa pemidanaan yang diatur dalam KUHP.
Jika diperhatikan lebih dalam lagi, KUHAP pada dasarnya menempatkan
kedudukan Hak PK dalam kedudukan yang sangat istimewa. Hal ini terlihat
dengan diberikannya juga hak atas PK tersebut kepada Ahli Waris
Terpidana, yang mana berarti hak tersebut tidak hilang bahkan apabila
Terpidana telah meninggal dunia. Hal ini secara kontras berbeda dengan
kewenangan untuk menuntut yang dimiliki oleh Negara, dimana kewenangan
tersebut gugur apabila Tersangka atau Terdakwa meninggal dunia.
Dengan gugurnya hak menuntut tersebut maka berarti secara otomatis
apabila pun Negara memiliki kewenangan untuk mengajukan PK kewenangan
tersebut dapat gugur walaupun kewenangan tersebut belum dipergunakannya.
Selain
itu tentunya menjadi janggal juga jika diperbandingkan dengan PK dalam
bidang perdata sebagaimana diatur dalam pasal 67 dan 69 UU No. 14 Tahun
1985.
Tentunya
kedepan, jika memang dipandang bahwa Jaksa (tetap) dapat mengajukan PK
-selain karena alasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 263 ayat 3-
harus diatur mengenai batasan waktu bagi Jaksa untuk dapat mengajukan
PK, dan aturan ini harus hanya mengikat bagi Jaksa saja. Mengapa hanya
mengikat untuk Jaksa? Ya pikir sendirilah.
Pengaturan
tenggat waktu khusus untuk PK yang diajukan oleh Jaksa tentunya dapat
dilakukan. Ketentuan tenggat waktu yang ada pada PK dalam bidang perdata
dapat dijadikan rujukan, kecuali mengenai satu hal, yaitu PK dengan
alasan novum. Jika merujuk pada pasal 69 huruf b UU 14/1985 batasan
waktu PK karena adanya novum tenggat waktunya adalah 180 hari setelah
ditemukannya novum tersebut. Pembatasan yang demikian tentunya kurang
tepat jika diletakan dalam konteks pidana, karena tetap tidak akan
memberikan kepastian hukum bagi terpidana. Yang mungkin untuk dilakukan
adalah dengan memberikan tenggat waktu sekian lama setelah putusan
tersebut berkekuatan hukum tetap, termasuk juga dalam hal ditemukannya
novum. Jadi andaikan diatur tenggat waktu bagi Jaksa untuk mengajukan PK
selambat-lambatnya 180 hari setelah putusan memiliki kekuatan hukum
tetap, andaikata pun di hari ke 181 ditemukan novum yang dapat menghukum
terpidana hak jaksa tersebut tetap dinyatakan gugur. Adilkah? Jawaban
ini akan mudah dijawab jika kita mengetahui alasan diaturnya daluarsa
penuntutan dan pemidanaan.
Ketiga, dibolehkannya
Jaksa untuk mengajukan PK sebagai upaya hukum luar biasa otomatis akan
menghapuskan upaya hukum luar biasa lainnya, yaitu Kasasi Demi
Kepentingan Hukum yang diatur dalam pasal 259. Instrumen hukum ini
merupakan instrumen hukum yang khusus hanya diberikan kepada Jaksa
Agung, dimana hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap selain putusan MA. Upaya hukum ini dalam
pasal 259 ayat 2 dinyatakan tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan. Maksud dari ayat 2 ini menurut (….) putusan tersebut
tidak memiliki akibat hukum, sesuai juga dengan yurisprudensi MA dalam
perkara Drs. H. Ghozin Baidowi (Putusan MA No. 186 K/Kr/1979). Jadi
walaupun MA menilai bahwa permohonan Jaksa Agung tersebut tepat maka MA
hanya dapat memberikan pertimbangan hukum semata tanpa menjatuhkan
vonis, karena tujuan dari upaya hukum luar biasa ini adalah semata untuk
meluruskan hukumnya saja untuk menjaga kesatuan hukum.
Jika
Jaksa dibolehkan untuk mengajukan PK tentunya timbul pertanyaan, untuk
apa Jaksa Agung menggunakan upaya hukum luar biasa ini yang pada
akhirnya tidak memiliki dampak apapun terhadap terpidana, padahal ada
upaya hukum lainnya yang lebih “menguntungkan”? Terlebih upaya hukum
yang lebih “menguntungkan” tersebut tak harus diajukan sendiri olehnya
cukup oleh anak buahnya. Kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya
hukum luar biasa pada akhirnya akan benar-benar menjadi upaya hukum luar
biasa, dalam pengertian luar biasa bodoh jika Jaksa Agung
menggunakannya padahal ada upaya hukum lainnya yang jauh lebih
“bermanfaat”, yaitu PK.
Kesimpulan
Dimungkinkannya
PK oleh jaksa berimplikasi pada diperlukannya beberapa perubahan
ketentuan dalam KUHAP. Perubahan-perubahan tersebut diperlukan demi
menjaga kepastian hukum serta untuk melindungi hak-hak terpidana.
Setidaknya perubahan tersebut harus mencakup:
1. Kejelasan mengenai apakah PK oleh Jaksa menghapuskan hak terpidana atau tidak.
2. Kejelasan apakah jika PK telah diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dapat dilakukan PK lagi oleh jaksa.
3. Diaturnya tenggat waktu permohonan PK oleh jaksa.
4. Kejelasan mengenai siapa yang dapat mengajukan PK yang diatur dalam pasal 263 ayat 3 serta tata caranya, serta
5. Dihapuskannya upaya hukum luar biasa Kasasi Demi Kepentingan Hukum.
Akhir
kata saya ingin mengutip tulisan mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang
ditulisnya sesaat setelah diterimanya permohonan PK oleh MA dalam kasus
Muchtar Pakpahan.
“Sekali
lagi, berprasangka baik. Sebutlah satu di antara yang dua “pasti”
salah. Tentang siapa yang salah, biarlah sejarah yang akan menentukan
alias wallahu’alam bissawab.”