Pengurangan Ancaman Pidana Minimum dalam Pengadilan Anak sebagai Yurisprudensi?
Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa ancaman hukuman
maksimum yang dapat dijatuhkan kepada terpidana anak adalah ½ dari
ancaman maksimum dari ketentuan pidana yang akan dikenakan (Pasal 26
ayat (1), 27, dan 28 ayat (1)). Undang-undang yang hingga kini masih
berlaku tersebut belum mengatur bagaimana dengan ancaman minimum yang
saat ini banyak diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan pidana.
Belum diaturnya ketentuantuan mengenai bagaimana penerapan ketentuan
pidana minimum dalam UU ini dapat dipahami, mengingat pada saat itu
memang belum ada ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum. UU
yang memuat ancaman pidana minimum sendiri baru lahir pada tahun yang
sama dengan lahirnya UU Pengadilan Anak itu sendiri, yaitu tahun 1997,
tepatnya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU yang lahir 2 bulan
setelah UU Pengadilan Anak. [1]
Kini
lebih dari 15 tahun sejak UU Pengadilan Anak tersebut disahkan telah
banyak undang-undang yang memuat ketentuan ancaman pidana minimum yang
harus dijatuhkan pengadilan apabila dinyatakan terdakwa terbukti
bersalah atas dakwaan penuntut umum. Setidaknya terdapat 52 UU sejak
tahun 1997 (daftar UU lihat lampiran). Dari 52 UU tersebut memang tidak
seluruhnya merupakan delik-delik yang mungkin dilakukan oleh anak.
Tindak pidana yang diatur di UU 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat misalnya, tentu hampir tidak
mungkin dilakukan oleh Anak dibawah umur. Delik-delik yang memuat
ancaman pidana minimum yang mungkin dilakukan oleh anak misalnya
narkotika, pornografi, tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, kejahatan
dalam UU Perlindungan Anak dan beberapa tindak pidana lainnya. Akan
tetapi terlepas dari jenis delik apa yang mungkin dilakukan oleh anak
dibawah umur pertanyaan mengenai bagaimana pemberlakuan ancaman pidana
minimum bagi anak tetaplah penting untuk dijawab.
Atas
kekosongan hukum ini Mahkamah Agung telah beberapa kali memutus bahwa
ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman
minimum yang ada dalam ketentuan terkait.
Putusan Mahkamah Agung yang sejauh ini ditemukan penulis yang
menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi anak diturunkan menjadi ½
dari ancaman yang tertera dalam pasal terkait adalah putusan MA No. No.
695 K/Pid/2006 dengan terdakwa berinisial ‘M’ yang diputus pada tanggal
12 April 2006. Dalam perkara ini Terdakwa didakwa yang pada saat itu
berusia 16 tahun melakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak dibawah umur melakukan perbuatan cabul. Perbuatan tersebut
diancam dengan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dengan ancaman hukuman penjara paling tinggi 15 tahun dan paling singkat
3 tahun dan denda paling tinggi Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Dalam
perkara tersebut Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti melanggar
pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003 tersebut dan dijatuhi hukuman penjara 3
tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Atas tuntutan tersebut Pengadilan
Negeri Praya dalam putusannya No. 157/Pid.B/2005/PN.Pra menyatakan
Terdakwa terbukti melanggar pasal 82 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi
pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Putusan
tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Mataram No.
04/Pid/2006/PT.MTR tanggal 25 Januari 2006.
Hukuman
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Praya tersebut khususnya pidana
penjara, berada di bawah ancaman hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 82
UU Perlindungan Anak. Atas dasar tersebut Penuntut Umum kemudian
mengajukan kasasi. Penuntut Umum mendalilkan bahwa putusan judex facti
salah karena tidak menerapkan ketentuan pidana minimum tersebut.
Permohonan
Kasasi Penuntut Umum dikabulkan oleh MA dengan majelis hakim yang
terdiri dari Hakim Agung Iskandar Kamil, SH., sebagai Ketua Majelis, dan
M. Bahaudin Qaudry, SH., serta Prof. Dr. Kamiuddin Salle, SH., MH.,
sebagai anggota majelisnya. Namun pertimbangan MA dalam perkara ini
justru bertolak belakang dari dalil Penuntut Umum. Dalam putusannya MA
justru menurunkan hukuman khususnya hukuman denda dari Rp 60.000.000,00
menjadi Rp. 30.000.000,00 dengan pertimbangan bahwa ancaman pidana
minimum adalah ½ dari ancaman pidana minimum bagi orang dewasa, dengan
menganalogikan ketentuan pengurangan ancaman hukuman maksimum bagi
terdakwa anak yang diatur dalam pasal 26 (1) UU 3 Tahun 1997 seperti
tertuang dibawah ini:
Menimbang bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa
alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah
salah menerapkan peraturan hukum/diterapkan tidak sebagaimana mestinya,
karena berdasarkan pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 jo. Pasal
1 angka 2 huruf a Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, terhadap
Terdakwa yang berumur 16 tahun tersebut pidana penjara yang dapat
dijaturhkan adalah ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa ;
Karena
ketentuan pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ditentukan ancaman
pidana penjara kumulatif dengan pidana denda yaitu paling singkat 3
tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,- maka secara analogis
dengan Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tersebut, maka
ancaman pidana minimum bagi anak adalah ½ nya dari orang dewasa yaitu
penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,-
Putusan
MA tersebut bukan satu-satunya putusan yang menerapkan atau menyatakan
bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman
yang tertera dalam pasal pidananya. Setahun berikutnya MA kembali
memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam putusan Nomor 2824
K/Pid/2006 yang diputus pada tanggal 31 Januari 2007 dengan terdakwa
‘SS’ yang berusia 14 tahun. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam
perkara ini serupa dengan dalam putusan No. 695 K/Pid/2006 di atas,
yaitu pelanggaran atas pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003. Dalam perkara ini
Pengadilan Negeri menjatuhi hukuman terhadap terdakwa sesuai dengan
pidana minimum yang diatur pasal 82 UU Perlindungan Anak tersebut, yaitu
penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,00. Putusan
judex facti tersebut dibatalkan oleh MA dengan komposisi majelis hakim
yang hampir sama dengan komposisi dalam perkara sebelumnya, kecuali satu
orang anggota yang berbeda yaitu Djoko Sarwoko yang ‘menggantikan’
posisi Prof. Dr. Kaimuddin Salle, SH., MH, sebagai anggota majelis.
Yang
menarik, dalam perkara ini walaupun majelis kasasi mempertegas bahwa
ancaman pidana minimum untuk terdakwa anak dikurangi menjadi ½ namun
dalam putusannya majelis kasasi bahkan tidak menjatuhkan hukuman
terhadap terdakwa, namun tindakan, yaitu mengembalikan terdakwa kepada
orang tuanya, mengingat usia terdakwa yang masih terlalu muda yaitu 14
tahun. Pertimbangan mengenai berlakunya pengurangan ½ ancaman pidana
minimum dalam putusan ini seakan hanya ingin mempertegas putusan
sebelumnya. Berikut pertimbangan MA dalam perkara ini:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Terlepas
dari alasan-alasan tersebut, ternyata judex factie telah salah
menerapkan peraturan hukum/tidak menerapkan sebagaimana mestinya, karena
judex factie telah menerapkan penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang
masih berumur 14 tahun ini sama dengan terhadap orang dewasa, sedangkan
berdasarkan Pasal 26 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 penjatuhan pidana
terhadap anak nakal paling lama ½ dari maximum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa, serta secara acontrario dapat ditafsir pula paling
lama ½ dari minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ;
Oleh
karena Terdakwa masih begitu muda belum mengetahui baik buruknya
perbuatan yang dilakukannya tersebut dan supaya pemidanaan tidak
mempengaruhi pendidikannya masa mendatang, maka perlu hanya dilakukan
tindakan terhadap Terdakwa tersebut berupa pengembalian pada orang tua
untuk dapat dilakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah (Pasal
24 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 ;
Dua
bulan setelah putusan tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2007 MA
kembali memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam perkara No. 277
K/Pid.Sus/2007 dengan terdakwa ‘H’ yang diputus dengan majelis yang
sama dengan perkara No. 2824 K/Pid/2006 sebelumnya. Serupa dengan
perkara sebelumnya, perkara ini juga mengenai kekerasan seksual oleh
anak-anak terhadap anak-anak. Dalam perkara ini MA membatalkan putusan
judex facti yang menghukum terdakwa (17 tahun) dengan hukuman selama 4
tahun dan denda Rp 30.000.000,00 menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp
30.000.000,00. [2]
Dalam
putusan yang lainnya MA kembali memperkuat ketiga pertimbangan
putusan-putusan di atas yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum
bagi terdakwa anak dikurangi setengahnya. Kali ini dalam perkara nomor
1185 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa ‘NSAJ’ yang diputus pada tanggal 29
Nopember 2010. Dalam perkara ini terdakwa yang saat melakukan tindak
pidana masih berusia 17 tahun juga didakwa dengan Pasal 81 UU
Perlindungan Anak. Di tingkat pertama terdakwa dinyatakan terbukti
melanggar Pasal 81 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara
sesuai dengan ancaman minimum yaitu penjara 3 tahun dan denda Rp
60.000.000,00 oleh PN Slawi. Putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi Semarang dimana PT menurunkan hukumannya menjadi 1 tahun 6 bulan
dan denda Rp 30.000.000,00. Atas putusan PT tersebut Penuntut Umum
mengajukan permohonan kasasi dengan alasan putusan PT menyalahi
ketentuan pidana minimum yang ditetapkan UU Perlindungan Anak. Namun
atas alasan tersebut majelis kasasi yang dipimpin oleh Ketua MA saat itu
yaitu Dr. Harifin A Tumpa, SH., MH., sebagai ketua Majelis dan Prof.
Rehngena Pubrba, SH, MS dan H. Djafni Djamal, SH., MH sebagai anggota
majelis menyatakan bahwa putusan PT Semarang tersebut tidak salah dalam
menerapkan hukum.
Sebagai
catatan tambahan, sebenarnya penerapan pengurangan ancaman pidana
minimum bagi anak menjadi ½ sudah pernah dilakukan oleh Pengadilan
Tingkat Pertama jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 2000. Pada saat itu PN
Denpasar yang memeriksa dan memutus perkara nomor 183/Pid.B/2000/PN.Dps
dalam perkara Psikotropika (Pasal 59 ayat 1 sub e UU No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika) yang diancam dengan ancaman pidana penjara minimum
4 tahun menjatuhi hukuman penjara terhadap terdakwa ‘DY’ yang masih
berusia 17 tahun dengan pidana penjara selama 2 tahun, atau ½ dari
ancaman penjara minimum. Namun putusan tersebut dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Denpasar. PT Denpasar kemudian mengkoreksi putusan PN
tersebut menjadi sesuai dengan pidana minimum yang diatur dalam pasal 59
ayat 1 sub e UU tersebut. Putusan PT ini kemudian dikuatkan MA dalam
putusannya nomor 2110 K/Pid/2001 yang diputus pada tanggal 19 Nopember
2003. Saat itu majelis hakim agung yang menangani perkara tersebut
adalah Abdul Kadir Mappong, SH sebagai ketua majelis, IB Ngurah Adnyana,
SH dan Usman Karim, SH sebagai anggota-anggota majelis. Di luar putusan
ini belum ditemukan lagi putusan lainnya yang serupa.
Yurisprudensi?
Dengan
melihat beberapa putusan Mahkamah Agung yang menafsirkan atau
memperluas pengertian pasal 26 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang menurunkan ancaman minimum menjadi ½ dari ancaman
pidana minimum bagi orang dewasa yang menjadi pertanyaan adalah, apakah
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penafsiran maupun perluasan
penafsiran tersebut telah dapat dikatakan sebagai Yurisprudensi?
Menurut
saya sudah, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, adanya
kekosongan pengaturan mengenai pengaturan pidana minimum bagi terdakwa
anak dalam UU No. 3 Tahun 1997. Kedua, perluasan penafsiran oleh MA
tersebut logis dan sejalan dengan tujuan dari UU Pengadilan Anak itu
sendiri. Ketiga, penafsiran tersebut telah berulang kali diterapkan dan
diperkuat oleh baik MA maupun pengadilan-pengadilan di tingkat pertama
maupun banding, dimana di tingkat MA majelis Hakim Agungnya pun
berbeda-beda.
Pertanyaann
selanjutnya adalah, mengingat perkara-perkara di atas semuanya
merupakan perkara dengan dakwaan pelanggaran atas UU Perlindungan Anak,
apakah yurisprudensi ini berarti hanya berlaku dalam perkara tindak
pidana Perlindungan Anak atau berlaku juga untuk semua tindak pidana
dimana terdapat ancaman pidana minimum? Menurut saya berlaku juga. Dalam
putusan-putusan di atas Mahkamah Agung tidak secara spesifik membahas
mengenai tindak pidana Perlindungan Anak, namun pasal 26 ayat (1) UU
Pengadilan Anak (3 Tahun 1997). Dengan demikian penafsiran ini bersifat
umum dan dapat diterapkan untuk tindak pidana-tindak pidana lainnya.
Sekian.
Footnotes:
(1) UU 3 Tahun 1997 disahkan pada tanggal 3 Januari 1997 sedangkan UU 5 Tahun 1997 disahkan pada tanggal 11 Maret 1997.
(2) Jika melihat besarnya pidana denda yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri sebesar Rp 30.000.000,00 dari ancaman denda minimum pasal yang didakwakan, yaitu pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 terlihat sebenarnya Pengadilan Negeri juga telah menerapkan pengurangan ½ ancaman pidana bagi terdakwa anak.
(2) Jika melihat besarnya pidana denda yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri sebesar Rp 30.000.000,00 dari ancaman denda minimum pasal yang didakwakan, yaitu pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 terlihat sebenarnya Pengadilan Negeri juga telah menerapkan pengurangan ½ ancaman pidana bagi terdakwa anak.
Lampiran
Daftar UU yang Memuat Ketentuan Pidana Minimum
No UU Title
1. 5 Tahun 1997 Psikotropika
2. 22 Tahun 1997 Narkotika
3. 10 Tahun 1998 Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
4. 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
5. 17 Tahun 1999 Penyelenggaraan Ibadah Haji
6. 23 Tahun 1999 Bank Indonesia
7. 24 Tahun 1999 Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar
8. 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
9. 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
10. 42 Tahun 1999 Jaminan Fidusia
11. 21 Tahun 2000 Serikat Pekerja/ Serikat Buruh
12. 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia
13. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
14. 15 Tahun 2002 Tindak Pidana Pencucian Uang
15. 19 Tahun 2002 Hak Cipta
16. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak
17. 24 Tahun 2002 Surat Utang Negara
18. 12 Tahun 2003 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
19. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan
20. 23 Tahun 2003 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden
21. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
22. 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
23. 15 Tahun 2004 Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
24. 23 Tahun 2004 Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
25. 24 Tahun 2004 Lembaga Penjamin Simpanan
26. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
27. 39 Tahun 2004 Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
28. 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi Dan Korban
29. 15 Tahun 2006 Badan Pemeriksa Keuangan
30. 17 Tahun 2006 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
31. 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
32. 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana
33. 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
34. 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
35. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai
36. 9 TAHUN 2008 Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia
37. 10 TAHUN 2008 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
38. 11 TAHUN 2008 Informasi Dan Transaksi Elektronik
39. 19 TAHUN 2008 Surat Berharga Syariah Negara
40. 21 TAHUN 2008 Perbankan Syariah
41. 42 TAHUN 2008 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden
42. 43 TAHUN 2008 Wilayah Negara
43. 44 TAHUN 2008 Pornografi
44. 2 TAHUN 2009 Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
45. 10 TAHUN 2009 Kepariwisataan
46. 32 TAHUN 2009 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
47. 35 TAHUN 2009 Narkotika
48. 41 TAHUN 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
49. 11 TAHUN 2010 Cagar Budaya
50. 5 Tahun 2011 Akuntan Publik
51. 6 Tahun 2011 Keimigrasian
52. 10 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2007 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
1 komentar:
Maaf mengganggu, boleh dikirim ke email ku nizam_ungu@yahoo.co.id Putusan MA No. 695 K/Pid/2006 dan putusan Nomor No.157/Pid.B/2005/PN.Pra , saya sudah mencoba mencarinya tapi susah mendapatkannya. mohon bantuannya untuk bahan skripsi saya Terima kasih
Posting Komentar