Problematika Pasal 3 dan Pasal 8 UU Tipikor
UU
Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999
sebagaiaman telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebenarnya
mengandung beberapa permasalahan. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti
mengenai permasalahan tumpang tindih pengaturan delik/tindak pidana
yang diatur di dalamnya. Sebenarnya ada cukup banyak ketentuan pidana
yang tumpang tindih dalam UU ini, namun kali ini saya hanya akan
menyoroti tumpang tindihnya pengaturan dalam Pasal 3 dan Pasal 8, karena
kebetulan baru menemukan suatu putusan yang terkait masalah ini, yaitu
Putusan No. 293 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making.
Sebelum masuk bagaimana perkara di atas
tentunya sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang diatur
dalampasal 3 dan pasal 8 UU Tipikor.
Pasal 3
Setiap orang yang
dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau
surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Kedua pasal ini sebenarnya memiliki
irisan, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan suatu perbuatan dapat
memenuhi kedua ketentuan tersebut, yang dalam istilah kerennya disebut concursus idealis. Mengenai concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang berbunyi:
- Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
- Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Bagaimana ceritanya antara pasal 3 dan
pasal 8 di atas bisa terjadi irisan? Kalau kita baca pasal 8 maka inti
perbuatan yang dilarang adalah menggelapkan uang atau surat berharga.
Larangan ini berlaku bagi pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum. Apa itu pegawai negeri?
Mengenai hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi,
yaitu:
Pegawai Negeri adalah meliputi: a.
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalm Undang-undang tentang
kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari
suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah;e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Penggelapan itu sendiri artinya adalah
dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan. Pengertian ini terdapat dalam Pasal
372 KUHP.
Nah, kalau dikaitkan dengan pasal 3,
penggelapan itu sendiri pada dasarnya adalah salah satu bentuk dari
perbuatan menyalahgunakan wewenang. Secara sekilas memang terkesan bahwa
berarti semua perbuatan yang diatur dalam pasal 8 tercakup juga dalam
pasal 3. Ya, sekilas, tapi kalau dibaca secara teliti sebenarnya tidak.
Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, obyek yang digelapkan
yang diatur dalam pasal 8 spesifik hanya uang dan surat berharga,
sementara barang tidak. Jadi misalnya seorang pegawai negeri menjual
mobil dinas yang digunakannya tidak bisa dikenakan pasal 8.
Kedua, dalam pasal 3 terdapat unsur ‘yang
dapat merugikan keuangan negara’, sementara dalam pasal 8 unsur
kerugian negara tidak ada. Pasal 8 tersebut tidak peduli apakah uang
atau surat berharga yang digelapkan oleh pelaku adalah uang atau surat
berharga milik negara atau tidak, yang penting uang atau surat berharga
tersebut ada dalam penguasaan si pelaku karena jabatannya. Contoh untuk
perbuatan seperti ini misalnya seorang Teller bank pemerintah pada saat
menerima setoran tabungan dari nasabah tidak memasukkan uang tersebut ke
pencatatan bank, namun ia kantongi sendiri. Uang tersebut tentunya
bukan uang milik negara, karena jelas uang tersebut adalah milik si
nasabah. Dalam hal demikian maka si Teller bank tersebut telah memenuhi
unsur-unsur pasal 8, namun tidak untuk pasal 3. Ya kalau ditarik-tarik
sih bisa saja, karena pada akhirnya negara bisa dimintakan
pertanggungjawaban untuk memberikan ganti kerugian kepada si
korban/nasabah, karena perbuatan si Teller tersebut dilakukan karena ada
kaitannya dengan jabatannya, dan ketika negara harus mengganti kerugian
si korban tersebut tentunya negara menjadi dirugikan juga. Ya, betul,
tapi agak terlalu jauh sih. Tapi seperti ini kira-kira perbedaan pasal 8
dan pasal 3.
Ok, sekarang saya ingin memberikan 2
ilustrasi kasus yang serupa untuk menggambarkan permasalahan antara
pasal 3 dan pasal 8 ini. Contoh pertama, seorang bendahara suatu
instansi pemerintah menggelapkan uang kas instansi tersebut sebanyak 100
juta rupiah. Contoh kedua, seorang pegawai negeri yang mendapatkan
jatah mobil dinas senilai 200 juta menggelapkan mobil dinas tersebut
dengan cara menjual mobil tersebut seharga 150 juta kepada pihak lain.
Dari kedua contoh kasus tersebut ketentuan mana yang akan digunakan?
Dari contoh pertama, walaupun perbuatan
tersebut bisa juga dikenakan pasal 3 namun mengingat ketentuan dalam
pasal 63 ayat 2 KUHP (asas lex specialis derogat lex generali) maka
tentunya perbuatan si pelaku lebih tepat dipidana dengan pasal 8.
Sementara untuk contoh kedua, karena obyek yang digelapkan bukanlah uang
atau surat berharga namun barang (mobil) maka si pelaku tidak dapat
dijerat dengan pasal 8 walaupun bentuk perbuatannya sama-sama
penggelapan, melainkan pasal 3.
Yang menjadi permasalahan adalah jika
dilihat dari nilai perkara sebenarnya kasus kedua tentunya lebih besar
daripada kasus pertama, yaitu kalau antara 150-200 juta. Sementara nilai
perkara dalam perkara pertama adalah 100 juta. Namun jika melihat
ancaman hukuman yang bisa dijatuhkan bagi pelaku dalam contoh pertama
maksimum penjara selama 15 tahun, minimum 3 tahun, DAN denda Rp. 150
juta s/d 750 juta, sementara untuk terhadap pelaku dalam contoh perkara
kedua ancaman hukumannya yaitu maksimum seumur hidup, minimum 1 tahun,
DAN/ATAU Rp. 50 juta s/d 1 milyar.
Apa yang aneh? Perhatikan ancaman maksimum dan minimumnya, serta imperatif (wajib) atau tidaknya denda dijatuhkan.
Apa artinya? Artinya terhadap pelaku
dalam contoh kedua yang nilai korupsinya lebih besar dari pada pelaku
dalam contoh pertama bisa dijatuhkan hukuman lebih ringan daripada
pelaku dalam contoh pertama. Adil kah?
Ok, itu tentunya hanya kasus fiktif. Nah
ini ada kasus kongkrit terkait masalah pasal 3 dan pasal 8 ini. Yaitu
kasus yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Secara ringkas dalam
perkara ini terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making yang merupakan pegawai
bagian pemasaran pada suatu perusahaan daerah di Kabupaten Lembata
Kupang, didakwa dalam dakwaan alternatif antara pasal 3 dan pasal 8.
Adapun perbuatan yang didakwakan kepadanya yaitu dalam beberapa kali
melakukan penjualan namun uang hasil penjualan tersebut tidak disetorkan
kepada perusahaan daerah dimana ia bekerja namun ia gunakan untuk
kepentingannya sendiri. Selain itu terdakwa juga beberapa kali
menggelapkan uang sisa pembelian barang. Total uang hasil penjualan yang
ia nikmati sebesar +/- 80 juta rupiah.
Dalam perkara ini, Penuntut Umum dalam
surat tuntutannya menuntut pengadilan agar menyatakan terdakwa terbukti
atas dakwaan alternatif kedua, yaitu yang diancam dengan pasal 8
(penggelapan), serta menuntut terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 3
tahun (sesuai ancaman minimum) serta denda sebesar Rp. 150 juta dan
pembayaran uang pengganti sebesar +/- 80 juta rupiah. Namun pengadilan
tidak sependapat dengan Penuntut Umum, pengadilan memutus terdakwa
terbukti atas dakwaan alternatif pertama (pasal 3) dan menghukum
terdakwa dengan hukuman penjara selama 2 tahun, denda sebesar Rp. 50
juta, dan uang pengganti sebesar +/- 77 juta. Diperkuat hingga tingkat
kasasi di Mahkamah Agung.
Dari putusan tersebut tentunya menjadi
janggal, mengapa pengadilan memilih dakwaan alternatif pertama (pasal 3)
bukan dakwaan alternatif kedua (penggelapan), padahal seharusnya dalam
perkara ini yang lebih tepat untuk dikenakan adalah dakwaan alternatif
kedua. Apa sebab? Pertama pasal 3 mensyaratkan adanya unsur ‘yang dapat
merugikan keuangan negara’. Dalam perkara ini tentunya sedikit lebih
rumit untuk mengkaitkan kasus ini dengan kerugian negara, mengingat
institusi tempat terdakwa bekerja adalah Perusahaan Daerah (BUMD),
dimana masih terjadi perdebatan apakah kerugian yang dialami oleh
BUMN/BUMD masuk dalam kategori kerugian keuangan negara. Dan hal ini
pula yang menjadi salah satu materi memori kasasi terdakwa. Kedua, dari
bentuk perbuatan yang didakwakan jelas bentuk perbuatan yang terjadi
adalah penggelapan, sehingga lebih tepat yang diterapkan adalah dakwaan
kedua.
Namun, mengapa pengadilan bahkan sampai
tingkat Mahkamah Agung akhirnya diputus yang diterapkan adalah dakwaan
pertama? Saya menduga hal ini tidak terlepas dari problematika pasal 3
dan pasal 8 ini. Jika pengadilan memilih dakwaan alternatif kedua maka
hukuman yang harus dijatuhkan minimal 3 tahun penjara dan denda minimal
Rp 150 juta rupiah, padahal nilai korupsi yang terjadi (hanyalah) +/- 80
juta. Sementara di sisi lain banyak perkara korupsi lainnya yang
nilainya jauh lebih besar yang dilakukan tidak dalam bentuk penggelapan
namun masuk dalam kategori pasal 3 dihukum dengan hukuman dibawah 3
tahun. Jadi dalam perkara ini sepertinya pengadilan mengahadapi dilema
yang disebabkan oleh problem pasal 3 dan pasal 8 ini. Karena dilema
tersebut akhirnya pengadilan memilih untuk menerapkan dakwaan altenatif
kedua yang ancaman minimumnya lebih rendah dari dakwaan alternatif
pertama, walaupun secara formil seharusnya tidak tepat.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pid.Sus/2009 (Kristiani Mei Puji Astutik)
Dalam perkara ini Terdakwa pada saat
menjabat sebagai Pemegang Kas Sekretariat DPRD Kab. Blora Tahun anggaran
2006 didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh Terdakwa pada intinya menggunakan dana yang berasal
dari Pos Belanja Tidak Langsung sebesar +/- Rp 77 Juta tanpa bisa
mempertanggungjawabkannya, dari total anggaran sebesar +/- Rp 9 milyar.
Atas perbuatan tersebut Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan
berlapis (primair-subsidair) dimana dalam dakwaan primair PU mendakwa
dengan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, Subsidair dengan Pasal 3 UU Tipikor,
Lebih Subsidair dengan Pasal 8 UU Tipikor.
Dalam Tuntutannya Penuntut Umum
berkesimpulan bahwa dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Subsidari,
yaitu yang diancam dengan Pasal 3 UU Tipikor. Tuntutan hukuman yang
dituntut yaitu penjara selama 2 tahun 6 bulan, denda Rp 50 juta, dan
pembayaran uang pengganti sebesar +/- 77 juta dengan penjara pengganti
selama 1 tahun.
Di tingkat
pertama, Pengadilan Negeri Kab. Blora menyatakan Terdakwa terbukti atas
dakwaan Subsidair (sesuai kesimpulan Penuntut Umum) dan menghukum
Terdakwa sesuai dengan ancaman minimal yang diatur dalam Pasal 3 UU
Tipikor, yaitu 1 tahun dan denda Rp 50 juta, tanpa pidana tambahan
pembayaran uang pengganti. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Semarang, dimana Pengadilan Tinggi Semarang
menghapuskan pidana denda yang dijatuhkan PN Kab. Blora sehingga hukuman
yang diberikan hanya pidana penjara selama 1 tahun.
Atas putusan PT Semarang tersebut
Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Alasan permohonan kasasi yang
diajukan Penuntut Umum pada dasarnya hanya seputar besarnya hukuman yang
menurut Penuntut Umum terlalu rendah, hanya penjara 1 tahun tanpa denda
dan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Permohonan kasasi
tersebut kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung, dimana MA kemudian
menambahkan hukuman yang dijatuhkan dengan pidana denda Rp 50 juta dan
pembayaran uang pengganti +/- Rp 77 juta.
Baik alasan kasasi Penuntut Umum maupun
pertimbangan hukum Mahkamah Agung agak cukup unik, karena tidak ada sama
sekali hal ikhwal hukum yang dipermasalahkan, hanya menyangkut masalah
berat-ringannya hukuman. Bagaimana Penuntut Umum menguraikan alasan
kasasinya juga tergolong unik, karena terkesan sedikit memelas kepada
Mahkamah Agung –hal yang biasanya justru digunakan oleh Terdakwa-
seperti terlihat kutipan dibawah ini:
Dalam hal ini kami
Jaksa Penuntut Umum berharap dan sekaligus memohon, serta mendambakan
putusan dari Ketua Mahkamah Agung Rl dalam perkara ini berdasarkan hati
nurani yang paling dalam yang arif dan bijaksana mengingat masyarakat
kecil di pedesaan khususnya di daerah kami Blora, yang sekaligus kami
adalah putri daerah Blora masih banyak yang berkekurangan kehidupan
ekonominya. Bahkan pencurian Jagung karena kelaparan untuk makan saja,
putusan Pengadilan bisa 1 (satu) tahun lebih, sedangkan Terdakwa
terbukti Korupsi hanya di putus 1 (satu) tahun tanpa denda dan Uang
pengganti. Bila kami hayati rasanya tidaklah berlebihan jika Jaksa
Penuntut Umum menuntut Terdakwa di samping pidana kurungan selama 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan juga membayar denda Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan dengan perintah
Terdakwa tetap ditahan dan membayar Uang pengganti sebesar Rp
76.833.587,- (tujuh puluh enam juta delapan ratus tiga puluh tiga ribu
lima ratus delapan puluh tujuh rupiah) dan jika tidak membayar Uang
pengganti tersebut paling lambat, 1 (satu) tahun sesudah putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan Hukum tetap, maka harta bendanya dapat
disita jaksa dan dilelang untuk mencukupi Uang pengganti tersebut, dan
apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi Uang
pengganti tersebut maka dipidana penjara selama 1 (satu) tahun. (hal.
27-28).
Sementara itu
pertimbangan MA juga terkesan tanpa dasar, hanya berdasarkan ‘hati
nurani’ belaka tanpa argumentasi hukum sama sekali, dan tidak dapat
menjelaskan dimana letak kesalahan putusan Judex Facti, namun menyatakan
judex facti salah dalam menerapkan hukum, seperti terlihat di bawah
ini:
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
mengenai alasan-alasan ke I & II:
mengenai alasan-alasan ke I & II:
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti salah menerapkan hukum;
Berdasarkan fakta-fakta
di persidangan, perbuatan Terdakwa telah terbukti sebagai tindak pidana
korupsi seperti diuraikan dalam dakwaan subsidair, dan pula telah
terbukti uang sebesar Rp 76.833.587,- (tujuh puluh enam juta delapan
ratus tiga puluh tiga ribu lima ratus delapan puluh tujuh rupiah)
dipergunakan oleh Terdakwa, karena itu perbuatan Terdakwa memenuhi Pasal
3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001;
Menimbang bahwa
berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis berkeyakinan bahwa Terdakwa
terbukti bersalah, sehingga patut untuk dijatuhi hukuman;
Pertimbangan di atas cukup janggal,
mengingat judex facti, baik pengadilan tingkat pertama maupun banding
sebenarnya juga telah menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti.
Yang membedakan putusan MA ini dengan PN Kab. Blora hanyalah masalah
penjatuhan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, yang mana dalam
Pasal 18 UU Tipikor (dan juga karena sifatnya yang merupakan pidana
tambahan) penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti
sebenarnya tidak bersifat mutlak. Sementara itu perbedaan putusan MA
dengan Pengadilan banding selain masalah uang pengganti juga pada
masalah tidak dijatuhkannya pidana denda. Untuk pidana denda ini
sebenarnya Pengadilan Tinggi Semarang tidak dapat dikatakan salah dalam
menerapkan hukum, mengingat rumusan sanksi yang diatur dalam Pasal 3 UU
Tipikor memang tidak bersifat kumulatif mutlak antara pidana penjara
dengan denda, namun dirumuskan dalam bentuk alternatif-kumulatif
(penjara dan/atau denda). Dalam rumusan alternatif-kumulatif seperti ini
maka pengadilan dapat memilih menjatuhkan kedua jenis hukuman atau
memilih salah satu diantaranya (lihat resume putusan ini).
Terlepas dari masalah di atas, apakah
berat ringannya hukuman semata merupakan wilayah kasasi atau tidak,
putusan ini kembali menunjukkan problematika dalam UU Tipikor (31/1999
dan 20/2001) itu sendiri, khususnya antara Pasal 3 dan Pasal 8.
Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan menggunakan uang Kas yang
kemudian tidak dapat dipertanggungjawabkannya tersebut pada dasarnya
merupakan perbuatan penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (jika
perbuatan tersebut dilakukan oleh pegawai negeri). Dalam dakwaannya
Penuntut Umum sendiri telah memasukkan pasal ini sebagai salah satu
pasal yang didakwakan, yaitu dalam dakwaan Lebih Subsidair. Tapi baik
Penuntut Umum maupun Pengadilan (termasuk Mahkamah Agung) sama-sama
sepakat bahwa Pasal yang dilanggar adalah Pasal 3 (dakwaan Subsidair)
bukan Pasal 8 (Lebih Subsidair). Mengapa? Sebagaimana halnya dalam
tulisan sebelumnya, cukup kuat dugaan saya tidak digunakannya Pasal 8
dalam perkara ini semata-mata karena besaran ancaman minimal yang diatur
dalam pasal 8 tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa, khususnya
kerugian yang ditimbulkan, yaitu +/- Rp 78 juta.
Sebagai informasi, ancaman hukuman untuk
pasal 3 ini adalah seumur hidup atau pidana penjara setinggi-tingginya
20 tahun dan minimal 1 tahun DAN/ATAU denda minimal Rp 50 juta dan
maksimal Rp 1 milyar. Sementara untuk ancaman hukuman untuk pasal 8
yaitu pidana penjara maks 15 tahun dan minimal 3 tahun DAN denda maks Rp
750 juta dan minimal 150 juta. Dengan melihat besaran ancaman minimal
ini, seandainya Penuntut Umum berpandangan bahwa hukuman baik di tingkat
pertama maupun banding yang dijatuhkan terlalu ringan sebagaimana di
dalilkan dalam alasan kasasinya, seharusnya Penuntut Umum menggunakan
dalil bahwa yang lebih tepat terbukti adalah Dakwaan Lebih Subsidair.
Tapi bisa dipahami mengapa hal tersebut tidak dilakukan, oleh karena
dalam kesimpulannya sendiri Penuntut Umum memang telah menyatakan bahwa
Terdakwa terbukti Atas Dakwaan Subsidair. Mengapa dakwaan subsidair yang
menurut PU terbukti? Ya tentu karena urutan dakwaannya demikian, PU
menempatkan pasal 3 dalam Dakwaan Subsidair, sementara Pasal 8 dalam
Dakwaan Lebih Subsidair. Mengapa PU menempatkan pasal 3 dalam urutan
dakwaan yang lebih tinggi dari pasal 8? Ya kembali lagi karena
permasalahan ketidakjelasan ancaman hukuman maksimal dan minimal antara
pasal 3 dan pasal 8.
Catatan Tambahan:
Majelis Hakim Agung dalam Putusan di atas:
1. Muhammad Taufik (Ketua)
2. M. Zaharuddin Utama
3. Syamsul Ma’arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar