Kamis, 16 Agustus 2012

Problematika Pasal 3 dan Pasal 8 UU Tipikor

UU Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebenarnya mengandung beberapa permasalahan. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti mengenai permasalahan tumpang tindih pengaturan delik/tindak pidana yang diatur di dalamnya. Sebenarnya ada cukup banyak ketentuan pidana yang tumpang tindih dalam UU ini, namun kali ini saya hanya akan menyoroti tumpang tindihnya pengaturan dalam Pasal 3 dan Pasal 8, karena kebetulan baru menemukan suatu putusan yang terkait masalah ini, yaitu Putusan No. 293 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making.
Sebelum masuk bagaimana perkara di atas tentunya sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang diatur dalampasal 3 dan pasal 8 UU Tipikor.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Kedua pasal ini sebenarnya memiliki irisan, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan suatu perbuatan dapat memenuhi kedua ketentuan tersebut, yang dalam istilah kerennya disebut concursus idealis. Mengenai concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang berbunyi:
  1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
  2. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Bagaimana ceritanya antara pasal 3 dan pasal 8 di atas bisa terjadi irisan? Kalau kita baca pasal 8 maka inti perbuatan yang dilarang adalah menggelapkan uang atau surat berharga. Larangan ini berlaku bagi pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum. Apa itu pegawai negeri? Mengenai hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
Pegawai Negeri adalah meliputi: a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalm Undang-undang tentang kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Penggelapan itu sendiri artinya adalah dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Pengertian ini terdapat dalam Pasal 372 KUHP.
Nah, kalau dikaitkan dengan pasal 3, penggelapan itu sendiri pada dasarnya adalah salah satu bentuk dari perbuatan menyalahgunakan wewenang. Secara sekilas memang terkesan bahwa berarti semua perbuatan yang diatur dalam pasal 8 tercakup juga dalam pasal 3. Ya, sekilas, tapi kalau dibaca secara teliti sebenarnya tidak.  Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, obyek yang digelapkan yang diatur dalam pasal 8 spesifik hanya uang dan surat berharga, sementara barang tidak. Jadi misalnya seorang pegawai negeri menjual mobil dinas yang digunakannya tidak bisa dikenakan pasal 8.
Kedua, dalam pasal 3 terdapat unsur ‘yang dapat merugikan keuangan negara’, sementara dalam pasal 8 unsur kerugian negara tidak ada. Pasal 8 tersebut tidak peduli apakah uang atau surat berharga yang digelapkan oleh pelaku adalah uang atau surat berharga milik negara atau tidak, yang penting uang atau surat berharga tersebut ada dalam penguasaan si pelaku karena jabatannya. Contoh untuk perbuatan seperti ini misalnya seorang Teller bank pemerintah pada saat menerima setoran tabungan dari nasabah tidak memasukkan uang tersebut ke pencatatan bank, namun ia kantongi sendiri. Uang tersebut tentunya bukan uang milik negara, karena jelas uang tersebut adalah milik si nasabah. Dalam hal demikian maka si Teller bank tersebut telah memenuhi unsur-unsur pasal 8, namun tidak untuk pasal 3. Ya kalau ditarik-tarik sih bisa saja, karena pada akhirnya negara bisa dimintakan pertanggungjawaban untuk memberikan ganti kerugian kepada si korban/nasabah, karena perbuatan si Teller tersebut dilakukan karena ada kaitannya dengan jabatannya, dan ketika negara harus mengganti kerugian si korban tersebut tentunya negara menjadi dirugikan juga. Ya, betul, tapi agak terlalu jauh sih. Tapi seperti ini kira-kira perbedaan pasal 8 dan pasal 3.
Ok, sekarang saya ingin memberikan 2 ilustrasi kasus yang serupa untuk menggambarkan permasalahan antara pasal 3 dan pasal 8 ini. Contoh pertama, seorang bendahara suatu instansi pemerintah menggelapkan uang kas instansi tersebut sebanyak 100 juta rupiah. Contoh kedua, seorang pegawai negeri yang mendapatkan jatah mobil dinas senilai 200 juta menggelapkan mobil dinas tersebut dengan cara menjual mobil tersebut seharga 150 juta kepada pihak lain. Dari kedua contoh kasus tersebut ketentuan mana yang akan digunakan?
Dari contoh pertama, walaupun perbuatan tersebut bisa juga dikenakan pasal 3 namun mengingat ketentuan dalam pasal 63 ayat 2 KUHP (asas lex specialis derogat lex generali) maka tentunya perbuatan si pelaku lebih tepat dipidana dengan pasal 8. Sementara untuk contoh kedua, karena obyek yang digelapkan bukanlah uang atau surat berharga namun barang (mobil) maka si pelaku tidak dapat dijerat dengan pasal 8 walaupun bentuk perbuatannya sama-sama penggelapan, melainkan pasal 3.
Yang menjadi permasalahan adalah jika dilihat dari nilai perkara sebenarnya kasus kedua tentunya lebih besar daripada kasus pertama, yaitu kalau antara 150-200 juta. Sementara nilai perkara dalam perkara pertama adalah 100 juta. Namun jika melihat ancaman hukuman yang bisa dijatuhkan bagi pelaku dalam contoh pertama maksimum penjara selama 15 tahun, minimum 3 tahun, DAN denda Rp. 150 juta s/d 750 juta, sementara untuk terhadap pelaku dalam contoh perkara kedua ancaman hukumannya yaitu maksimum seumur hidup, minimum 1 tahun, DAN/ATAU Rp. 50 juta s/d 1 milyar.
Apa yang aneh? Perhatikan ancaman maksimum dan minimumnya, serta imperatif (wajib) atau tidaknya denda dijatuhkan.
Apa artinya? Artinya terhadap pelaku dalam contoh kedua yang nilai korupsinya lebih besar dari pada pelaku dalam contoh pertama bisa dijatuhkan hukuman lebih ringan daripada pelaku dalam contoh pertama. Adil kah?
Ok, itu tentunya hanya kasus fiktif. Nah ini ada kasus kongkrit terkait masalah pasal 3 dan pasal 8 ini. Yaitu kasus yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Secara ringkas dalam perkara ini terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making yang merupakan pegawai bagian pemasaran pada suatu perusahaan daerah di Kabupaten Lembata Kupang, didakwa dalam dakwaan alternatif antara pasal 3 dan pasal 8.  Adapun perbuatan yang didakwakan kepadanya yaitu dalam beberapa kali melakukan penjualan namun uang hasil penjualan tersebut tidak disetorkan kepada perusahaan daerah dimana ia bekerja namun ia gunakan untuk kepentingannya sendiri. Selain itu terdakwa juga beberapa kali menggelapkan uang sisa pembelian barang. Total uang hasil penjualan yang ia nikmati sebesar +/- 80 juta rupiah.
Dalam perkara ini, Penuntut Umum dalam surat tuntutannya menuntut pengadilan agar menyatakan terdakwa terbukti atas dakwaan alternatif kedua, yaitu yang diancam dengan pasal 8 (penggelapan), serta menuntut terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun (sesuai ancaman minimum) serta denda sebesar Rp. 150 juta dan pembayaran uang pengganti sebesar +/- 80 juta rupiah. Namun pengadilan tidak sependapat dengan Penuntut Umum, pengadilan memutus terdakwa terbukti atas dakwaan alternatif pertama (pasal 3) dan menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 2 tahun, denda sebesar Rp. 50 juta, dan uang pengganti sebesar +/- 77 juta. Diperkuat hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Dari putusan tersebut tentunya menjadi janggal, mengapa pengadilan memilih dakwaan alternatif pertama (pasal 3) bukan dakwaan alternatif kedua (penggelapan), padahal seharusnya dalam perkara ini yang lebih tepat untuk dikenakan adalah dakwaan alternatif kedua. Apa sebab? Pertama pasal 3 mensyaratkan adanya unsur ‘yang dapat merugikan keuangan negara’. Dalam perkara ini tentunya sedikit lebih rumit untuk mengkaitkan kasus ini dengan kerugian negara, mengingat institusi tempat terdakwa bekerja adalah Perusahaan Daerah (BUMD), dimana masih terjadi perdebatan apakah kerugian yang dialami oleh BUMN/BUMD masuk dalam kategori kerugian keuangan negara. Dan hal ini pula yang menjadi salah satu materi memori kasasi terdakwa. Kedua, dari bentuk perbuatan yang didakwakan jelas bentuk perbuatan yang terjadi adalah penggelapan, sehingga lebih tepat yang diterapkan adalah dakwaan kedua.
Namun, mengapa pengadilan bahkan sampai tingkat Mahkamah Agung akhirnya diputus yang diterapkan adalah dakwaan pertama? Saya menduga hal ini tidak terlepas dari problematika pasal 3 dan pasal 8 ini. Jika pengadilan memilih dakwaan alternatif kedua maka hukuman yang harus dijatuhkan minimal 3 tahun penjara dan denda minimal Rp 150 juta rupiah, padahal nilai korupsi yang terjadi (hanyalah) +/- 80 juta. Sementara di sisi lain banyak perkara korupsi lainnya yang nilainya jauh lebih besar yang dilakukan tidak dalam bentuk penggelapan namun masuk dalam kategori pasal 3 dihukum dengan hukuman dibawah 3 tahun. Jadi dalam perkara ini sepertinya pengadilan mengahadapi dilema yang disebabkan oleh problem pasal 3 dan pasal 8 ini. Karena dilema tersebut akhirnya pengadilan memilih untuk menerapkan dakwaan altenatif kedua yang ancaman minimumnya lebih rendah dari dakwaan alternatif pertama, walaupun secara formil seharusnya tidak tepat.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pid.Sus/2009 (Kristiani Mei Puji Astutik)
Dalam perkara ini Terdakwa pada saat menjabat sebagai Pemegang Kas Sekretariat DPRD Kab. Blora Tahun anggaran 2006 didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada intinya menggunakan dana yang berasal dari Pos Belanja Tidak Langsung sebesar +/- Rp 77 Juta tanpa bisa mempertanggungjawabkannya, dari total anggaran sebesar +/- Rp 9 milyar. Atas perbuatan tersebut Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan berlapis (primair-subsidair) dimana dalam dakwaan primair PU mendakwa dengan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, Subsidair dengan Pasal 3 UU Tipikor, Lebih Subsidair dengan Pasal 8 UU Tipikor.
Dalam Tuntutannya Penuntut Umum berkesimpulan bahwa dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Subsidari, yaitu yang diancam dengan Pasal 3 UU Tipikor. Tuntutan hukuman yang dituntut yaitu penjara selama 2 tahun 6 bulan, denda Rp 50 juta, dan pembayaran uang pengganti sebesar +/- 77 juta dengan penjara pengganti selama 1 tahun.
Di tingkat pertama, Pengadilan Negeri Kab. Blora menyatakan Terdakwa terbukti atas dakwaan Subsidair (sesuai kesimpulan Penuntut Umum) dan menghukum Terdakwa sesuai dengan ancaman minimal yang diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor, yaitu 1 tahun dan denda Rp 50 juta, tanpa pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang, dimana Pengadilan Tinggi Semarang menghapuskan pidana denda yang dijatuhkan PN Kab. Blora sehingga hukuman yang diberikan hanya pidana penjara selama 1 tahun.
Atas putusan PT Semarang tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Alasan permohonan kasasi yang diajukan Penuntut Umum pada dasarnya hanya seputar besarnya hukuman yang menurut Penuntut Umum terlalu rendah, hanya penjara 1 tahun tanpa denda dan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Permohonan kasasi tersebut kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung, dimana MA kemudian menambahkan hukuman yang dijatuhkan dengan pidana denda Rp 50 juta dan pembayaran uang pengganti +/- Rp 77 juta.
Baik alasan kasasi Penuntut Umum maupun pertimbangan hukum Mahkamah Agung agak cukup unik, karena tidak ada sama sekali hal ikhwal hukum yang dipermasalahkan, hanya menyangkut masalah berat-ringannya hukuman. Bagaimana Penuntut Umum menguraikan alasan kasasinya juga tergolong unik, karena terkesan sedikit memelas kepada Mahkamah Agung –hal yang biasanya justru digunakan oleh Terdakwa- seperti terlihat kutipan dibawah ini:
Dalam hal ini kami Jaksa Penuntut Umum berharap dan sekaligus memohon, serta mendambakan putusan dari Ketua Mahkamah Agung Rl dalam perkara ini berdasarkan hati nurani yang paling dalam yang arif dan bijaksana mengingat masyarakat kecil di pedesaan khususnya di daerah kami Blora, yang sekaligus kami adalah putri daerah Blora masih banyak yang berkekurangan kehidupan ekonominya. Bahkan pencurian Jagung karena kelaparan untuk makan saja, putusan Pengadilan bisa 1 (satu) tahun lebih, sedangkan Terdakwa terbukti Korupsi hanya di putus 1 (satu) tahun tanpa denda dan Uang pengganti. Bila kami hayati rasanya tidaklah berlebihan jika Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa di samping pidana kurungan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan juga membayar denda Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan membayar Uang pengganti sebesar Rp 76.833.587,- (tujuh puluh enam juta delapan ratus tiga puluh tiga ribu lima ratus delapan puluh tujuh rupiah) dan jika tidak membayar Uang pengganti tersebut paling lambat, 1 (satu) tahun sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan Hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita jaksa dan dilelang untuk mencukupi Uang pengganti tersebut, dan apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi Uang pengganti tersebut maka dipidana penjara selama 1 (satu) tahun. (hal. 27-28).
Sementara itu pertimbangan MA juga terkesan tanpa dasar, hanya berdasarkan ‘hati nurani’ belaka tanpa argumentasi hukum sama sekali, dan tidak dapat menjelaskan dimana letak kesalahan putusan Judex Facti, namun menyatakan judex facti salah dalam menerapkan hukum, seperti terlihat di bawah ini:
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
mengenai alasan-alasan ke I & II:
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti salah menerapkan hukum;
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, perbuatan Terdakwa telah terbukti sebagai tindak pidana korupsi seperti diuraikan dalam dakwaan subsidair, dan pula telah terbukti uang sebesar Rp 76.833.587,- (tujuh puluh enam juta delapan ratus tiga puluh tiga ribu lima ratus delapan puluh tujuh rupiah) dipergunakan oleh Terdakwa, karena itu perbuatan Terdakwa memenuhi Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis berkeyakinan bahwa Terdakwa terbukti bersalah, sehingga patut untuk dijatuhi hukuman;
Pertimbangan di atas cukup janggal, mengingat judex facti, baik pengadilan tingkat pertama maupun banding sebenarnya juga telah menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti. Yang membedakan putusan MA ini dengan PN Kab. Blora hanyalah masalah penjatuhan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, yang mana dalam Pasal 18 UU Tipikor (dan juga karena sifatnya yang merupakan pidana tambahan) penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebenarnya tidak bersifat mutlak. Sementara itu perbedaan putusan MA dengan Pengadilan banding selain masalah uang pengganti juga pada masalah tidak dijatuhkannya pidana denda. Untuk pidana denda ini sebenarnya Pengadilan Tinggi Semarang tidak dapat dikatakan salah dalam menerapkan hukum, mengingat rumusan sanksi yang diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor memang tidak bersifat kumulatif mutlak antara pidana penjara dengan denda, namun dirumuskan dalam bentuk alternatif-kumulatif (penjara dan/atau denda). Dalam rumusan alternatif-kumulatif seperti ini maka pengadilan dapat memilih menjatuhkan kedua jenis hukuman atau memilih salah satu diantaranya (lihat resume putusan ini).
Terlepas dari masalah di atas, apakah berat ringannya hukuman semata merupakan wilayah kasasi atau tidak, putusan ini kembali menunjukkan problematika dalam UU Tipikor (31/1999 dan 20/2001) itu sendiri, khususnya antara Pasal 3 dan Pasal 8. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan menggunakan uang Kas yang kemudian tidak dapat dipertanggungjawabkannya tersebut pada dasarnya merupakan perbuatan penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pegawai negeri). Dalam dakwaannya Penuntut Umum sendiri telah memasukkan pasal ini sebagai salah satu pasal yang didakwakan, yaitu dalam dakwaan Lebih Subsidair. Tapi baik Penuntut Umum maupun Pengadilan (termasuk Mahkamah Agung) sama-sama sepakat bahwa Pasal yang dilanggar adalah Pasal 3 (dakwaan Subsidair) bukan Pasal 8 (Lebih Subsidair). Mengapa? Sebagaimana halnya dalam tulisan sebelumnya, cukup kuat dugaan saya tidak digunakannya Pasal 8 dalam perkara ini semata-mata karena besaran ancaman minimal yang diatur dalam pasal 8 tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa, khususnya kerugian yang ditimbulkan, yaitu +/- Rp 78 juta.
Sebagai informasi, ancaman hukuman untuk pasal 3 ini adalah seumur hidup atau pidana penjara setinggi-tingginya 20 tahun dan minimal 1 tahun DAN/ATAU denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 milyar. Sementara untuk ancaman hukuman untuk pasal 8 yaitu pidana penjara maks 15 tahun dan minimal 3 tahun DAN denda maks Rp 750 juta dan minimal 150 juta. Dengan melihat besaran ancaman minimal ini, seandainya Penuntut Umum berpandangan bahwa hukuman baik di tingkat pertama maupun banding yang dijatuhkan terlalu ringan sebagaimana di dalilkan dalam alasan kasasinya, seharusnya Penuntut Umum menggunakan dalil bahwa yang lebih tepat terbukti adalah Dakwaan Lebih Subsidair. Tapi bisa dipahami mengapa hal tersebut tidak dilakukan, oleh karena dalam kesimpulannya sendiri Penuntut Umum memang telah menyatakan bahwa Terdakwa terbukti Atas Dakwaan Subsidair. Mengapa dakwaan subsidair yang menurut PU terbukti? Ya tentu karena urutan dakwaannya demikian, PU menempatkan pasal 3 dalam Dakwaan Subsidair, sementara Pasal 8 dalam Dakwaan Lebih Subsidair. Mengapa PU menempatkan pasal 3 dalam urutan dakwaan yang lebih tinggi dari pasal 8? Ya kembali lagi karena permasalahan ketidakjelasan ancaman hukuman maksimal dan minimal antara pasal 3 dan pasal 8.
Catatan Tambahan:
Majelis Hakim Agung dalam Putusan di atas:
1. Muhammad Taufik (Ketua)
2. M. Zaharuddin Utama
3. Syamsul Ma’arif

Tidak ada komentar: