Unsur Memiliki atau Menguasasi Dalam Perkara Narkotika
Putusan MA No. 1386 K/Pid.Sus/2011 (Sidiq Yudhi Arianto)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tak
jarang terjadi penyalahgunaan wewenang dalam upaya pemberantasan
narkotika. Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut yaitu
dengan menjerat pengguna narkoba dengan ketentuan yang jauh lebih berat,
yaitu pasal 112 UU 35 Tahun 2009 (memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan narkotika golongan I secara melawan hukum) yang diancam
dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun, DAN
denda minimal Rp 800 juta, maksimal Rp 8 milyar. Padahal untuk pengguna
(penyalahguna) narkotika untuk penggunaan narkotika golongan I ancaman
maksimumnya hanya 4 tahun tanpa denda. Penyalahgunaan wewenang juga
umumnya terjadi sebaliknya, yaitu pengedar dikenakan pasal pengguna.
Dalam kasus ini tampaknya pengadilan mencium dugaan penyalahgunaan
kewenangan dalam bentuk yang pertama, yaitu seorang pengguna didakwa
dengan pasal 112.
Kasus ini berawal dari secara tiba-tiba
terdakwa ditangkap oleh beberapa orang polisi setelah sebelumnya
terdakwa membeli 0,2 gram shabu-shabu dari seorang bandar. Dalam dakwaan
tidak dijelaskan bagaimana pihak kepolisian tersebut bisa mengetahui
bahwa terdakwa sebelumnya telah membeli shabu-shabu tersebut, penuntut
umum hanya menjelaskan saat digeledah di saku kirinya ditemukan 1 paket
shabu-shabu seberat 0,2 gram.
Dalam dakwaannya Penuntut Umum mendakwa
terdakwa dengan dakwaan subsidiaritas dimana dalam dakwaan pertama
terdakwa didakwa dengan pasal 112 ayat 1, dan dakwaan subsidair dengan
pasal 127 (pengguna). Di tahap penuntutan Penuntut Umum menuntut
terdakwa terbukti atas dakwaan primair dan menuntut terdakwa dijatuhi
hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 800 juta.
Atas tuntutan tersebut pengadilan
menyatakan terdakwa terbukti melanggar UU Narkotika, namun dakwaan yang
menurut pengadilan terbukti bukanlah dakwaan primair akan tetapi dakwaan
subsidair. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dengan
memperberat hukuman dari sebelumnya 10 bulan penjara menjadi 1,5 tahun.
Atas putusan PT ini Penuntut Umum mengajukan permohonan Kasasi. Alasan
utama permohonan kasasi PU tersebut intinya yaitu judex facti salah
dalam menerapkan hukum dengan menjatuhkan putusan yang hanya menghukum
terdakwa dengan dakwaan subsidair oleh karena pada saat ditangkap tidak
ditemukan peralatan untuk menggunakan shabu-shabu serta terdakwa menolak
dilakukan test urine, sehingga menurut PU seharusnya terdakwa tidak
dihukum sebagai penyalahguna melainkan pasal 112.
Atas alasan kasasi tersebut Mahkamah
Agung menolaknya. Yang menarik dalam pendapatnya MA menyatakan bahwa
walaupun terdakwa unsur-unsur dalam pasal 112 juga terbukti, yaitu
memiliki dan atau menguasai narkotika namun MA menyatakan bahwa dalam
melihat unsur tersebut harus dipertimbangkan juga maksud dan tujuan atau
konteks penguasaan maupun kepemilikan narkotika tersebut, apakah
dimaksudkan untuk digunakan sendiri atau diperjualbelikan.
Selain itu MA juga dalam pertimbangannya
memberikan pertimbangan yang seakan mengkritik praktek yang selama ini
dilakukan oleh para penyidik dalam perkara narkotika, dimana MA
menyatakan bahwa sering kali terjadi ketidakjujuran penyidik dalam
kaitannya dengan test urine, dimana tidak dilakukannya test urine
terjadi karena untuk menghindari diterapkannya pasal 127 UU narkotika
terhadap pengguna.
Pertimbangan-pertimbangan ini menurut
saya penting untuk memberikan kejelasan kapan kepemilikan atau
penguasaan narkotika dapat dianggap memenuhi pasal 112 kapan dianggap
memenuhi pasal 127. Dengan demikian diharapkan penegakan hukum menjadi
lebih tepat sasaran, tidak asal untuk menjatuhi hukuman seberat-beratnya
belaka.
Berikut kutipan pertimbangan hukum Mahkamah Agung:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut
Umum bahwa sesuai fakta hukum di persidangan Terdakwa terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) UU
No. 35 Tahun 2009, bukan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a
sebagaimana dalam putusan a quo.
Bahwa Judex Facti /Pengadilan Tinggi
tidak salah menerapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009
dalam memeriksa dan memutus perkara a quo dengan alasan-alasan ;
- Jumlah jenis narkotika yang di temukan pada diri Terdakwa hanya seberat 0.2 gram yang dibeli Terdakwa dari seseorang bernama Ganjar Raharjo ;
- Terdakwa membeli narkotika bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbeikan melainkan untuk digunakan;
- Terdakwa yang bermaksud untuk menggunakan atau memakai narkotika tersebut, tentu saja menguasai atau memiliki narkotika tersebut, tetapi kepemilikan dan penguasaan narkotika tersebut semata-mata untuk digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus dipertimbangkan bahwa kepemilikan atau penguasaan atas suatu narkotika dan sejenisnya harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan bukan hanya tekstualnya dengan menghubungkan kalimat dalam Undang-Undang tersebut ;
- Dalam proses hukum penyidikan, polisi sering kali menghindari untuk dilakukan pemeriksaan urine Terdakwa, sebab ada ketidakjujuran dalam penegakan hukum untuk menghindari penerapan ketentuan tentang penyalahgunaan narkotika, meskipun sesungguhnya Terdakwa melanggar pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No.35 tahun 2009 ;
- Oleh karena itu, kepemilikan atau penguasaan narkotika seberat 0.2 untuk tujuan digunakan Terdakwa, tidaklah tepat terhadapnya diterapkan Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, akan tetapi ketentuan yang lebih tepat sebagaimana dalam putusan a quo.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
di atas, lagi pula ternyata putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Jaksa
Penuntut Umum tersebut harus ditolak ;
Majelis Hakim Agung:
- Imron Anwari (Ketua)
- Surya Jaya
- Hakim Nyak Pha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar