Kamis, 16 Agustus 2012

Unsur Memiliki atau Menguasasi Dalam Perkara Narkotika

, , ,

Putusan MA No. 1386 K/Pid.Sus/2011 (Sidiq Yudhi Arianto)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tak jarang terjadi penyalahgunaan wewenang dalam upaya pemberantasan narkotika. Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut yaitu dengan menjerat pengguna narkoba dengan ketentuan yang jauh lebih berat, yaitu pasal 112 UU 35 Tahun 2009 (memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I secara melawan hukum)  yang diancam dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun, DAN denda minimal Rp 800 juta, maksimal Rp 8 milyar. Padahal untuk pengguna (penyalahguna) narkotika untuk penggunaan narkotika golongan I ancaman maksimumnya hanya 4 tahun tanpa denda. Penyalahgunaan wewenang juga umumnya terjadi sebaliknya, yaitu pengedar dikenakan pasal pengguna. Dalam kasus ini tampaknya pengadilan mencium dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk yang pertama, yaitu seorang pengguna didakwa dengan pasal 112.
Kasus ini berawal dari secara tiba-tiba terdakwa ditangkap oleh beberapa orang polisi setelah sebelumnya terdakwa membeli 0,2 gram shabu-shabu dari seorang bandar. Dalam dakwaan tidak dijelaskan bagaimana pihak kepolisian tersebut bisa mengetahui bahwa terdakwa sebelumnya telah membeli shabu-shabu tersebut, penuntut umum hanya menjelaskan saat digeledah di saku kirinya ditemukan 1 paket shabu-shabu seberat 0,2 gram.
Dalam dakwaannya Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan subsidiaritas dimana dalam dakwaan pertama terdakwa didakwa dengan pasal 112 ayat 1, dan dakwaan subsidair dengan pasal 127 (pengguna). Di tahap penuntutan Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti atas dakwaan primair dan menuntut terdakwa dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 800 juta.
Atas tuntutan tersebut pengadilan menyatakan terdakwa terbukti melanggar UU Narkotika, namun dakwaan yang menurut pengadilan terbukti bukanlah dakwaan primair akan tetapi dakwaan subsidair. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dengan memperberat hukuman dari sebelumnya 10 bulan penjara menjadi 1,5 tahun. Atas putusan PT ini Penuntut Umum mengajukan permohonan Kasasi. Alasan utama permohonan kasasi PU tersebut intinya yaitu judex facti salah dalam menerapkan hukum dengan menjatuhkan putusan yang hanya menghukum terdakwa dengan dakwaan subsidair oleh karena pada saat ditangkap tidak ditemukan peralatan untuk menggunakan shabu-shabu serta terdakwa menolak dilakukan test urine, sehingga menurut PU seharusnya terdakwa tidak dihukum sebagai penyalahguna melainkan pasal 112.
Atas alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung menolaknya. Yang menarik dalam pendapatnya MA menyatakan bahwa walaupun terdakwa unsur-unsur dalam pasal 112 juga terbukti, yaitu memiliki dan  atau menguasai narkotika namun MA menyatakan bahwa dalam melihat unsur tersebut harus dipertimbangkan juga maksud dan tujuan atau konteks penguasaan maupun kepemilikan narkotika tersebut, apakah dimaksudkan untuk digunakan sendiri atau diperjualbelikan.
Selain itu MA juga dalam pertimbangannya memberikan pertimbangan yang seakan mengkritik praktek yang selama ini dilakukan oleh para penyidik dalam perkara narkotika, dimana MA menyatakan bahwa sering kali terjadi ketidakjujuran penyidik dalam kaitannya dengan test urine, dimana tidak dilakukannya test urine terjadi karena untuk menghindari diterapkannya pasal 127 UU narkotika terhadap pengguna.
Pertimbangan-pertimbangan ini menurut saya penting untuk memberikan kejelasan kapan kepemilikan atau penguasaan narkotika dapat dianggap memenuhi pasal 112 kapan dianggap memenuhi pasal 127. Dengan demikian diharapkan penegakan hukum menjadi lebih tepat sasaran, tidak asal untuk menjatuhi hukuman seberat-beratnya belaka.
Berikut kutipan pertimbangan hukum Mahkamah Agung:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum bahwa sesuai fakta hukum di persidangan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, bukan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a sebagaimana dalam putusan a quo.
Bahwa Judex Facti /Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 dalam memeriksa dan memutus perkara a quo dengan alasan-alasan ;
        1. Jumlah jenis narkotika yang di temukan pada diri Terdakwa hanya seberat 0.2 gram yang dibeli Terdakwa dari seseorang bernama Ganjar Raharjo ;
        2. Terdakwa membeli narkotika bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbeikan melainkan untuk digunakan;
        3. Terdakwa yang bermaksud untuk menggunakan atau memakai narkotika tersebut, tentu saja menguasai atau memiliki narkotika tersebut, tetapi kepemilikan dan penguasaan narkotika tersebut semata-mata untuk digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus dipertimbangkan bahwa kepemilikan atau penguasaan atas suatu narkotika dan sejenisnya harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan bukan hanya tekstualnya dengan menghubungkan kalimat dalam Undang-Undang tersebut ;
        4. Dalam proses hukum penyidikan, polisi sering kali menghindari untuk dilakukan pemeriksaan urine Terdakwa, sebab ada ketidakjujuran dalam penegakan hukum untuk menghindari penerapan ketentuan tentang penyalahgunaan narkotika, meskipun sesungguhnya Terdakwa melanggar pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No.35 tahun 2009 ;
        5. Oleh karena itu, kepemilikan atau penguasaan narkotika seberat 0.2 untuk tujuan digunakan Terdakwa, tidaklah tepat terhadapnya diterapkan Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, akan tetapi ketentuan yang lebih tepat sebagaimana dalam putusan a quo.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata  putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Jaksa Penuntut Umum tersebut harus ditolak ;
Majelis Hakim Agung:
  1. Imron Anwari (Ketua)
  2. Surya Jaya
  3. Hakim Nyak Pha

Tidak ada komentar: