Senin, 22 Agustus 2011

Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia

Oleh: Jecky Tengens, SH *)

Selasa, 19 July 2011
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.

Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana. Namun sayangnyasistem formil tersebut dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum.

Lihatlah bagaimana contoh kasus yang pernah ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta. Kasus dimaksud tentang dua orang pelajar SMP yang dituduh mencuri. Kedua belah pihak yakni dua pelajar dan korban pencurian sebenarnya telah berdamai, namun polisi berbalutkan atribut penegak hukum lebih memilih untuk meneruskan kasus tersebut hingga sampai ke pengadilan. Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan pelaku.

Contoh lainnya yang mungkin lebih dikenal oleh masyarakat luas ialah kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan dalam menjalani persidangan. Jangan juga kita lupakan kasus nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang kemudian harus berujung di meja hijau.

Kepentingan Korban serta Pelaku
Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum? Banyak jawaban yang terlontar, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya sebuah sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yang menghuni rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan.

Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity rutan dan lapas malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana. Lapasseolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolahlapas telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.

Bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam kasus yang pernah dialami oleh LBH Mawar saron Jakarta, sebagaimana yang diungkapkan di atas, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang terjadi hanyalah sebuah kesalahpahaman yang melibatkan para pelaku yang notabene masih berstatus pelajar SMP. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara pidana (criminal justice system), kilah penegak hukum pada umumnya.

Konsep seperti inilah yang tidak memberi perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat.  Suatu pengantar yang cukup dalam mempromosikan konsep Restorative Justice dalam proses Criminal Justice Sytem di Indonesia.

Pendekatan restorative justice
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Menurut beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.

Kisah dari Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, sebagaimanatertuang dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir” akan saya kutip untuk menambah ruang pertanyaan dalam benak anda mengenai konsep restorative justice ini;

“hampir 40 tahun lalu-ketika itu saya belum lama memperoleh gelar Sarjana Hukum- saya ditugasi mengajar pada kursus perwira di Pusat Pendidikan Infantri Bandung....ketika membahas mengenai sifat-sifat dan tata cara penegakan hukum pidana, seorang peserta menceritakan pengalaman dan sekaligus meminta pendapat saya.

Perwira Komandan Batalyon yang bersangkutan menceritakan pengalamannya menghadapi pertikaian fisik antara dua kelompok masyarakat tradisional di suatu tempat. Mula-mula, dalam rangka memulihkan ketertiban dan penegakan hukum, para perusuh ditangkap dan ditahan. Tetapi masalah menjadi lebih meluas dan rumit. Kedua pihak yang bertikai dengan ancaman kekerasan “mengepung” kantor tempat tahanan dan menuntut kawan-kawan mereka dibebaskan, di pihak lain pertikaian berjalan terus.

Untuk mengatasi persoalan, Batalyon mengambil kebijakan mengusahakan perdamaian antara kelompok yang bertikai. Dengan menyediakan berbagai makanan termasuk menyembelih hewan, kedua kelompok diundang. Kedua kelompok menerima undangan tersebut, melalui upacara tertentu kedua kelompok berdamain, yang ditahan dilepaskan, dan proses hukum dihentikan.

Setelah bercerita, Perwira Komandan Batalyon tersebut kemudian bertanya, apakah tindakan kami salah, tidak meneruskan proses hukum tersebut, sedangkan yang terjadi adalah suatu tindak pidana?

Jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin beragam, ada yang sepakat bahwa hal itu bisa dibenarkan, ada juga yang tidak setuju jika proses hukum dihentikan. Namun Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL sendiri menjawab bahwa, salah satu tujuan hukum pidana ialah tegaknya ketertiban dan perdamaian, kalau dengan cara-cara yang ditempuh telah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan pemidanaan telah tercapai sehingga tidak lagi diperlukan proses pemidanaan.

Sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya sebuah “karya agung” bangsa Indonesia yang dipakai sebagai dasar formil dalam setiap penanganan perkara pidana lebih mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, pendekatan humanis yang lebih adil harus didorong dan diutamakan ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yang tidak menciptakan keadilan di dalam masyarakat. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses pemidanaan pun adalah keadilan, sehingga sang pemutus nantinya bisa menciptakan putusan yang berdasarkan keadilan dan bukan berdasarkan hukum, sama seperti adagium populer yang dipakai sebagai pembuka dari tulisan ini “Fiat Justisia Ruat Coelum”, walau langit runtuh KEADILAN harus ditegakkan.

Kamis, 07 Juli 2011

Mencermati Vonis Percobaan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi (tipikor) tak pernah usang menjadi isu yang selalu disorot masyarakat. Belum tuntas persoalan eksistensi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, muncul wacana yang digulirkan Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya yang menjatuhkan vonis percobaan pada kasus tipikor (SINDO, (25/5 ’09).

Hal ini memicu kontroversi. Reaksi keras datang dari masyarakat. Sejumlah elemen masyarakat menilai vonis percobaan tidak memberi efek jera (detterent effect) bagi koruptor dan telah mencederai rasa keadilan. Sebagian bahkan menilai vonis tersebut tidak memiliki dasar hukum dalam UU Tipikor karena sama sekali tidak diatur.

*** Dasar hukum penjatuhan hukuman percobaan diatur dalam Pasal 14 a – 14 f KUHP. Pasal 14 a ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa “Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perjanjian itu.”

Berdasarkan Pasal 14 a ayat (1) KUHP, apabila suatu tindak pidana dijatuhi pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka hakim dapat memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani.

Patokan penerapan Pasal 14 a ayat (1) KUHP adalah berdasarkan pidana penjara yang dijatuhkan dan bukan berdasarkan ancaman pidana penjara yang diancamkan. Dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan Emerson Yuntho (SINDO, 1/5 ‘09) yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai vonis percobaan hanya dapat diterapkan terhadap terdakwa yang diancam pidana paling lama 1 tahun penjara.

UU Tipikor memang tidak secara eksplisit mengatur kemungkinan dijatuhkannya hukuman percobaan namun ia membuka ruang dan kesempatan untuk menerapkan vonis yang semacam ini. Ancaman minimum pidana penjara 1 (satu) tahun seperti terdapat pada Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 9 UU Tipikor memberi ruang dan kesempatan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman percobaan pada kasus-kasus tipikor yaitu apabila kasus yang dijerat dengan pasal-pasal tersebut kemudian dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari 1 (satu) tahun.

Penulis mengamini pendapat Wakil Ketua MA, Abdul Kadir Mappong yang mengatakan bahwa Pasal 14 ayat (1) KUHP (lebih tepatnya adalah Pasal 14 a – Pasal 14 f KUHP) bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menjatuhan hukuman percobaan (SINDO, 25/5 ’09). Namun demikian, penulis memberi catatan bahwa sesuai ketentuan Pasal 14 a ayat (1) KUHP, penjatuhan hukuman percobaan tersebut haruslah hanya terhadap kasus korupsi yang diputus dengan hukuman penjara tidak lebih dari 1 (satu) tahun atau yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a – Pasal 14 f KUHP.

Kontroversi seputar penerapan hukuman percobaan pada kasus tipikor menyiratkan adanya kegelisahan dan ketidakpuasan atas bentuk pidana ini. Di sisi lain, bentuk pidana ini memang dimungkinkan meskipun tidak diatur secara eksplisit oleh UU Tipikor. Hukum pidana mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Apabila masyarakat menghendaki ditiadakannya hukuman percobaan maka pintu yang memberi ruang dan kesempatan itu haruslah ditutup.

*** Ahli hukum pidana sepakat bahwa hukuman percobaan memiliki kedudukan yang penting sebagai alternatif pemidanaan non institusional khususnya untuk menggantikan bentuk pidana badan (penjara dan kurungan) yang telah menjadi bentuk paling umum dari suatu pemidanaan. Studi praktek pidana badan menunjukkan bentuk pidana ini tidak selalu efektif untuk mengurangi kejahatan (tindak pidana), bahkan ekses negatifnya telah banyak dibuktikan terjadi. Diantara ekses negatif pidana badan adalah munculnya cap jahat (stigma) sehingga mempersulit rehabilitasi dan/atau resosialisasi narapidana ke dalam masyarakat.

Hukuman percobaan dilatarbelakangi pemikiran yang ingin memberi kesempatan pada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki perilakunya secara non institusional di dalam masyarakat. Aspek rehabilitatif suatu pemidanaan menjadi titik berat penjatuhan bentuk pidana ini. Sejauh yang penulis tahu, preferensi hakim memilih bentuk hukuman percobaan adalah sangat rendah meskipun terhadap jenis tindak pidana ringan dan bahkan untuk jenis crime without victim sekalipun. Padahal jenis tindak pidana ringan merupakan jenis tindak pidana yang direkomendasikan untuk penerapan hukuman percobaan.

Tren tampaknya mulai berubah, kini justru hakimlah yang mempelopori penggunaan hukuman percobaan. Tidak tanggung-tanggung hukuman percobaan mulai dipopulerkan melalui penerapannya dalam tipikor yang dianggap sebagai extra ordinary crime.

Pasal 4 UU Tipikor menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Ketentuan Pasal 4 UU Tipikor menunjukkan adanya tuntutan yang begitu keras dari masyarakat agar tipikor tetap dituntut dan dipidana meskipun kerugian keuangan negara telah dikembalikan pelakunya. Suasana batin masyarakat yang kecewa atas kebobrokan negeri ini dimana salah satu penyebabnya adalah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah bersifat sistemik memunculkan tuntutan agar hukum (pidana) bersikap tegas dan keras terhadap koruptor. Dengan cara demikian diharapkan hukum bisa membantu mendorong perubahan perilaku bangsa ini melalui peranannya sebagai tools of social enginering.

Sementara itu menurut Muladi (Lembaga Pidana Bersyarat, 2004), pidana bersyarat (hukuman percobaan) harus mendapat prioritas utama di dalam penjatuhan pidana, kecuali apabila pengadilan berpendapat bahwa pertama, perampasan kemerdekaan diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap tindak pidana lebih lanjut yang mungkin dilakukan oleh si pelaku tindak pidana; kedua, pelaku tindak pidana membutuhkan pembinaan untuk perbaikan dan dengan pertimbangan efektifitas dalam hal ini diperlukan pembinaan di dalam lembaga; dan ketiga, penerapan pidana bersyarat akan mengurangi kesan beratnya tindak pidana.

Pendapat Muladi bisa dipahami mengingat pentingnya hukuman percobaan dan manfaat positif yang dikandungnya. Meskipun Muladi mendorong prioritas penggunaan hukuman percobaan namun masih juga ia memberi batasan dalam penerapannya. Poin ketiga dari rekomendasi Muladi di atas sangat tepat untuk menjelaskan mengapa muncul reaksi keras masyarakat terhadap penjatuhan hukuman percobaan pada beberapa kasus korupsi.

Penjatuhan hukuman percobaan pada kasus korupsi akan mengurangi kesan beratnya tipikor sehingga menyebabkan orang tidak lagi melihat ancaman pidana dalam UU Tipikor sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam hal ini pemidanaan tipikor telah kehilangan fungsi pencegahan umumnya. Pencegahan khusus berupa efek jera yang diharapkan muncul dari pemidanaan korupsi pun juga dikhawatirkan hilang bersamaan dengan penerapan hukuman percobaan yang berarti bahwa terpidana tidak perlu menjalani hukuman meskipun dinyatakan terbukti bersalah.

Selasa, 05 Juli 2011

YURISPRUDENSI PUTUSAN PROVISIONIL

  1. Tuntutan/putusan Provisionil tidak boleh mengenai pokok perkara dan jika begitu harus dinyatakan tidak diterima . 
  2. Putusan MA-RI No. 1738.K /Sip/1976 :
Putusan Provisi dalam perkara ini seharusnya hanya berupa larangan untuk meneruskan bangunandan penghukuman untuk membayar uang paksa (jadi tidak mengenai pokok perkara);
  1. Putusan MA-RI No. 140.K /Sip/1974, tanggal 18 November 1975 :
Karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam putusan pokok perkara ;
  1. Putusan MA-RI No.279.K /Sip/1976, tanggal 5 Juli 1977 :
Permohonan provinsi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang tidak mengenai pokok perkara, permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak ;
  1. Putusan MA-RI No. 1051.K /Sip/1974, tanggal 12 Februari 1976 :
Karena pelaksanaan putusan ini berwujud suatu pembongkaran, maka demi penghati-hati agar dikemudian hari tidak repot bila putusan ini diubah, maka khusus amar ke 7 dari putusan Pengadilan negeri yang berisi penetapan dapat di jalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan (vitvoerbaar bij voorraad) perlu di batalkan ;

YURISPRUDENSI Cara Mengajukan Gugatan dan Perubahan

1. Putusan MA-RI No. 434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 : Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada Hak Pembelaan para Tergugat;
2. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No. 823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :
Yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak pembelaan diri) atau pembuktian;
3. Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 :
Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;
4. Putusan MA-RI No.209.K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 : Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair : “untuk peradilan yang adil”;
5. Putusan MA-RI No.823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :
Karena perubahan tersebut tidaklah merugikan kepentingan Tergugat dalam pembelaan atau pembuktian, sehingga tidak bertentangan dengan Hukum Acara dan demi Peradilan yang cepat dan murah (tentang perubahan tanggal, bulan, tahun dalam gugatan);
6. Putusan MA-RI No.2.K/Sip/1959, tanggal 28 Januari 1959 : Karena Tergugat asli/ pembanding/Penggugat untuk kasasi terhadap perubahan isi gugatan berupa pencabutan kembali sebagian dari barang yang digugat, dapat dibenarkan karena dalam perkara ini pengurangan gugat itu dapat merugikan baginya mengenai hal warisan dan gono-gini;
7. Putusan MA-RI No.1425.K/Pdt/1985, tanggal 24 Juni 1991 : Perubahan surat/ gugatan perdata dapat diterima/dibenarkan bila perusahaan itu dilakukan sebelum Hakim membacakan surat Gugatan di dalam persidangan dan kepada Tergugat masih diperintahkan untuk menjawab surat gugatan tersebut;
8. Putusan MA-RI No. 457/Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 :
Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara); sehingga terjadi perubahan subyek hukum gugatan (Vide = Putusan MA-RI No. 305.K/Sip/1971, tanggal 16 Juni 1971);
9. Putusan MA-RI No.546.K/Sip/1970, tanggal 14 Oktober 1970 :
Perubahan gugatan itu tidak diterima apabila perubahan itu dilakukan pada taraf pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalil-dalil, tangkisan-tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis dikemukakan dan kedua pihak sebelumnya telah mohon putusan;
10. Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 30 September 1972 :
Keberataan kasasi bahwa Pengadilan Tinggi telah merumuskan Posita Penggugat tidak sesuai dengan dalil Penggugat, dapat dibenarkan, karena dalil Penggugat adalah “menempati” tanah sengketa dengan kekerasan, sedang oleh Pengadilan Tinggi dirubah menjadi “meminjam”;
11. Putusan MA-RI No.1720.K/Sip/1978 :
Tentang pencabutan Gugatan.
Karena Tergugat asal II telah menyetujui pencabutan gugatan dan tidak bersedia menghadap ke sidang, maka dapat dipandang bahwa Tergugat tersebut telah melepaskan kepentingan dalam perkara ini, sehingga pencoretan namanya sebagai Tergugat tidaklah bertentangan dengan hukum;
12. Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal 4 Oktober 1972 : Judex-facti tidak boleh merubah dalil gugatan (Posita) dari Penggugat (Pasal 189 ayat (3) Rbg./ Pasal 178 ayat (3) HIR;
13. Putusan MA-RI No. 843.K/Sip/1984, tanggal 19 September 1985;
Pengadilan Tinggi telah salah dalam menerapkan Hukum Acara sebab pihak Tergugat asal tidak ternyata telah didengar dan menyetujui akan usul perubahan gugatan yang diajukan oleh Penggugat/penggugat asal dalam persidangan pada tanggal 20 April 1981, maka usul perubahan tersebut harus dianggap tidak pernah ada;
Jumlah piutang yang dapat dikabulkan hanya apa yang disebut dalam Surat Gugat Penggugat asal yakni sebesar Rp. 32.346.555,-;
14. Putusan MA-RI No. 943.K/Pdt/1984, tanggal 19 September 1985 :
Perubahan Gugatan selama persidangan :
1. Sesuai Yurisprudensi perubahan gugatan/tuntutan selama persidangan memang diperbolehkan asalkan saja tidak menyimpang dari posita, dan tidak menghambat acara pemeriksaan di sidang, meskipun Tergugat tidak menyetujui perubahan tersebut. Perubahan gugatan diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama;
2. Pengadilan Tingkat Banding juga memeriksa fakta-fakta, oleh karena itu perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding asalh saja pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan membela diri;

Selasa, 05 April 2011

DALAM REKONPENSI (Gugat Balik atau Gugat Balasan)

Gugatan Rekonpensi, menurut Pasal 132 a HIR dapat diajukan dalam setiap perkara kecuali:
1.    Penggugat dalam gugatan asal menuntut mengenai sifat, sedangkan gugatan rekonpensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya.
2.    Pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa tuntutan balik itu berhubung dengan pokok perselisihan (kompetensi absolut).
3.    Dalam perkara tentang menjalankan putusan hakim. Gugatan Rekonpensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama (Pasal 132b HIR/Pasal 158 RBg.).
Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam rekonpensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak dapat diajukan gugatan rekonpensi.
Gugatan dalam konpensi dan rekonpensi diperiksa dan diputus dalam satu putusan kecuali apabila menurut pendapat hakim salah satu dari gugatan dapat diputus terlebih dahulu.
Gugatan rekonpensi hanya boleh diterima apabila berhubungan dengan gugatan konpensi.
Apabila gugatan konpensi dicabut, maka gugatan rekonpensi tidak dapat dilanjutkan.
Sumber: Mengadaptasi dari Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2008, hlm. 59. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

TINDAK PIDANA DALAM DELIK KHUSUS


MONEY LOUNDRY
BAGIAN I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset yang sah.  Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan melakukan pencucian uang.
Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, UndangUndang No. 15 Tahun 2002, pengertian bank dirumuskan secara luas dalam Pasal l butir 4, yaitu : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.
Ada pelbagai perumusan bertalian dengan makna pencucian uang atau “money laundering”. Pada dasarnya perumusan itu menyangkut suatu proses pencucian uang yang diperoleh dari kejahatan dan dicuci melalui suatu lembaga keuangan (bank) atau penyedia jasa keuangan, sehingga pada akhirnya uang yang haram itu mendapatkan suatu penampilan sebagai uang yang sah atau halal.
Dalam Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dirumuskan : Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang berjumlah Rp 500 juta atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan :
a. korupsi
b. penyuapan
c. penyeludupan barang
d. penyeludupan tenaga kerja
e. penyeludupan imigran
f. perbankan
g. narkotika
h. psikotropika
i. perdagangan budak,wanita dan anak
j. perdagangan senjata gelap
k. penculikan
l. terorisme
m. pencurian
n. penggelapan
o. penipuan
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
B. Teori-Teori
Tindak pidana pencucian uang dirumuskan dalam Pasal 3 UU TPPU, yaitu :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja :
  • menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
  • mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
  • membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
  • menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
  • menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
  • membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
  • menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau
  • menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ).
Sejumlah karakteristik yang umumnya melekat pada White Collar Crime menurut Hazel Croall (1992) sebagaimana dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo (2001) adalah sebagai berikut:
  • Tidak kasat mata (low visibility)
  • Sangat kompleks (complexity)
  • Ketidakjelasan pertanggung jawaban pidana (diffusion of responsibility)
  • Ketidak ielasan korban (diffusion of victims)
  • Aturan hukum yang samar atau tidak ielas (ambiguous criminal law)
  • Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution).
Untuk itu akan dijelaskan di bawah ini tiga tahap pencucian uang :
  • Pertama, apa yang dinamakan “placement”. Dengan “placement” dimaksudkan “the physical disposal of cash proceeds derived from illegal activity”. Dengan perkataan lain, fase pertama dari proses pencucian uang haram ini ialah memindahkan uang haram dari sumber di mana uang itu diperoleh untuk menghindarkan jejaknya. Atau secara lebih sederhana agar sumber uang tersebut tidak diketahui oleh pihak penegak hukum. Metode yang paling penting dari “placement” ini adalah apa yang disebut sebagai “smurfing”. Melalui “smurfing” ini, maka keharusan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikelabui atau dihindari.
  • Tahap yang kedua dinamakan “layering”. Dengan “layering” dimaksudkan “separating illicit proceeds from their source by creating complex layers of financial transactions designed to disguise the audit trail and provide anonymity”. Hubungan antara “placement” dengan “layering” adalah jelas. Setiap prosedur “placement” yang berarti mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu adalah juga salah satu bentuk “layering”. Strategi “layering” pada umumnya meliputi, antara lain, dengan mengubah uang tunai menjadi aset fisik, seperti kendaraan bermotor, barang-barang perhiasan dari emas atau batu-batu permata yang mahal, atau “real estate”, atau instrumen keuangan seperti “money orders, cashiers cheques or securities and multiple electronic transfers of funds to so called `bank secrecy havens’, such as Switzerland or the Caymen Islands”.
  • Yang ketiga adalah “integration”. Dengan “integration” dimaksudkan “the provision of apparent legitimacy to criminally derived wealth. If the layering process has succeeded, integration schemes place the laundered proceeds back into the economy in such a way that the re-enter the financial system appearing to be normal business funds”. Dengan perkataan lain, si penjahat harus mengintegrasikan dana dengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yang normal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyampaikan laporan palsu yang menyangkut pinjaman uang, juga melalui “invoices and income of shell corporations, or more simply through an electronic transfer of the funds from a bank secrecy haven back to the money’s country of origin”.
Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama narkotika.
Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani, jika ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensi transaksi.
Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai Money Laundering adalah :
  • United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Dec. 20, 1988);
  • Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No.8, 1990);
  • European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991);
BAGIAN II
PERMASALAHAN

DPR and lembaga eksekutif Pemerintah Indonesia saat ini sedang merevisi UU 15/2002 mengenai tindak pidana pencucian uang. Mereka melakukan ini sebagai respon terhadap tekanan dari Financial Action Task Force (FATF), sebuah lembaga antar negara yang memonitor implementasi undang-undang anti pencucian uang pada sektor keuangan secara global. Tahun lalu FATF mengumumkan bahwa mereka akan menerapkan sanksi kepada Indonesia jika UU 15/2002 tidak diperbaiki sehingga memenuhi standar internasional.
Dalam pembahasan revisi UU 15/2002 ini, salah satu dari sekian banyak isue yang seharusnya dipertimbangkan oleh Pemerintahan Megawati dan DPR adalah bagaimana menggunakan UU anti pencucian uang untuk mengendalikan aktivitas ilegal di sektor kehutanan. Pembalakan liar, yang merupakan kejahatan kehutanan yang paling menonjol, diperkirakan merugikan negara paling sedikit sebesar Rp 9 trilliun, atau US$ 1 miliar, per tahun (dan menurut beberapa perkiraaaan, kerugian dapat mencapai US$ 3,4 miliar). Kejahatan kehutanan ini sering dikaitkan dengan korupsi, penyuapan, penggelapan pajak, kejahatan perbankan, dan berbagai jenis kejahatan lainnya yang tidak unik hanya kepada sektor kehutanan. Kejahatan kehutanan juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk kehilangan ekosistem kehutanan dan berbagai jenis satwa langka.
Pemerintah Indonesia saat ini terlibat dalam berbagai inisiatif kerjasama bilateral dan multilateral untuk memerangi pembalakan liar dan jenis-jenis kejahatan kehutanan lainnya. Dengan memasukkan “kejahatan kehutanan” sebagai predicate offense didalam UU Perubahan terhadap UU 15/2002, pemerintah Indonesia dapat melakukan langkah yang sangat strategis – dan menjadi preseden secara global – untuk meningkatkan governance baik di sektor kehutanan maupun di sektor keuangan.
A. Apa itu Kejahatan Kehutanan?
Kejahatan kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Di Indonesia, UU 41/1999 tentang Kehutanan mendefinisikan paling sedikit 13 katagori aktivitas kejahatan yang terkait dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp.5-10 miliar. Beberapa dari aktivtias tersebut
diantaranya adalah:
v     Merusak infrastruktur yang digunakan untuk perlindungan hutan;
v     Terlibat didalam kegiatan yang mendukung degradasi hutan;
v     Menggunakan atau menempati sebagian dari Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri;
v     Menebang pohon dalam batas 500 meter dari tepi waduk atau danau;
v     Membakar hutan;
v     Memanen hasil hutan tanpa memiliki izin atau hak;
v     Menambang didalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
v     Mengangkut hasil hutan tanpa dokumen yang syah;
v     Membawa peralatan berat ke kawasan hutan tanpa memiliki izin.
Sampai sejauh ini bentuk kejahatan kehutanan yang paling menonjol adalah aktivitas yang dikenal sebagai ‘pembalakan liar.’ Di Indonesia, secara umum diperkirakan antara 60 sampai 80 persen dari 60 sampai dengan 70 juta m3 kayu yang dikonsumsi oleh industri kayu domestik setiap tahun diperoleh secara ilegal.
Di hampir semua propinsi yang kaya hutan, pembalakan liar melibatkan berbagai oknum termasuk:
pegawai yang korup; personel TNI dan polisi; broker kayu ilegal; pemegang hak konsensi hutan yang beroperasi diluar kontrak HPH mereka; penduduk lokal yang terlibat didalam penebagan informal; dan jasa pengangkutan, eksportir, dan pegawai Bea Cukai. Pada umumnya pembalakan liar dan berbagai kejahatan kehutanan terkait langsung dengan aktivitas
kriminal yang tidak unik hanya kepada sektor kehutanan. Korupsi, misalnya, adalah sebuah kegiatan
kriminal yang sangat menyebar luas dimana oknum pegawai pemerintah menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil hutan. Perusahaan kayu sering terlibat didalam penggelapan pajak atau tax evasion dengan melaporkan penebangan kayu yang lebih rendah dari seharusnya. Beberapa produser pulp dan kertas di Indonesia telah melakukan tindak pidana kejahatan perbankan dengan melakukan mark-up biaya investasi mereka. Penyelundupan juga sangat menonjol di sektor kehutanan yang terlihat dari besarnya volume kayu dan hasil hutan lainnya yang dikirimkan keluar Indonesia tanpa dilengkapi surat-surat yang syah.
B. Peran yang dimainkan bank
Sering sekali diasumsikan bahwa pembalakan liar di Indonesia dilakukan oleh aktor berskala kecil yang bekerja secara tunai (cash basis) dengan sedikit kebutuhan untuk memperoleh pembiayaan. Pada kenyataannya, bank dan lembaga keuangan lainnya memainkan peran penting dalam menyediakan dana untuk kegiatan kehutanan yang legal dan tidak legal. Bank, misalnya, secara rutin memberikan modal kerja untuk aktivitas pembalakan; pembiayaan pembangunan hutan tanaman; pinjaman jangka panjang untuk fasilitas pemrosesan kayu; penjaminan penerbitan obligasi dan surat berhaga komersial; pembelian hutang perusahaan; dan pembiayaan perdagangan, disamping tentunya menerima deposit dari perusahaan kehutanan.
Seperti diperlihatkan oleh angka-angka dibawah ini, jumlah uang yang keluar dan masuk sektor kehutanan di Indonesia sangatlah besar :
v     Industri kehutanan menghasilkan ekspor senilai lebih dari US$ 5 miliar per tahun;
v     Lebih dari US$ 15 miliar telah diinvestasikan di sektor pulp dan kertas sejak akhir tahun 1980-an;
v     Sebelum dilakukan penjualan, BPPN menguasai hutang perusahaan kehutanan senilai US$ 3 miliar dan US$ 8.5 miliar dalam bentuk aset kehutanan yang digadaikan;
v     Bank Mandiri saat ini menguasai hutang perusahaan kehutanan senilai US$ 1.3 miliar;
v     Menteri Kehutanan menderita kerugian sebesar US$ 1 miliar per tahun akibat terjadinya pembalakan liar.
Sebelum terjadinya krisis keuangan tahun 1997, hampir seluruh konglomerat kehutanan di Indonesia memiliki bank mereka sendiri. Dalam banyak hal, kondisi ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk memastikan tersedianya dana untuk membiayai kegiatan kehutanan yang ilegal dan merupakan kendaraan yang dapat digunakan untuk memanipulasi transaksi keuangan yang terkait dengan investasi di sektor kehutanan.
C. Pencucian Uang Terjadi di Sektor Kehutanan
Untuk lebih memahami bagaimana proses pencucian uang terjadi di sektor kehutanan di Indonesia, perhatikan contoh hipotesis berikut ini. Sebuah perusahaan plywood di Propinsi Riau membeli bahan baku kayu dari perusahaan kayu yang tidak memiliki izin pemanfaatan hasil hutan dan melakukan pembalakan liar di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Perusahaan plywood ini menjual panel kayu kepada pembelinya di China, Korea Selatan, dan Taiwan melalui perusahaan pemasaran Indonesia yang berlokasi di Hong Kong. Pegawai-pegawai perusahaan kayu dan perusahaan plywood serta perusahaan pemasaran di Hong Kong menyadari bahwa kayu yang digunakan untuk membuat panel kayu berasal dari pembalakan liar.
Untuk menyamarkan kenyataan bahwa keuntungan perusahaan berasal dari kegiatan ilegal, ketiga perusahaan ini menerapkan starategi yang berbeda. Perusahaan kayu menempatkan hasil tindak pidana kedalam sistem keuangan dengan mendepositokan kedalam sebuah rekening bank dengan nama fiktif.
Perusahaan pemasaran melakukan layering dengan mengalihkan penerimaan uangnya melalui sebuah bank di Cayman Island. Sedangkan perusahaan plywood mengintegrasikan keuntungannya kedalam aktivitas bisnis legal dengan melakukan investasi disebuah kawasan wisata di Bali.
Didalam ketiga kasus diatas, perusahaan yang terlibat telah mengambil langkah-langkah untuk membuat uang yang berasal dari kegiatan ilegal nampak seolah-olah berasal dari sumber yang syah. Jika ‘kejahatan kehutanan’ secara spesifik masuk kedalam daftar predicate offense pada UU tindak pidana pencucian uang Indonesia, masing-masing perusahaan dapat dituntut terlibat pencucian uang. Hal ini tidak hanya dapat diterapkan kepada perusahaan kayu dan plywood yang berada di Indonesia, akan tetapi juga kepada perusahaan pemasaran Indonesia yang berada di Hong Kong. Jika lembaga keuangan terbukti membantu proses penyamaran asal dana yang diperoleh secara ilegal ini, mereka juga dapat dituntut terlibat tindak pidana pencucian uang.
BAGIAN III
ANALISIS
A. Manfaat Mengkaitkan Hutan Dengan Pencucian Uang
Ada berbagai cara untuk mengkaitkan tindak pidana kehutanan dengan dengan tindak pidana pencucian uang. Memasukkan kejahatan kehutanan dan kejahatan lingkungan didalam UU perubahan atas UU 15/2002 tentunya adalah langkah yang paling efektif untuk mencapai hal tersebut. Manfaat mengkaitkan tindak pidana kehutanan dengan tindak pidana pencucian uang diantaranya adalah sebagai berikut:
1)    Bank akan meningkatkan praktek due diligence dalam memberikan pinjaman disektor kehutanan: peraturan ‘Know Your Customer’ meminta bank untuk menentukan apakah pelanggan terlibat didalam kegiatan ilegal atau tidak. Disektor kehutanan khususnya, bank memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan terhadap pelanggan yang diketahui menggunakan kayu dari pembalakan liar.
2)    Bank diminta untuk memonitor dan melaporkan transaksi yang mencurigakan: UU 15/2002 mendefinisikan transaksi mencurigakan sebagai: “transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan UU.” Kenyataan bahwa hampir 70 persen kayu di Indonesia diperoleh dari sumber yang ilegal memunculkan pertanyaan penting tentang apa yang tergolong ‘transaksi mencurigakan’ di sector kehutanan. Dalam konteks ini, secara konseptual bank dapat diwajibkan untuk memperlakukan setiap transaksi yang melibatkan aktivitas kehutanan sebagai salah satu bentuk ‘transaksi mencurigakan’ – paling tidak sampai perusahaan kehutanan memberikan bukti sebaliknya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah kepada peningkatan yang besar didalam tingkat transparansi dan akuntabilitas perusahaan di sektor kehutanan.
3) Pemerintah akan memiliki alat baru untuk menegakkan peraturan kehutanan dan keuangan: Memasukan kejahatan kehutanan didalam predicate offense akan memperluas pilihan penegakan hukum untuk memutuskan sumber pembiayaan bagi kegiatan pembalakan liar. Disamping menuntut aktor yang secara langsung terlibat didalam pembalakan liar, pemerintah dapat juga menuntut lembaga keuangan yang membiayai kegiatan pembalakan liar.
4) Ketentuan hukum baru akan tersedia untuk penegakan hukum dan penuntutan: Untuk kegiatan pembalakan liar, sering terjadi kayu yang ditebang dan uang yang dihasilkan dari kayu tersebut dikirim keluar negeri. Berbeda dengan UU kehutanan, UU tindak pidana pencucian uang akan memungkinkan pemerintah Indonesia menuntut warga negara Indonesia yang mungkin terlibat didalam kegiatan pencucian uang, tanpa memperhatikan apakah mereka melakukannya di Indonesia atau diluar negeri.
Dibawah FATF, penegakan hukum tindak pidana pencucian uang juga difasilitasi melalui kerjasama
dengan negara lain.
B. Macam-Macam Kejahatan Keuangan Kehutanan
1.  Menyatakan harga jual produk kayu dibawah harga pasar untuk melaporkan laba yang kecil atau rugi Menyatakan harga input produk kayu yang jauh diatas harga pasar untuk mengurangi laba atau melaporkan rugi
2. Tidak membayar kepada kreditur dengan memindahkan arus kas perusahaan ke bisnis yang lain.
3. Memanipulasi pembayaran hutang piutang kepada group perusahaan sendiri untuk mengurangi laba dan menghindari pajak perusahaan
4. Mark up nilai jasa dan produk yang diterima dari grup perusahaan sendiri
untuk mengurangi besarnya laba dan pajak perusahaan
5. Tidak membayar DR dan PSDH dengan benar dengan under-grading, under measuring, under-reporting dan undervaluing kayu dan misklasifikasi spesies kayu
6. Tidak membayar DR dan PSDH dan kewajiban negara lainnya
C. Perlunya Kepemimpinan dari Menteri Kehutanan
Sejak April 2003, CIFOR telah terlibat dalam seri diskusi dengan Unit Intelejen Keuangan pemerintah Indonesia (PPATK) untuk mengupayakan tercantumnya kejahatan kehutanan didalam UU perubahan atas UU 15/2002. Pada awal Juni, PPATK memasukkan ‘kejahatan dibidang kehutanan’ dan kejahatan dibidang lingkungan’ didalam daftar predicate offense didalam rancangan UU perubahan yang telah diserahkan kepada DPR untuk diratifikasi.
Saat ini sangat dibutuhkan adanya kepemimpinan dari Menteri Kehutanan atas isue ini untuk memastikan kejahatan kehutanan tercakup dalam UU perubahan atas UU 15/2002 pada saat diratifikasi nanti. Secara khusus, Menteri Kehutanan menempati posisi unik untuk mengkomunikasikan apa implikasi bagi
penegakan hukum dan governance dibidang kehutanan jika kejahatan kehutanan dimasukkan sebagai predicate offense pencucian uang. Sampai UU diratifikasi oleh DPR, akan sangat berguna jika Menteri mengkomunikasikan dengan PPATK dan dengan Komisi II DPR tentang pentingnya penerapan UU anti pencucian uang untuk mengendalikan pembalakan liar.
Setelah diratifikasi, Menteri Kehutanan perlu bekerja sama secara erat dengan PPATK dan lembaga keuangan kunci lainnya di Indonesia dan regulator untuk memastikan UU anti pencucian uang diterapkan secara efektif disektor kehutanan. Lembaga ini termasuk Bank Indonesia, Bapepam dan Dirjen Lembaga
Keuangan Departemen Keuangan. Bank Indonesia telah menerbitkan peraturan ‘know your customer’ (KYC) untuk perbankan. Sementara Bapepam mengeluarkan aturan serupa untuk perusahaan sekuritas dan
Dirjen Lembaga Keuangan telah mengeluarkan peraturan untuk lembaga keuangan bukan bank.
Peraturan KYC mewajibkan bank dan penyedian jasa keuangan lainnya untuk mengidentifikasi indetitas nasabah, memonitor transasksi nasabah, dan melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK. Menteri Kehutanan memegang peran penting untuk membantu bank dan lembaga keuangan lainnya untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan ‘aktivitas mencurigakan’ di sektor kehutanan, dan bagaimana aktivtas ini dimonitor.
BAGIAN IV
KESIMPULAN

Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Setiap orang yang menerima atau menguasai hasil transaksi (penempatan, transfer, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran) harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Alat Bukti Pemeriksaannya: sesuai hukum acara pidana, informasi yg diucapkan, dikirimkan, diterima, atau Disimpan secara elektronik, alat optik atau sejenis, tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi
Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama narkotika.
Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani, jika ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensi transaksi.
Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai Money Laundering adalah :
  • United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Dec. 20, 1988);
  • Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No.8, 1990);
  • European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991);
REFERENSI

  • Keputusan Kepala PPATK No.2/1/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyediaan Jasa Keuangan
  • Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
  • Rancangan UU Tentang Perubahan Atas UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
  • Studi Penerapan Sanksi Pidana Kehutanan, Bab III Analisis Pasal-Pasal Pidana Kehutanan dalam Peraturan Perundang-Undangan Terkait, Departemen Kehutanan
  • UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan

Tragedi Saksi Mahkota

Vincentius Amin Santoso adalah whistle blower dan saksi mahkota. Ia pelapor dan saksi kunci dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri Group senilai Rp 1,3 triliun. Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan jaminan perlindungan dan penghargaan terhadap pelapor dan saksi. Tapi nasib Vincent justru berbanding terbalik. Ia harus mendekam di penjara.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Vincent bersalah dan menghukumnya 11 tahun penjara pada 9 Oktober 2007.
Vincent "dihajar" dengan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penyertaan Perbuatan Pidana, dan Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang. Putusan ini tak berubah di pengadilan banding dan kasasi.
Vincent memang terbukti membobol uang milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group milik taipan Sukanto Tanoto, perusahaan tempatnya bekerja sebagai group financial controller. Bersama dua kawannya, Hendry Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto, Vincent membuat dua perusahaan fiktif untuk menampung dana US$ 3,1 juta dari Asian Agri.
Modusnya adalah dengan memalsukan tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil dan meminta Fortis Bank mengirim uang senilai Rp 28 miliar ke rekening dua perusahaan fiktif tersebut. Nahasnya, transfer itu gagal dan kasus tersebut terbongkar.
Uang Asian Agri yang dapat dibobolnya hanya sebesar Rp 200 juta. Vincent sempat kabur ke Singapura, tapi akhirnya memilih menyerahkan diri ke polisi.
Namun, sebelum ke polisi, Vincent datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengadukan soal dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri melalui transfer profit dari perusahaan di Indonesia ke sejumlah perusahaan afiliasi Asian Agri di luar negeri, seperti Hong Kong, British Virgin Islands, Makau, dan Mauritius. Dengan cara itu, Asian Agri diperkirakan "menghemat" pembayaran pajak penghasilan (PPh) yang jika ditotal sejak 2002 saja ditaksir mencapai Rp 1,1 triliun. Kasus dugaan penggelapan pajak tersebut kini ditangani Direktur Jenderal Pajak.
Dengan pengakuan tersebut, otomatis Vincent menjadi whistle blower dan saksi mahkota. Tapi mengapa justru dia yang jadi pesakitan dengan tuduhan yang sangat serius: pidana pencucian uang?
Bukan pencucian uang Artikel ini ingin menunjukkan bahwa putusan hakim di pengadilan negeri, banding, dan kasasi mengandung kekhilafan atau kekeliruan nyata. Tuduhan hakim adalah bahwa Vincent melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang, karena berupaya menghilangkan jejak hasil kejahatan dengan membuat perusahaan fiktif. Benarkah tuduhan itu?
Salah satu cara melihat apakah kejahatan yang dilakukan Vincent merupakan pidana pencucian uang atau bukan adalah dengan menganalisis apakah tiga tahap proses pencucian uang terbukti dalam tindakannya. Pertama, placement atau upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal. Dari hasil persidangan, terbukti uang yang akan dicuri oleh Vincent adalah uang perusahaan tempat Vincent bekerja, atau bukan uang hasil kejahatan sebagaimana dimaksud oleh UU Pencucian Uang.
Pemalsuan yang dilakukan Vincent adalah bagian dari modus operandi agar upaya pencuriannya berhasil. Tanpa pemalsuan, transfer uang tak mungkin bisa dilakukan. Jadi, apa yang dilakukan Vincent barulah serangkaian perbuatan untuk menguasai uang secara melawan hukum atau baru tindak pidana asal (predicate offense).
Ketika uang perusahaan itu telah dikuasai, barulah bisa dikatakan sebagai hasil dari kejahatan. Dan, jika ia menindaklanjuti mengamankan uang tersebut, barulah ia boleh dikenai pasal pidana pencucian uang.
Kedua, layering atau menghilangkan jejak. Dalam pengadilan, tak terbukti adanya upaya Vincent untuk menghilangkan jejak uang yang telah ditransfer ke rekening perusahaan fiktifnya. Justru, rekening transfer tersebut mudah diketahui oleh perusahaan yang mentransfer, sehingga kemudian perusahaan meminta pemblokiran terhadap kedua rekening penampung yang dibuat oleh Vincent.
Ketiga, integration atau penggunaan uang hasil kejahatan untuk hal-hal yang legal. Tentu saja, dengan logika pencucian uang, pengalihan uang kotor untuk hal-hal yang sah secara hukum menjadi keniscayaan agar sebuah tindakan bisa disebut sebagai pidana pencucian uang. Tapi, lagilagi, fakta ini tak terbukti di pengadilan.
Ringkasnya, ketiga tahap di atas berkorelasi negatif dengan pembuktian di pengadilan. Artinya, tuduhan bahwa Vincent melakukan pidana pencucian uang adalah lemah, bahkan tak terbukti. Justru, yang terungkap di pengadilan adalah bahwa tindakan Vincent merupakan pidana pencurian uang perusahaan dengan cara mentransfernya menggunakan aplikasi transfer yang tanda tangannya dipalsukan. Uang tersebut dikirim ke rekening perusahaan fiktif yang dibuat Vincent dengan KTP yang dipalsukannya pula. Dengan pidana pencurian itu, hukuman yang seharusnya diperoleh Vincent tidaklah seberat sekarang.
Saksi mahkota Lalu, bagaimana dengan posisi Vincent sebagai whistle blower dan saksi mahkota atas dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group tersebut? Menurut Pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi, sebagai saksi dan pelapor Vincent berhak untuk tidak dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Namun, jika Vincent terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang kini tengah ditangani Dirjen Pajak, imbalan atas pelaporannya sesuai dengan Pasal 10 ayat 2 UU Perlindungan Saksi adalah keringanan hukuman. Dan, berdasarkan Pasal 36 ayat 2 UU Perlindungan Saksi, selayaknya hakim menjadikan kesaksian Vincent sebagai dasar pertimbangan yang meringankan dalam memberikan putusannya.
Keberadaan para whistle blower dan saksi mahkota harus terus disuarakan dan diberi tempat dalam sistem hukum kita.
Aparat penegak hukum--polisi, jaksa, hakim, KPK--semestinya memahami benar pentingnya keberadaan whistle blower dan saksi mahkota dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemberian jaminan perlindungan dan reward bagi whistle blower dan saksi mahkota adalah keniscayaan agar lebih banyak lagi orang yang berani melapor bahkan memartirkan dirinya bagi pemberantasan korupsi di negeri ini.
Bagaimana dengan nasib Vincent? Masih terbuka peluang mengajukan peninjauan kembali (PK) atas dasar bahwa hakim salah dalam menerapkan undang-undang.
Apalagi, dalam memutuskan perkara ini, hakim tak mempertimbangkan posisi Vincent sebagai whistle blower, si pembongkar kejahatan.

PEMBUKTIAN TERBALIK

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial transnasional), disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2006.

Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi te1ah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa negara Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi.

Alasan ketiga, pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi didalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti, Kepulauan Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset hasil korupsi didukung oleh teknlogi informasi modern telah diakui sangat menyulitkan pemberantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya.

Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan.

Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang tidak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi. Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju (Oliver, 2006) adalah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.

Teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan dalam harta kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebelumnya yang bersangkutan belum memperoleh harta kekayaan sebanyak sekarang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah dipraktikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong dalam kasus ICAC Hong Ong terhadap pemohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai dengan Hong Kong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan pengadilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktiannya.

Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang menggunakan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggunaan prosedur keperdataan dalam menerapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.

UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of

Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.

Sudah tentu pembuktian terbalik dalam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korupsi menimbulkan pro dan kontra. Pandangan kontra mengatakan bahwa, pembuktian terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Namun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara,maka hak asasi individu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melainkan hak relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.

Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999.

Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasankorupsi. ()

MACAM HAL YURISPRUDENSI DALAM PERKARA

1.             1.             I. 1.1.1. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Terhadap perjanjian yang diadakan antara orang-orang Indonesia asli, sekalipun barang-barang yang diperjanjikan (i.c. rumah dan tanah) tunduk pada hukum Barat, haruslah diperlakukan hukum Adat.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 17 Mei 1961 No. 38 K/Sip/1961.
Dalam Perkara : Saanah lawan Maimunah.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Mr. R. Soekardono. 3. Mr. R. Subekti.
2.             2.             I. 1.1.1. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli.
Lembaga “geijkstelling” dalam zaman penjajahan dimaksudkan untuk memperlakukan Hukum Eropah kepada seseorang, tetapi “geijkstelling” dari almarhum Dr. Marzuki, berdasarkan fakta-takta:
bahwa perkawinan antara almarhum dengan Ny. Otoh Arwati dilangsungkan secara perkawinan Islam dimuka penghulu kota Sukabumi yang kemudian baru dicatatkan di BS. Batavia tanggal 14-12-1949.
bahwa almarhum telah melakukan ibadah naik Hadji dan pernah menjadi Ketua D.P.R.D. Kota Bogor mewakili Partai Masyumi.
bahwa almarhum dalam melangsungkan pernikahan putra-putrinya selalu menempuh tata cara Islam dan dalam menyelesaikan persoalan warisan almarhum Ny. Otoh Arwati, almarhum telah memanggil Ketua Pengadilan Agama Bogor dan beberapa orang lain;
tidak dapat dianggap menimbulkan akibat yang dimaksudkan oleh tata hukum zaman penjajahan tersebut karena almarhum dalam tata hidupnya sehari-hari tidak pernah meninggalkan lingkungan hidupnya semula sebagai orang Indonesia asli.
dan dapat pula dianggap bahwa almarhum sebagai orang Indonesia asli yang telah dipersatukan dengan golongan Eropa telah meleburkan diri kembali keda­lam golongan penduduk Indonesia asli,
sehingga terhadapnya berlaku Hukum Adat.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 5-12-1975 No. 261 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : John Mahdi cs lawan Ny. Dee Zubaida Thamrin.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H. 2. Z.A. Kusumah Atmadja S.H. 3. Indroharto S.H.
3.             3.             I. 1.1.2. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Arab.
Mahkamah Agung anggap tepat bahwa untuk orang.orang Arab tidak diperlakukan B.W. dalam hal warisan.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 3-4-1968 No. 116 K/Sip/1967.
Dalam Perkara : Awod Aldjaedi lawan Galib Badjeri.
4.             4.             1.1.1.2. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Arab.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Dalam hal pembagian warisan S. Umar Alatas ini diikuti hukum Islam sesuai dengan Jurisprudensi Mahkamah Agung bahwa terhadap orang-orang keturunan Arab berlaku hukum Islam, dan sesuai dengan kehendak peninggal warisan sebagaimana tertera dalam akte notaris tersebut; sebagai pedoman dalam pembagian ini Pengadilan Negeri mengikuti pembagian dalam surat ketetapan/ fatwa waris dari Pengadilan Agama Tangerang tgl. 24 Mei 1973 No. 38/1973.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 6-4-1976 No. 990 K/Sip/1974.
Dalam Perkara : Pr. Syechun binti S. Umar Alatas lawan Pr. Muznah binti S. Umar Alatas.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja SH. 2. Samsudin Abubakar SH. 3. Indroharto SH.
5.             5.             I.2. Hukum yang berlaku bagi orang asing.
Peraturan yang harus dilakukan terhadap hibah wasiat yang dilakukan oleh orang bangsa Asing yang berasal dari Saudi Arabia adalah peraturan yang berla­ku di negara itu, sedang menurut peraturan termaksud adalah syarat mutlak bahwa pewaris dalam wasiatnya dengan tegas dan terang menyatakan kehendaknya yang terakhir itu.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. .10-1-1957 No. 22 K/Sip/1955.
Dalam Perkara : Said bin Ali Hoewel lawan Sjohara binti Mubarak bin Amir bin Hoewel.
dengan Susunan Majelis : 1. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro. 2. Sutan Kali Malikul Adil. 3. Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
6.             6.             I.3. Peraturan yang berlaku.
berdasarkan azas umum dalam hukum perdata, dalam hal ada dua peraturan yang mengatur hal yang sama dan memuat ketentuan yang berlainan, maka demi kepastian hukum berlakulah peraturan yang terbaru, kecuali kalau ditentukan lain dengan undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 25-3-1976 No. 1037 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Pemerintah R.I. lawan Ny. M.T.C.W. Ojong, Ir. Han Awal dkk. Pemerintah R.I. diwakili Menteri Dalam Negeri cq Gubernur Kepala Daerah khusus Jakarta Raya cq Wali Kota Jakarta Timur.
dengan Susunan Majelis  1. Indroharto SH.; 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.; 3. DH. Lumbanradja SH.
7.             7.             I.3. Hukum antar golongan.
Hukum yang mengatur hubungan hukum antar seorang Indonesia asli dan seorang Tionghoa, yang kedua-duanya adalah pedagang di kota Medan, karena perjanjian pemberian kuasa yang telah mereka adakan.
menurut Mahkamah Agung adalah hukum yang terdapat dalam titel Ke XVI K.U.H. Perdata, karena kedua pihak dalam hal ini dianggap tidak asing terhadap hukum perdata Barat.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 6 - 7 - 1955 No. 22 K/Sip/1954.
Dalam Perkara : Haji Ibrahim lawan Liauw Tjin Hoa.
8.             8.             I.3. Hukum yang harus diperlakukan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
bahwa karena pihak-pihak yang melakukan jual beli adalah orang-orang yang tidak sama status penggolongan rakyatnya, maka ada hubungan hukum antar golongan sehingga harus ditentukan sistim hukum manakah yang harus diperlakukan.
bahwa karena persetujuan jual beli dilakukan dengan akte notaris, maka ternyata ada pilihan hukum untuk memperlakukan sistim hukum perdata Barat yang diatur dalam B.W.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 18 - 9 - 1975 No. 550 K/Sip/1975.
Dalam Perkara : 1. Magdalena Pasa; 2. Tan Boen Sang Iawan Kalabbe dan 1. M. Baedjuri; 2. Zulkifli Mappe dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH.; 2. DH. Lumbanradja SH.; 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
9.             9.             I.3. Hukum yang harus diperlakukan.
Hubungan hukum antara almarhum Datuk Achmad Sjamsura dan almarhum Lie Hong An yang dilakukan dengan akte notaris pada tgl. 19 Desember 1947, terutama bersifat “scbuldverbintenis” dengan tanah sebagai jaminan (accessoir); hubungan hukum ini bersifat antar tata negara dan dalam hal ini harus diperlakukan hukum perdata Barat karena yang meminjam (alm. Datuk Sjamsura) masuk dalam lingkungan hukum pihak yang meminjamkan (alm. Lie Hong An).
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 25 - 11 - 1975 No. 1066 K/Sip/1974.
Dalam Perkara  : Lie Bok Lim lawan Ahliwaris mendiang Datuk Achmad Sjamsura yaitu:1. Sa’adah; 2. Aisjah; 3. Sofjan dkk dan 1. Lee Goat Lam; 2. Lee Djoe Ie dkk.
dengan Susunan Majelis : 1. Indroharto SH.; 2. R. Saldiman Wirjatmo SH.; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
10.        10.        1.3. Hukum yang harus diperlakukan.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Guna menjamin kepastian hukum dalam pembangunan sosial ekonomi negara sekarang, istimewa di kota-kota besar, maka apa yang diperjanjikan dihadapan notaris haruslah mengikat pihak-pihak selakuUndang-undang sehingga apa yang dikemukakan tergugat-pembanding untuk memperlakukan hukum Adat dalam perkara ml tidak dapat dibenarkan. (i.e. mengenai jual beli rumah dengan akte notaris).
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 29 - 4 - 1976 No. 409 K/Sip/1974.
Dalam Perkara : H.M. Radhi lawan Drs. Med. John Rambulangi.
dengan Susunan Majelis  I. Dr. R. Santoso Prodjosoebroto SH.; 2. R. Saldiman Wirjatmo SH.; 3. DH. Lumbanradja SH.
11.        11.        I.3. Hukum yang harus diperlakukan;
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
bahwa yang berperkara sebagian adalah orang-orang berkebangsaan Arab, setidak-tidaknya keturunan bangsa Arab.
bahwa kedua pihak telah lama tinggal di Indonesia khususnya di Jawa Barat;
bahwa obyek sengketa adalah tanah peninggalan alm. Habib Sadiq yang telah lama pula tinggal di Indonesia;
bahwa mengingat hal-hal tersebut dalam perkara ini diperlakukan hukum Adat setempat.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 12 - 4 - 1975 No. 1163 K/Sip/1972.
Dalam Perkara : Habib Moehamad Djufrie lawan 1. Nyi Titi; 2. Nyi Asiah; 3. Atjep Djunaide dkk dan habib AIwi Djufrie dkk
dengan Susunan Majelis  : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H.; 2. Busthanul Arifin S.H.; 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
12.        12.        I.3. Hukum yang harus diperlakukan.
Mengenai penentuan ahli waris dari alm. Suhaely judex facti telah dengan tepat mendasarkan pertimbangan pada keputusan Mahkamah Syariah Medan.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 16 - 7 - 1 975 No. 304 K/Sip/1974.
Dalam Perkara : Entjik Maimunah lawan Said Mustafa.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. NG. Hanindyopoetro Sosropranoto S.H.; 2. R. Saldiman Wirjatmo S.H.; 3. lndroharto S.H.
13.        13.        I.3. Hukum yang berlaku terhadap tanah.
Terhadap tanah milik menurut hukum adat tetap berlaku hukum Adat, sekalipun tanah itu dijual belikan oleh orang Eropah.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 13 - 12- 1958 No. 4 K/Sip/1958.
Dalam Perkara : Moehati alias Djaroh Iawan Gustaaf dkk.
14.        14.        I.3. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Mengingat akan pasal II jo pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 jo Maklumat Pemerintah No. 2 tanggal 10 Oktober, Mahkamah Agung tidak dilarang oleh pasal 26 Undang-Undang No. 14/1970 untuk menyampingkan tidak memperlakukan pasal-pasal yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 6 Maret 1971 No. 99 K/Sip/1971.
Dalam Perkara : Tan Swie Bo lawan Ny. Tjioe Klein Lioe alias Sarijem.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Sardjono S.H. 2. Indroharto S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
15.        15.        I. 3. Kekuatan Putusan Pengadilan.
Putusan Pengadilan tidak hanya mempunyai kekuatan terhadap pihak yang kalah, tetapi juga terhadap seseorang yang mendapat hak dan pihak yang kalah itu (rechtverkrijgende)
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 9-11-1955 No. 212 K/Sip/1953.
Dalam Perkara : Lie Djiem lawan Souw Boen dan Ny. Lim Hong Ngah.


ORANG

16.        16.        II. 2.13. Status kewarganegaraan anak.
Setiap anak yang lahir dalam perkawinan yang syah rnenurut hukum yang berlaku di Indonesia mengikuti status kewarganegaraan ayahnya.
Putusan Mahkamah Agung :  tgI. 1-5-1968 No. 156 K/Sip/1967.
Dalam Perkara : Drs. Rachmat Zulfirman Mamun, pemohon.


HUBUNGAN KELUARGA

17.        17.        III. 3.8. Kewajiban bapak terhadap anak.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Tututan mengenai nafkah anak yang belum lahir tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 16-9-1975 No. 850 K/Sip/1975.
Dalam Perkara : Harta Widjaja lawan Lanny Saputra.
dengan Susunan Majelis : Indroharto SH. 2. DH. Lumbanradja SH. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito SH.
18.        18.        III.3.10. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak.
Setiap orang tua berhak untuk menuntut dikembalikannya anaknya yang dibawah umur dan tangan siapapun juga, yang tidak dapat menyatakan haknya yang lebih tinggi dan hak orang tua tersebut, sepertinya lembaga pendidikan dan Pemerintah untuk anak-anak jahat dan sebaganya.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 1-8-1956 No. 9 K/Sip/1956.
Dalam Perkara : M.T. Josef lawan Djojosarno.

 

 

P E R W A L I A N

19.        19.        V.1.          Perwalian oleh ayah/ibu.
Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 24-4-1975 No. 102 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Drs. Frans Lesile Jusuf lawan Jeane Natalia Tanuwidjaya.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H. 2. lndroharto S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
20.        20.        V.1.          Perwalian oleh ayah/ibu.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung:
Kepentingan sianaklah yang harus dipergunakan selaku patokan untuk menentukan siapa dan orang tuanya yang diserahi pemeliharaan sianak.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 25-6-1974 No. 906 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Ny. Gerdiana Adriana Latumahina Joostens lawan Dick Latuhamina.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoebroto S.H. 2. Busthanul Arifin S.H. 3. D.H. Lumbanradja S.H.
21.        21.        V. 7.         Cara pengangkatan wali.
Untuk menentukan mengenai perwalian terhadap seorang anak, berdasarkan baik pasal 63 Ordonansi. Perkawinan orang Indonesia Kristen maupun pasal 229 K.U.H. Perdata harus terlebih dulu didengar para keluarga sedarah dan Se­menda yang terdekat daripada anak tersebut.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 24-4-19Y5 No. 102 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Dr. Frans Lesila Jusuf lawan Jeane Natalia Tanuwldjaya.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R, Subekti SH. 2. Indroharto S.H 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja SH.
22.        22.        V. 15. Tugas Balai Harta Peninggalan.
Amar putusan Pengadilan Negeri, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi, yang berbunyi: “Mengangkat Camat sebagai Pengawas pelaksanaan pemecahan dan pembagian rumah dan tanah………“ dan “Mengangkat Kepala Perwakilan Balai Harta Peninggalan Cirebon sebagai saksi dalam pembagian tersebut” dirobah menjadi: “Mengangkat Kepala Perwakilan Balai Harta Peninggalan Cirebon untuk mewakili Tergugat apabila Tergugat tidak bersedia atau berhalangan melakukan pembagian dan barang sengketa berdasarkan keputusan ini.”
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 20-6-1973 No. 89 K/Sip/1973.
Dalam Perkara : Oey Sin Joe lawan Lauw Giok Klan alias Sri Mulja.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. R. Subekti S.H. 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.
23.        23.        V. 10. Penggantian wali.
Pencabutan perwalian hanya dapat dilakukan berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam pasal 53 jo 49 Undang-undang No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 11-11-1975 No. 499 K/Sip/1972.
Dalam Perkara : 1. Sulaeman Pangaribuan. 2. Wesly Pangaribuan lawan Isak Butarbutar.
dengan Susunan Majelis : 1. DH. Lumbanradja S.H. 2. Bustanul Arifin S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.


P E R K A W I N A N.

24.        24.        VII.1.10. Perkawinan campuran.
Permintaan akan keterangan yang diperlukan oleh seorang wanita yang hendak kawin dengan laki-laki yang berlainan agama guna memenuhi ketentuan pasal 7 ayat 3 Ondinansi Perkawinan Campuran S. 1898 - 158.
tidak boleh ditolak atas alasan yang semata-mata berdasarkan perbedaan agama itu.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 16-2-1955 No. 245 K/Sip/1953.
Dalam Perkara : R.H. Sadikin Soeriatmadja, pemohon.
25.        25.        VII. 9. Perkawinan di luar negeri.
Pengadilan berwenang untuk menilai syah tidaknya perkawinan yang dilakukan di luar negeri (i.c: putusan Pengadilan Negeri “menyatakan bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat yang dilangsungkan di Tiongkok, Propinsi Kwan Tieng, Kota Moyan pada tanggal 13 September 1973, tidak sah menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia,” dikuatkan oleh Mahkamah Agung).

Putusan Mahkamah Agung :  No 349 K/Sip/1967.
Dalam Perkara : Pr. Lie Kwei Sin lawan Woen Chie Kie.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Soebekti S.H. 2. Sardjono S.H. 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.

 


P E R C E R A I A N.

26.        26.        VIII. 2. Alasan-alasan perceraian.
Menurut perkembangan jurisprudensi dewasa ini “oonheelbare tweespalt” dapat diperlakukan sebagai alasan perceraian terhadap pihak-pihak yang tunduk pada B.W.
Putusan Mahkamah Agung :  No. 239 K/Sip/1968.
Dalam Perkara : Tjioe Tiang Hin lawan Kwee Pocy Tjoe Nio.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Subekti S.H. 2. Sardjono S.H. 3. Bustanul Arifin S.H.
27.        27.        VIII.11.2. Kewajiban hukum orang tua terhadap anak sesudah perceraian.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung:
Kewajiban membiayai penghidupan pendidikan dan pemeliharaan anak, tidak hanya dibebankan kepada ayah saja, tetapi juga kepada ibu, sehingga patut kepada masing-masing dibebankan separoh dan jumlah termaksud.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 30 Agustus 1969 No. 392 K/Sip/1969.
Dalam Perkara : Oim Ahdurrochim lawan Nanat Warnasih binti H. Rosyit.
dengan Susunan Majelis : 1. M. Abdurrahman S.H. 2. Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. Sardjono S.H.
28.        28.        VIII.11.3. Perwalian anak setelah perceraian.
Dalarn hal terjadi perceraian anak-anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dan perawatan ibu, perwaliannya patut diserahkan kepada ibunya.
Putusan Mahkamah Agung :  No. 239 K/Sip/1968.
Dalam Perkara : Tjiioe Tiang Hin lawan Kwee Poey Tjoe Nio.
dengan Susunan Majelis : 1. Prof. Subekti S.H. 2. Sardjono S.H. 3. Bustanul Arifin S.H.


W A R I S A N.

29.        29.        IX. 1.1. Warisan yang belum dibagi.
Penjualan hak waris atas warisan yang belum dibagi-bagi tidaklah bertentangan dengan hukum Adat ataupun hukum Islam, sedang untuk penjualan hak waris ini akhli waris yang menjualnya tidak diharuskan meminta persetujuan Iebih dulu dan akhli waris yang lain.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 3- 4-1968 No. 116 K/Sip/1967.
Dalam Perkara : Awod Aldjaedi, Muhamad bin Badar Badjari Iawan Galib Badjari, Achmad bin Badar Badjari.
30.        30.        IX. 6.9. Penentuan harta peninggalan dengan wasiat.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Menurut jurisprudensi Mahkamah Agung hibah wasiat tidak boleh merugikan ahli waris; dalam hal ada ahli waris yang dirugikan oleh adanya hibah wasiat itu, hibah tersebut harus dibatalkan dan diadakan pembagian lagi.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 6- 4 -1976 No. 990 K/Sip/1974.
Dalam Perkara : Pr. Syechun binti S. Umar Alatas lawan Pr. Muznah binti S. Umar Alatas.
dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja S.H. 2. Samsudin Abubakar S.H. 3. Indroharto S.H.
31.        31.        IX.6.13. Gugurnya surat wasiat.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung:
Bantahan yang diajukan tergugat bahwa wasiat itu tidak berlaku lagi karena pembuat wasiat telah masuk Islam, tidak dapat dibenarkan karena dalam Undang­undang tidak disebutkan bahwa pemberi wasiat atau penerima wasiat tukar agama menyebabkan batalnya wasiat itu. (i.c. mengenai wasiat (testamen) yang dibuat oleh notaris).
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 15-1-1976 No. 550 K/Sip/1973.
Dalam Perkara  : Steven Ferdinand iawan 1. Kepala Kantor Urusan Agama Kotapradja Banda Aceh, dan kawan-kawan.
dengan Susunan Majelis : 1. BRM. NG. Hanindyopoetro Sosropranoto S.H. 2. D.H. Lumbanradja S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
32.        32.        21.            Perdamaian mengenai pembagian warisan.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Dengan adanya pembagian harta warisan secara musyawarah oleh para ahli waris yang bersangkutan dan yang kemudian disetujui pula, berakibat bahwa apa yang ditetapkan dalam penentuan bagian masing-masing merupakan suatu perjanjian sehingga mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 30 –7 -1974 No. 1184 K/Sip/1972.
Dalam Perkara : Nyi Muplinah lawan 1. Use, 2. Udeng, 3. Uwen, dan kawan­kawan dan 1. H. Gaos, 2. Nyi Djulaeha.
dengan Susunan Majelis : 1. Dr. R. Santoso Poedjosoehroto S.H. 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. Indroharto S.H.
33.        33.        21.            Perdamaian mengenai pembagian warisan.
Karena antara saudara Pak Kartopawiro yaitu penggugat asal dan saudara­saudara Bok Kartopawiro telah terjadi perdamaian/persetujuan mengenai pembagian harta peninggalan Pak dan Bok Kartopawiro, sedang tidak ternyata ada penipuan ataupun paksaan dalam perdamaian itu, gugatan penggugat/tergugat dalam kasasi harus ditolak.
Putusan Mahkamah Agung :  tgl. 7-8 -1975 No. 132 K/Sip/1975.
Dalam Perkara : Hardjodiwirjo alias Samadi dan kawan-kawan lawan Bok Atmoredjo alias Rubijah.
dengan Susunan Majelis : 1. lndroharto S.H. 2. D.H. Lumbanradja S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H.