Selasa, 05 April 2011

Tragedi Saksi Mahkota

Vincentius Amin Santoso adalah whistle blower dan saksi mahkota. Ia pelapor dan saksi kunci dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri Group senilai Rp 1,3 triliun. Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan jaminan perlindungan dan penghargaan terhadap pelapor dan saksi. Tapi nasib Vincent justru berbanding terbalik. Ia harus mendekam di penjara.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Vincent bersalah dan menghukumnya 11 tahun penjara pada 9 Oktober 2007.
Vincent "dihajar" dengan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penyertaan Perbuatan Pidana, dan Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang. Putusan ini tak berubah di pengadilan banding dan kasasi.
Vincent memang terbukti membobol uang milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group milik taipan Sukanto Tanoto, perusahaan tempatnya bekerja sebagai group financial controller. Bersama dua kawannya, Hendry Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto, Vincent membuat dua perusahaan fiktif untuk menampung dana US$ 3,1 juta dari Asian Agri.
Modusnya adalah dengan memalsukan tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil dan meminta Fortis Bank mengirim uang senilai Rp 28 miliar ke rekening dua perusahaan fiktif tersebut. Nahasnya, transfer itu gagal dan kasus tersebut terbongkar.
Uang Asian Agri yang dapat dibobolnya hanya sebesar Rp 200 juta. Vincent sempat kabur ke Singapura, tapi akhirnya memilih menyerahkan diri ke polisi.
Namun, sebelum ke polisi, Vincent datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengadukan soal dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri melalui transfer profit dari perusahaan di Indonesia ke sejumlah perusahaan afiliasi Asian Agri di luar negeri, seperti Hong Kong, British Virgin Islands, Makau, dan Mauritius. Dengan cara itu, Asian Agri diperkirakan "menghemat" pembayaran pajak penghasilan (PPh) yang jika ditotal sejak 2002 saja ditaksir mencapai Rp 1,1 triliun. Kasus dugaan penggelapan pajak tersebut kini ditangani Direktur Jenderal Pajak.
Dengan pengakuan tersebut, otomatis Vincent menjadi whistle blower dan saksi mahkota. Tapi mengapa justru dia yang jadi pesakitan dengan tuduhan yang sangat serius: pidana pencucian uang?
Bukan pencucian uang Artikel ini ingin menunjukkan bahwa putusan hakim di pengadilan negeri, banding, dan kasasi mengandung kekhilafan atau kekeliruan nyata. Tuduhan hakim adalah bahwa Vincent melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang, karena berupaya menghilangkan jejak hasil kejahatan dengan membuat perusahaan fiktif. Benarkah tuduhan itu?
Salah satu cara melihat apakah kejahatan yang dilakukan Vincent merupakan pidana pencucian uang atau bukan adalah dengan menganalisis apakah tiga tahap proses pencucian uang terbukti dalam tindakannya. Pertama, placement atau upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal. Dari hasil persidangan, terbukti uang yang akan dicuri oleh Vincent adalah uang perusahaan tempat Vincent bekerja, atau bukan uang hasil kejahatan sebagaimana dimaksud oleh UU Pencucian Uang.
Pemalsuan yang dilakukan Vincent adalah bagian dari modus operandi agar upaya pencuriannya berhasil. Tanpa pemalsuan, transfer uang tak mungkin bisa dilakukan. Jadi, apa yang dilakukan Vincent barulah serangkaian perbuatan untuk menguasai uang secara melawan hukum atau baru tindak pidana asal (predicate offense).
Ketika uang perusahaan itu telah dikuasai, barulah bisa dikatakan sebagai hasil dari kejahatan. Dan, jika ia menindaklanjuti mengamankan uang tersebut, barulah ia boleh dikenai pasal pidana pencucian uang.
Kedua, layering atau menghilangkan jejak. Dalam pengadilan, tak terbukti adanya upaya Vincent untuk menghilangkan jejak uang yang telah ditransfer ke rekening perusahaan fiktifnya. Justru, rekening transfer tersebut mudah diketahui oleh perusahaan yang mentransfer, sehingga kemudian perusahaan meminta pemblokiran terhadap kedua rekening penampung yang dibuat oleh Vincent.
Ketiga, integration atau penggunaan uang hasil kejahatan untuk hal-hal yang legal. Tentu saja, dengan logika pencucian uang, pengalihan uang kotor untuk hal-hal yang sah secara hukum menjadi keniscayaan agar sebuah tindakan bisa disebut sebagai pidana pencucian uang. Tapi, lagilagi, fakta ini tak terbukti di pengadilan.
Ringkasnya, ketiga tahap di atas berkorelasi negatif dengan pembuktian di pengadilan. Artinya, tuduhan bahwa Vincent melakukan pidana pencucian uang adalah lemah, bahkan tak terbukti. Justru, yang terungkap di pengadilan adalah bahwa tindakan Vincent merupakan pidana pencurian uang perusahaan dengan cara mentransfernya menggunakan aplikasi transfer yang tanda tangannya dipalsukan. Uang tersebut dikirim ke rekening perusahaan fiktif yang dibuat Vincent dengan KTP yang dipalsukannya pula. Dengan pidana pencurian itu, hukuman yang seharusnya diperoleh Vincent tidaklah seberat sekarang.
Saksi mahkota Lalu, bagaimana dengan posisi Vincent sebagai whistle blower dan saksi mahkota atas dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group tersebut? Menurut Pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi, sebagai saksi dan pelapor Vincent berhak untuk tidak dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Namun, jika Vincent terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang kini tengah ditangani Dirjen Pajak, imbalan atas pelaporannya sesuai dengan Pasal 10 ayat 2 UU Perlindungan Saksi adalah keringanan hukuman. Dan, berdasarkan Pasal 36 ayat 2 UU Perlindungan Saksi, selayaknya hakim menjadikan kesaksian Vincent sebagai dasar pertimbangan yang meringankan dalam memberikan putusannya.
Keberadaan para whistle blower dan saksi mahkota harus terus disuarakan dan diberi tempat dalam sistem hukum kita.
Aparat penegak hukum--polisi, jaksa, hakim, KPK--semestinya memahami benar pentingnya keberadaan whistle blower dan saksi mahkota dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemberian jaminan perlindungan dan reward bagi whistle blower dan saksi mahkota adalah keniscayaan agar lebih banyak lagi orang yang berani melapor bahkan memartirkan dirinya bagi pemberantasan korupsi di negeri ini.
Bagaimana dengan nasib Vincent? Masih terbuka peluang mengajukan peninjauan kembali (PK) atas dasar bahwa hakim salah dalam menerapkan undang-undang.
Apalagi, dalam memutuskan perkara ini, hakim tak mempertimbangkan posisi Vincent sebagai whistle blower, si pembongkar kejahatan.

Tidak ada komentar: