Selasa, 05 April 2011

PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG MEREK DAN PERMASALAHANYA

Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif

    Sistem perlindungan yang diberikan terhadap hak atas suatu merek yang dianut oleh UU No. 15 tahun 2001 adalah system Konstitutif. Artinya adalah perlindungan hak atas merek diberikan hanya berdasarkan adanya pendaftaran. Sistem ini dikenal juga dengan istilah "first to file syitem", yang artinya perlindungan diberikan kepada siapa yang mendaftar lebih dulu. Untuk Pemohon sesudahnya yang mengajukan merek yang sama atau mirip tidak akan mendapat perlindungan hukum.
    Kebalikan dari system konstitutif adalah system deklaratif dimana atas perlindungan hak atas merek diberikan atas dasar pemakaian pertama sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya. Beberapa negara masih menganut system ini, meskipun sebenarnya kurang menjamin kepastian hukum. Seringkali dalam kasus di Pengadilan, ditemukan kesulitan untuk menentukan siapa sebenarnya pemakai pertama (yang beritikad baik) karena sulitnya membuktikan siapa pemakai pertama. Oleh karena itu sering menimbulkan ketidak pastian hukum pada para pemilik merek yang berhak.

 

Beberapa masalah yang sering dijumpai dalam pemeriksaan merek

Meskipun Undang-undang sudah mengatur ketentuan merek sedemikian rupa, namun pada prakteknya sering timbul beberapa masalah dalam pemeriksan merek. Salah satu masalah yang paling menonjol adalah yang berkaitan dengan "persamaan". Di dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa permohonan merek harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dulu untuk barang dan atau jasa sejenis. Bagaimana menentukan ada tidaknya suatu persamaan merek. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai persamaan merek dan contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama.
Persamaan keseluruhan elemen
Persamaan keseluruhan elemen adalah standar untuk menentukan adanya persamaan yang sesuai dengan doktrin entirentis similar. Dalam hal ini merek yang diminta untuk didaftarkan merupakan copy atau reproduksi merek orang lain. Agar suatu dapat disebut copy atau reproduksi dari merek orang lain sehingga dapat dikualifikasi mengandung persamaan secara keseluruhan, paling tidak harus memenuhi syarat-syarat :
● Terdapat persamaan elemen merek secara keseluruhan ;
● Persamaan jenis atau produksi dan kelas barang atau jasa ;
● Persamaan wilayah dan segmen perusahaan ;
● Persamaan cara dan prilaku pemakaian ;
● Persamaan cara pemeliharaan ;
● Persamaan jalur pemasaran .
Syarat –syarat tersebut diatas bersifat kumulatif, sehingga untuk menentukan adanya persamaan harus semuanya terpenuhi. Namun demikian standar penentuan berdasarkan ajaran ini dianggap terlalu kaku dan tidak dapat melindungi kepentinagan pemilik merek khususnya untuk merek terkenal.
Persamaan pada pokoknya
Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001, yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik dalam bentuk (lukisan atau tulisan), cara penempatan (yaitu unsur-unsur yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang lain), arti dan kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi dalam ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Pengertian persamaan pada pokoknya yang diatur dalam penjelasan ini sesuai dengan dokrin "nealy resembles", yang menganggap suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain jika pada merek tersebut terdapat kemiripan (identical) atau hampir mirip (neal resembles) dengan merek orang lain, yang dapat didasarkan pada kemiripan gambar, susunan kata , warna atau bunyi.
Menurut dokrin ini, persamaan pada pokoknya tidak mutlak ditegaskan pada persamaan dokrin semua elemen merek dan tidak dituntut keras adanya jalur pemasaran yang sama. Faktor yang paling pokok dalam dokrin ini adalah bahwa pemakaian merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya ini dapat menimbulkan kebingungan yang nyata (actual confusion) atau menyesatkan ( deceive) masyarakat konsumen. Seolah-olah merek tersebut berasal dari sumber
atau produksi yang sama. Sehingga di dalamnya terlihat unsur itikad tidak baik untuk membonceng ketenaran merek milik orang lain.
● Teori holistic approach
Menurut teori ini untuk menentukan ada tidaknya persamaan merek harus dilihat secara keseluruhan baik dari bunyinya artinya ejaannya atau dari appearancenya (tampilannya)
● Teori dominancy
Untuk menentukan persamaan antara merek yang satu dengan yang lainnya cukup diambil unsur yang dianggap paling dominan dari merek tersebut. Contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama dilihat dari bentuk, bunyi, arti dan susunan penempatannya berdasarkan pedoman yang berlaku internal di kantor merek saat ini akan ditampilkan pada akhir sub bab ini.
Permasalahan kedua yang timbul dalam pemeriksaan merek adalah bagaiman menerapkan ketentuan mengenai barang / jasa jenis atau tidak sejenis. Dari bunyi pasal 6 ayat 1 (a), untuk menentukan ada tidaknya suatu persamaan pada merek, selain ditentukan oleh mereknya sendiri, juga ditentukan oleh jenis barang dan atau jasanya. Jika barang atau jasa yang hendak dilindungi oleh suatu merek yang sama dengan merek orang lain berbeda, maka tidak dianggap tidak terpenuhi syarat persaman baik keseluruhan maupun pada pokoknya.
Namun demikian bagaiman menentukan barang sejenis atau tidak sejenis. Sifat, cara, pembuatan dan tujuan pemakaian yang bagaimana yang dapat dikatakan barang sejenis. Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis dengan barang tertentu lainya meskipun berada dalam satu kelas yang sama. Demikian sebaliknya, suatu barang bisa dikatakan sejenis dengan barang lainnya walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena keterkaitan yang sangat erat antara kedua barang tersebut.
Sebagai contoh di dalam praktek kantor Merek, tepung dianggap sejenis dengan mie, karena mie dibuat dari bahan yang sama dengan tepung. Padahal jika kita menelaah dari tujuan pemakaian tepung dan mie jelas berbeda.
Contoh lain, barang-barang yang berkaitan dengan dunia fasion, seperti perhiasan, pakaian (garmen), sepatu, tas, dan sebagainya ; jika melihat pada klasifikasi jenis barang, masing-masing berada pada kelas yang berbeda. Padahal bukannya tidak mungkin, orang yang memproduksi pakaian dengan merek tertentu juga memproduksi juga sepatu atau tas dengan merek yang sama, karena keterkaitan antara barang-barang tersebut dalam tujuan pemakaian. Sehingga kalau tidak dapat dikatakan sejenis namun mempunyai keterkaitan yang sangat erat.
Khusus untuk merek terkenal, perlindungan tidak hanya diberikan pada barang atau jasa sejenis, melainkan juga terhadap barang atau jasa yang tidak sejenis. Jadi perlindungan terhadap merek terkenal mencakup jenis barang/jasa yang lebih luas. Akan tetapi kriteria apa yang harus dipenuhi sehingga suatu merek dapat dianggap terkenal. Reputasi yang bagaimana yang harus diperoleh sehingga merek menjadi terkenal. Hal ini pun dalam praktek sering menimbulkan permasalahan, karena ketidak jelasan ketentuan perundang-undangan. Sejauh ini batasan mengenai merek terkenal hanya berdasarkan kriteria penggolongan sebagai berikut:
  1. Reputasi merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis produk, memiliki kualitas stabil, dari waktu ke waktu dapat dipertahankan di berbagai negara serta memiliki pendaftaran di beberapa negara ;
  2. Perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang dimana merek tersebut didaftarkan ;
  3. Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan yang dapat diketahui dari adanya promosi yang dilakukan dengan gencar dan besar-besaran, adanya investasi di beberapa Negara yang dilakukan oleh pemiliknya, disertai dengan adanya bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Ketiga permasalahan tersebut yakni mengenai persamaan merek dan jenis barang serta kriteri merek terkenal sering menimbulkan maslah dalam pemeriksaan merek. Selain karena tidak adanya ketentuan yang memberikan pedoman yang pasti pada pemeriksaan merek, juga karena sifatnya sangat subyektif, sehingga untuk menentukan ketiga hal tersebut sangat bergantung pada penafsiran dan penilaian yang berbeda dari masing-masing individu. Keadaan ini menyebabkan munculnya putusan-putusan Kantor Merek yang kurang konsisten mengenai kasus-kasus yang serupa.

PELANGGARAN HAK ATAS MEREK DAN PENYELESAIAN HUKUMNYA
1. Gugatan pelanggaran atas hak merek secara perdata
  1. Gugatan ganti rugi
Pasal 76 (1) (a) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa gugatan ganti rugi. Sayangnya sampai saat ini belum ada putusan Pengadilan yang mengabulkan gugtan ganti rugi.
  1. Interlocutory injuction
    Pasal 76 (1) (b) pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan pada pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Seluruh gugatan ditunjukan kepada Pengadilan Niaga.
    Hak mereka merupakan suatu hak kebendaan, oleh karena haknya bersifat kebendaan maka hak tersebut dapat dipertahankan oleh siapa saja. Di dalam Pasal 76 tersebut disebutkan ada dua macam bentuk dari tuntutan gugatan yakni berupa permintaan ganti rugi dan penghentian dari pemakaian suatu merek. Ganti rugi tersebut harus dapat dinilai dengan uang, dan ganti rugi immaterial yakni berupa ganti rugi yang disebabkan oleh pemakaian merek dengan tanpa hak sehingga yang berhak menderita kerugian secara moril.

     
    2. Tuntutan pelanggaran atas hak merek secara pidana
Undang-undang merek No. 15/2001 menggolongkan delik dalam perlindungan hak merek sebagai pelanggaran dan delik kejahatan. Delik pelanggaran secara jelas disebut dalam pasal 94, yakni ; "barang siapa memperdagangkan barang dan atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 90,91,92 dan atau 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,-(duaratus juta rupiah)".
Pasal 90 "barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan"
Pasal 91 "barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan "
Pasal 92 ayat 1 "barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar "
Pasal 92 ayat 2 "barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar "
Pasal 92 ayat 3 "Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukan bahwa barang tersebut merupakan tiruan barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi Geografis, diberlakukan ketentuan sebagaiman dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 "
Pasal 93 " barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut"
Selain delik pelanggaran, selebihnya adalah delik kejahatan. Hal ini berarti bahwa terhadap percobaan untuk melakukan delik yang digolongkan dalam delik kejahatan tetap diancam dengan hukuman pidana.
Adapun ancaman pidana yang dimaksudkan tersebut, termuat dalam pasal 90 dan pasal 91 Undang-Undang Merek No. 15 tahun 2001, yakni ; Pasal 90 "barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan, dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) ;
Pasal 91 "barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)tahun dan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,-(delapan ratus juta rupiah) ;

 
PERMASALAHAN TENTANG PENEGAKAN MERK
INDIKASI GEOGRAFIS
TRIPs mengatur perlindungan mengenai Indikasi Geografis dalam pasal 22, 23 dan 24 dengan mewajibkan negara anggotanya untuk membuat Peraturan tentang Indikasi geografis sehingga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap produk-produk Indikasi Geografis dari praktek persaingan curang (unfair Competition).
Kriteria Indikasi Geografis pada suatu produk barang harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
▪ Sebagai tanda yang diambil dari nama daerah, dari suatu produk atau barang yang diperdagangkan
▪ Sebagai tanda yang menunjukan kualitas atau reputasi produk di daerah yang bersangkutan .
▪ Kualitas barang tersebut dipengaruhi oleh alam, cuaca dan tanah di daerah yang bersangkutan .

 
Indikasi Geografis dalam UU Merek No. 5 Tahun 2001 diatur dalam pasal 56 dimana bahwa " Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang nenunjukan daerah asal suatu barang yang karena paktor lingkungan geografis termasuk factor alam, factor manusia, atau kombinasi dari kedua factor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. "

 
Tanda yang digunakan sebagai label atau etiket tersebut dapat berupa nama tempat, daerah atau wilayah, huruf atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Perlindungan meliputi perlindungan barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan atau hasil industri tertentu. Contohnya : susu Kuda Liar dari Sumbawa, Tembakau Deli, Salak Pondoh, dimana kalau ditanam ditempat lain dengan keadaan alam (curah hujan, sinar matahari, kemiringan tanah, dan sebagainya) yang berbeda akan menghasilkan cita rasa yang berbeda pula.
Tetapi pada kenyataanya banyak terjadi peniruan merek-merek yang mengandung nama suatu daerah asal yang dimiliki oleh pihak-pihak yang tidak ada hubungan dengan asal tersebut. Contohnya yaitu nama kopi Toraja atau Toraja lengkap disertai dengan gambar-gambar rumah Toraja yang ternyata telah digunakan di luar negeri dan didaftar sebagai merek diantaranya yaitu di AS (WWW.uspto.gov)
Contohnya :
Merek Toarco Toraja – dengan nomer pendaftaran 758884722 dimiliki oleh Key Coffe, Inc Corporation Japan.
Sayangnya gambar rumah Toraja tersebut yang merupakan symbol daerah Toraja tidak diklaim sebagai produk Indikasi Geografis dari Indonesia, hal ini sebagai akibat dari belum berlakunya pelindungan Indikasi geografis di Indonesia meskipun UU Merek yang sekarang sudah mengatur mengenai Indikasi Geografis tetapi pada tahap pelaksanannya masih perlu perangkat berupa Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum juga ada realisasinya.
Akibat kepemilikan atas merek TOARACO TORAJA tersebut diatas nasih tetap dimiliki oleh Key Coffe, Inc Corporation Japan, kaena Indonesia belum mengajukan keberatannya pada pihak key Coffe, Inc karena belum adanya dasar hukum yang mengatur. Sedangkan dari pihak Key Coffe, Inc Corporation japan sendiri merasa berhak atas nama ini karena selama ini pihaknya telah mengembangkan kopi Toraja sehingga dikenal di dunia perdagangan kopi internasional.
Diharapkan dalam proses perbutan Perataur Pemerintah (PP) tersebut Direktorat HAKI selaku lembaga yang yang mengatur pendaftaran Indikasi geografis, akan giat bekerja sama dengan Pemerintah daerah mengenai Perlindungan Tata Ruang Departemen Pertanian guna melindungi produk unggulan spesifik dari suatu daerah dan lebih mensosialisasikan pentingnya perlindungan atas Indikasi Geografis di daerah-daerah.
Dengan adanya kerjasama yang intensif antar departemen terkait diharapkan hal ini dapat memajukan perekonomian maupun devisa negara dimana pihak-pihak asing yang etiket mereknya menggunakan symbol, gambar maupun tanda dari daerah di Indonesia, akan dikenakan kewajiban untuk membayar royalty ke Pemerintah daerah setempat maupun asosiasi produknya di Indonesia
Sayangnya dalam UU Merek kita No. 15 tahun 2001, terjadi kekeliruan konsep dimana dinyatakan dalam penjelasan pasal 56 ayat 1 bahwa hasil kerajinan tangan atau hasil Industri tertentu dapat dikatagorikan sebagai Indikasi Geografis, hal ini jelas tidak sesuai dengan isi persetujuan TRIPs pasal 22 ayat 1 yang menerangkan bahwa Indikasi Geogarafis adalah indikasi yang indentifikasikan suatu barang sebagai berasal dari daerah suatu negara anggota atau daerah atau lokasi dari wilayah tersebut dimana suatu kualitas reputasi sifat dasar lain atas suatu barang adalah unsur inti yang merupakan sifat dari asal geografisnya.

 
Sebagai mana diketahui bahwa hasil kerajinan tangan berada di bawah lingkup hak cipta dan desain yaitu :
▪ Bagian Ketiga mengenai Hak Cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui pasal 10 (2) mengenai : " Negara memegang Hak Cipta atas atas Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koregrafi, tarian, kaligafi, dan karya seni lainnya " dan .
▪ Bagian Keempat mengenai Ciptaan yang dilindungi Pasal 12 ayat 1 f : "Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni likes, gambar, seni ukir, seni Kaligrafi, seni pahat, seni Patung, lukis, gambar, kolase dan seni terapan.
Penjelasan seni terapan : yang berupa kerajinan tangan tangan sejauh tujuan pembuatannya bukan untuk diproduksi secara massal merupakan suatu ciptaan.
▪ Pasal 1 UU Desain Industri No. 31 Tahun 2000 : " Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi atau kompasisi faris atau warna atau garis dan warna atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan astetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Jika dikaji lebih mendalam ada suatu pemahaman yang keliru dengan dimasukkannya ketentuan mengenai Indikasi Geografis dalam UU Merek kita (Pasal 56 – Pasal 60) karena sebenarnya Indikasi Geografis kurang tepat dimasukkan dalam Merek atau bukan termasuk Merek.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 (d) UU Merek No. 15 tahun 2001 itu sendiri yang menyatakan bahwa : "Merek tidak bisa didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini : (d) merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya ".
Yangmana dipertegas dalam penjelasannya bahwa " merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, Contohnya : Merek kopi atau gambar kopi untuk jenis barang kopi atau untuk produk kopi".
Padahal dalam contoh merek yang diasumsikan sebagai Indikasi geografis diantaranya : MARKISA UJUNG PANDANG, TENBAKAU DELI, APEL MALANG, KOPI TORAJA adalah berkaitan dengan barang maka tidak termasuk sebagai Merek.
Menurut pendapat kami idealnya pengaturan Indikasi geografis harus dikeluarkan dari UU Merek seperti bahwa UU Rahasia Dagang, guna menghindari keracuan pengertian dalam pengaturan keduanya.

 
PERSAINGAN CURANG / PERSAINGAN TIDAK JUJUR (UNFAIR COMPETITION) DAN TRADE DRESS YANG MERUPAKAN BAGIAN DARI UNFAIR COMPETITION
Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Paris wajib menjamin adanya perlindungan yang efektif dalam hukum nasional terhadap tindakan-tindakan unfair competition yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Hal ini diharapkan akan dapat mencegah atau menekan segala tindakan yang menimbulkan unfair competition.
Adapun mengenai tindakan-tindakan yang dianggap sebagai Unfair competition menurut pasal 10 bis Konvensi Paris, yaitu meliputi segala tindakan yang menciptakan comfusion, adanya pernyataan menyesatkan ( false allegation) untuk mendiskritkan kompetitornya, serta adanya indikasi atau pernyataan bahwa setiap tindakan atau praktek yang bertentangan dengan praktek di dalam kegiatan perdagangan yang jujur dianggap sebagai unfair competition (dishonest practice).
Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai unfair competition dalam kaitan dengan pemakaian merek. Namun demikian untuk menangani kasus unfair competition saat ini dapat mendasarkan pada ketentuan yang termuat dalam aturan hukum pidana (criminal provision) dan aturan perdata (civil provision yaitu :
  1. Pasal 382 bis KUHP
  2. Pasal 1365 BW
  3. Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan konsumen No. 8 tahun 1998
☺ Pasal 382 KUHP
"Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau atau seorang tertentu diancam jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah ".
☺ Pasal 1365 KUHPer
"Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut ".
Gugatan atas kasus unfair competition yang mendasar pada ketiga ketentuan hukum di atas berada di lingkungan peradailan umum.
Sedangkan untuk perkara-perkara merek (dalam lingkup Pengadilan Niaga) yang mengandung unsur unfair competition, para Hakim untuk mengisi kekosongan hukum yang ada dengan mendasarkan pertimbangan hukumnya pada UU Merek Pasal 69 ayat 2 yang menyatakan bahwa :
"Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum".
Karena dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa : " pengertian bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu (penjelasan pasal 5 huruf a ), termasuk pula dalam pengertian yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah adanya itikad tidak baik ".
3. ITIKAD TIDAK BAIK
Masalah unfair competition ini berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik, sebagaimana dikutip dari bukunya M. YAHYA HARAHAP, S.H. (mantan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Perdata tertulis/hakim Agung) dalam bukunya : Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992, hal. 584 s/d 585, yang menyatakan :
Bertitik tolak dari penjelasan pasal 57 ayat 2 UU Merek No. 19 Tahun 1992 yang sudah diadopsi menjadi pasal 69 ayat 2 dala UU Merek No 15 Tahun 2001, dimana dinyatakan pengajuan gugatan pembatalan tanpa batas waktu, terdiri dari dua alasan :
  1. Berdasarkan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dan
  2. Berdasarkan alasan "itikad tidak baik " (bad faith).

 
Apa sajah yang termasuk kedalam pengertian itikad tidak baik ? Sulit untuk menentukan definisi yang pasti dan konkret. Dari pendekatan teori dan praktek terdapat pengertian yang sangat luas. Misalnya, meniru, memproduksi atau mencontoh maupun membonceng kemasyuran merek orang lain menurut versi pasal 6 bis konvensi paris, dianggap sebagai perbuatan "Pembajakan" (pirate) secara itikad tidak baik.

 
Setiap orang tahu, :itikad tidak baik "(bad faith) merupakan lawan kata dari " itikad baik " (good faith) .Secara umum, jangkauan pengertian itikad tidak baik, meliputi perbuatan "penipuan" (fraud) . Termasuk juga rangkaian yang "menyesatkan " (misleading) orang lain. Meliputi juga tingkahlaku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Atau bisa juga diartikan melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur (dishonesthy purpose) .

 
Dalam pengkajian Merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi, membajak atau membonceng kemasyuran merek oramg lain, dianggap perbuatan :
▪ Pemalsuan (fraud)
▪ Penyesatan (deception,misleading)
▪ Memakai merek orang lain tanpa hak (unauthorized use)
Setiap perbuatan Pemalsuan, penyesatan atau memakai merek oarng lain tanpa hak, secara harmonisasi dalam perlindungan merek, dikualifikasi sebagai :
▪ Persaingan curang (unfair competition),

Serta dinyatakan sebagai perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur (unjust enrichment)
Contoh di bawah ini adalah ketentuan Hukum dan Yurisprudensi yang dapat dijadikan referensi bagi para hakim dalam memutus perkara Merek yang mengandung unsur Unfair competition, diantaranya yaitu :
  1. pasal 6 bis ayat 3 Konvensi Paris :
    "No time limit shall be for seeking the cancellation of the marks registered in bad faith ".
  2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 370 K/Sip/ 1983 tertanggal 19 Juli 1984 tentang sengketa merek "DUNHILL" antara Alfred Dunhill Limited melawan Lilien Sutan, yang intinya : "Pemakaian dan peniruan merek terkenal orang lain harus dikualifikasi sebagai pemakai yang beritikad tidak baik, karena itu tidak patutu diberi perlindungan hukum "
  3. Putusan Mahkamah Agung RI. No. 220/PK/perd/1986 tertanggal 16 Desember 1986 tentang sengketa merek "NIKE ", antara Nike International Limited melawan lucas Sasmito, yang intinya berbunyi sebagai berikut : "Bahwa Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan turut serta dalam pergaulan bangsa-bangsa, wajib pula memelihara hubungan internasional dengan menghormati antara lain merek-merek warga negara asing hal ini tidak hanya terbatas pada keadaan dimana ada hubungan hukum antara prinsipal dengan agen, melainkan juga sikap pengusaha Indonesia yang mengetahui adanya merek yang terkenal secara internasional meskipun tidak/belum didaftar dalam daftar umum kantor Hak Milik Perindustrian tetapi namanya sudah dikenal juga di Indonesia sesuai dengan makna dari Undang-undang No.21 Tahun 1961, tidak dapat menggunakan merek yang sama seperti merek asing yang terkenal tersebut, demi untuk melindungi masyarakat konsumen Indonesia terhadap kekeliruan seakan-akan merek Indonesia tersebut adalah keluaran pabrik yang sama dengan merek asing yang asli.
  4. Putusan MARI No. 39 K/pdt/1989 tertanggal 24 nopember 1990 : " Bahwa setiap perbuatan pemakaian merek yang bersipat membingungkan dan mengelabui serta mengacaukan opini dan visual khalayak ramai dikualifikasi mengandung unsur bad faith dan unfair competition ".
Disamping berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik, masalah unfair competition ini berkaitan erat dengan masalah trade dress yang juga belum diatur dalam UU merek kita .
4. TRADE DRESS
Dalam UU Merek Amerika Serikat dijelaskan defisi trade dress sebagai bentuk yang distinctive and non functional feature which distinguishes a merchant's good or services from those of another.
Bahwa trade dress meliputi total image dan dapat juga termasuk di dalamnya warna kemasan, konfigurasi barang. Perlindungan atas pelanggaran trade dress adalah penting dalam dunia bisnis.
Selain Ameria Serikat, di Australia perlindungan mengenai trade dress atau aspek produk dagang (trade product) dapat ditemui dalam :
  1. The Trademark Act, 1995 ;
  2. Commonlaw protection against passing off and/ar the consumer provisions of the trade practices Act 1974 ;
  3. The copyright Act, 1968 ;
  4. The design Act, 1906 ;
Batasan definisi bagi trade dress itu merujuk pada penampilan kemasan suatu produk yang akan dijual, yaitu meliputi bentuk, ukuran dan warna kemasan, desain lebelnya bahkan desain dari produk itu sendiri. Trade dress itu perlu untuk lebih menentukan bukan semata-mata tampilan dari suatu barang tetapi juga meliputi system perdagangan yang inovatif (innovative trading styles) dan bahkan mungkin termasuk strategi khusus dalam menjalankan bisnis.
Dengan kata lain definisi trade dress meliputi keseluruhan bentuk visual (visual image) yang ditampilkan oleh seorang pedagang kepada konsumennya. Dibawah UU Merek Australia yang baru, seorang pemilik pada trade dress ada kemungkinan bisa mendapatkan pendaftaran atas trade dress-nya sebagai suatu merek dagang sehingga dilindungi dari segala pelanggaran yang diatur dalam lingkup UU Merek.
Hal ini dikarenakan definisi " a sign " menuntut the New Act adalah sebagai berikut : "a sign includes the following or any combination of the following, namely, any letter, word, name signature, numerial, device, brand, heading, label, ticket, aspect of packaging, shape, color,sound or scent " Dimana sebelumnya maslah kemasan, bentuk, warna, suara maupun bau yang sebelumnya tidak di cover dalam UU Merek yang lama.
Walaupun dalam kenyataanya banyak pendaftaran atas merek 2 (dua) atau 3 (tiga) dimensi yang sudah diterima dalam UU Merek lama, akan tetapi ruang lingkup pendaftaran merek dagang seperti itu sangat tarbatas dan bahkan terkesan adanya suatu ketidak pastian mengenai ruang lingkup pendaftaranya dan perlindungannya. Atas dasar ketidak pastian ini maka pemilik merek cenderung mencari perlindungan atas kombinasi unsur merek dagang yaitu bentuk dan/ atau aspek kemasan dan atau warna secara terpisah dari merek kata atau label.
Sebenarnya di Indonesia pun di era tahun 30-an tepatnya tanggal 24 september 1931, Hakim di Pengadilan Negeri Medan (Landraad Medan) yaitu pada kasus COLGATE vs MAISING sudah dapat mengantisipasi kekosongan hukum mengenai trade dress dan unfair competition ini dengan mendasarkan pertimbangannya bahwa persamaan pada pokoknya merek tidak semata-matam ditentukan oleh persamaan bunyi pengucapan pada kedua merek yang kemasan produk masing-masing merek tersebut, diantaranya yaitu warna, bentuk atau pormatnya dan kesan selanjutnya dari merek yang bersangkutan.
Diharapkan dimasa mendatang pemerintah Indonesia dapat mengantisipasi permasalahan trade dress ini tidak melalui revisi UU merek yang sekarang ada maupun dengan pembentukan suatu undang-undang/peraturan yang terpisah khusus mengatur mengenai trade dress ini.
Karena pada prakteknya sekarang, banyak permohonan merek yang pada proses permohonannya hanya mengklaim hanya sebagai merek kata – dengan huruf biasa ( tanpa warna, bentuk, maupun kemasan) tetapi pada saat produks itu dilempar ke pasaran, ternyata merek kata itu memiliki bentuk huruf, warna maupun warna kemasan yang sama dengan produk orang lain yang sebelumnya sudah memiliki atau memasarkan produknya dengan seperti itu ke pasaran. Contohnya : kasus OREO dan RODEO
Pemohon merek rodeo mendaftarkan merek rodeo pada Kantor Merek hanya sebagai kata saja dengan menggunakan block letter, tetapi di pasaran merek tersebut digunakan dalam bentuk tulisan dan kemasan yang sama dan sangat mirip dengan merek OREO milik orang lain untuk jenis barang yang sama. Kemasan yang menyerupai atau mirip dapat mengelabui atau menyesatkan konsumen yang tidak terlalu teliti atas produk dagang tersebut selain itu konsumen pun dapat mengira bahwa oreo dan rodeo berasal dari sumber yang sama, padahal keduanya memiliki kualitas yang berbeda karena berasal dari sumber yang berbeda pula.

 
Kasus Mega Top Vs Top 1
Dalam kasus ini penggugat mendasarkan gugatannya berdasarkan pemakaian merek tergugat yang tidak sesuai dengan pendaftarannya yaitu dalam kemasannya memakai desain angka 1 dengan desain tulisan MEGATOP dalam elips dan warna merah kuning yang menonjol sedangkan pendaftaranya hanya sebagai wordmark "MEGA TOP" dengan warna hitam putih. Penggugat mengajukan gugatan penghapusan merek. Penggugat telah mendaftarkan lebih dulu desain angka 1 beserta tulisa TOP dalam elips dan warna merah dan kuning.Penggunaan desain angka satu dengan tulisan MEGA TOP dalam elips serta kemasan warna merah dan kuning oleh tergugat sebagai usaha menciptakan confusion dan mislead the public yang dikalim oleh Penggugat juga sementara diatasi dengan penghapusan merek tersebut, walaupun sasaran terhadap infringing goods yang beredar belum dijamin tuntas.
5. D O M A I N N A M E
Pada awalnya ada perbedaan yang tegas antara merek dan nama domain, karena merek merupakan identitas suatu komoditi barang dan jasa perdagangan yang memiliki nilai ekonomi Karen berkaitan dengan kegiatan perdagangan dan perindustrian sedangkan nama domain hanyalah menunjukan alamat pribadi sebagai identitas perorangan yang bersipat individu sehingga semata-mata ditunjukan untuk kepentingan komunikasi saja tanpa melibatkan kegiatan bisnis dan perdagangan.
Akan tetapi sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat yang ikut mempengaruhi bentuk-bentuk interaksi social diantaranya kegiatan perdagangan atau bisnis yang dikemudian hari hal ini melahirkan bentuk metode bisnis dan perdagangan yang baru melalui internet beridentitaskan nama domain, pada titk inilah awal terjadinya keracuan perlindungan antara merek dan nama domain.

 
Permasalahannya :
Apakah nana domain dapat dikatagorikan sebagai merek sehingga memenuhi definisi sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 UU 15/ 2001 yang menyebutkan bahwa : "Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa".
Sehingga dalam penggunaannya sebagai nama domain suatu perlindungan hukum, guna menghindari pihak ketiga memperoleh keuntungan dari penggunaan nama merek sebagai nama domainnya.
Karena pada perkembangannya timbulnya pelanggaran-pelanggaran nama domain dalam bentuk :
  1. CRIBERSQUATTING
    Yaitu orang-orang yang mencoba mengambil keuntungan dengan cara mendaftarkan nama domain dengan menggunakan nama-nama yang sudah terkenal missal : www.juliaroberts.com, www.mcdonalds.com, dengan harapan bahwa pemilik nama terkenal tersebut setuju untuk membayar sejumlah sebagian biaya peralihan nama tersebut.
  2. TIPOSQUATTING
    Yaitu orang-orang yang mencoba menciptakan nama domain yang menyerupai dengan nama produk dagang yang sudah terkenal dengan memanfaatkan reputasi merek tersebut dengan harapan dapat mengambil keuntungan dagang dari padanya. Sehingga hal ini menimbulkan keracuan di masyarakat karena adanya persamaan pada pokoknya. Missal :www.cocicola.com dari perusahaan permen yang memiliki rasa cola, sehingga bertendensi menimbulkan keracuan dengan produk minuman ringan coca cola.

     
    Kasus MUSTIKA RATU.COM
Kasus ini diawali dari diketahuinya keberadaan nama domain mustika-ratu.com oleh pihak Mustika Ratu yang ironisnya domain tersebut ke Network Solution, Inc suatu provider internet di Amerika Serikat. Akibatnya Tjandra Sugiono didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan ancaman hukuman pasal 382 bis KUHP dan pasal 48 ayat 1 jo Pasal 19 b UU 5 tahun 1999.

 
Berdasarkan pada kedua sumber hukum tersebut banyak disayangkan oleh berbagai pihak, karena dalam prakteknya di seluruh dunia sampai saat ini tidak ada kasus domain name yang diselesaikan dengan mendasarkan pada ketentuan pidana karena hal tersebut dapat berdampak negatif bagi dunia bisnis.

 
Walaupun Indonesia belum memiliki peraturan mengenai domain name, tetapi selaku anggota dari WIPO, sebenarnya kasus ini dapat diselesaikan dengan cara mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan perdata atau WIPO Media and Arbitrase Center. Dan praktek pada umumnya, putusan Pengadilan atau WIPO berupa pengalihan atau transfer nama domain tersebut kepada pemilik yang berhak, bukan dengan cara mengenakan denda atau pidana kepada si cybersquatter (pembajak) .

 
Salah satu sebab maraknya kasus nama domain karena system pendaftaran domain name yang berprinsip "first come first served" dimana yang terlebih dahulu mendaftar adalah dialah yang berhak atas domain name tersebut – No Substantive Examination. Berbeda dengan permohonan pendaftaran merek yang menyaratkan adanya pemeriksaan substantif sebelum merek itu didaftarkan.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia Rooseno, Aspek Hukum tentang Merek, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004;
Budi Rahardjo, Apakah Negara Berkembang Memerlukan Sistem Perlindungan HKI, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004;
-----------------, Perlukah Perlindungan HKI Bagi Negara Berkembang, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004 ;
Zen Umar Purba, Latar Belakang Perubahan UU Tentang Kekayaan Hak Intelektual, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004 ;

Tidak ada komentar: