Sistem Konstitutif dan Sistem Deklaratif
            Sistem perlindungan yang diberikan terhadap hak atas suatu   merek yang dianut oleh UU No. 15 tahun 2001 adalah system Konstitutif.   Artinya adalah perlindungan hak atas merek diberikan hanya berdasarkan   adanya  pendaftaran.  Sistem ini dikenal juga dengan istilah "first to file syitem",   yang artinya perlindungan diberikan kepada siapa yang mendaftar lebih   dulu.  Untuk Pemohon sesudahnya yang mengajukan merek yang sama atau   mirip tidak akan mendapat perlindungan hukum.
           Kebalikan dari system konstitutif adalah system deklaratif   dimana atas perlindungan hak atas merek diberikan atas dasar pemakaian   pertama sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.  Beberapa negara   masih menganut system ini, meskipun sebenarnya kurang menjamin kepastian   hukum.  Seringkali dalam kasus di Pengadilan, ditemukan kesulitan  untuk  menentukan siapa sebenarnya pemakai pertama (yang beritikad baik)   karena sulitnya membuktikan siapa pemakai pertama.  Oleh karena itu   sering menimbulkan ketidak pastian hukum pada para pemilik merek yang   berhak.
Beberapa masalah yang sering dijumpai dalam pemeriksaan merek
Meskipun   Undang-undang sudah mengatur ketentuan merek sedemikian rupa, namun   pada prakteknya sering timbul beberapa masalah dalam pemeriksan merek.    Salah satu masalah yang paling menonjol adalah yang berkaitan dengan   "persamaan".  Di dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a disebutkan   bahwa permohonan merek harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila merek   tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan   merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dulu untuk barang dan atau   jasa sejenis.  Bagaimana menentukan ada tidaknya suatu persamaan merek.    Berikut ini adalah beberapa teori mengenai persamaan merek dan   contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama.
Persamaan keseluruhan elemen
Persamaan keseluruhan elemen adalah standar untuk menentukan adanya persamaan yang sesuai dengan doktrin entirentis similar.  Dalam hal ini merek yang diminta untuk didaftarkan merupakan copy atau reproduksi merek orang lain.  Agar suatu dapat disebut copy   atau reproduksi dari merek orang lain sehingga dapat dikualifikasi   mengandung persamaan secara keseluruhan, paling tidak harus memenuhi   syarat-syarat :
●    Terdapat persamaan elemen merek secara keseluruhan ;
●    Persamaan jenis atau produksi dan kelas barang atau jasa ;
●    Persamaan wilayah dan segmen perusahaan ;
●    Persamaan cara dan prilaku pemakaian ;
●    Persamaan cara pemeliharaan ;
●    Persamaan jalur pemasaran .
Syarat   –syarat tersebut diatas bersifat kumulatif, sehingga untuk menentukan   adanya persamaan harus semuanya terpenuhi.  Namun demikian standar   penentuan berdasarkan ajaran ini dianggap terlalu kaku dan tidak dapat   melindungi kepentinagan pemilik merek khususnya untuk merek terkenal.
Persamaan pada pokoknya
Dalam   penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001, yang dimaksud dengan   persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya   unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain,   yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik dalam bentuk   (lukisan atau tulisan), cara penempatan (yaitu unsur-unsur yang diatur   sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang lain),   arti dan kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi dalam   ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Pengertian persamaan pada pokoknya yang diatur dalam penjelasan ini sesuai dengan dokrin "nealy resembles", yang   menganggap suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek   orang lain jika pada merek tersebut terdapat kemiripan (identical) atau   hampir mirip (neal resembles) dengan merek orang lain, yang dapat   didasarkan pada kemiripan gambar, susunan kata , warna atau bunyi.
Menurut   dokrin ini, persamaan pada pokoknya tidak mutlak  ditegaskan pada   persamaan dokrin semua elemen merek dan tidak dituntut keras adanya   jalur pemasaran yang sama. Faktor yang paling pokok dalam dokrin ini   adalah bahwa pemakaian merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya ini   dapat menimbulkan kebingungan yang nyata (actual confusion) atau menyesatkan ( deceive) masyarakat konsumen. Seolah-olah merek tersebut berasal dari sumber
atau produksi yang sama. Sehingga di dalamnya terlihat unsur itikad tidak baik untuk membonceng ketenaran merek milik orang lain.
atau produksi yang sama. Sehingga di dalamnya terlihat unsur itikad tidak baik untuk membonceng ketenaran merek milik orang lain.
●  Teori holistic approach
      Menurut teori ini untuk menentukan ada tidaknya persamaan merek   harus dilihat secara keseluruhan baik dari bunyinya artinya ejaannya   atau dari appearancenya (tampilannya)
●  Teori dominancy
      Untuk menentukan persamaan antara merek yang satu dengan yang   lainnya  cukup diambil unsur yang dianggap paling dominan dari merek   tersebut.    Contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama   dilihat dari bentuk, bunyi, arti dan susunan penempatannya berdasarkan   pedoman yang berlaku internal di kantor merek saat ini akan ditampilkan   pada akhir sub bab ini.
Permasalahan   kedua yang timbul dalam pemeriksaan merek adalah bagaiman menerapkan   ketentuan mengenai barang / jasa jenis atau tidak sejenis.  Dari bunyi   pasal 6 ayat 1 (a), untuk menentukan ada tidaknya suatu persamaan pada   merek, selain ditentukan oleh mereknya sendiri, juga ditentukan oleh   jenis barang dan atau jasanya.  Jika barang  atau jasa yang hendak   dilindungi oleh suatu merek yang sama dengan merek orang lain berbeda,   maka tidak dianggap  tidak terpenuhi syarat persaman baik keseluruhan   maupun pada pokoknya.
Namun   demikian bagaiman menentukan barang sejenis atau tidak sejenis.   Sifat,  cara, pembuatan dan tujuan pemakaian  yang bagaimana yang dapat   dikatakan barang sejenis. Suatu barang belum tentu dapat dikatakan   sejenis dengan  barang tertentu lainya meskipun berada dalam satu kelas   yang sama.  Demikian sebaliknya, suatu barang bisa dikatakan sejenis   dengan barang lainnya walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena   keterkaitan yang sangat erat antara kedua barang tersebut.
Sebagai   contoh di dalam praktek kantor Merek, tepung dianggap sejenis dengan   mie, karena mie dibuat dari bahan yang sama dengan tepung. Padahal jika   kita menelaah dari tujuan pemakaian tepung dan mie jelas berbeda.
Contoh   lain, barang-barang yang berkaitan dengan dunia fasion, seperti   perhiasan, pakaian (garmen), sepatu, tas, dan sebagainya ; jika melihat   pada klasifikasi jenis barang, masing-masing berada pada kelas yang   berbeda.  Padahal bukannya tidak mungkin, orang yang memproduksi pakaian   dengan merek tertentu juga memproduksi juga sepatu atau tas dengan   merek yang sama, karena keterkaitan antara barang-barang tersebut dalam   tujuan pemakaian.  Sehingga kalau tidak dapat dikatakan sejenis namun   mempunyai keterkaitan yang sangat erat.
Khusus   untuk merek terkenal, perlindungan tidak hanya diberikan pada barang   atau jasa sejenis, melainkan juga terhadap barang atau jasa yang tidak   sejenis. Jadi perlindungan terhadap merek terkenal mencakup jenis   barang/jasa yang lebih luas.  Akan tetapi kriteria apa yang harus   dipenuhi sehingga suatu merek dapat dianggap terkenal.  Reputasi yang   bagaimana yang harus diperoleh sehingga merek menjadi terkenal. Hal ini   pun dalam praktek sering menimbulkan permasalahan, karena  ketidak   jelasan ketentuan perundang-undangan. Sejauh ini batasan mengenai merek   terkenal hanya berdasarkan kriteria penggolongan sebagai berikut:
- Reputasi merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis produk, memiliki kualitas stabil, dari waktu ke waktu dapat dipertahankan di berbagai negara serta memiliki pendaftaran di beberapa negara ;
- Perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang dimana merek tersebut didaftarkan ;
- Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan yang dapat diketahui dari adanya promosi yang dilakukan dengan gencar dan besar-besaran, adanya investasi di beberapa Negara yang dilakukan oleh pemiliknya, disertai dengan adanya bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Ketiga   permasalahan tersebut yakni mengenai persamaan merek dan jenis barang   serta kriteri merek terkenal sering menimbulkan maslah dalam  pemeriksaan  merek. Selain karena tidak adanya ketentuan yang memberikan  pedoman  yang pasti pada pemeriksaan merek, juga karena sifatnya sangat   subyektif, sehingga untuk menentukan ketiga hal tersebut sangat   bergantung pada penafsiran dan penilaian yang berbeda dari masing-masing   individu. Keadaan ini menyebabkan munculnya putusan-putusan Kantor   Merek yang kurang konsisten mengenai kasus-kasus yang serupa.
PELANGGARAN HAK ATAS  MEREK DAN PENYELESAIAN HUKUMNYA
1.      Gugatan pelanggaran atas hak merek secara perdata
- Gugatan ganti rugi
Pasal   76 (1) (a) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap   pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai   persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang   sejenis berupa gugatan ganti rugi.  Sayangnya sampai saat ini belum ada   putusan Pengadilan yang mengabulkan gugtan ganti rugi.
- Interlocutory injuctionPasal 76 (1) (b) pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan pada pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Seluruh gugatan ditunjukan kepada Pengadilan Niaga.Hak mereka merupakan suatu hak kebendaan, oleh karena haknya bersifat kebendaan maka hak tersebut dapat dipertahankan oleh siapa saja. Di dalam Pasal 76 tersebut disebutkan ada dua macam bentuk dari tuntutan gugatan yakni berupa permintaan ganti rugi dan penghentian dari pemakaian suatu merek. Ganti rugi tersebut harus dapat dinilai dengan uang, dan ganti rugi immaterial yakni berupa ganti rugi yang disebabkan oleh pemakaian merek dengan tanpa hak sehingga yang berhak menderita kerugian secara moril.
 2. Tuntutan pelanggaran atas hak merek secara pidana
 
           Undang-undang merek No. 15/2001 menggolongkan delik dalam   perlindungan hak merek sebagai pelanggaran dan delik kejahatan.  Delik   pelanggaran secara jelas  disebut dalam pasal 94, yakni ; "barang   siapa memperdagangkan barang dan atau jasa yang diketahui atau patut   diketahui bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan hasil   pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 90,91,92 dan atau 93   dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda   paling banyak Rp. 200.000.000,-(duaratus juta rupiah)".
Pasal  90  "barang   siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada   keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan   atau jasa sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan"
Pasal 91 "barang   siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada   pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang yang sama   atau sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan "
Pasal 92   ayat 1 "barang   siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada   keseluruhannya dengan indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang   yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar "
Pasal 92   ayat 2 "barang   siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada   pokoknya dengan indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang yang   sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar "
Pasal 92 ayat 3 "Terhadap   pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil   pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukan bahwa barang   tersebut merupakan tiruan barang yang terdaftar dan dilindungi   berdasarkan indikasi Geografis, diberlakukan ketentuan sebagaiman   dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 "
Pasal 93  " barang   siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi   berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat   memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal   jasa tersebut"
Selain   delik pelanggaran, selebihnya adalah delik kejahatan. Hal ini berarti   bahwa terhadap percobaan untuk melakukan delik yang digolongkan dalam   delik kejahatan tetap diancam dengan hukuman pidana.
Adapun   ancaman pidana yang dimaksudkan tersebut, termuat dalam pasal 90 dan   pasal 91 Undang-Undang Merek No. 15 tahun 2001, yakni ;  Pasal  90  "barang   siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada   keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan   atau jasa sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan, dipidana dengan   penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.   1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) ;
Pasal 91 "barang   siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada   pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang yang sama   atau sejenis yang diproduksi atau diperdagangkan dipidana dengan pidana   penjara paling lama 4 (empat)tahun dan atau denda paling banyak Rp.   800.000.000,-(delapan ratus juta rupiah) ;
PERMASALAHAN TENTANG PENEGAKAN MERK
INDIKASI GEOGRAFIS
TRIPs    mengatur perlindungan mengenai Indikasi Geografis dalam pasal 22, 23   dan 24 dengan mewajibkan negara anggotanya untuk membuat Peraturan   tentang Indikasi geografis sehingga dapat memberikan perlindungan hukum   terhadap produk-produk Indikasi Geografis dari praktek persaingan  curang  (unfair Competition).
Kriteria Indikasi Geografis pada suatu produk barang harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
▪  Sebagai tanda yang diambil dari nama daerah, dari suatu produk atau  barang yang diperdagangkan
▪   Sebagai tanda yang menunjukan kualitas atau reputasi produk di daerah yang bersangkutan .
▪  Kualitas barang tersebut dipengaruhi oleh alam, cuaca dan tanah  di  daerah yang bersangkutan .
Indikasi Geografis dalam UU Merek No. 5 Tahun 2001 diatur dalam pasal 56 dimana bahwa  " Indikasi   Geografis dilindungi  sebagai suatu tanda yang nenunjukan daerah asal   suatu barang yang karena paktor lingkungan geografis termasuk factor   alam, factor manusia, atau kombinasi dari kedua factor tersebut   memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. "
Tanda   yang digunakan sebagai label atau etiket tersebut dapat berupa nama   tempat, daerah atau wilayah, huruf atau kombinasi dari unsur-unsur   tersebut.
Perlindungan   meliputi perlindungan barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang   hasil pertanian, hasil kerajinan tangan atau hasil industri tertentu.   Contohnya : susu Kuda Liar dari Sumbawa, Tembakau Deli, Salak Pondoh,   dimana kalau ditanam ditempat lain dengan keadaan alam (curah hujan,   sinar matahari, kemiringan tanah, dan sebagainya) yang berbeda akan   menghasilkan cita rasa yang berbeda pula.
Tetapi   pada kenyataanya banyak terjadi peniruan merek-merek yang mengandung   nama suatu daerah asal yang dimiliki oleh pihak-pihak yang tidak ada   hubungan dengan asal tersebut. Contohnya yaitu nama kopi Toraja atau   Toraja lengkap disertai dengan gambar-gambar rumah Toraja yang ternyata   telah digunakan di luar negeri dan didaftar sebagai merek diantaranya   yaitu di AS (WWW.uspto.gov)
Contohnya :
Merek Toarco Toraja – dengan nomer pendaftaran 758884722 dimiliki oleh Key Coffe, Inc Corporation Japan.
Sayangnya   gambar rumah Toraja tersebut yang  merupakan symbol daerah Toraja  tidak  diklaim sebagai produk Indikasi Geografis dari Indonesia, hal ini   sebagai akibat dari belum berlakunya pelindungan  Indikasi geografis  di  Indonesia meskipun UU Merek yang sekarang sudah mengatur mengenai   Indikasi Geografis tetapi pada tahap pelaksanannya masih perlu perangkat   berupa Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum juga ada   realisasinya.
Akibat   kepemilikan atas merek TOARACO TORAJA  tersebut diatas nasih tetap   dimiliki oleh Key Coffe, Inc Corporation Japan, kaena Indonesia belum   mengajukan keberatannya pada  pihak key Coffe, Inc karena belum adanya   dasar hukum yang mengatur. Sedangkan dari pihak  Key Coffe, Inc   Corporation japan sendiri merasa berhak atas nama ini karena selama ini   pihaknya telah mengembangkan kopi Toraja sehingga dikenal di dunia   perdagangan kopi internasional.
Diharapkan   dalam proses perbutan Perataur Pemerintah (PP) tersebut Direktorat  HAKI  selaku lembaga yang yang mengatur pendaftaran Indikasi geografis,  akan   giat bekerja sama dengan Pemerintah daerah mengenai Perlindungan  Tata  Ruang Departemen Pertanian guna melindungi produk unggulan  spesifik dari  suatu daerah dan lebih mensosialisasikan pentingnya  perlindungan atas  Indikasi Geografis di daerah-daerah.
Dengan   adanya kerjasama yang intensif antar departemen terkait diharapkan hal   ini dapat memajukan perekonomian maupun devisa negara dimana  pihak-pihak  asing yang etiket mereknya menggunakan symbol, gambar  maupun tanda dari  daerah di Indonesia, akan dikenakan kewajiban untuk  membayar royalty ke  Pemerintah daerah setempat maupun asosiasi  produknya di Indonesia
Sayangnya   dalam UU Merek kita No. 15 tahun 2001, terjadi kekeliruan konsep  dimana  dinyatakan dalam penjelasan pasal 56 ayat 1  bahwa hasil  kerajinan   tangan atau hasil Industri tertentu dapat dikatagorikan  sebagai Indikasi  Geografis, hal ini jelas tidak sesuai dengan isi  persetujuan TRIPs  pasal 22 ayat 1 yang menerangkan bahwa Indikasi  Geogarafis adalah   indikasi yang  indentifikasikan suatu  barang  sebagai berasal dari  daerah  suatu negara anggota atau daerah atau  lokasi dari wilayah  tersebut dimana suatu kualitas reputasi sifat dasar  lain atas suatu  barang adalah unsur inti yang merupakan sifat dari  asal geografisnya.
Sebagai mana diketahui bahwa hasil kerajinan tangan berada di bawah lingkup hak cipta dan desain yaitu :
▪     Bagian Ketiga mengenai Hak Cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak   diketahui pasal 10 (2) mengenai :  " Negara memegang Hak Cipta atas  atas  Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama  seperti  cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan  tangan,  koregrafi, tarian, kaligafi, dan karya seni lainnya " dan .
▪     Bagian Keempat mengenai Ciptaan yang dilindungi  Pasal 12 ayat 1 f  :    "Dalam undang-undang ini ciptaan yang  dilindungi adalah Ciptaan  dalam  bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup (f) seni  rupa  dalam segala bentuk seperti seni likes, gambar, seni ukir, seni   Kaligrafi, seni pahat, seni Patung, lukis, gambar, kolase dan seni   terapan.
       Penjelasan seni terapan  : yang berupa kerajinan tangan  tangan   sejauh tujuan pembuatannya bukan untuk diproduksi secara massal   merupakan suatu ciptaan.
▪     Pasal 1 UU Desain Industri No. 31 Tahun 2000 : " Desain Industri   adalah suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi atau kompasisi faris atau   warna atau garis dan warna atau gabungan dari padanya yang berbentuk   tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan astetis dan dapat   diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai   untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau   kerajinan tangan.
Jika   dikaji lebih mendalam ada suatu pemahaman yang keliru dengan   dimasukkannya ketentuan mengenai Indikasi Geografis dalam UU Merek kita   (Pasal 56 – Pasal 60) karena sebenarnya Indikasi Geografis kurang tepat   dimasukkan dalam Merek atau bukan termasuk Merek.
Hal   ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 (d) UU Merek No. 15 tahun   2001 itu sendiri yang menyatakan bahwa : "Merek tidak bisa didaftar   apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini : (d)   merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang   dimohonkan pendaftarannya ".
Yangmana dipertegas dalam penjelasannya bahwa "   merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang atau jasa yang   dimohonkan pendaftarannya, Contohnya : Merek kopi atau gambar kopi  untuk  jenis barang kopi atau untuk produk  kopi".
Padahal   dalam contoh merek yang diasumsikan sebagai Indikasi geografis   diantaranya : MARKISA UJUNG PANDANG,  TENBAKAU DELI, APEL MALANG, KOPI   TORAJA adalah berkaitan dengan barang maka tidak termasuk sebagai Merek.
Menurut   pendapat kami idealnya pengaturan Indikasi geografis harus dikeluarkan   dari UU Merek seperti bahwa UU Rahasia Dagang, guna menghindari  keracuan  pengertian dalam pengaturan keduanya.
PERSAINGAN CURANG / PERSAINGAN TIDAK JUJUR (UNFAIR COMPETITION) DAN TRADE DRESS YANG MERUPAKAN BAGIAN DARI UNFAIR COMPETITION
Indonesia   sebagai negara peserta dalam Konvensi Paris wajib menjamin adanya   perlindungan  yang efektif dalam hukum nasional terhadap   tindakan-tindakan unfair competition yang dapat menimbulkan kerugian   bagi pihak lainnya. Hal ini diharapkan akan dapat mencegah atau menekan   segala tindakan yang menimbulkan unfair competition.
Adapun   mengenai tindakan-tindakan yang dianggap sebagai Unfair competition   menurut pasal 10 bis Konvensi Paris, yaitu meliputi segala tindakan yang   menciptakan comfusion, adanya pernyataan menyesatkan ( false   allegation) untuk mendiskritkan kompetitornya, serta adanya indikasi   atau pernyataan bahwa setiap tindakan atau praktek yang bertentangan   dengan praktek di dalam kegiatan perdagangan yang jujur dianggap sebagai   unfair competition (dishonest practice).
Sampai   saat ini, Indonesia belum mempunyai suatu peraturan perundang-undangan   yang mengatur secara khusus mengenai unfair competition dalam kaitan   dengan pemakaian merek. Namun demikian untuk menangani   kasus unfair   competition saat ini dapat mendasarkan pada ketentuan yang termuat dalam   aturan hukum pidana (criminal provision) dan aturan perdata (civil   provision yaitu :
- Pasal 382 bis KUHP
- Pasal 1365 BW
- Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan konsumen No. 8 tahun 1998
☺   Pasal 382 KUHP
    "Barang   siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil   perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan   perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau atau seorang   tertentu diancam jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi   konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain karena   persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat   bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah   ".
☺   Pasal 1365 KUHPer
     "Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada  orang   lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,   mengganti kerugian tersebut ".  
Gugatan atas kasus unfair competition yang mendasar pada ketiga ketentuan hukum di atas berada di lingkungan peradailan umum.
Sedangkan   untuk perkara-perkara merek (dalam lingkup Pengadilan Niaga) yang   mengandung unsur unfair competition, para Hakim untuk mengisi kekosongan   hukum yang ada dengan mendasarkan pertimbangan hukumnya pada UU Merek    Pasal 69 ayat 2 yang  menyatakan bahwa :
"Gugatan   pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang   bersangkutan bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan dan   ketertiban umum".
Karena dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa : " pengertian   bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum   adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan,   kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari   golongan masyarakat tertentu (penjelasan pasal 5 huruf a ), termasuk pula dalam pengertian yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah adanya itikad tidak baik ".
3. ITIKAD TIDAK BAIK
Masalah   unfair competition ini berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik,   sebagaimana dikutip dari bukunya M. YAHYA HARAHAP, S.H. (mantan Ketua   Muda Mahkamah  Agung RI Bidang Hukum Perdata tertulis/hakim Agung) dalam   bukunya :  Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia   berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992, hal. 584 s/d 585, yang   menyatakan :
Bertitik   tolak dari penjelasan pasal 57 ayat 2 UU Merek No. 19 Tahun 1992 yang   sudah diadopsi menjadi pasal 69 ayat 2 dala UU Merek No 15 Tahun 2001,   dimana dinyatakan pengajuan gugatan pembatalan tanpa batas waktu,   terdiri dari dua alasan :
- Berdasarkan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dan
- Berdasarkan alasan "itikad tidak baik " (bad faith).
    Apa sajah yang termasuk kedalam pengertian itikad tidak baik ?    Sulit  untuk menentukan definisi yang pasti dan konkret.  Dari   pendekatan  teori dan praktek terdapat pengertian yang sangat luas.  Misalnya,  meniru, memproduksi atau mencontoh maupun membonceng  kemasyuran merek  orang lain menurut versi pasal 6 bis konvensi paris,  dianggap sebagai  perbuatan "Pembajakan" (pirate) secara itikad tidak  baik.
Setiap   orang tahu, :itikad tidak baik "(bad faith) merupakan lawan kata dari "   itikad  baik " (good faith) .Secara umum, jangkauan pengertian itikad   tidak baik, meliputi perbuatan "penipuan" (fraud) .  Termasuk juga   rangkaian yang "menyesatkan "  (misleading) orang lain.  Meliputi juga   tingkahlaku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan.   Atau bisa juga diartikan melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan   secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur (dishonesthy   purpose) .
Dalam   pengkajian Merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi,   membajak atau membonceng kemasyuran merek oramg lain, dianggap perbuatan   :
▪   Pemalsuan (fraud)
▪   Penyesatan (deception,misleading)
▪   Memakai merek orang lain tanpa hak (unauthorized use)
Setiap   perbuatan  Pemalsuan,  penyesatan atau memakai merek oarng lain tanpa   hak, secara harmonisasi  dalam perlindungan merek, dikualifikasi  sebagai  :
▪   Persaingan curang (unfair competition),       
Serta dinyatakan sebagai perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur (unjust enrichment)
Contoh   di bawah ini adalah ketentuan Hukum dan Yurisprudensi yang dapat   dijadikan referensi bagi para hakim dalam memutus perkara Merek yang   mengandung unsur Unfair competition, diantaranya yaitu :
- pasal 6 bis ayat 3 Konvensi Paris :"No time limit shall be for seeking the cancellation of the marks registered in bad faith ".
- Putusan Mahkamah Agung RI No. 370 K/Sip/ 1983 tertanggal 19 Juli 1984 tentang sengketa merek "DUNHILL" antara Alfred Dunhill Limited melawan Lilien Sutan, yang intinya : "Pemakaian dan peniruan merek terkenal orang lain harus dikualifikasi sebagai pemakai yang beritikad tidak baik, karena itu tidak patutu diberi perlindungan hukum "
- Putusan Mahkamah Agung RI. No. 220/PK/perd/1986 tertanggal 16 Desember 1986 tentang sengketa merek "NIKE ", antara Nike International Limited melawan lucas Sasmito, yang intinya berbunyi sebagai berikut : "Bahwa Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan turut serta dalam pergaulan bangsa-bangsa, wajib pula memelihara hubungan internasional dengan menghormati antara lain merek-merek warga negara asing hal ini tidak hanya terbatas pada keadaan dimana ada hubungan hukum antara prinsipal dengan agen, melainkan juga sikap pengusaha Indonesia yang mengetahui adanya merek yang terkenal secara internasional meskipun tidak/belum didaftar dalam daftar umum kantor Hak Milik Perindustrian tetapi namanya sudah dikenal juga di Indonesia sesuai dengan makna dari Undang-undang No.21 Tahun 1961, tidak dapat menggunakan merek yang sama seperti merek asing yang terkenal tersebut, demi untuk melindungi masyarakat konsumen Indonesia terhadap kekeliruan seakan-akan merek Indonesia tersebut adalah keluaran pabrik yang sama dengan merek asing yang asli.
- Putusan MARI No. 39 K/pdt/1989 tertanggal 24 nopember 1990 : " Bahwa setiap perbuatan pemakaian merek yang bersipat membingungkan dan mengelabui serta mengacaukan opini dan visual khalayak ramai dikualifikasi mengandung unsur bad faith dan unfair competition ".
Disamping   berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik, masalah unfair   competition ini berkaitan erat dengan masalah trade dress yang juga   belum diatur dalam UU merek kita .
4.  TRADE DRESS
Dalam   UU Merek Amerika Serikat dijelaskan defisi trade dress sebagai bentuk   yang distinctive and non functional  feature which distinguishes a   merchant's good or services from those of another.
Bahwa   trade dress meliputi total image dan dapat juga termasuk di dalamnya   warna kemasan, konfigurasi barang.  Perlindungan atas pelanggaran trade   dress adalah penting dalam dunia bisnis.
Selain   Ameria Serikat, di Australia perlindungan mengenai trade dress atau   aspek produk dagang (trade product) dapat ditemui dalam :
- The Trademark Act, 1995 ;
- Commonlaw protection against passing off and/ar the consumer provisions of the trade practices Act 1974 ;
- The copyright Act, 1968 ;
- The design Act, 1906 ;
Batasan   definisi bagi trade dress itu merujuk pada penampilan kemasan suatu   produk yang akan dijual, yaitu meliputi bentuk, ukuran dan warna   kemasan, desain lebelnya bahkan desain dari produk itu sendiri. Trade   dress itu perlu untuk lebih menentukan bukan semata-mata tampilan dari   suatu barang tetapi juga meliputi system perdagangan yang inovatif   (innovative trading styles) dan bahkan mungkin termasuk strategi khusus   dalam menjalankan bisnis.
Dengan   kata lain definisi trade dress meliputi keseluruhan bentuk visual   (visual image) yang ditampilkan oleh seorang pedagang kepada   konsumennya. Dibawah UU Merek Australia yang baru, seorang pemilik pada   trade dress ada kemungkinan bisa mendapatkan pendaftaran atas trade   dress-nya sebagai suatu merek dagang sehingga dilindungi dari segala   pelanggaran yang diatur dalam lingkup UU Merek.
Hal   ini dikarenakan definisi  " a sign " menuntut the New Act adalah   sebagai berikut : "a sign includes the following or any combination of   the following, namely, any letter, word, name signature, numerial,   device, brand, heading, label, ticket, aspect of packaging, shape,   color,sound or scent "  Dimana sebelumnya  maslah kemasan, bentuk,   warna, suara maupun bau yang sebelumnya tidak di cover dalam UU Merek   yang lama.
Walaupun   dalam kenyataanya banyak pendaftaran atas merek 2 (dua) atau 3 (tiga)   dimensi yang sudah  diterima dalam UU Merek lama, akan tetapi ruang   lingkup pendaftaran merek dagang seperti itu sangat tarbatas dan bahkan   terkesan adanya suatu  ketidak pastian mengenai ruang lingkup   pendaftaranya dan perlindungannya.  Atas dasar ketidak pastian ini maka   pemilik merek cenderung mencari perlindungan atas kombinasi unsur merek   dagang yaitu  bentuk dan/ atau aspek kemasan dan atau warna secara   terpisah dari merek kata atau label.
Sebenarnya   di Indonesia pun di era tahun 30-an tepatnya tanggal  24 september   1931, Hakim di Pengadilan Negeri Medan (Landraad Medan) yaitu pada kasus   COLGATE vs MAISING sudah dapat mengantisipasi kekosongan hukum  mengenai  trade dress dan unfair competition ini dengan mendasarkan   pertimbangannya bahwa persamaan pada pokoknya merek tidak semata-matam   ditentukan oleh persamaan bunyi pengucapan pada kedua merek yang kemasan   produk masing-masing merek tersebut, diantaranya yaitu warna, bentuk   atau pormatnya dan kesan selanjutnya dari merek yang bersangkutan.
Diharapkan   dimasa mendatang pemerintah Indonesia dapat mengantisipasi    permasalahan trade dress ini tidak melalui revisi UU  merek yang   sekarang ada maupun dengan pembentukan suatu undang-undang/peraturan   yang terpisah khusus mengatur mengenai trade dress ini.
Karena   pada prakteknya sekarang, banyak permohonan merek yang pada proses   permohonannya hanya mengklaim hanya sebagai merek kata – dengan huruf   biasa ( tanpa warna, bentuk, maupun kemasan) tetapi pada saat produks   itu dilempar ke pasaran, ternyata merek kata itu memiliki bentuk huruf,   warna maupun  warna kemasan yang sama dengan produk orang lain yang   sebelumnya sudah memiliki atau memasarkan produknya dengan seperti itu   ke pasaran. Contohnya : kasus OREO dan RODEO
Pemohon   merek rodeo mendaftarkan merek rodeo pada Kantor Merek hanya sebagai   kata saja dengan menggunakan block letter, tetapi di pasaran merek   tersebut digunakan dalam bentuk tulisan dan kemasan yang sama dan sangat   mirip dengan merek OREO milik orang lain untuk jenis barang yang sama.    Kemasan yang menyerupai atau mirip dapat mengelabui atau menyesatkan   konsumen yang tidak terlalu teliti atas produk dagang tersebut selain   itu konsumen pun dapat mengira bahwa oreo dan rodeo berasal dari sumber   yang sama, padahal keduanya memiliki kualitas yang berbeda karena   berasal dari sumber yang berbeda pula.
Kasus Mega Top  Vs  Top 1
Dalam   kasus ini penggugat mendasarkan gugatannya berdasarkan pemakaian merek   tergugat yang tidak sesuai dengan pendaftarannya yaitu dalam  kemasannya  memakai desain angka 1 dengan desain tulisan MEGATOP  dalam  elips dan  warna merah kuning yang menonjol sedangkan pendaftaranya  hanya sebagai  wordmark "MEGA TOP" dengan warna hitam putih. Penggugat  mengajukan  gugatan penghapusan merek. Penggugat telah mendaftarkan  lebih dulu  desain angka 1 beserta tulisa TOP dalam elips dan warna  merah dan  kuning.Penggunaan desain angka satu dengan tulisan  MEGA TOP   dalam  elips serta kemasan warna merah dan kuning oleh tergugat sebagai  usaha  menciptakan confusion dan mislead the public yang dikalim oleh  Penggugat  juga sementara diatasi dengan penghapusan merek tersebut,  walaupun  sasaran terhadap infringing goods yang beredar belum dijamin  tuntas.
5.  D O M A I N    N A M E
Pada   awalnya ada perbedaan yang tegas antara merek dan  nama domain, karena   merek merupakan identitas suatu komoditi barang dan jasa perdagangan   yang memiliki nilai ekonomi Karen  berkaitan dengan kegiatan perdagangan   dan perindustrian sedangkan nama domain hanyalah menunjukan alamat   pribadi sebagai identitas perorangan yang bersipat individu sehingga   semata-mata ditunjukan untuk kepentingan komunikasi saja tanpa   melibatkan kegiatan bisnis dan perdagangan.
Akan   tetapi sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat   yang ikut mempengaruhi bentuk-bentuk interaksi social diantaranya    kegiatan perdagangan atau bisnis yang dikemudian hari  hal ini   melahirkan bentuk metode bisnis dan perdagangan yang baru melalui   internet  beridentitaskan nama domain, pada titk inilah awal terjadinya   keracuan perlindungan antara merek dan nama domain.
Permasalahannya :
Apakah   nana domain dapat dikatagorikan sebagai merek sehingga memenuhi   definisi sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 UU 15/ 2001 yang   menyebutkan bahwa : "Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,   huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur   tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan   perdagangan barang atau jasa".
Sehingga   dalam penggunaannya sebagai nama domain suatu perlindungan hukum, guna   menghindari pihak ketiga memperoleh keuntungan dari penggunaan nama   merek sebagai nama domainnya.
Karena pada perkembangannya timbulnya pelanggaran-pelanggaran nama domain dalam bentuk :
- CRIBERSQUATTINGYaitu orang-orang yang mencoba mengambil keuntungan dengan cara mendaftarkan nama domain dengan menggunakan nama-nama yang sudah terkenal missal : www.juliaroberts.com, www.mcdonalds.com, dengan harapan bahwa pemilik nama terkenal tersebut setuju untuk membayar sejumlah sebagian biaya peralihan nama tersebut.
- TIPOSQUATTINGYaitu orang-orang yang mencoba menciptakan nama domain yang menyerupai dengan nama produk dagang yang sudah terkenal dengan memanfaatkan reputasi merek tersebut dengan harapan dapat mengambil keuntungan dagang dari padanya. Sehingga hal ini menimbulkan keracuan di masyarakat karena adanya persamaan pada pokoknya. Missal :www.cocicola.com dari perusahaan permen yang memiliki rasa cola, sehingga bertendensi menimbulkan keracuan dengan produk minuman ringan coca cola.
 Kasus MUSTIKA RATU.COM
 
Kasus   ini  diawali dari diketahuinya keberadaan nama domain mustika-ratu.com    oleh pihak Mustika Ratu yang ironisnya domain tersebut ke Network   Solution, Inc suatu provider internet di Amerika Serikat.  Akibatnya   Tjandra Sugiono didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan ancaman hukuman   pasal 382 bis KUHP dan pasal 48 ayat 1 jo Pasal 19 b  UU 5 tahun 1999.
Berdasarkan   pada kedua sumber hukum tersebut banyak disayangkan oleh berbagai   pihak, karena dalam prakteknya di seluruh dunia sampai saat ini tidak   ada kasus domain name yang diselesaikan dengan mendasarkan pada   ketentuan pidana karena hal tersebut dapat berdampak negatif  bagi dunia   bisnis.
Walaupun   Indonesia belum memiliki peraturan mengenai domain name, tetapi selaku   anggota dari WIPO, sebenarnya kasus ini dapat diselesaikan dengan cara   mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan perdata atau WIPO  Media   and Arbitrase Center. Dan praktek pada umumnya, putusan  Pengadilan  atau WIPO berupa pengalihan atau transfer nama domain  tersebut kepada  pemilik yang berhak, bukan dengan cara mengenakan denda  atau pidana  kepada si cybersquatter (pembajak) .
Salah   satu sebab maraknya kasus nama domain karena system pendaftaran domain   name yang berprinsip "first come first served" dimana yang terlebih   dahulu mendaftar adalah dialah yang berhak atas domain name tersebut –   No  Substantive Examination.  Berbeda dengan permohonan pendaftaran   merek yang menyaratkan adanya pemeriksaan substantif sebelum merek itu   didaftarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia Rooseno, Aspek Hukum tentang Merek, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004;
Budi Rahardjo, Apakah Negara Berkembang Memerlukan Sistem Perlindungan HKI, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004; 
-----------------, Perlukah Perlindungan HKI Bagi Negara Berkembang, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004 ;
Zen Umar Purba, Latar Belakang Perubahan UU Tentang Kekayaan Hak Intelektual, Prosiding pada lokakarya Terbatas antara Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004 ;
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar