Kamis, 16 Agustus 2012


Masalah Perjanjian Parkir

Seorang teman saya mengangkat tema hubungan hukum antara pengelola perparkiran dengan pemilik kendaraan. Seperti kita ketahui bersama, saat ini isu tersebut marak dibahas di berbagai media. Pertanyaan utamanya: apakah pengelola parkir harus bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas hilangnya kendaraan yang diparkir di tempatnya?
Dalam kasus semacam ini, pengelola parkir biasanya merujuk pada klausula eksonerasi dalam perjanjian parkir, yaitu bahwa dirinya tidak bertanggungjawab atas terjadinya kerusakan atau kehilangan kendaraan yang diparkir di tempatnya. Namun demikian, tentu jadi pertanyaan, apakah klausula eksonerasi seperti itu juga bisa dianggap sah?
Di sisi lain, gugatan pemilik yang juga mendapat dukungan pendapat umum, mendalilkan bahwa dalam kasus-kasus semacam ini, pengelola parkir seharusnya bertanggungjawab memberikan ganti rugi. Pendapat umum ini, kemungkinan besar, memang hanya berdasarkan simpati. Simpati, tentu sangat subyektif. Artinya, dapatkah kita harapkan pengelola parkir yang jelas-jelas mempunyai pendapat berbeda, dengan sendirinya juga merasakan hal yang sama? Kemungkinan besar tidak. Atau, bisa juga digugat, mengapa simpati yang sama tidak diberikan kepada pengelola parkir?
Hukum, dalam hal ini, seharusnya dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk mengurai permasalahan secara obyektif. Dalam hukum pertanggungjawaban, pertanyaan utamanya memang selalu siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya suatu kerugian. Tapi bagaimana hukum mengurai masalah pertanggungjawaban tersebut?
Kewajiban hukum antara satu pihak terhadap pihak lain, dapat diturunkan dari adanya hubungan hukum dua belah pihak yang disebut perikatan. Perikatan, menurut KUH Perdata, lahir karena suatu perjanjian, atau karena undang-undang. Lahir karena perjanjian, apabila adanya perikatan itu akibat kehendak para pihak itu sendiri, serta lahir karena undang-undang, apabila adanya perikatan itu akibat berlakunya aturan tertentu, atau perbuatan seseorang (baik yang sah, maupun yang melawan hukum).
Pasal 1233 KUH Perdata: “Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.”
Pasal 1313 KUH Perdata: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Pasal 1352 KUH Perdata: “Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Pasal 1353 KUH Perdata: “Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dari suatu perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang melanggar hukum.”
Mengapa pada akhirnya seseorang dapat dianggap mempunyai suatu kewajiban tertentu, tentu harus ditelusuri dari keberadaan hubungan hukum semacam itu. Dengan demikian, apabila dalam kasus kehilangan kendaraan di tempat parkir hendak dikaji secara hukum, pertanyaan pertamanya tentu apa hubungan hukum para pihak tersebut.
Apabila hubungan hukum di antara para pihak itu telah jelas diketahui sebagai suatu bentuk perjanjian, baru selanjutnya dapat ditinjau lebih jauh, apakah klausula-klausula yang dinyatakan dalam perjanjian terkait dapat dianggap berlaku. Jika klausula terkait ternyata menghilangkan esensi pokok dari perjanjian itu sendiri, seperti misalnya menutup kewajiban ganti rugi atas terjadinya kehilangan untuk perjanjian jasa penitipan, tentu klausula seperti itu sudah sepatutnya dibatalkan. Untuk menyeimbangkan posisi konsumen dengan pemberi jasa yang dianggap lebih tahu dalam hal perjanjian konsumen, dalam UU Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan umum yang mengatur hal tersebut.
Pasal 18 ayat 1 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; […]“
Uraian singkat di atas, merupakan gambaran konstruksi hukum yang saya pikir relevan dengan perjanjian parkir. Namun demikian, apa begitu juga prakteknya?
Di bawah ini ada dua kasus yang bisa kita pelajari. Meski begitu, argumentasi hukum yang digunakan sangat lemah, berupa serangkaian pernyataan yang menyebutkan beberapa pasal, tanpa menjelaskan hubungan satu sama lain, apalagi memproyeksikan fakta terhadap ketentuan dalam pasal-pasal tersebut. Sementara dari sisi substansi, dalam kedua putusan ini, hubungan hukum berupa perjanjian seperti sesuatu yang asing dalam praktek hukum di Indonesia. Lahirnya hak dan kewajiban, seolah hanya bisa didasarkan pada suatu peraturan tertentu saja (dengan mencomot satu dua peraturan KUH Perdata atau UU Perlindungan Konsumen). Patut disyukuri bahwa dalam putusan yang kedua, entah bagaimana, pertanyaan apakah perjanjian parkir harus dianggap sebagai perjanjian penitipan atau perjanjian sewa, toh masih muncul di tingkat kasasi. Meskipun, sayangnya, kemudian disimpulkan tanpa uraian memadai.
1966/K/PDT/2005 (Imelda Wijaya vs. Anugerah Bina Karya)
Dalam perkara pertama, adanya hak penggugat (pemilik kendaraan) didasarkan pada Pasal 4 huruf a dan b, sedang pertanggungjawaban tergugat (pengelola parkir) dikonstruksikan dari Pasal 19 ayat (1). Kemudian, tanpa mengurai lebih lanjut lagi, pembatalan klausula baku didasarkan pada Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum dipahami berdasar “[…] perbuatan Tergugat yang mengijinkan orang lain tanpa Kartu Tanda Parkir P-1 membawa pergi mobil milik Penggugat ke luar dari areal parkir.”
Dengan demikian, pertanggungjawabkan diturunkan begitu saja oleh (kuasa) penggugat dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, tanpa didukung dengan bangunan argumentasi berdasarkan ketentuan hukum, mengapa perbuatan itu harus dianggap melawan hukum, apa yang harus digantirugi, bagaimana kerugian itu muncul dan siapa yang menyebabkan, serta siapa yang salah (bandingkan kriteria Pasal 1365 KUH Per: “(1) perbuatan yang melanggar hukum, (2) kerugian, (3) hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan timbulnya kerugian itu, serta (4) kesalahan orang yang berbuat).
Selanjutnya, dalam putusan tersebut tidak diketahui bagaimana hakim mempertimbangkan argumen penggugat. Namun yang jelas, hingga tingkat kasasi, pengadilan menyatakan perbuatan tergugat adalah perbuatan melawan hukum, klausula eksonerasi dalam perjanjian batal demi hukum, serta tergugat wajib membayar ganti rugi.
Tentu bisa dipertanyakan, mengapa penggugat, juga penilaian hakim kemudian, di satu sisi menganggap perlunya pembatalan klausula eksonerasi (artinya mengakui adanya perjanjian), sedangkan di sisi lain mendasarkan hubungan hukum pada perbuatan melawan hukum (mengapa bukan berdasar perjanjian?). Pada tingkat kasasi perkara kedua di bawah ini, bisa kita lihat, bagaimana pemohon kasasi/tergugat (pengelola parkir) juga mempertanyakan hal tersebut.
2078/K/PDT/2009 (Sumito Y. Viansyah vs. Secure Parking)
Dalam perkara ini, pertanggungjawaban juga diturunkan begitu saja dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, yaitu “berdasarkan fakta […] penyebab hilangnya sepeda motor milik Pengugat di areal parkir yang dikelola oleh Tergugat jelas disebabkan karena kelalaian, kekurang hati-hatian serta perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai/bawahan Tergugat yang berjaga di pintu keluar”.
Selanjutnya, (kuasa) penggugat, menyebut Pasal 1365 (mungkin untuk menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum), Pasal 1366 (mungkin untuk menunjukkan bahwa kelalaian juga dianggap sebagai perbuatan), serta Pasal 1367 KUH Perdata (mungkin untuk menunjukkan bahwa perusahaan bertanggungjawab atas tindakan pegawainya). Meski menyebutkan ketiga pasal ini, namun tak satupun dari ketiganya diuraikan untuk memproyeksikan fakta terkait. Alih-alih menjelaskan, argumentasi penggugat bahkan langsung melompat ke pertanggungjawaban perusahaan.
Dalam hal ini, pertanggungjawaban (perusahaan) juga diturunkan dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, yaitu “melakukan perbuatan melawan hukum dengan masih mencantumkan klausula baku pengalihan tanggungjawab pada karcis parkir”. Ini diikuti dengan sedikit pernyataan, tanpa penjelasan, bahwa perbuatan itu melanggar larangan pencantuman klausula baku yang mengalihkan pertanggungjawaban (Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen).
Mungkin tak banyak yang tahu, dalam gugatan disebutkan pula Ostermann-arrest (HR 20-11-1924), dengan dalih perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain, namun juga yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sendiri. Namun entah apa relevansinya, karena, kalau mau diteliti lebih jauh, putusan Hoge Raad itu sebenarnya menyangkut pertanggungjawaban badan publik yang melakukan perbuatan melawan hukum.
Beda dengan perkara sebelumnya, dalam perkara ini bantahan dari (kuasa) tergugat lebih panjang lebar. Namun, alih-alih langsung mempertanyakan dalil perbuatan melawan hukum, misalnya, (kuasa) tergugat menyimpulkan sendiri bahwa hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah perikatan bebas (Pasal 1359 ayat (2)). Saya sendiri ragu, apa (kuasa) tergugat memang paham apa itu perikatan bebas, serta benar-benar menganggap bahwa hubungan antara pengelola parkir dan pemilik kendaraan adalah pemenuhan kewajiban yang timbul bukan berdasar hukum, namun berdasar kepatutan saja. Karena, selanjutnya, tergugat mengajukan dalih bahwa klausula baku yang dipermasalahkan itu didasarkan pada ketentuan peraturan daerah yang salah satu pasalnya berisi klausula eksonerasi. Berdasar klausula eksonerasi ini, tergugat mendalilkan “atas hilangnya kendaraan dan atau barang- barang yang berada didalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di petak parkir , merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir” (Pasal 36 ayat (2) Perda DKI No. 5/1999). Kalau (kuasa) tergugat benar menganggap tidak ada hubungan hukum, mengapa mendasarkan pendapat pada adanya klausula eksonerasi? Sehubungan dengan keraguan saya tadi, tanpa adanya perjanjian, ini klausula atas apa?
Bagaimanapun, tanpa bisa dilihat apa pertimbangannya, pengadilan mengabulkan gugatan penggugat bahwa telah ada perbuatan melawan hukum yang mewajibkan pembayaran ganti rugi, serta membatalkan klausula eksonerasi. Sedang di tingkat banding, pengadilan tingkat banding pada dasarnya sependapat dengan pengadilan tingkat pertama, namun mengurangi nilai kerugian yang wajib dibayarkan tergugat, serta tidak mengambilalih putusan pengadilan tingkat pertama yang melarang penggunaan klausula eksonerasi. Karena merasa dalilnya tidak dibahas dengan memadai, tergugat mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding.
Di tingkat kasasi, tergugat berdalih bahwa berdasarkan peraturan daerah yang memuat klausula eksonerasi, seharusnya dirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Berbeda dengan pendapat sebelumnya yang mendalilkan perikatan bebas, kali ini tergugat, dengan uraian yang cukup panjang, berpendapat bahwa hubungan hukum di antara mereka adalah perjanjian sewa-menyewa, bukan perjanjian penitipan. Kemudian, disampaikan juga adanya fakta adanya perusakan tempat parkir, sebagai dalih bahwa terdapat daya paksa (overmacht). Selain itu, tergugat kembali menjelaskan bahwa dalam kasus ini tidak ada perbuatan melawan hukum.
Dalam perkara ini, ternyata penggugat di tingkat pertama juga mengajukan permohonan kasasi. Alasannya, pengadilan tingkat banding telah keliru dalam menentukan besarnya ganti rugi, serta mempertanyakan tidak diambilalihnya putusan terkait larangan klausula eksonerasi.
Apa pendapat Mahkamah Agung? , Mahkamah Agung hanya menggunakan pertimbangan singkat. Pada intinya, putusan pengadilan tingkat banding telah tepat, yaitu larangan penggunaan klausula baku tak dapat dikabulkan karena “tidak ada kaitan langsung dengan masalah kerugian”, serta hubungan hukum antara pemilik kendaraan dengan pengusaha parkir adalah “Perjanjian Penitipan”, yang jika dihubungkan dengan Pasal-Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata maka Tergugat berkewajiban menanggung kehilangan sepeda motor Penggugat di tempat pengelolaan Tergugat”.
Namun demikian, meski mengandung pertanyaan hukum yang sangat menarik, dalam putusan ini, tidak dijelaskan mengapa perjanjian parkir dianggap sebagai perjanjian penitipan, bukan perjanjian sewa menyewa. Bahkan sedari awal, pengadilan, juga (kuasa) para pihak, tidak sedikitpun mencoba untuk mengkonstruksikan hubungan hukum (perikatan) di antara para pihak, sehingga terjadi tumpang tindih antara konstruksi perjanjian dengan perbuatan melawan hukum.
Jadi, kembali lagi, apa yang sebenarnya bisa kita pelajari dari dua kasus tersebut?

Pada tulisan sebelumny telah dibahas sekilas tentang hubungan hukum antara pengelola dan pemilik kendaraan yang seharusnya merupakan suatu bentuk perjanjian. Selain itu, telah disinggung pula sedikit tentang sejauh mana perjanjian seperti itu dapat dibatasi keberlakuannya dengan klausula-klausula (baku) tertentu. Meskipun begitu, pada kenyataannya, ternyata putusan-putusan yang ada bahkan tidak mengklasifikasikan secara jelas hubungan hukum tersebut.
Tentu masih menjadi tanya, pada akhirnya apa yang sebenarnya menjadi dasar dari diakui atau tidaknya adanya kewajiban dari pengelola parkir untuk mengganti kerugian yang terjadi akibat rusak atau hilangnya barang yang diparkir. Sebagaimana sudah disebutkan juga dalam tulisan sebelumnya, meskipun bisa jadi hal tersebut berlandaskan simpati yang toh diterima secara luas oleh masyarakat, namun tidak ketidakjelasan duduk perkaranya secara hukum, serta hak dan kewajiban para pihak, tentu tidak adil bagi pengelola parkir. Bukankah sepatutnya dia juga mendapatkan simpati yang sama untuk mengetahui dan memahami apa dasar dari timbulnya kewajiban yang harus dia tanggung untuk menggantirugi? Katakanlah di lain kesempatan hakim memutuskan sebaliknya, apa juga hanya karena simpati itu?
Ketidakjelasan tersebut, bahkan sudah bisa dilihat dari sikap yang ditunjukkan oleh Mahkamah Agung sendiri. Dalam pernyataannya melalui media, terkait gugatan-gugatan atas hilangnya kendaraan saat parkir, Mahkamah Agung melalui juru bicaranya menyatakan: “Kendaraan hilang bisa digugat jika itu resmi. Kalau tidak resmi tidak bisa digugat karena tidak ada kontrak perjanjian.” Artinya, Mahkamah Agung sendiri mengakui bahwa hubungan hukum dalam perjanjian parkir adalah suatu perjanjian, meskipun dalam putusan-putusan yang telah dibahas sebelumnya, kewajiban hukum pengelola ternyata didasarkan pada perbuatan melawan hukum yang membuat ada tidaknya perjanjian, atau berlaku atau tidaknya klausula baku, sebenarnya tidak lagi relevan.
Bagaimanapun, adanya pertentangan pendapat ini, bisa juga dikarenakan contoh kasus yang digunakan masih terlalu sedikit, sehingga mungkin dalam kasus-kasus yang lain sebenarnya Mahkamah Agung tegas menyatakan adanya perjanjian. Sebagaimana dalam salah satu kasus yang disebutkan sebelumnya, meski mendasarkan kewajiban pengelola pada perbuatan melawan hukum, namun Mahkamah Agung toh menegaskan bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian penitipan barang.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kualifikasi perjanjian ini menjadi penting, serta bagaimana seharusnya mengurai permasalahan perjanjian parkir ini. Kebetulan, terdapat satu tulisan (“De Toepassing van Exoneratieclausules in het Parkeercontract”, Rechtskundig Weekblad, 1982-1983, 2161-2178) berdasarkan praktek di Belgia, di mana konstruksi yang digunakan masih bisa dibandingkan dengan di Indonesia, karena adanya kemiripan dasar hukum (KUHPerdata/BW).Faure sebenarnya juga cukup dikenal di Indonesia sebagai ahli hukum (pertanggungjawaban) lingkungan.
Di bawah ini, ringkasan inti dari tulisan tersebut, berikut konteksnya dalam hukum Indonesia (KUHPerdata) yang saya tambahkan sendiri. Secara garis besar, dalam menangani sengketa terkait perjanjian parkir, pertama-tama perlu dikualifikasikan dulu, apa perjanjian yang berlaku di antara pengelola parkir dan pemilik kendaraan (konsumen). Selanjutnya, baru bisa diurai lebih lanjut, klausula-klausula apa yang boleh dianggap berlaku (atau tidak) dalam perjanjian tersebut. Terakhir, tindakan para pihak terkait akan bisa dinilai berdasarkan hak dan kewajiban para pihak, sehubungan dengan isi dan ruang lingkup dari perjanjian tersebut.
Kualifikasi Perjanjian Parkir
Dalam prakteknya di Belgia, menurut Faure, perjanjian parkir biasa dikualifikasikan ke dalam tiga kategori: perjanjian sewa, perjanjian penitipan barang, atau perjanjian umum. Mengapa kualifikasi tersebut penting? Hal ini berhubungan dengan hak dan kewajiban para pihak terkait yang kemudian berlaku. Apabila perjanjian parkir dikualifikasikan sebagai perjanjian sewa menyewa, maka pengelola parkir hanya akan dianggap sebagai pemilik suatu barang (tempat) yang mempersilahkan pemilik mobil, untuk mengunakannya dalam waktu tertentu, dengan membayarnya. Sedang apabila perjanjian parkir dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang, maka dengan sendirinya terdapat kewajiban dari pengelola untuk menjaga mobil yang diparkir dengan baik, serta mengembalikannya dalam kondisi semula. Dasar hukumnya dapat dilihat dalam dua ketentuan pasal di bawah ini.
Pasal 1548
Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.
Pasal 1694
Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama.
Dengan demikian, dalam prakteknya di Belgia, tetap terbuka kemungkinan untuk mengkualifikasikan perjanjian parkir sebagai dua bentuk perjanjian yang berbeda (sementara di Indonesia Mahkamah Agung tegas menyatakan bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian penitipan). Masalahnya dengan adanya kualifikasi yang terbuka seperti ini, tentu dibutuhkan adanya kriteria atau tolak ukur tertentu yang dapat dijadikan patokan yang membatasi keduanya. Apa kira-kira patokan itu?
Menurut Faure, dalam prakteknya patokan itu bisa dicermati, antara lain, dalam beberapa kriteria berikut ini:
  1. Apakah terjadi serah terima kunci mobil? Diserahkannya kunci mobil, tentu akan memperkuat argumentasi bahwa perjanjian parkir dalam kasus tersebut memang perjanjian penitipan barang.
  2. Apakah terdapat petunjuk-petunjuk khusus bagaimana mobil harus diparkirkan? Semakin banyak dan ketat petunjuk yang diberikan, tentu semakin memperkuat adanya indikasi bahwa perjanjian parkir tersebut adalah perjanjian penitipan barang.
  3. Apakah ada pengawasan dalam gedung parkir? Semakin (terlihat) ketatnya pengawasan dalam parkir, akan membuat perjanjian parkir juga semakin mudah dianggap perjanjian penitipan.
  4. Berapa besarnya tarif parkir? Beberapa orang berpendapat bahwa tarif parkir bisa dijadikan patokan. Meski begitu, ada beberapa pendapat berbeda yang mengatakan bahwa besarnya tarif parkir tidak relevan menunjukkan “harga” tempat parkir, karena “harga” yang rendah bisa juga dimaksudkan pengelola untuk menarik pelanggan.
  5. Keberadaan garasi khusus. Apabila mobil disimpan dalam sebuah garasi tertutup, apa yang terjadi dalam garasi tersebut, pada dasarnya di luar tanggungjawab pengelola parkir, sehingga akan lebih mudah dikualifikasikan sebagai perjanjian sewa menyewa.
Akibat Kualifikasi Perjanjian Parkir
Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, pengkualifikasian perjanjian parkir relevan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian parkir (perlu diperhatikan bahwa dalam prakteknya di Indonesia pihak penggugat sudah langsung merujuk pada UU Perlindungan Konsumen yang sangat umum). Kalau kualifikasinya ternyata perjanjian sewa menyewa, posisi pengelola parkir tentu lebih bebas, namun beda halnya kalau ternyata perjanjian parkir dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang.
Dalam KUHPerdata sendiri, telah diatur kewajiban penerima titipan (dalam hal ini pengelola parkir) yang cukup ketat, di mana perjanjian penitipan bukan hanya perikatan yang prestasinya bersifat usaha (untuk menjaga barang tersebut), namun juga bersifat hasil (untuk mengembalikan barang tersebut dalam kondisi yang sama dengan saat diterima).
Pasal 1714
Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang sama dengan yang diterimanya. Dengan demikian, kalau titipan itu berupa uang tunai maka wajib dikembalikan uang tunai dalam jumlah dan jenis mata uang seperti semula biarpun mata uang itu sudah naik atau turun nilainya.
Pasal 1715
Penerima titipan hanya wajib mengembalikan barang titipan itu dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat pengembalian. Kekurangan yang timbul pada barang itu di luar kesalahan penerima titipan, harus menjadi tanggungan pemberi titipan.
Kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut dalam keadaan yang sama, juga mengandung konsekuensi bahwa beban pembuktian ada pada penerima titipan. Jadi, pada prinsipnya secara hukum dia wajib untuk mengembalikan barang yang dititipkan, kecuali bisa dibuktikan sebalknya. Dia hanya bisa dianggap tidak bertanggungjawab, jika dapat membuktikan bahwa tidak (dapat) dikembalikannya barang itu, bukan merupakan kesalahannya. Dalam prakteknya, pembuktian terbalik seperti ini, sulit untuk dipenuhi oleh pihak tergugat, sehingga dengan mudah dia akan dianggap telah melakukan wanprestasi.
Klausula Baku
Dalam perjanjian parkir, klausula baku menjadi relevan untuk dibahas, karena dalam prakteknya pengelola parkir akan berusaha untuk membatasi pertanggungjawabannya, dengan menentukan beberapa syarat atau klausula. Hal ini, dengan beberapa batasan, dimungkinkan oleh undang-undang. Dalam hukum Indonesia, syarat atau klausula seperti ini, meski hampir selalu dirujukkan pada ketentuan UU Perlindungan Konsumen, dapat dilihat juga dasar hukumnya dalam KUHPerdata. Pengertian syarat atau klausula adalah (beberapa) ketentuan yang menangguhkan atau membatalkan ketentuan (pokok) perjanjian.
Pasal 1253
Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.
Pertanyaannya kemudian, dalam situasi seperti apa, syarat atau klausula itu bisa dianggap berlaku atau tidak berlaku. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus dicermati bunyi Pasal 1254 KUHPerdata berikut ini. Secara umum, suatu syarat akan dianggap batal demi hukum, jika syarat itu bertujuan pemenuhan perjanjian menjadi tidak mungkin, bertentangan dengan kesusilaan (ketertiban umum), atau dilarang oleh undang-undang.
Pasal 1254
Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.
Dalam prakteknya di Belgia, untuk menilai berlaku atau tidaknya suatu klausula, Faure membaginya ke dalam beberapa kategori, yaitu substansi syarat itu sendiri, kesepakatan para pihak, serta interpretasi para pihak terkait atas syarat-syarat tersebut. Di bawah ini uraian ketidakberlakuan klausula, atas dasar cacat substansi atau kesepakatan para pihak terkait.
Pertama, klausula dianggap tak berlaku, apabila secara substansial tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, sehingga harus diperhatikan hal-hal berikut ini:
  1. Tak boleh ada pengecualian pertanggungjawaban karena adanya tipu daya atau kesalahan disengaja yang dilakukan oleh tergugat.
  2. Syarat (klausula) yang diperjanjikan tidak boleh menghilangkan setiap isi atau esensi dari perjanjian itu sendiri, misalnya kewajiban untuk “mengembalikan [barang titipan] dalam keadaan yang sama” dalam perjanjian penitipan barang.
  3. Syarat yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Kedua, klausula dianggap tak berlaku, apabila dalam proses penetapannya ternyata tidak terbentuk suatu kesepakatan. Untuk itu, perlu dicermati beberapa hal berikut:
  1. Kesepakatan harus secara jelas dan tegas disepakati oleh para pihak, kehendak dan persetujuan para pihak.
  2. Syarat yang ditempelkan pada papan atau dituliskan di dinding gedung parkir harus bisa dibuktikan memang dapat diketahui oleh konsumen.
  3. Syarat yang dicantumkan pada tiket parkir pada prinsipnya telah dianggap diketahui oleh konsumen.
  4. Ditentukan berdasarkan kondisi dalam kasus tertentu, misalnya pembatasan pertanggungjawaban berdasarkan biaya parkir,di mana pengelola hanya mempersyaratkan untuk melakukan pengawasan mobil yang diparkir sebatas melalui instalasi kamera, tetapi tidak melalui pengawasan langsung.
Bagaimana prakteknya di Indonesia? Sebagaimana kita ketahui, klausula baku yang biasa diajukan sebagai bantahan oleh pihak tergugat, akan dianggap oleh hakim tidak berlaku, karena bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen.
Pasal 18 ayat 1 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
  1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; […]
Rumusan Baku
Dari gambaran di atas, sebenarnya ada suatu metode atau rumusan yang bisa dipelajari dari praktek di Belgia, serta sebenarnya cukup cocok dengan peraturan yang ada di Indonesia, untuk menyelesaikan sengketa terkait perjanjian parkir yang menggunakan klausula baku. Rumusan itu bisa diringkaskan dengan beberapa pertanyaan berikut:
  1. Apakah perjanjian parkir dapat dikategorikan sebagai perjanjian penitipan barang? Kualifikasi ini akan memperjelas apa sebenarnya hak dan kewajiban para pihak. Sehingga, apabila kemudian terjadi pelanggaran kontrak atau wanprestasi, jelas juga apa yang menjadi landasan diwajibkannya pembayaran ganti rugi.
  2. Apakah klausula baku terkait dapat dianggap berlaku? Hal ini penting untuk menilai sejauh mana sebenarnya kewajiban tergugat. Terkait hilangnya barang, mungkin cukup jelas (karena pengembalian barang adalah kewajiban yang timbul dari perikatan yang prestasinya bersifat hasil, artinya dapat mengembalikan, atau tidak), namun akan beda halnya kalau sengketa yang timbul terkait dengan terjadinya kerusakan.

Tidak ada komentar: